Musim ujian negara sudah dekat, membuat Kotaraja seperti sarang lebah yang berdengung. Para pelajar dari berbagai penjuru daerah berduyun-duyun memenuhi jalan-jalan. Jubah sutra mereka panjang nyaris menyentuh lantai, masing-masing memanggul keranjang rotan berisi gulungan-gulungan karya sastra. Mata mereka berbinar penuh pengharapan akan kesempatan menjadi pejabat pemerintahan.Rumah Makan Berkah berdiri kokoh di persimpangan jalan utama Kotaraja. Asap mengepul dari cerobong dapurnya, membawa aroma masakan yang membuat perut berkeruyuk. Lantai kayunya yang mengkilap hasil dipoles setiap pagi memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar.Siang itu empat pemuda pelajar berasal dari keluarga terhormat, memasuki rumah makan tersebut. Jubah mereka terbuat dari sutra terbaik, rambut tertata rapi dengan hiasan jade mahal. Pemuda yang berjalan paling depan membawa kipas gading berukir, sementara yang lain menenteng gulungan-gulungan dengan gagang emas."Ah, selamat da
Malam merangkak naik di langit Kotaraja. Lin Mo melangkah keluar dari Rumah Makan Berkah tempatnya bekerja, bahunya merosot kelelahan setelah seharian mondar-mandir naik turun tangga melayani pelanggan.Ia menghitung penghasilannya hari ini, hanya beberapa keping tembaga yang bahkan tak cukup untuk membayar sepersepuluh biaya pendaftaran ujian. Pasar malam mulai menggeliat bangun. Ratusan lampion merah bergoyang ditiup angin malam. Aroma makanan dan wangi dupa dari kuil bercampur dengan tawa dan celoteh para pengunjung, dipadu juga dengan suara alunan alat musik tradisional Erhu dari pertunjukan jalanan.Lin Mo sama sekali tak tertarik melihat keindahan pasar malam, ia melewati keramaian dengan kepala tertunduk"Hei, bukankah ini si Pelayan Pemimpi?" Lin Mo tertegun ketika mendengar suara mengejek seperti ditujukan kepadanya.Pria itu membeku seketika. Di bawah cahaya lampion, empat sosok pemuda berpakaian halus menghadang jalannya. Ia ingat mereka adalah para pelajar yang menghinan
"Minggir dari jalanku!" Yung membentak parau, langkahnya sempoyongan. Aroma arak yang menguar dari nafasnya bercampur dengan udara lembab gang yang pengap. "Kau tidak tahu sedang menghalangi siapa, hah?"Sosok berjubah hitam itu tak bergeming. Angin malam yang dingin memainkan helaian rambut hitam di sisi wajahnya. Suaranya dalam dan mengancam, bagai bisikan dari kedalaman sumur tua."Aku adalah Malaikat Pencabut Nyawa, utusan dari Neraka. Malam ini, aku datang untuk menjemputmu."Yung terkejut sesaat lalu tertawa terbahak-bahak seolah mendengar lelucon paling konyol. Suara tawanya menggema di antara tembok-tembok tinggi gang yang sempit."Ha-ha-ha! Malaikat Pencabut nyawa?" Yung bergerak mendekat dengan langkah tak seimbang, “kau pikir aku anak kecil yang mudah ditakut-takuti, hah?”Matanya yang merah karena mabuk menyipit, mencoba memfokuskan pandangan. "Tunggu ... bukankah kau si pelayan pemimpi dari rumah makan Berkah?"Yung mengacungkan jari telunjuknya tepat ke hidung Lin Mo. Su
Jeritan tertahan dan pekikan ngeri terdengar memenuhi ruangan. Wei membuka matanya perlahan, hanya untuk disambut pemandangan yang akan menghantuinya seumur hidup.Tubuh Yung terbaring kaku dengan mata terbelalak kosong ke arah langit-langit. Pakaian putih sutra yang dikenakannya semalam telah berubah warna merah gelap. Lehernya menganga lebar karena sabetan belati. Darah yang telah mengering membentuk genangan gelap di sekitar tubuhnya, meresap ke dalam kasur.Wei terpaku menatap jasad Yung. Kakinya lemas, ia jatuh berlutut di samping tempat tidur. Matanya tak bisa lepas dari wajah sahabatnya yang membeku dalam ekspresi ketakutan bercampur kesakitan, menunjukkan betapa tersiksanya pemuda itu menjelang detik-detik kematian yang mengerikan.Tubuh Wei gemetar hebat, keringat dingin mengucur deras."Tidak ... tidak mungkin ... ini pasti mimpi …," bergumam berulang-ulang, suaranya serak dan bergetar. "Yung ... kumohon bangunlah ... katakan ini hanya leluconmu!"Tangannya yang berlumuran
Berita kematian Yung menyebar seperti api di padang rumput kering. Putra tunggal Pejabat Yuan itu ditemukan tewas di tempat tidurnya sendiri, lehernya terdapat luka tusukan. Uangnya raib, dan yang lebih mengejutkan - Wei, putra pejabat kota Song adalah tersangka utama pelaku pembunuhan.Hakim pengadilan hampir menjatuhkan hukuman mati pada Wei. Namun berkat nama baik ayahnya yang dikenal sebagai pejabat senior yang jujur, hukumannya diringankan menjadi kerja paksa seumur hidup di Gunung Kapur.Pagi itu, setelah divonis bersalah, Wei digiring bersama sepuluh tahanan lainnya menuju tempat pengasingan mereka. Rantai besi yang mengikat kaki dan tangan mereka bergemerincing dalam irama menyedihkan. Pasukan pengawal berbaris di kiri-kanan rombongan, mempersempit kemungkinan untuk kabur."Lihat, itu tuan muda Wei!" bisik-bisik terdengar dari kerumunan yang memadati pinggir jalan. "Siapa sangka anak pejabat bisa jadi pembunuh?""Kasihan, ayahnya pasti sangat malu," sahut yang lain.Di antara
"Lin Mo!" sapa Chung Ming yang menunggu di luar, wajahnya yang polos berseri-seri menggenggam kartu peserta. "Mari kita belajar bersama! Aku membawa beberapa ringkasan yang kubuat sendiri. Dua kepala lebih baik dari satu, bukan?"Lin Mo tersenyum tipis, matanya berkilat licik untuk sepersekian detik. "Tentu saja, Teman." Dalam hati ia tertawa. Orang polos seperti Chung Ming suatu saat akan berguna baginya."Bagus!" Chung Ming menepuk pundak Lin Mo dengan hangat. "Aku yakin kita akan menjadi teman baik!"'Ya,' batin Lin Mo sinis, 'sampai aku tidak membutuhkanmu lagi.' Kedua pemuda itu segera menjadi akrab, bahkan mendaftar di asrama yang sama."Kamar nomor lima belas," Chung Ming menunjuk sebuah kamar yang terletak di ujung dengan mata berbinar. "Kita sekamar, Lin Mo! Bukankah ini pertanda baik?"Mereka melangkah menyusuri koridor asrama yang berlantai kayu. Aroma masakan dari dapur terdekat merebak di udara, membuat perut Lin Mo dan Chung Ming mulai keroncongan."Hei, tunggu!" Suara
Halaman istana membentang luas bagai lautan manusia. Ratusan meja kayu berjajar rapi di bawah naungan pohon willow, sementara bendera-bendera kerajaan berkibar megah di tiang-tiang tinggi. Para pengawas berbaju resmi bergerak di antara barisan, wajah mereka serius penuh wibawa.Lin Mo melangkah dengan dagu terangkat, jubah sutra yang dikenakan menambah kegagahannya. Di belakangnya, Chung Ming berjalan sambil terus bergumam, "... ajaran Mencius tentang kebajikan ada empat : ren, yi, li, zhi ....""Apakah kau tidak gugup, Saudara Lin?" Chung Ming menggosok telapak tangannya yang basah pada tepi bajunya yang sederhana. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar penuh semangat."Tentu saja tidak!" Lin Mo mendengus angkuh. "Ujian seperti ini pasti mudah."'Lihat dia,' batin Lin Mo mengejek. 'Belajar seperti orang kesetanan tapi tetap saja penampilannya seperti pemuda idiot. Memalukan!'Mereka mengambil tempat duduk sesuai nomor peserta. Lin Mo duduk di deretan belakang ujung kiri, mengagumi kuas
"Lin Mo," Chung Ming berbisik cepat begitu melihat kepanikan di wajah temannya, "Pakai saja surat kelulusanku! Tunjukkan pada mereka seolah ini milikmu, niscaya Li dan teman-temannya tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa mengembalikannya padaku setelah mereka pergi.""Tapi …," Lin Mo ragu-ragu."Cepat!" Chung Ming menyelipkan kertas berharga itu ke tangan Lin Mo tepat saat Li muncul dari balik pepohonan."Ah, di sini rupanya tikus kecil kita!" Li menyeringai, melangkah mendekati mereka berdua dengan angkuh. "Mengapa kau bersembunyi di pinggir sungai seperti seekor tikus? Oh, jangan-jangan kau tidak lulus ujian lalu mau kabur dariku?"Li dan teman-temannya tertawa bersahut-sahutan, apalagi melihat wajah pucat Lin Mo, mereka yakin pemuda miskin itu pasti tidak lulus ujian.“Ayo tunjukkan pada kami hasil ujianmu!” Li menodongkan tangan, matanya menyipit penuh ancaman.Dengan ketenangan yang dipaksakan, Lin Mo mengangkat surat Chung Ming. Sinar matahari memantulkan kilau tinta merah keemas
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu