Ming Mei terpaku, matanya melebar karena kaget sekaligus merasa bersalah. "Ma-maaf!" ia tergagap, suaranya bergetar. Wajah yang tadinya penuh percaya diri kini berubah menjadi kebingungan dan malu.Para penonton mulai berbisik-bisik, beberapa memandang Ming Mei dengan tatapan curiga. Shien Niao sendiri memegangi pipinya yang terluka, sementara matanya menatap Ming Mei tajam, menahan rasa sakit dan kegeraman.Sementara itu, Du Fei perlahan mengangkat wajahnya. Mata yang tadinya terpejam menahan sakit kini terbuka, menatap pemandangan di hadapannya dengan sorot kebingungan yang sama. Untuk sesaat, rasa sakit di punggungnya terlupakan, digantikan oleh rasa heran.Suasana di halaman semakin tegang setelah insiden tak terduga itu. Biarawati Yun Hui, dengan wajah merah padam karena malu dan marah, menatap tajam ke arah Ming Mei, "Ming Mei, mengapa kau mengarahkan cambuk pada Tuan Shien?" "Guru, Murid juga tak tahu apa yang terjadi!" jawab Ming Mei panik. Air mata mulai menggenang di pelup
Biarawati Yun Hui mengerutkan kening semakin dalam mendengar saran Han Ming. Dengan cepat, ia bergerak mendekati Ming Mei yang masih tak sadarkan diri di pangkuan Xiao Lin. Dengan hati-hati, ia menyibakkan rambut gadis itu, memeriksa tengkuknya dengan seksama."Astaga!" Seruan kaget Yun Hui mengejutkan orang-orang di sekelilingnya. Wajahnya memucat saat ia menemukan bintik luka keunguan di tengkuk Ming Mei, persis seperti yang digambarkan Han Ming. "Benar, ada luka keunguan di sini," ujarnya dengan suara bergetar."Sudah dapat dipastikan, murid Anda terkena racun Bunga Pengendali Roh,” ungkap Han Ming dengan nada serius, “hanya Datuk Racun Selatan yang memiliki racun seperti itu. Racun yang bisa mengendalikan gerakan mangsa dari jarak jauh."Para tamu dari berbagai sekte dunia persilatan mulai berbisik-bisik satu sama lain. Beberapa orang bahkan mulai memeriksa tengkuk mereka sendiri dengan panik."Jadi, Datuk Racun Selatan benar-benar ada di sekitar sini?" Mata elang Biarawati Yun Hu
Lin Mo melesat bagai anak panah, pedangnya terhunus tajam membelah angin. Mata berfokus pada sosok Du Fei, targetnya yang tak berdaya. Kaki-kakinya bergerak lincah, meninggalkan jejak debu tipis yang beterbangan. Tanpa ia sadari, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas genting. Sosok itu bergerak turun seperti burung elang yang menukik mengincar mangsanya. Seakan berlomba dengan Lin Mo, bayangan itu juga melesat ke arah Du Fei dengan kecepatan tinggi.Memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh lebih sempurna, sosok misterius itu nyaris melayang di atas tanah. Gerakannya begitu ringan, seolah raganya terbuat dari kapas. Dalam sekejap mata, bayangan itu telah menggapai Du Fei lebih dulu. Tangan kekarnya dengan sigap merenggut bahu si pemuda, lalu membawanya terbang ke atas atap. Suara derit halus terdengar dari atap yang bergetar saat mereka mendarat, Begitu cepatnya gerakan sosok tadi, hingga netra Lin Mo yang tajam hanya mampu menangkapnya sebagai sekelebat bayangan yang lewat d
Biarawati Yun Hui menatap Chang Su penuh selidik, alisnya nyaris tertaut. Sesaat kemudian ia berseru dengan nada dingin dan tajam. "Sungguh besar nyalimu, Chang Su! Berani membuat kekacauan di dunia persilatan!"Han Tze menyambung perkataan Yun Hui, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis. "Tidak heran, Ketua Hui!" ujarnya, nada suaranya mencemooh. "Chang Su adalah pendiri sekte hitam Iblis Bayangan, sekte yang pekerjaannya hanya merampok dan membunuh.""Ia sudah lama menghilang dari dunia persilatan," imbuh Han Ming geram. Matanya memancarkan kesedihan yang dalam saat ia melanjutkan, "Sampai sebulan yang lalu, tiba-tiba ia muncul di Wisma Pedang dan membunuh ayah kami."Sementara mereka berbicara, Chang Su hanya mendengarkan dengan santai. Bibirnya yang hitam menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang menguning. Rambut abu-abunya yang sedikit berantakan, beriap-riap dipermainkan angin gunung, menambah kesan liar pada penampilannya. Ditambah kulit wajah yang pucat bagai m
Melihat para pendekar yang terdiam mendengar sindiran menohok Datuk Racun Selatan, Han Ming mengambil inisiatif. Ia maju selangkah, matanya menatap tajam ke arah Chang Su."Kau kira dengan permainan katamu, kami akan terpengaruh?" ujar pria berusia sekitar 30-an itu. Suaranya penuh dengan nada mencemooh. Ia mendengus pelan sebelum melanjutkan dengan nada geram, "Cepat serahkan obat penawar dan pemuda itu!"Han Tze, tak mau kalah, segera maju mendampingi kakaknya. Dengan sikap mengancam, ia berkata kepada Chang Su, "Kami tahu kau masih terluka dalam. Melawan kami sama saja mencari mati!"Mendengar gertakan itu, seringai yang sedari tadi menghiasi wajah Chang Su seketika lenyap. Sorot matanya berubah dingin, memancarkan aura ancaman yang tak kalah garang. "Kalian manusia-manusia licik!" desisnya, "maju semua kalau berani!"Kedua Han bersaudara saling melirik, seolah berkomunikasi tanpa kata. Sejenak mereka berpandangan, lalu saling mengangguk penuh arti. Sedetik berikutnya, dalam geraka
Biarawati Yun Hui yang mengamati dari bawah, dengan cepat menyadari bahwa kedua Han bersaudara tak mampu menghadapi Chang Su.Sosok kakek tua yang masih lincah dan mematikan itu tampaknya terlalu tangguh untuk mereka. Tiba-tiba sebuah pemikiran licik bermain di kepalanya, satu-satunya cara untuk meruntuhkan perlawanan kakek tua tersebut adalah dengan menyerang dari belakang.Begitu melihat ada kesempatan di mana Chang Su yang sedang berduel dengan Han Ming, membelakanginya, Yun Hui segera melenting naik ke atas atap. Dengan gerakan menukik, Biarawati Yun Hui menerjang ke arah Chang Su yang tengah sibuk meladeni serangan Han Ming.Du Fei, mengetahui gurunya dalam bahaya segera berteriak, “Awas, Guru!”Refleks, remaja pria itu bergerak maju menutupi punggung Chang Su dengan tubuhnya. Dengan tangan terentang, ia berdiri tegak menghalangi Yun Hui.Ketua Hoa Mei terkejut bukan kepalang oleh reaksi tak terduga Du Fei yang memilih menjadi tameng hidup gurunya, membentak dengan nada geram sa
"Aku sudah bilang tidak akan mati dengan mudah," pria tua itu tersenyum, suaranya serak, "mari pergi dari sini!"Tanpa membuang waktu, Du Fei segera memapah Chang Su. Mereka berjalan tertatih-tatih, meninggalkan area Bu Tong Pai yang kini berubah kacau. Suara-suara teriakan dan derap langkah kaki terdengar di belakang mereka, sepertinya Biarawati Yun Hui tak mau melepaskan mereka begitu saja."Tangkap mereka!" Suara teriakan Ketua Hoa Mei itu terdengar sampai jauh ke bawah bukit. Pedangnya teracung tinggi, siap menggerakkan para pengikutnya. Namun, ketika ia berusaha bangkit untuk memimpin pengejaran, tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi. Kaki kiri terasa mati, menolak untuk bergerak sesuai keinginannya. Akibatnya, ia terhuyung ke depan dan jatuh kembali ke tanah.Mengetahui rekan mereka tak berdaya, sekitar delapan ketua sekte aliran putih yang tersisa mengambil inisiatif. Berlari melesat keluar gerbang Bu Tong Pai, mata mereka berfokus pada sosok Chang Su dan Du Fei yang semakin
"Berhenti!"Semua kepala menoleh ke arah asal suara. Di belakang mereka, berdiri seorang pria berpakaian compang-camping, akan tetapi memancarkan aura wibawa yang luar biasa. Da Ye, ketua Sekte Pengemis Kai Pang, telah tiba bersama sepuluh muridnya.Wajah Du Fei yang pucat karena mencemaskan Guru Chang, seketika berseri saat melihat sosok yang pernah menyelamatkan dirinya dari Lin Mo di kota Shiyan beberapa hari lalu."Delapan lawan satu? Sungguh tidak terhormat!" cela Da Ye, suaranya penuh kecaman.Delapan ketua sekte aliran putih terdiam, saling pandang dengan ragu. Meski Sekte Pengemis Kai Pang sering dipandang rendah oleh sekte-sekte besar, namun reputasi Da Ye sebagai pangeran bungsu negeri Qi yang meninggalkan segala kemewahan dan memilih jalan pengembaraan, membuat mereka segan untuk bertindak gegabah.Meski sedikit gentar, Ketua Khongtong tetap berusaha menjaga wibawa. Ia berkata dengan nada ketus, "Itu urusan kami!" Da Ye mendengus, matanya menatap tajam delapan pria angkuh
Rubah Merah menyemburkan api dari moncongnya, menciptakan badai api yang menghanguskan udara. Tetapi Du Fei merasakan tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Tangannya terangkat, energi keemasan mengalir dari telapak tangannya, membentuk perisai yang menahan semburan api."Bibi, di belakangmu!" Du Fei berseru ketika melihat Lushe Yao, si Siluman Ular menyerang dengan taring beracunnya.Xin Ru tersenyum, tubuhnya melenting ke belakang dengan anggun. Saat Lushe Yao melesat lewat di atasnya, jemari lentiknya menampar sisik ular itu, "Segel Cahaya!""ARRGGHH!" Lushe Yao menjerit kesakitan ketika sekujur tubuhnya terasa seperti panas terbakar, sisik-sisiknya mulai memerah dan retak, "Apa yang kau lakukan padaku?""Mengembalikanmu ke wujud asli," Xin Ru mendarat dengan ringan ke atas tanah, "Seekor ular hijau kecil yang terlalu serakah."Xie Gua mengambil kesempatan menyerang Du Fei yang asyik menonton pertarungan bibinya dari arah belakang. Siluman itu tak tahu kalau mata pemuda itu yang kin
Suara yang tadinya tenang dan anggun itu mendadak bergetar. Du Fei menoleh dan tertegun melihat mata jernih itu kini berkaca-kaca, seperti menyimpan kerinduan yang lama terpendam.Sebelum Du Fei sempat bereaksi, Nona Xin telah bergerak secepat kilat ke arahnya. Jemari lentiknya yang halus meraih tangan Du Fei, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan."Eeh, Nona Xin …," Du Fei menjadi salah tingkah, wajahnya memanas saat wanita cantik itu mengusap pipinya dengan lembut. Tatapan mesra yang diberikan Nona Xin membuatnya membeku di tempat, tak mampu bergerak ataupun berpikir jernih."Apakah Nona Xin jatuh cinta kepadaku pada pandangan pertama?" batinnya dengan jantung berdebar kencang. "Nona ... bu-bukan aku tak su-suka, tapi ini terlalu ... cepat!" Du Fei tergagap, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.Seulas senyum lembut tersungging di bibir Nona Xin. "Kau sudah besar sekarang, Keponakanku sayang!""Ke-keponakan?" Du Fei mengerjap beber
Empat siluman itu melompat bersamaan ke arah Du Fei. Pemuda itu memejamkan mata, mengerahkan seluruh energi di kedua tangannya, siap bertarung sampai mati. Jika ini saat terakhirnya, setidaknya ia akan mati dengan gagah.Namun raungan yang ditunggunya tak kunjung mendekat. Suasana mendadak sunyi senyap, bahkan suara angin pun seolah ikut tenggelam. Du Fei membuka mata perlahan, penasaran dengan apa yang terjadi.Di hadapannya, keempat siluman berdiri membeku dengan wajah pucat pasi. Lushe Yao yang tadi begitu congkak kini gemetar, sisik-sisiknya bergetar menciptakan bunyi gemerisik aneh. Sha Zhang yang biasanya garang kini mundur perlahan dengan lutut bergetar. Bahkan Xie Gua yang bisa menumbuhkan kepala baru pun kini menelan ludah berkali-kali."Ha!" Du Fei tertawa puas, dadanya membusung penuh percaya diri. "Rupanya kalian ini hanyalah siluman-siluman jelek pembual! Lihat, menghadapiku saja sudah gemetar seperti itu!"Ia mengacungkan ranting di tangannya dengan gaya heroik. "Bagaima
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel