Suara derit pintu baja yang berat memecah keheningan, diikuti oleh langkah-langkah tegas yang menggema di dalam lorong sempit. Keira berdiri di tengah ruangan, matanya tertuju pada Nathaniel yang mendorong pintu hingga terbuka lebar. Di balik pintu itu ada ruangan besar yang dipenuhi layar monitor, server yang berdengung, dan meja kerja yang penuh dengan dokumen berserakan. “Ini adalah inti dari operasi kita,” kata Nathaniel sambil melangkah masuk. “Dari sini, kita bisa melacak pergerakan mereka dan mencari tahu rencana berikutnya.” Keira mengamati ruangan itu dengan hati-hati, setiap sudut tampak mencerminkan keahlian teknis yang luar biasa. Victor berdiri di belakangnya, diam, tapi kewaspadaan tampak jelas dari cara matanya bergerak cepat memeriksa setiap detail. “Jadi, apa langkah selanjutnya?” Keira bertanya, suaranya datar, tapi matanya menyimpan bara yang tidak bisa dipadamkan. Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia berjalan menuju meja besar di tengah ruangan, men
Keira duduk di sudut ruangan, memandang tablet yang kini diam tanpa suara. Di dalam pikirannya, suara pria yang muncul di layar tadi terus terngiang. Wajahnya yang dingin, senyumnya yang seolah mengetahui segalanya—membuat pikirannya kacau. “Keira, kau baik-baik saja?” suara Victor membuyarkan lamunannya. Ia mengangkat wajah dan mendapati Victor berdiri di depannya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Untuk sesaat, Keira ingin membuka semua yang ia rasakan, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat. Victor mengerutkan dahi, tidak yakin dengan jawabannya. “Kau terlihat terganggu sejak pria itu muncul di layar. Jika ada sesuatu yang ingin kau bicarakan…” “Aku bilang aku baik-baik saja,” potong Keira, nadanya sedikit tajam. Victor mundur, tidak ingin memaksakan dirinya. “Baiklah. Tapi ingat, aku ada di sini kalau kau butuh seseorang untuk bicara.” Keira hanya mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke tablet. Victor, meskipun ber
Suara pintu yang menutup perlahan bergema di ruangan. Keira berdiri di tengah aula besar, dengan udara yang terasa lebih dingin daripada di luar. Aroma kayu tua bercampur debu memenuhi hidungnya, sementara matanya menelusuri setiap sudut tempat itu. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan yang terkesan kuno, menampilkan pemandangan yang mengingatkannya pada pertempuran dan kehancuran. Cahaya dari lilin-lilin yang berderet di sepanjang lorong menerangi wajah pria yang berdiri di depannya. “Kau sudah sampai sejauh ini, Keira,” kata pria itu sambil berjalan mendekat. “Aku kagum pada keberanianmu.” Keira menegakkan tubuhnya, matanya penuh dengan tekad meski ada sedikit keraguan yang mengintai di sudut hatinya. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang kau tahu tentangku?” Pria itu hanya tersenyum kecil. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Adrian.” Adrian mengulurkan tangannya, tapi Keira tidak be
Keira duduk di depan jendela besar yang menghadap ke kota, memandangi pemandangan yang tidak lagi memberinya kenyamanan seperti dulu. Seiring dengan malam yang semakin larut, pikirannya terus berputar-putar tentang segala yang baru saja terungkap. Sebuah organisasi rahasia yang menculiknya, eksperimen yang mengubah hidupnya, dan sekarang, pilihan sulit yang harus diambil. Hatinya berdebar keras, seolah-olah setiap detakan jantungnya menggema dalam keheningan ruang itu. Seorang pria dan wanita, dua orang yang baru saja ia temui—Adrian dan Elena—terus hadir dalam pikirannya, seperti bayang-bayang yang tidak bisa ia hilangkan. Keira tidak pernah membayangkan dirinya terjebak dalam permainan besar yang melibatkan kekuasaan, konspirasi, dan masa lalu yang penuh kebohongan. Dia merasa seolah-olah hidupnya adalah bagian dari teka-teki yang belum lengkap, dan semakin ia mencoba menyusunnya, semakin banyak potongan yang hilang. Ada banyak hal yang tidak ia ketahui, hal-hal yang
Keira memegang erat kendali kendaraan, matanya fokus pada jalan di depannya. Malam itu, jalanan kota terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah dunia di luar sana sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi. Udara malam yang dingin menyelinap ke dalam mobil, menambah ketegangan yang sudah mencekam hatinya. "Keira," suara Adrian terdengar dari kursi penumpang sebelah, memecah keheningan yang sudah terjalin lama. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu?" Keira menatapnya sekilas, mencoba membaca ekspresi wajahnya, namun Adrian menjaga wajahnya tetap datar. Keira tahu bahwa pria ini bukan tipe yang mudah terpengaruh oleh keadaan, namun hari itu, ia bisa melihat kegelisahan yang samar. Keira pun merasakan hal yang sama. Keputusan yang ia buat untuk bergerak maju—untuk melawan mereka—adalah langkah yang sangat berisiko. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Terutama Adrian dan Elena. "Sudah tidak ada jalan kembali," Keira menjawab
Keira merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya, semakin cepat, semakin tak terkendali. Tubuhnya terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang terus menariknya ke dalam kegelapan. Ia berusaha membuka matanya, namun dunia di sekitarnya masih kabur, bercampur dengan cahaya yang bergerak-gerak, seakan membingungkannya. Keira tahu, ia harus segera bangkit. Ini bukan waktunya untuk terjebak dalam ketakutan. Tetapi dalam kekacauan ini, ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Tangan Keira terulur ke arah Adrian, yang juga tampak tergeletak di lantai, punggungnya tertutup oleh bayangan gelap yang semakin mendekat. Dengan suara serak, ia mencoba memanggil namanya. "Adrian... bangun... kita... harus... keluar..." suaranya terputus-putus, napasnya tersengal. Kepalanya berputar, namun ia berusaha menguatkan diri. Namun, Adrian tidak bergerak. Keira mulai merasakan keputusasaan merayap. Rencana mereka, yang semula begitu terencana, kini terasa seperti ilusi. Mere
Suasana semakin tegang saat Keira dan Adrian menyusuri lorong yang tampak gelap dan sempit. Suara langkah kaki mereka terasa nyaris tertelan oleh dinding-dinding beton yang dingin, namun di setiap sudut, Keira bisa merasakan betapa besar ancaman yang menyertai mereka. Mungkin inilah saatnya, saat segalanya akan berakhir. Namun, Keira mencoba menepis semua kecemasan itu. Ia tahu, meskipun ketakutan menyelimuti, mereka masih punya kesempatan. Adrian berjalan di depannya, langkahnya mantap meskipun tubuhnya tampak lelah. Wajahnya serius, tak ada sedikit pun ekspresi yang menunjukkan keraguan. Keira tahu, Adrian adalah orang yang selalu berpikir cepat dalam situasi genting. Namun, kali ini, bahkan dia pun tampak tidak begitu yakin. Keira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Harapannya kini terpusat pada keputusan yang mereka buat dalam beberapa detik ke depan. Mereka hanya punya satu kesempatan. Jika mereka gagal, mereka akan terjebak dalam kegelapan ini sel
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menusuk. Keira duduk di lantai, tubuhnya gemetar, memeluk lutut sambil menatap kosong tubuh Adrian yang terkulai di sudut ruangan. Wajahnya yang biasanya penuh kehidupan kini beku, kehilangan kilau yang biasa membuatnya terlihat penuh semangat. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Namun, Keira tahu ia tidak bisa terpuruk terlalu lama. Adrian, dengan segala optimisme dan keyakinannya, tidak akan menginginkan itu. Dengan napas yang tersengal, Keira berdiri, tubuhnya terasa berat. Matanya menatap layar terminal di depannya, memantulkan wajahnya yang tampak lelah tetapi bertekad. Di tengah gelombang kesedihan, ia menguatkan dirinya. Tangannya yang gemetar menyentuh layar, mencoba menavigasi sistem yang terlihat rumit. Layar itu dingin di bawah jarinya, seperti cermin hatinya yang kini terasa kosong. “Aku harus melanjutkan ini,” gumamnya, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Namun, layar terminal tiba-tiba memunculkan pesan:
Langit senja mulai berubah gelap saat Adrian berdiri di tepi bukit, memandangi kota di kejauhan yang diterangi cahaya lampu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan ringan sore tadi. Keira berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati ekspresi Adrian yang tampak serius."Sepertinya kau masih memikirkan semuanya," ujar Keira lembut, tangannya menggenggam jaketnya erat karena hawa mulai dingin.Adrian menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi dadanya sebelum perlahan menghembuskannya. "Ada banyak hal yang masih harus kupastikan," katanya dengan suara tenang, tapi ada ketegangan tersirat dalam nadanya. "Setiap langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya."Keira mengangguk, memahami maksudnya. Mereka telah mencapai titik kritis dalam perjalanan ini—misteri yang mereka kejar semakin dekat dengan jawaban, tapi juga semakin berbahaya.Tiba-tiba, di kejauhan, suara gemerisik te
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme pelan yang menghantam kaca jendela gedung tua yang kini menjadi saksi bisu pertarungan mental di antara mereka. Udara dingin menusuk kulit, bercampur dengan aroma tanah basah yang semakin mempertegas suasana mencekam di ruangan itu.Di luar, suara deru mobil terdengar samar, mendekati area bangunan terbengkalai yang kini menjadi tempat pertemuan mereka. Namun, di dalam ruangan, keheningan terasa begitu berat.Adrian berdiri tegap, tatapannya tajam menelusuri wajah pria berjas hitam yang kini melangkah perlahan ke arah mereka. Sorot mata pria itu penuh kepastian, seolah ia telah merencanakan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Keira menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Apa kau pikir semua ini hanya permainan?"Pria itu menyeringai tipis. "Segala sesuatu yang besar selalu diawali dengan pengorbanan, nona Keira. Kau seharusnya sudah tahu itu."Adrian mengepalka
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi