"Apa-apaan kau ini?!" Suara Panglima Lin menggelegar mengalahkan suara air terjun di belakangnya. Ya Ci hanya bisa menunduk, rambut hitamnya yang basah jatuh menutupi wajah cantiknya yang pucat."Selama sepuluh tahun aku mendidikmu menjadi pembunuh tanpa ampun. Kau bahkan tak berkedip saat mencabut nyawa mereka," Panglima Lin mondar-mandir dengan murka. "Sekarang apa yang terjadi dengan murid kebanggaanku?"Feng Wei bersandar pada sebatang pohon, jubah merahnya berkibar ditiup angin. Bibirnya tersenyum mengejek. "Ah, cinta memang buta. Sungguh menggelikan melihat seorang pembunuh berdarah dingin luluh hanya karena wajah tampan dan sikap ksatria palsu."Provokasi penyihir dari Negeri Wu berhasil menyulut kemarahan Panglima Lin."Jawab aku!" Panglima Lin mencengkeram bahu Ya Ci kuat-kuat. "Kau jatuh hati pada pemuda itu?"Ya Ci mengangkat wajah, matanya yang indah menatap tegas sang paman, "Paman, Ya Ci hanya tidak ingin mengotori tangan dengan membunuh orang yang tidak bersalah."PLAKK
Naga batu raksasa mengangkat kepalanya, mata merah berkilat dalam keremangan. Setiap gerakan tubuhnya menciptakan suara berderak mengerikan. Sisik-sisik batunya setajam mata pedang dan ekornya yang berduri mengoyak dinding jurang seperti kertas."GROAAAR!"Du Fei melompat menghindari semburan api dari mulut naga batu. Api itu membakar dinding jurang, menciptakan asap beracun yang berwarna kehitaman."Jadi ini penjaga gerbangmu, Xie She Tai Tai?" seru Du Fei tersenyum sinis sambil berputar di udara. Pedangnya menari dengan gerakan cepat, menangkis serpihan batu yang beterbangan.DRAK! DRAK!Ekor naga menyapu dalam gerakan horizontal. Du Fei menunduk, merasakan angin tajam di atas kepalanya. Ternyata serangan ekor itu hanya pengalihan semata, kepala naga batu tiba-tiba saja menyambar dari samping dengan rahang terbuka."Rembulan Kembar Memburu Mangsa!" Du Fei menancapkan pedangnya ke langit-langit mulut naga batu, menggunakan momentum untuk melontarkan diri ke atas. Naga batu itu mengau
"Bertahanlah!" Du Fei melesat ke arah suara minta Yun Hao yang meminta tolong, berharap ia belum terlambat.Namun begitu tiba di ujung lorong, yang ia temukan hanyalah dinding kristal hitam. Bayangan Yun Hao yang tersiksa terpantul di permukaannya, namun menghilang secepat kemunculannya."Sial!" Du Fei menggertakkan gigi, “lagi-lagi ilusi!"Di ruang singgasana, Zhi Zhu tertawa melihat kebingungan Du Fei melalui pantulan kristal. "Lihat bagaimana dia berlarian seperti tikus dalam labirin!""Arahkan dia ke sayap timur!" Xie She Tai Tai menyeringai. "Sumur Api Suci menunggu di sana."Jeritan-jeritan palsu terus menggema. Du Fei berlari dari satu lorong ke lorong lain, namun setiap kali hampir mencapai sumber suara, lorong itu berubah menjadi jalan buntu."Du Fei …," suara Yun Hao terdengar lemah. "Di sini ... cepat …!"Du Fei berbelok tajam ke kiri. Kali ini ia melihat sosok Yun Hao di ujung lorong, tergantung dalam jaring laba-laba. "Yun Hao!"Ia melesat maju, namun mendadak berhenti s
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
"Bertahanlah!" Du Fei melesat ke arah suara minta Yun Hao yang meminta tolong, berharap ia belum terlambat.Namun begitu tiba di ujung lorong, yang ia temukan hanyalah dinding kristal hitam. Bayangan Yun Hao yang tersiksa terpantul di permukaannya, namun menghilang secepat kemunculannya."Sial!" Du Fei menggertakkan gigi, “lagi-lagi ilusi!"Di ruang singgasana, Zhi Zhu tertawa melihat kebingungan Du Fei melalui pantulan kristal. "Lihat bagaimana dia berlarian seperti tikus dalam labirin!""Arahkan dia ke sayap timur!" Xie She Tai Tai menyeringai. "Sumur Api Suci menunggu di sana."Jeritan-jeritan palsu terus menggema. Du Fei berlari dari satu lorong ke lorong lain, namun setiap kali hampir mencapai sumber suara, lorong itu berubah menjadi jalan buntu."Du Fei …," suara Yun Hao terdengar lemah. "Di sini ... cepat …!"Du Fei berbelok tajam ke kiri. Kali ini ia melihat sosok Yun Hao di ujung lorong, tergantung dalam jaring laba-laba. "Yun Hao!"Ia melesat maju, namun mendadak berhenti s
Naga batu raksasa mengangkat kepalanya, mata merah berkilat dalam keremangan. Setiap gerakan tubuhnya menciptakan suara berderak mengerikan. Sisik-sisik batunya setajam mata pedang dan ekornya yang berduri mengoyak dinding jurang seperti kertas."GROAAAR!"Du Fei melompat menghindari semburan api dari mulut naga batu. Api itu membakar dinding jurang, menciptakan asap beracun yang berwarna kehitaman."Jadi ini penjaga gerbangmu, Xie She Tai Tai?" seru Du Fei tersenyum sinis sambil berputar di udara. Pedangnya menari dengan gerakan cepat, menangkis serpihan batu yang beterbangan.DRAK! DRAK!Ekor naga menyapu dalam gerakan horizontal. Du Fei menunduk, merasakan angin tajam di atas kepalanya. Ternyata serangan ekor itu hanya pengalihan semata, kepala naga batu tiba-tiba saja menyambar dari samping dengan rahang terbuka."Rembulan Kembar Memburu Mangsa!" Du Fei menancapkan pedangnya ke langit-langit mulut naga batu, menggunakan momentum untuk melontarkan diri ke atas. Naga batu itu mengau
"Apa-apaan kau ini?!" Suara Panglima Lin menggelegar mengalahkan suara air terjun di belakangnya. Ya Ci hanya bisa menunduk, rambut hitamnya yang basah jatuh menutupi wajah cantiknya yang pucat."Selama sepuluh tahun aku mendidikmu menjadi pembunuh tanpa ampun. Kau bahkan tak berkedip saat mencabut nyawa mereka," Panglima Lin mondar-mandir dengan murka. "Sekarang apa yang terjadi dengan murid kebanggaanku?"Feng Wei bersandar pada sebatang pohon, jubah merahnya berkibar ditiup angin. Bibirnya tersenyum mengejek. "Ah, cinta memang buta. Sungguh menggelikan melihat seorang pembunuh berdarah dingin luluh hanya karena wajah tampan dan sikap ksatria palsu."Provokasi penyihir dari Negeri Wu berhasil menyulut kemarahan Panglima Lin."Jawab aku!" Panglima Lin mencengkeram bahu Ya Ci kuat-kuat. "Kau jatuh hati pada pemuda itu?"Ya Ci mengangkat wajah, matanya yang indah menatap tegas sang paman, "Paman, Ya Ci hanya tidak ingin mengotori tangan dengan membunuh orang yang tidak bersalah."PLAKK
“Keluar kau, Pengecut!” bentak Du Fei nyaring. Angin mendadak bertiup kencang. Dari atas pepohonan, sesosok pria melayang turun seringan kapas. Jubah merahnya yang mewah berkibar dipermainkan angin. Dengan wajah cukup tampan namun dingin, dan bekas luka tipis melintang di pipi kiri menciptakan kesan pria itu sangat berbahaya. Di pinggangnya terselip belasan kantong kecil yang mengeluarkan aroma aneh - campuran dupa dan sesuatu yang berbau busuk. "Siapa kau?" Du Fei menghunus pedangnya, merasakan energi jahat yang menguar dari pria itu. “Kekuatanmu bukan dari alam ini tapi dari iblis.” “Kau tidak tahu siapa dia,” Panglima Lin tersenyum sinis, “Dia adalah Jenderal Feng Wei, pemilik elemen api.” Pria berjubah merah itu mengangkat tangannya. Api muncul di atas telapak tangannya, bergulung-gulung ke atas. "Lepaskan gadis itu!" suaranya dalam dan mengancam. "Atau kau akan merasakan kekuatan sejati penguasa elemen api." "Seorang pembunuh tetap harus diadili," Du Fei mengeratkan peganga
"Karena aku sudah menolongmu," Du Fei mengulurkan tangan ke arah Ya Ci yang masih berdiri di air sebatas pinggang. Tetes-tetes air mengalir dari jubah hitamnya yang basah. "Maukah kau memberitahu siapa namamu yang sebenarnya?"Ya Ci menatap tangan yang terulur itu. Jemarinya yang lentik bergerak ragu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Du Fei. Rona merah menyapu pipinya yang seputih pualam. "Ya Ci ... panggil saja aku Ya Ci," gadis berpakaian serba hitam itu menatap Du Fei begitu mereka berdiri berhadapan. "Ya Ci …,” Du Fei mengucapkan nama itu perlahan, seolah menikmati setiap suku katanya. Namun dalam sekejap, tatapannya berubah dingin. Genggaman lembutnya berubah menjadi cengkeraman baja."Akh!" Ya Ci terkesiap, mencoba menarik tangannya kembali namun terlambat. Jantungnya berdegup kencang merasakan kekuatan di balik cengkeraman itu."Ya Ci si Pembunuh Berdarah Dingin," Du Fei mendesis di telinganya. "Yang menghabisi sepuluh nyawa tanpa belas kasihan di hutan sebelah barat.
Di bawah sinar matahari yang menembus dedaunan, Du Fei mengamati mata Ya Ci yang semakin memerah. Pembuluh darah di sekitar irisnya mulai menghitam - tanda racun yang mematikan."Racun ungu dari Lembah Iblis," Du Fei menghela nafas. "Dalam waktu satu jam akan merusak setiap saraf penglihatanmu secara permanen."Ya Ci terhenyak. Rona merah di wajahnya yang seputih pualam memudar. Jemarinya yang lentik mencengkeram ujung lengan jubah hitamnya, berusaha tetap tenang meski menahan kengerian yang mencekam."Tapi …," Du Fei mengambil selangkah mendekat. Aroma tipis bunga persik menguar dari tubuh Ya Ci. "Aku dapat menyembuhkan bila Nona berkenan.""Kau bisa menyembuhkanku?" Ya Ci mengangkat wajahnya. Mata yang indah kini berkabut, ia berusaha memfokuskan pandangan pada sosok di hadapannya. "Katakan, berapa yang kau minta? Aku akan membayar berapapun!"“Aku tidak membutuhkan uangmu, Nona!” Senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. Tangannya terulur perlahan, "kau hanya perlu percaya saja.""
Mengetahui berada di bawah angin, Cheng Hao, ketua sekte Matahari Sakti mengeluarkan trik liciknya."Rasakan ini!" Dengan gerakan secepat kilat Cheng Hao melemparkan kantong hitam ke udara di atas kedua musuhnya. Kantong itu meledak dengan suara mendesis, menyemburkan asap ungu pekat yang berbau tajam menyengat.Gadis bercadar yang mendongak ke atas segera melompat mundur seraya melindungi wajahnya, namun terlambat. Sebagian asap telah masuk ke matanya. “Akh!" ia mengerang tertahan saat merasakan pedih yang luar biasa di kedua bola matanya. Air mata mengalir tanpa mampu dibendung membasahi cadarnya. Racun itu terasa seperti ribuan jarum yang menusuk mata."Ya Ci!" Pria setengah baya di samping gadis itu berseru cemas, hingga tak sadar menelan asap beracun yang mengungkungnya.“Hoekk!” Pria itu berusaha memuntahkan racun asap ungu namun sia-sia. Ia menjauh dari kepungan asap dan berusaha mengatur pernafasan.Namun delapan orang pendekar sekte Matahari Sakti tak membiarkannya memulih
"Siluman itu terbang ke arah sana!" A Lung menunjuk ke arah sisi gunung dengan tangan gemetar. "Dia membawa Yun Hao yang tak sadarkan diri … pemuda itu terluka parah."Rahang Du Fei menegang, matanya yang tajam menatap ke arah puncak gunung yang diselimuti awan gelap. Xie She Tai Tai telah menggunakan Yun Hao sebagai umpan untuk memancingnya."Aku harus mengejarnya," Du Fei bangkit berdiri namun urung melangkah saat menyadari sesuatu, "Tapi kalian butuh pertolongan segera.""Pergilah …," Jenderal Lo tersenyum lemah. "Selamatkan dia ... kami ... akan bertahan ...."Du Fei kembali berlutut di samping Jenderal Lo yang terbaring tak berdaya di pangkuan A Lung. Darah masih mengucur dari luka di bahu, warna kulitnya semakin pucat karena kehilangan banyak darah."Bertahanlah, Jenderal!" Du Fei mengeluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubahnya. "Lukamu cukup dalam."Dengan cekatan ia menyibak baju bagian atas Jenderal Lo, memeriksa luka tusukan yang menganga. Cairan kehitaman terlihat di
Yun Hao melangkah hati-hati melewati tirai segel pelindung. Kertas-kertas mantra berpendar semakin terang, seolah memperingatkan bahaya yang menanti. Ia menggenggam erat pedang, mengambil kuda-kuda bersiap menghadapi puluhan ular berbisa yang mendesis dengan kepala terangkat tinggi."Bertahanlah, Jenderal!" seru Yun Hao seraya melesat ke depan. Dua ekor ular hitam sebesar lengan menyerang bersamaan, mulut mereka menganga menunjukkan taring-taring yang siap merobek kulit dan daging mangsanya.CRASH! CRASH!Pedang Yun Hao bergerak secepat kilat, membelah kedua ular tersebut menjadi beberapa potongan. Darah hitam menyembur dari potongan-potongan tubuh ular yang jatuh ke tanah. Di luar dugaan dari semburan darah, muncul ular-ular lain yang lebih besar. Sisik mereka berwarna kehijauan dengan mata kuning menyorot liar."Ini tidak mungkin!" Yun Hao terkesiap, berguling ke samping saat tiga ekor ular meluncur ke arah kakinya. Ia bangkit berdiri dengan cepat lalu melompat dan bertumpu pada se