Asap putih mengepul dari celah-celah bebatuan Gunung Huolong. Aroma belerang yang menyengat menyeruak di udara, bercampur dengan kabut tipis yang menyelimuti lereng-lerengnya. Pohon-pohon pinus yang menjulang tampak seperti sosok-sosok gelap di balik kabut.Rombongan berkuda Jenderal Lo muncul dari balik tikungan, Rambut mereka bergoyang tertiup angin pegunungan yang dingin.Mendadak Jenderal Lo mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya untuk memperlambat laju."Kita sudah memasuki wilayah Huolong. Buka mata kalian lebar-lebar!” perintahnya dengan suara dalam.“Siap, Jenderal!” Sahut seluruh pasukan serempak. Sebenarnya sebagian dari mereka sudah merasakan hawa yang berbeda begitu berada di kaki gunung itu. Tak sedikit dari mereka yang merasakan bulu kuduk meremang, seperti ada hawa siluman yang kuat di sekitarnya.Mereka menyusuri jalan setapak berbatu ketika salah seorang prajurit menunjuk ke arah pohon oak tua di tepi jalan. Di bawahnya, sesosok pria berpakaian biksu te
"Pulang saja kalian!” lanjut sang biksu. "Atau tunggu di sini bersamaku, saksikan sendiri berapa banyak lagi mayat yang akan mengotori kesucian gunung ini."Jenderal Lo menaikkan alisnya, terlihat ia sangat kesal dengan sikap biksu tua yang acuh tak acuh bahkan berkesan tak sopan. Mengajak bicara orang tanpa membuka mata, dan dalam posisi miring seperti sikap Budha tidur.“Sudahlah, Yun Hao … mari kita pergi mencari jalan sendiri!” Jenderal Lo menoleh sekilas ke arah Yun Hao sebelum berbalik kembali pada pasukannya yang menunggu dengan tegang."Terima kasih atas peringatannya, Tuan Biksu," Yun Hao membungkuk hormat pada Biksu tua.Ia mengeluarkan bungkusan dari kantong kainnya, “Mohon terima bakpao ini sebagai tanda terima kasihku."Kakek itu tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Hmm ... aroma bakpao yang wangi. Sudah lama tidak mencium wangi selezat ini."Yun Hao meletakkan bakpao yang dibungkus kertas di depan sang biksu, lalu berbalik menyusul Jenderal Lo yang sudah lebih dulu
"Terima kasih telah menyelamatkan nyawa saya," Yun Hao membungkuk dalam. "Saya Yun Hao, prajurit dari kota Xianfeng.""Chang Kong," pria itu mengangguk. "Orang-orang mengenalku sebagai Pendekar Pedang Halilintar.""Apakah Pendekar Chang juga mencari Pedang Naga Api?" tanya Yun Hao penasaran.Seulas senyum misterius tersungging di bibir Chang Kong. Matanya menatap Yun Hao dengan pandangan yang sulit diartikan. ‘Betapa miripnya pemuda ini dengan ibunya, Putri Qi Yue’ batin Chang Kong. Kalau saja tidak diingatkan oleh sang putri untuk menjaga rahasia, ia pasti sudah memberitahukan dirinya diutus untuk melindungi Yun Hao selama berada di luar istana."Kita harus segera menemukan rombonganmu," Chang Kong mengalihkan pembicaraan. "Hutan ini menyimpan bahaya yang lebih mengerikan dari yang kau kira. Sebaiknya tetap bersama kelompokmu!"Dalam hati ia bersyukur telah mengikuti jejak Yun Hao sejak awal perjalanan. Meski harus tetap menyembunyikan identitas aslinya sesuai pesan Putri Qi Yue, se
Yun Hao terbangun mendadak, entah berapa lama ia tertidur. Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya api unggun tak jauh darinya."Yun Hao, putraku! Di mana kau, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil namanya. Jantung Yun Hao seakan berhenti berdetak. Suara itu, suara yang selalu ia rindukan bahkan saat masih sangat kecil. Yun Hao menoleh ke arah Chang Kong yang bersandar pada dinding pohon. Dengkuran halus terdengar dari pendekar itu, kepalanya terkulai ke samping.Karena tak ingin membangunkan Paman Penolong, Yun Hao berjingkat mendekati mulut gua dan mengintip keluar. Kabut mulai menipis, menampakkan bayangan pepohonan yang rapat. Di kejauhan, ia melihat sosok wanita bergaun sutra merah dengan hiasan rambut giok hijau - busana khas yang selalu dikenakan ibunya di istana."Ibu?" Yun Hao mengucek matanya, tak percaya pada penglihatannya sendiri. Sosok itu melambaikan tangan ke arahnya dengan gerakan anggun, "Ibu merindukanmu, Yun Hao ... kemarilah, Nak!"Tenggo
"Anak tidak tahu diri! Padahal aku sudah berbaik hati memberimu mimpi indah sebelum mati!" desis Hu Mei murka.Siluman itu berputar di udara. Keenam ekornya yang tersisa membentuk lingkaran, menciptakan pusaran energi hitam yang menarik segala sesuatu ke dalamnya seperti lubang hitam raksasa."Yun Hao, berpegangan!" Chang Kong menancapkan pedangnya ke tanah. Yun Hao mengikuti, namun kekuatan hisapan itu terlalu kuat. Beberapa pepohonan di sekitar mereka mulai tercabut dari akarnya dan terseret beberapa meter.Sosok Siluman Rubah Hitam raksasa itu melayang di atas rerumputan, ekor-ekornya yang tersisa bergerak mengancam. Darah hitam masih mengucur dari ekor yang terputus, menciptakan kabut beracun yang membuat pepohonan di sekitarnya mengering.Ketika pusaran energi semakin kuat, Yun Hao tak mampu bertahan. Pegangan tangan pada gagang pedang terlepas dan ia terseret arus. Chang Kong dengan cepat menangkap tangan Yun Hao, berusaha menyelamatkannya dari pusaran energi Siluman Rubah Hita
"Siapa kau, Bocah?" Hu Mei menggeram, “Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!”“Aku si Topeng Hantu, Pemburu Siluman yang akan segera menghabisimu, Siluman Rubah Hitam keji!” Du Fei menodongkan pedang dengan mata berapi-api.“Kau yang akan menyesal telah berurusan denganku, Bocah sombong!” Hu Mei menggerakkan tangannya, membuat simbol-simbol mantra hitam, kembali membentuk pusaran energi hitam raksasa yang menarik segala sesuatu ke dalamnya. Pohon-pohon tercabut, bebatuan remuk menjadi debu.Du Fei menancapkan pedangnya ke tanah, menciptakan pilar cahaya keemasan yang melindungi mereka dari hisapan energi hitam. Keringat mengalir di pelipisnya, merasakan kekuatan Hu Mei yang di luar dugaan."Kau memang kuat," Hu Mei menyeringai. "Tapi berapa lama bisa bertahan? Sementara racunku perlahan membunuh temanmu?""Tidak perlu lama," Du Fei mencabut pedangnya. Cahaya emas semakin terang memancar. "Karena kau akan mati saat ini juga!"Dua kekuatan besar beradu di udara. Energi hitam Hu Mei berte
Menjelang tengah malam, angin dingin pegunungan berhembus masuk ke dalam gua. Du Fei menambahkan beberapa potong kayu ke dalam api unggun agar mereka tetap hangat. Yun Hao masih setia duduk bersila di samping Chang Kong. Tangannya yang lelah terus mengompres dahi sang pendekar dengan kain basah. Sesekali ia mengecek denyut nadi di pergelangan tangan Chang Kong, memastikan detak jantungnya tetap stabil."Du Fei," suaranya parau saat menoleh ke arah rekannya, "kau belum menjawab pertanyaanku ... apakah Paman Chang bisa selamat?"Du Fei memindahkan pandangannya dari api unggun, menatap wajah Yun Hao yang diliputi kecemasan. "Saat ini adalah masa kritis temanmu. Jika tubuhnya cukup kuat melawan sisa racun Hu Mei, dia akan pulih sepenuhnya saat fajar.""Aku tak mengerti," Yun Hao menggeleng sedih, "dia rela bertaruh nyawa demi menyelamatkanku. Padahal kami baru bertemu di kaki gunung ini, tetapi pengorbanannya seperti kami memiliki suatu ikatan yang tak terlihat."Kata-katanya terputus. D
Yun Hao melangkah keluar dari gua pohon, matanya menyipit saat menyesuaikan dengan cahaya pagi. Ia melihat Du Fei berdiri beberapa langkah dari sana, mengawasi sekeliling dengan waspada."Du Fei?" Yun Hao mendekat. "Sedang apa kau di sini?""Ada yang tidak beres," Du Fei berbisik tanpa menoleh, matanya awas mengamati sekitar. "Kau merasakannya? Udara di sini terlalu dingin untuk pagi hari.""Apa maksudmu?""Siluman lain," Du Fei menggenggam erat gagang pedang. "Jauh lebih kuat dari Hu Mei. Baunya tercium meski dari kejauhan."Angin dingin berhembus, membuat dedaunan berdesir tidak wajar. Yun Hao merasakan bulu kuduknya meremang."Kita harus segera pergi dari sini," Du Fei berbalik menghadap Yun Hao. "Tidak mungkin kita meninggalkan Paman Chang," Yun Hao menggeleng tegas. "Dia masih terlalu lemah untuk berjalan jauh apalagi mendaki gunung.""Tapi bahaya akan semakin dekat, sementara aku harus mencari Pedang Naga Api.""Kalau begitu pergilah duluan!” Yun Hao menatap Du Fei. "Lanjutkan
Du Fei dan Yun Hao saling bertukar pandang, merasa ada sesuatu yang tidak beres."Sebentar lagi, Negeri Qi akan berlutut di bawah kakiku!" Feng Wei tertawa terbahak-bahak. "Raja Wu akan memberiku tahta, dan aku akan menjadi penguasa terbesar sepanjang—AAARRRGHHH!"Tiba-tiba pedang itu berubah. Api di dalam kristal meledak keluar, berkobar dahsyat menyelimuti seluruh bilah hingga ke gagang. Tangan Feng Wei yang mencengkeramnya langsung melepuh, kulitnya menghitam dan meleleh seperti lilin."SAKIT! SAKIIIT!" jeritnya, refleks melemparkan pedang itu jauh-jauh.Alih-alih jatuh ke tanah, pedang itu bagai memiliki kehendak sendiri. Melayang di udara, berputar cepat menciptakan lingkaran api, sebelum melesat kembali ke arah Du Fei."KALIAN PENIPU!" Feng Wei menggeram murka, tangannya yang terluka gemetar hebat. Dengan gerakan putus asa, ia meraih kantong serbuk peledak dan melemparkannya ke arah Yun Hao. "MATILAH KALIAN!"Du Fei menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya melayang tinggi menyambut P
Du Fei menunduk, memandang tanah yang masih basah oleh darah A Lung. Potongan-potongan tubuh prajurit malang itu masih berserakan, sebagai pengingat keji atas kekejaman orang-orang bangsa Wu. Hutan di sekitarnya hening, seakan menahan nafas menunggu keputusannya."Baiklah," akhirnya Du Fei mengangkat wajah, tatapannya tenang berkesan misterius. "Kita akan melakukan pertukaran. Tapi aku harus memastikan Yun Hao selamat dan tidak terluka sedikitpun."“Dalam posisimu yang lemah, kau tidak memiliki hak untuk memberikan persyaratan padaku, Bodoh!” bentak Panglima Lin disusul tawa Feng Wei, “Cepat berikan Pedang Naga Api atau kau akan melihatnya menjadi serpihan!”Du Fei berusaha menguasai emosi yang nyaris meledak, “Bila kalian mengusik sehelai rambut adikku, aku akan memastikan kalian tak bisa keluar dari hutan ini dengan selamat!” Feng Wei menyeringai, kantong serbuk peledak keemasan masih tergenggam erat di tangannya. Jari-jarinya yang berkuku panjang mengelus permukaan kantong itu, se
Kabut kelabu tiba-tiba muncul dari segala arah, menyelimuti rombongan Du Fei dan Jenderal Lo yang sedang menuruni gunung. Kabut itu tidak wajar—terlalu pekat dan bergerak melawan angin, seperti memiliki kehendak sendiri."Kabut sihir!" Du Fei berseru, berusaha menghalau kabut dengan mengibaskan tangannya, "hati-hati! Tetap bersama!"Akan tetapi kabut sihir tersebut bergerak dengan sangat cepat dan memisahkan mereka. Du Fei merasakan tangan Yun Hao yang menggenggam jubahnya terlepas. "Yun Hao!" teriaknya, tapi suaranya teredam oleh kabut yang seakan menelan segala bunyi."Tetap tenang," bisik Dilong dari dalam pedang. "Kabut ini tidak berbahaya secara langsung. Hanya bermaksud mengacaukan."Du Fei mengangguk, mengatur nafasnya. Dengan pedang naga api sebagai pemandu, ia mulai menyusuri jalan. Kabut sihir ini pasti buatan seseorang—ia mulai menduga penyihir dari Negeri Wu pelakunya.Setelah beberapa saat berjalan mencari kelompoknya kembali, kaki Du Fei tersandung sesuatu. Ia menunduk,
PLAKK!Tamparan keras Jenderal Lo mendarat di pipi A Lung. Suaranya menggema di keheningan hutan, meninggalkan bekas telapak tangan kemerahan di wajah prajurit muda itu."Lancang!" geram Jenderal Lo, matanya menyala-nyala. "Kau telah melanggar sumpah kesetiaan pada kerajaan!"A Lung memegangi pipinya yang panas, matanya berkaca-kaca menahan marah dan malu. Tanpa kata-kata lagi, ia berbalik dan berlari masuk ke dalam hutan lebat, menghilang di balik rimbunnya dedaunan."Biarkan dia pergi!" Chang Kong menghela nafas. "Kalau dia tidak menghormati anggota kerajaan, maka dia tak layak menjadi pasukan khusus istana."Du Fei menatap ke arah menghilangnya A Lung dengan pandangan prihatin. "Kebencian seperti itu tidak lahir begitu saja. Ada yang tidak kita ketahui tentang hubungannya dengan masa lalu ayah kita."Yun Hao mengamati Plakat Naga Emas di tangannya sebelum menyimpannya kembali dengan hati-hati, "Sebaiknya kita segera kembali ke kotaraja. Yang Mulia Yu Ping pasti sudah menunggu kabar
"Terima kasih, adikku," Xie She Tai Tai berbisik, tangannya mencengkeram jantung Zhi Zhu yang masih berdenyut. "Pengorbananmu tidak akan sia-sia."Tubuh Zhi Zhu bergetar hebat, matanya satu per satu meredup seperti lilin yang dipadamkan. Mulutnya terbuka, menjerit tanpa suara saat Xie She Tai Tai menarik keluar jantungnya dalam satu sentakan kuat.Darah menyembur ke segala arah, membasahi dinding gua dengan warna merah pekat. Tubuh Zhi Zhu melunglai, kaki-kakinya mengerut seperti daun kering.Xie She Tai Tai tidak memakan jantung itu. Sebaliknya, ia mulai merapal mantra dalam bahasa siluman. Jari-jarinya menari di udara, menciptakan simbol-simbol kuno yang bersinar ungu."Jiwa bersatu dengan jiwa, daging bersatu dengan daging," ia menggumamkan mantra. "Berikan kekuatanmu padaku!"Dengan kedua tangannya, ia memegang jantung Zhi Zhu yang masih berdenyut lemah dan perlahan mendekatkannya ke luka menganga di dadanya sendiri. Jantung itu seolah tertarik oleh kekuatan magis, melayang di uda
"Kau benar," Yun Hao bangkit berdiri, tubuhnya sudah jauh lebih kuat. "Ayo kita pergi. Kuharap mereka masih baik-baik saja."Bersama, dua bersaudara itu melangkah keluar dari istana Kristal Hitam."Apakah kita akan melepaskan kedua siluman itu begitu saja, Kak?" Yun Hao menoleh ke arah istana kristal hitam yang kini tampak suram di bawah cahaya fajar."Untuk saat ini ya," Du Fei mengangguk, pedang naganya berpendar lembut di tangannya. "Siluman Ular Kalajengking terluka parah. Butuh seratus tahun bertapa untuk memulihkan kekuatan yang hilang. Sedangkan Siluman Laba-laba tak bisa berbuat banyak tanpa saudarinya. Gunung ini aman untuk sementara waktu."Yun Hao mengangguk, lalu melempar pandang ke atas dengan ragu. Tebing curam di hadapan mereka tampak mustahil untuk didaki."Bagaimana kita naik ke atas?" Yun Hao mengamati dinding jurang yang nyaris vertikal.Du Fei tersenyum, "Jangan cemas, aku tak akan meninggalkanmu, Adik Yun."Ia meraih pergelangan tangan Yun Hao. Dengan satu lompata
Du Fei melepaskan Pedang Naga Api, membiarkannya melayang di atas tubuh Yun Hao. Dengan gerakan cepat, ia menggores telapak tangannya. Darah mengalir dari luka, menetes ke bilah pedang yang menyala."Api Suci, murnikanlah darah ini," Du Fei memejamkan mata, memusatkan energinya.Api keemasan menyelimuti darah yang menetes, mengubahnya menjadi cairan berkilau seperti emas cair. Dengan lembut Du Fei membuka bibir Yun Hao. "Kembali padaku, Adik!" bisiknya, meneteskan cairan dari ujung Pedang Naga Api itu ke mulut Yun Hao.Sedetik dua detik tak ada reaksi apapun, namun di detik ketiga tiba-tiba tubuh Yun Hao menegang seperti busur yang ditarik. Punggungnya melengkung ke atas, matanya terbuka lebar. Dari mulut, hidung, dan telinganya keluar asap hitam dengan suara mendesis— pertanda sihir pemikat sedang dikeluarkan secara paksa."ARGH!" jeritan pertama Yun Hao bergema di seluruh ruangan. Tubuhnya bergetar hebat, warna iris matanya berubah-ubah—dari merah darah perlahan kembali ke warna as
Pusaran energi itu melesat ke arah Du Fei. Namun pemuda itu tetap tenang, pedangnya teracung ke depan."Api Pemurnian!"Bilah Pedang Naga Api berubah menjadi cahaya putih menyilaukan. Du Fei menusukkan pedang ke dalam pusaran energi hitam. Kedua kekuatan beradu, menciptakan gelombang energi yang mengguncang seluruh istana.BLARR!Cahaya putih berhasil membelah pusaran hitam dan menghantam telak tubuh Xie She Tai Tai. Siluman itu menjerit kesakitan, tubuhnya terpental hingga menabrak dinding kristal. Darah hitam mengucur dari luka menganga di dadanya."KAKAK!" Zhi Zhu menjerit ngeri. Ia menatap Du Fei dengan campuran ketakutan dan kebencian. Lalu pandangannya beralih pada Yun Hao yang masih berdiri kaku di altar."Suamiku!" perintah Siluman Laba-laba betina sambil menunjuk ke arah Du Fei. "Bunuh dia! Bunuh penyerang ini!"Wajah Yun Hao dingin tanpa ekspresi. Perlahan ia mengambil pedang yang berada di atas meja altar, lalu berbalik menghadap Du Fei."Yun Hao, sadarlah!" Du Fei menurunk
"Kendalikan apinya, Du Fei!" suara Dilong menggema. "Api bukan hanya elemen penghancur, tapi juga pemberi kehidupan. Rasakan iramanya, dengarkan bisikannya."Du Fei memejamkan mata, perlahan ia merasakan denyut kehidupan dalam api - seperti detak jantung makhluk hidup. Tubuhnya mulai bergerak mengikuti irama itu, tangannya terangkat dalam gerakan melingkar yang anggun."Ya ... seperti itu," Dilong terbang mengelilinginya. "Api adalah perpanjangan jiwamu, bukan musuhmu."Jari-jari Du Fei bergerak lembut, seperti menari. Api putih merespon, berubah dari kobaran liar menjadi pusaran elegan yang mengikuti gerakan tangannya. Panas yang tadinya menyiksa kini terasa seperti aliran kehangatan yang menyenangkan."Luar biasa," bisik Dilong takjub.Du Fei membuka mata. Pandangannya berubah - ia bisa melihat setiap percikan, setiap lidah api sebagai entitas tersendiri. Dengan satu gerakan tegas, ia mengarahkan sebagian api membentuk lingkaran di sekeliling tubuhnya. Dengan gerakan lain, ia memeri