Di dalam Padang Ilusi Seribu Wajah, udara terasa mencekik. Cermin-cermin raksasa berputar mengelilingi Du Fei, memantulkan bayangan-bayangan mengerikan - sosok-sosok gelap dengan tangan cakar, wajah-wajah rusak yang menjerit, dan pemandangan mimpi buruk yang mampu menghancurkan kewarasan."Bagaimana rasanya, Pembunuh Hu Mei?" suara tawa melengking Xie She Tai Tai menggema dari segala arah. "Setiap cermin menampilkan ketakutan terdalam manusia. Semakin kau melawan, semakin dalam kau tenggelam dalam kegilaan!"Du Fei berputar menghindari serangan bayangan-bayangan mengerikan dari cermin. Pedangnya bergulung-gulung membentuk kilatan cahaya setiap kali bergerak."Kau tak akan bisa keluar dari sini!" suara Xie She Tai Tai menggema. "Nikmati kematianmu sementara aku mengurus dua temanmu!""Jangan sentuh mereka atau kau akan menyesal!" Du Fei berusaha mengejar, namun sosok siluman itu lenyap bagai asap. Cermin-cermin di sekelilingnya mulai berputar lebih cepat, membuat kepalanya berdenyut-de
Yun Hao melangkah hati-hati melewati tirai segel pelindung. Kertas-kertas mantra berpendar semakin terang, seolah memperingatkan bahaya yang menanti. Ia menggenggam erat pedang, mengambil kuda-kuda bersiap menghadapi puluhan ular berbisa yang mendesis dengan kepala terangkat tinggi."Bertahanlah, Jenderal!" seru Yun Hao seraya melesat ke depan. Dua ekor ular hitam sebesar lengan menyerang bersamaan, mulut mereka menganga menunjukkan taring-taring yang siap merobek kulit dan daging mangsanya.CRASH! CRASH!Pedang Yun Hao bergerak secepat kilat, membelah kedua ular tersebut menjadi beberapa potongan. Darah hitam menyembur dari potongan-potongan tubuh ular yang jatuh ke tanah. Di luar dugaan dari semburan darah, muncul ular-ular lain yang lebih besar. Sisik mereka berwarna kehijauan dengan mata kuning menyorot liar."Ini tidak mungkin!" Yun Hao terkesiap, berguling ke samping saat tiga ekor ular meluncur ke arah kakinya. Ia bangkit berdiri dengan cepat lalu melompat dan bertumpu pada se
"Siluman itu terbang ke arah sana!" A Lung menunjuk ke arah sisi gunung dengan tangan gemetar. "Dia membawa Yun Hao yang tak sadarkan diri … pemuda itu terluka parah."Rahang Du Fei menegang, matanya yang tajam menatap ke arah puncak gunung yang diselimuti awan gelap. Xie She Tai Tai telah menggunakan Yun Hao sebagai umpan untuk memancingnya."Aku harus mengejarnya," Du Fei bangkit berdiri namun urung melangkah saat menyadari sesuatu, "Tapi kalian butuh pertolongan segera.""Pergilah …," Jenderal Lo tersenyum lemah. "Selamatkan dia ... kami ... akan bertahan ...."Du Fei kembali berlutut di samping Jenderal Lo yang terbaring tak berdaya di pangkuan A Lung. Darah masih mengucur dari luka di bahu, warna kulitnya semakin pucat karena kehilangan banyak darah."Bertahanlah, Jenderal!" Du Fei mengeluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubahnya. "Lukamu cukup dalam."Dengan cekatan ia menyibak baju bagian atas Jenderal Lo, memeriksa luka tusukan yang menganga. Cairan kehitaman terlihat di
Mengetahui berada di bawah angin, Cheng Hao, ketua sekte Matahari Sakti mengeluarkan trik liciknya."Rasakan ini!" Dengan gerakan secepat kilat Cheng Hao melemparkan kantong hitam ke udara di atas kedua musuhnya. Kantong itu meledak dengan suara mendesis, menyemburkan asap ungu pekat yang berbau tajam menyengat.Gadis bercadar yang mendongak ke atas segera melompat mundur seraya melindungi wajahnya, namun terlambat. Sebagian asap telah masuk ke matanya. “Akh!" ia mengerang tertahan saat merasakan pedih yang luar biasa di kedua bola matanya. Air mata mengalir tanpa mampu dibendung membasahi cadarnya. Racun itu terasa seperti ribuan jarum yang menusuk mata."Ya Ci!" Pria setengah baya di samping gadis itu berseru cemas, hingga tak sadar menelan asap beracun yang mengungkungnya.“Hoekk!” Pria itu berusaha memuntahkan racun asap ungu namun sia-sia. Ia menjauh dari kepungan asap dan berusaha mengatur pernafasan.Namun delapan orang pendekar sekte Matahari Sakti tak membiarkannya memulih
Di bawah sinar matahari yang menembus dedaunan, Du Fei mengamati mata Ya Ci yang semakin memerah. Pembuluh darah di sekitar irisnya mulai menghitam - tanda racun yang mematikan."Racun ungu dari Lembah Iblis," Du Fei menghela nafas. "Dalam waktu satu jam akan merusak setiap saraf penglihatanmu secara permanen."Ya Ci terhenyak. Rona merah di wajahnya yang seputih pualam memudar. Jemarinya yang lentik mencengkeram ujung lengan jubah hitamnya, berusaha tetap tenang meski menahan kengerian yang mencekam."Tapi …," Du Fei mengambil selangkah mendekat. Aroma tipis bunga persik menguar dari tubuh Ya Ci. "Aku dapat menyembuhkan bila Nona berkenan.""Kau bisa menyembuhkanku?" Ya Ci mengangkat wajahnya. Mata yang indah kini berkabut, ia berusaha memfokuskan pandangan pada sosok di hadapannya. "Katakan, berapa yang kau minta? Aku akan membayar berapapun!"“Aku tidak membutuhkan uangmu, Nona!” Senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. Tangannya terulur perlahan, "kau hanya perlu percaya saja.""
"Karena aku sudah menolongmu," Du Fei mengulurkan tangan ke arah Ya Ci yang masih berdiri di air sebatas pinggang. Tetes-tetes air mengalir dari jubah hitamnya yang basah. "Maukah kau memberitahu siapa namamu yang sebenarnya?"Ya Ci menatap tangan yang terulur itu. Jemarinya yang lentik bergerak ragu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Du Fei. Rona merah menyapu pipinya yang seputih pualam. "Ya Ci ... panggil saja aku Ya Ci," gadis berpakaian serba hitam itu menatap Du Fei begitu mereka berdiri berhadapan. "Ya Ci …,” Du Fei mengucapkan nama itu perlahan, seolah menikmati setiap suku katanya. Namun dalam sekejap, tatapannya berubah dingin. Genggaman lembutnya berubah menjadi cengkeraman baja."Akh!" Ya Ci terkesiap, mencoba menarik tangannya kembali namun terlambat. Jantungnya berdegup kencang merasakan kekuatan di balik cengkeraman itu."Ya Ci si Pembunuh Berdarah Dingin," Du Fei mendesis di telinganya. "Yang menghabisi sepuluh nyawa tanpa belas kasihan di hutan sebelah barat.
“Keluar kau, Pengecut!” bentak Du Fei nyaring. Angin mendadak bertiup kencang. Dari atas pepohonan, sesosok pria melayang turun seringan kapas. Jubah merahnya yang mewah berkibar dipermainkan angin. Dengan wajah cukup tampan namun dingin, dan bekas luka tipis melintang di pipi kiri menciptakan kesan pria itu sangat berbahaya. Di pinggangnya terselip belasan kantong kecil yang mengeluarkan aroma aneh - campuran dupa dan sesuatu yang berbau busuk. "Siapa kau?" Du Fei menghunus pedangnya, merasakan energi jahat yang menguar dari pria itu. “Kekuatanmu bukan dari alam ini tapi dari iblis.” “Kau tidak tahu siapa dia,” Panglima Lin tersenyum sinis, “Dia adalah Jenderal Feng Wei, pemilik elemen api.” Pria berjubah merah itu mengangkat tangannya. Api muncul di atas telapak tangannya, bergulung-gulung ke atas. "Lepaskan gadis itu!" suaranya dalam dan mengancam. "Atau kau akan merasakan kekuatan sejati penguasa elemen api." "Seorang pembunuh tetap harus diadili," Du Fei mengeratkan peganga
"Apa-apaan kau ini?!" Suara Panglima Lin menggelegar mengalahkan suara air terjun di belakangnya. Ya Ci hanya bisa menunduk, rambut hitamnya yang basah jatuh menutupi wajah cantiknya yang pucat."Selama sepuluh tahun aku mendidikmu menjadi pembunuh tanpa ampun. Kau bahkan tak berkedip saat mencabut nyawa mereka," Panglima Lin mondar-mandir dengan murka. "Sekarang apa yang terjadi dengan murid kebanggaanku?"Feng Wei bersandar pada sebatang pohon, jubah merahnya berkibar ditiup angin. Bibirnya tersenyum mengejek. "Ah, cinta memang buta. Sungguh menggelikan melihat seorang pembunuh berdarah dingin luluh hanya karena wajah tampan dan sikap ksatria palsu."Provokasi penyihir dari Negeri Wu berhasil menyulut kemarahan Panglima Lin."Jawab aku!" Panglima Lin mencengkeram bahu Ya Ci kuat-kuat. "Kau jatuh hati pada pemuda itu?"Ya Ci mengangkat wajah, matanya yang indah menatap tegas sang paman, "Paman, Ya Ci hanya tidak ingin mengotori tangan dengan membunuh orang yang tidak bersalah."PLAKK
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu