Dalam kegelapan kamar tamu, Ming Mei bersembunyi di balik selimut dengan nafas tertahan. Ia melihat bayangan Menteri Ru Chen di luar pintu kamar, jari keriput pria tua itu menyentuh daun pintu dan mengetuknya pelan. Ming Mei berpura-pura sudah tertidur, akhirnya langkah berat menjauh terdengar memudar di lorong.Ming Mei menghembuskan nafas lega. Cahaya bulan yang mencuri masuk melalui celah jendela menerangi wajahnya yang basah oleh keringat dingin. Dengan gerakan cepat, jari-jemarinya melepas satu per satu pengait jubah sutra ungu yang dikenakannya."Hampir saja," bisiknya pada diri sendiri.Jubah itu melorot ke lantai, menampakkan pakaian sederhana berwarna abu-abu di baliknya. Ming Mei melipat jubah ungunya dengan hati-hati, lalu menyelipkannya ke dalam buntalan kain. Matanya yang tajam mengawasi sekitar sebelum mengendap-endap keluar kamar.Lantai kayu berderit pelan saat kakinya melangkah. Ming Mei berhenti sejenak, menahan nafas, memastikan suara itu tidak membangunkan penghun
Musim berganti. Daun-daun maple merah berguguran digantikan salju lembut yang mulai melapisi atap-atap rumah. Ming Mei menjadi bayangan setia Menteri Ru Chen, tak pernah jauh dari sisinya. Jemarinya yang lentik menyiapkan teh dengan racikan khusus setiap pagi, tangannya dengan telaten menggosok punggung Ru Chen yang kerap nyeri di malam hari, bibirnya selalu tersenyum menenangkan kala Menteri tua itu lelah setelah seharian mengurus urusan negara.Para pelayan mulai berbisik di belakang tiang-tiang berukir."Mencurigakan sekali," bisik seorang pelayan wanita sambil melipat pakaian. "Gadis secantik itu mau merawat orang tua seperti tuan kita?""Kudengar di pasar, beberapa orang mulai membicarakan kedekatan mereka," sahut yang lain. "Bahkan Nyonya Chi, istri pedagang sutra, terang-terangan bertanya padaku apakah Tuan telah menjadikan nona itu selirnya."Bisikan-bisikan itu akhirnya sampai ke telinga Menteri Ru Chen. Sore itu, ketika cahaya matahari memerah di ufuk barat, ia memanggil Mi
Gerbang kota raja menjulang tinggi, ukiran naga dan phoenix pada pilar-pilar batu merah menyambut rombongan Du Fei yang baru tiba. Kereta-kereta kayu berderak melewati jalanan berbatu, pedagang berteriak menawarkan dagangan, dan aroma rempah bercampur dengan asap dupa dari kuil-kuil kecil di sepanjang jalan.Du Fei turun dari kudanya, jubah biru tuanya sedikit berdebu setelah perjalanan panjang. Di sampingnya, Yun Hao merapikan ikat kepalanya yang longgar."Kaisar sedang melakukan kunjungan ke Provinsi Timur," ujar seorang pengawal istana dengan pakaian merah terang. "Yang Mulia baru akan kembali tiga hari lagi."Du Fei mengangguk mengerti, lalu berpaling pada Yun Hao. "Aku harus mencari penginapan dan melakukan pendaftaran ujian keprajuritan," ujar Du Fei, menepuk pundak Yun Hao. "Kita akan bertemu lagi malam nanti di kedai Bunga Peony."Yun Hao mengangguk. "Berhati-hatilah, Kak. Pedang itu—""Aku tahu," potong Du Fei dengan senyum tipis. "Mata-mata Wu pasti masih mengintai. Jangan
Wajah Ya Ci seketika pucat pasi. Buket bunga itu terlepas dari genggamannya, jatuh menghantam tanah. Tanpa disadarinya, ia berlari meninggalkan gerbang istana, jubahnya berkibar di belakang.Lorong di belakang kuil dewi bulan sepi dan gelap meski hari masih siang. Patung-patung dewa dengan ekspresi murka seolah mengawasi setiap langkahnya. Ya Ci melangkah hati-hati, tangannya secara naluriah menyentuh belati kecil yang selalu tersembunyi di balik ikat pinggangnya.Di ujung lorong, sosok bertudung yang sama berdiri memunggunginya. Begitu mendengar langkah Ya Ci, sosok itu berbalik dan membuka tudungnya."Paman," suara Ya Ci bergetar, antara terkejut dan takut.Panglima Lin—pria setengah baya dengan bekas luka melintang di pipi kirinya—menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Garis-garis tegas di wajahnya menunjukkan usianya yang tak lagi muda, namun tubuhnya masih tegap seperti prajurit dalam masa kejayaannya."Ya Ci," suaranya dalam dan berat. "Kau mengecewakan bangsa Wu."Ya C
Keesokan harinya, alun-alun istana dipenuhi oleh masyarakat yang ingin menyaksikan pelantikan pasukan khusus kerajaan. Du Fei berdiri tegap di barisan depan, mengenakan baju zirah resmi berwarna hitam dengan aksen emas, lambang negeri Qi terukir di dadanya.Dari luar gerbang, Ya Ci memandang dengan bangga prosesi pelantikan kekasihnya.Suara gong menggema, mengumumkan kedatangan Raja Yu Ping. Semua orang membungkuk hormat ketika sang raja melangkah masuk ke alun-alun dengan pengawal kerajaan di sekelilingnya.Du Fei mengangkat wajahnya sedikit, penasaran untuk melihat sosok raja yang begitu dihormati rakyatnya. Darahnya berdesir. Wajah Raja Yu Ping—tulang pipinya yang tinggi, dagunya yang tegas, dan tatapan matanya yang tajam—begitu mirip dengan paman dalam mimpinya semasa kecil. Raja Yu Ping berhenti tepat di hadapan para calon prajurit khusus. Matanya menyapu barisan, sebelum berhenti pada Du Fei. Untuk sesaat, ada kilatan aneh di mata raja, seolah ia juga mengenali sesuatu."Para
Hari-hari pertama Du Fei sebagai anggota pasukan khusus dilaluinya dengan semangat membara. Meskipun kemampuannya jauh melampaui yang lain, Du Fei selalu berusaha tidak menonjolkan diri. Ia akan sengaja melakukan beberapa gerakan kurang sempurna atau memperlambat kecepatan serangannya agar terlihat setara dengan yang lain."Mengapa kau menahan diri?" tanya salah seorang rekannya suatu hari. "Semua orang tahu kau yang terbaik di antara kami."Du Fei hanya tersenyum tipis, "Kita adalah satu pasukan. Tidak ada gunanya menonjol sendiri."Sebenarnya, ada alasan lebih dalam mengapa Du Fei bersikap demikian. Sejak kepergian Ya Ci, ia berusaha tenggelam dalam rutinitas, menumpulkan rasa sakit di hatinya dengan kelelahan fisik. Semakin ia berlatih, semakin sedikit waktu baginya untuk memikirkan gadis dari Negeri Wu itu.Namun takdir rupanya punya rencana lain untuknya.Suatu pagi, ketika Du Fei baru saja menyelesaikan latihan bersama rekan-rekannya, Yun Hao menghampirinya."Kakak,” Yun Hao men
Saat melangkah keluar dari istana, pikiran Du Fei masih memikirkan percakapannya dengan Raja Yu Ping. Ia begitu tenggelam dalam pikirannya hingga hampir tidak menyadari sekelompok orang yang menghadang jalannya di taman istana."Lihat siapa yang baru saja menghadap raja," suara mengejek itu menyadarkan Du Fei dari lamunannya.Du Fei mengangkat wajahnya dan mendapati Lin Mo berdiri di hadapannya dengan sikap angkuh, dikelilingi oleh beberapa pengawal pribadi Putra Mahkota. Senyum meremehkan tersungging di bibir Lin Mo."Lin Mo," ucap Du Fei datar, tidak menunjukkan emosi apapun."Terkejut melihatku di sini?" Lin Mo melangkah maju. "Aku bukan lagi Lin Mo yang dulu. Sekarang aku adalah orang kepercayaan Putra Mahkota Qi Lung. Satu kata dariku, dan kau bisa berakhir di penjara bawah tanah."Du Fei hanya menatapnya tenang, tidak terprovokasi dengan ancaman tersebut."Dengar baik-baik, Du Fei," Lin Mo mendekatkan wajahnya, berbisik dengan nada mengancam. "Jika kau berani mengatakan hal buru
Malam yang dingin menyelimuti kota raja. Kabut tipis melayang rendah di atas jalanan yang lengang, menciptakan pemandangan mistis yang membuat para penduduk lebih memilih untuk berkumpul di rumah masing-masing. Namun, tidak dengan Lin Mo.Dengan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, Lin Mo berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit di bagian kota yang jarang dikunjungi orang-orang istana. Ia menarik tudungnya lebih dalam, memastikan wajahnya tidak terlihat oleh siapapun.Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah besar yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Tidak ada tanda atau simbol yang menunjukkan identitas pemiliknya, namun semua orang di dunia bawah tahu—ini adalah markas kedua sindikat Iblis Bayangan, kelompok pembunuh profesional paling ditakuti di seluruh negeri.Lin Mo menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk gerbang dengan pola khusus—dua ketukan pelan, tiga cepat, kemudian satu ketukan panjang.Tak lama kemudian, sebuah lubang kecil di gerbang terbuka, menampakkan
Malam yang dingin menyelimuti kota raja. Kabut tipis melayang rendah di atas jalanan yang lengang, menciptakan pemandangan mistis yang membuat para penduduk lebih memilih untuk berkumpul di rumah masing-masing. Namun, tidak dengan Lin Mo.Dengan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, Lin Mo berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit di bagian kota yang jarang dikunjungi orang-orang istana. Ia menarik tudungnya lebih dalam, memastikan wajahnya tidak terlihat oleh siapapun.Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah besar yang tersembunyi di balik tembok tinggi. Tidak ada tanda atau simbol yang menunjukkan identitas pemiliknya, namun semua orang di dunia bawah tahu—ini adalah markas kedua sindikat Iblis Bayangan, kelompok pembunuh profesional paling ditakuti di seluruh negeri.Lin Mo menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk gerbang dengan pola khusus—dua ketukan pelan, tiga cepat, kemudian satu ketukan panjang.Tak lama kemudian, sebuah lubang kecil di gerbang terbuka, menampakkan
Saat melangkah keluar dari istana, pikiran Du Fei masih memikirkan percakapannya dengan Raja Yu Ping. Ia begitu tenggelam dalam pikirannya hingga hampir tidak menyadari sekelompok orang yang menghadang jalannya di taman istana."Lihat siapa yang baru saja menghadap raja," suara mengejek itu menyadarkan Du Fei dari lamunannya.Du Fei mengangkat wajahnya dan mendapati Lin Mo berdiri di hadapannya dengan sikap angkuh, dikelilingi oleh beberapa pengawal pribadi Putra Mahkota. Senyum meremehkan tersungging di bibir Lin Mo."Lin Mo," ucap Du Fei datar, tidak menunjukkan emosi apapun."Terkejut melihatku di sini?" Lin Mo melangkah maju. "Aku bukan lagi Lin Mo yang dulu. Sekarang aku adalah orang kepercayaan Putra Mahkota Qi Lung. Satu kata dariku, dan kau bisa berakhir di penjara bawah tanah."Du Fei hanya menatapnya tenang, tidak terprovokasi dengan ancaman tersebut."Dengar baik-baik, Du Fei," Lin Mo mendekatkan wajahnya, berbisik dengan nada mengancam. "Jika kau berani mengatakan hal buru
Hari-hari pertama Du Fei sebagai anggota pasukan khusus dilaluinya dengan semangat membara. Meskipun kemampuannya jauh melampaui yang lain, Du Fei selalu berusaha tidak menonjolkan diri. Ia akan sengaja melakukan beberapa gerakan kurang sempurna atau memperlambat kecepatan serangannya agar terlihat setara dengan yang lain."Mengapa kau menahan diri?" tanya salah seorang rekannya suatu hari. "Semua orang tahu kau yang terbaik di antara kami."Du Fei hanya tersenyum tipis, "Kita adalah satu pasukan. Tidak ada gunanya menonjol sendiri."Sebenarnya, ada alasan lebih dalam mengapa Du Fei bersikap demikian. Sejak kepergian Ya Ci, ia berusaha tenggelam dalam rutinitas, menumpulkan rasa sakit di hatinya dengan kelelahan fisik. Semakin ia berlatih, semakin sedikit waktu baginya untuk memikirkan gadis dari Negeri Wu itu.Namun takdir rupanya punya rencana lain untuknya.Suatu pagi, ketika Du Fei baru saja menyelesaikan latihan bersama rekan-rekannya, Yun Hao menghampirinya."Kakak,” Yun Hao men
Keesokan harinya, alun-alun istana dipenuhi oleh masyarakat yang ingin menyaksikan pelantikan pasukan khusus kerajaan. Du Fei berdiri tegap di barisan depan, mengenakan baju zirah resmi berwarna hitam dengan aksen emas, lambang negeri Qi terukir di dadanya.Dari luar gerbang, Ya Ci memandang dengan bangga prosesi pelantikan kekasihnya.Suara gong menggema, mengumumkan kedatangan Raja Yu Ping. Semua orang membungkuk hormat ketika sang raja melangkah masuk ke alun-alun dengan pengawal kerajaan di sekelilingnya.Du Fei mengangkat wajahnya sedikit, penasaran untuk melihat sosok raja yang begitu dihormati rakyatnya. Darahnya berdesir. Wajah Raja Yu Ping—tulang pipinya yang tinggi, dagunya yang tegas, dan tatapan matanya yang tajam—begitu mirip dengan paman dalam mimpinya semasa kecil. Raja Yu Ping berhenti tepat di hadapan para calon prajurit khusus. Matanya menyapu barisan, sebelum berhenti pada Du Fei. Untuk sesaat, ada kilatan aneh di mata raja, seolah ia juga mengenali sesuatu."Para
Wajah Ya Ci seketika pucat pasi. Buket bunga itu terlepas dari genggamannya, jatuh menghantam tanah. Tanpa disadarinya, ia berlari meninggalkan gerbang istana, jubahnya berkibar di belakang.Lorong di belakang kuil dewi bulan sepi dan gelap meski hari masih siang. Patung-patung dewa dengan ekspresi murka seolah mengawasi setiap langkahnya. Ya Ci melangkah hati-hati, tangannya secara naluriah menyentuh belati kecil yang selalu tersembunyi di balik ikat pinggangnya.Di ujung lorong, sosok bertudung yang sama berdiri memunggunginya. Begitu mendengar langkah Ya Ci, sosok itu berbalik dan membuka tudungnya."Paman," suara Ya Ci bergetar, antara terkejut dan takut.Panglima Lin—pria setengah baya dengan bekas luka melintang di pipi kirinya—menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Garis-garis tegas di wajahnya menunjukkan usianya yang tak lagi muda, namun tubuhnya masih tegap seperti prajurit dalam masa kejayaannya."Ya Ci," suaranya dalam dan berat. "Kau mengecewakan bangsa Wu."Ya C
Gerbang kota raja menjulang tinggi, ukiran naga dan phoenix pada pilar-pilar batu merah menyambut rombongan Du Fei yang baru tiba. Kereta-kereta kayu berderak melewati jalanan berbatu, pedagang berteriak menawarkan dagangan, dan aroma rempah bercampur dengan asap dupa dari kuil-kuil kecil di sepanjang jalan.Du Fei turun dari kudanya, jubah biru tuanya sedikit berdebu setelah perjalanan panjang. Di sampingnya, Yun Hao merapikan ikat kepalanya yang longgar."Kaisar sedang melakukan kunjungan ke Provinsi Timur," ujar seorang pengawal istana dengan pakaian merah terang. "Yang Mulia baru akan kembali tiga hari lagi."Du Fei mengangguk mengerti, lalu berpaling pada Yun Hao. "Aku harus mencari penginapan dan melakukan pendaftaran ujian keprajuritan," ujar Du Fei, menepuk pundak Yun Hao. "Kita akan bertemu lagi malam nanti di kedai Bunga Peony."Yun Hao mengangguk. "Berhati-hatilah, Kak. Pedang itu—""Aku tahu," potong Du Fei dengan senyum tipis. "Mata-mata Wu pasti masih mengintai. Jangan
Musim berganti. Daun-daun maple merah berguguran digantikan salju lembut yang mulai melapisi atap-atap rumah. Ming Mei menjadi bayangan setia Menteri Ru Chen, tak pernah jauh dari sisinya. Jemarinya yang lentik menyiapkan teh dengan racikan khusus setiap pagi, tangannya dengan telaten menggosok punggung Ru Chen yang kerap nyeri di malam hari, bibirnya selalu tersenyum menenangkan kala Menteri tua itu lelah setelah seharian mengurus urusan negara.Para pelayan mulai berbisik di belakang tiang-tiang berukir."Mencurigakan sekali," bisik seorang pelayan wanita sambil melipat pakaian. "Gadis secantik itu mau merawat orang tua seperti tuan kita?""Kudengar di pasar, beberapa orang mulai membicarakan kedekatan mereka," sahut yang lain. "Bahkan Nyonya Chi, istri pedagang sutra, terang-terangan bertanya padaku apakah Tuan telah menjadikan nona itu selirnya."Bisikan-bisikan itu akhirnya sampai ke telinga Menteri Ru Chen. Sore itu, ketika cahaya matahari memerah di ufuk barat, ia memanggil Mi
Dalam kegelapan kamar tamu, Ming Mei bersembunyi di balik selimut dengan nafas tertahan. Ia melihat bayangan Menteri Ru Chen di luar pintu kamar, jari keriput pria tua itu menyentuh daun pintu dan mengetuknya pelan. Ming Mei berpura-pura sudah tertidur, akhirnya langkah berat menjauh terdengar memudar di lorong.Ming Mei menghembuskan nafas lega. Cahaya bulan yang mencuri masuk melalui celah jendela menerangi wajahnya yang basah oleh keringat dingin. Dengan gerakan cepat, jari-jemarinya melepas satu per satu pengait jubah sutra ungu yang dikenakannya."Hampir saja," bisiknya pada diri sendiri.Jubah itu melorot ke lantai, menampakkan pakaian sederhana berwarna abu-abu di baliknya. Ming Mei melipat jubah ungunya dengan hati-hati, lalu menyelipkannya ke dalam buntalan kain. Matanya yang tajam mengawasi sekitar sebelum mengendap-endap keluar kamar.Lantai kayu berderit pelan saat kakinya melangkah. Ming Mei berhenti sejenak, menahan nafas, memastikan suara itu tidak membangunkan penghun
Kediaman Lin Mo yang tadinya penuh kebahagiaan kini diliputi kesuraman. Para tamu telah pergi, meninggalkan bisikan-bisikan yang akan segera menyebar ke seluruh kota raja. Lin Mo, dengan pundak yang telah diobati dan diperban, berjalan menuju kamar pengantinnya."Yu Na …," panggilnya lembut, mendekati sosok yang meringkuk di sudut kamar. Air mata masih mengalir di pipi Yu Na yang memerah akibat tamparan ayahnya."Kumohon dengarkan aku," Lin Mo berlutut di samping Yu Na. "Semua yang dikatakan wanita itu hanyalah kebohongan belaka. Fitnah untuk menghancurkan kebahagiaan kita."Tangannya terulur, mencoba mengusap air mata Yu Na. Namun dengan kasar, istrinya menepis sentuhan itu.Tatapan matanya mengandung luka dan kemarahan yang dalam. Tanpa sepatah kata pun, Yu Na bangkit dan berlari ke kamar sebelah lalu menutup pintunya dengan kasar.Lin Mo bergegas ingin mengejar, namun langkahnya terhenti oleh teguran keras dari belakang."Tuan Chung Ming, berikan istrimu waktu untuk menenangkan di