Keheningan menyelimuti ruangan ketika Keira dan Adrian duduk di sofa, menikmati kehangatan yang terasa asing namun begitu dirindukan. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya detak jantung mereka yang terdengar lebih jelas dalam kedekatan ini.Keira menatap cangkir teh di tangannya, uapnya mengepul tipis di udara. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa begitu sulit keluar.Adrian menoleh ke arahnya. "Apa yang kau pikirkan?"Keira menggigit bibir bawahnya, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya… merasa canggung."Adrian tersenyum tipis. "Aku juga."Keira mendesah pelan. "Aku tidak ingin membuat segalanya jadi sulit, Adrian. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku mengambil keputusan yang tepat."Adrian mengangguk mengerti. "Aku tidak akan memaksamu untuk terburu-buru, Keira. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, menunggumu."Keira tersenyum kecil. "Terima kasih."Malam semakin larut, dan suasana mulai terasa lebih nyaman. Mereka berbicara tentang hal-hal r
Fajar pun perlahan menyingsing di balik pepohonan, menyinari dunia dengan cahaya lembut yang kontras dengan kegelapan malam yang baru saja mereka lewati. Di sebuah tempat persembunyian yang baru mereka raih—sebuah rumah tua di pinggiran hutan—Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan duduk dalam keheningan yang penuh perasaan campur aduk.Setelah pelarian dramatis dari pelabuhan, ketika ancaman langsung dari tangan Lucas dan anak buah Victor sempat membuat mereka terpojok, mereka kini dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup mereka tak akan pernah kembali seperti dulu. Masing-masing membawa luka, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Namun, di balik segala kepayahan itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh seiring fajar baru.Adrian duduk di depan jendela besar yang menghadap ke hutan, matanya memandang jauh seolah mencoba membaca setiap bayangan yang masih tersisa. Ia menghela napas pelan, kemudian berkata, “Kita berhasil lolos dari cengkeraman mereka, tapi aku tahu Victor tidak
Keheningan menyelimuti ruangan saat Keira menatap Adrian yang duduk di seberangnya. Tatapan pria itu tajam, seolah sedang mempertimbangkan banyak hal sekaligus. Di antara mereka, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas."Jadi, apa keputusanmu?" suara Adrian akhirnya memecah kebisuan.Keira menarik napas dalam sebelum menjawab, "Aku... ingin percaya bahwa kita bisa menghadapi semua ini bersama. Tapi jujur saja, Adrian, aku masih takut."Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja. "Takut kehilangan aku?"Keira mengangguk pelan. "Takut kehilanganmu. Takut terluka lagi. Takut bahwa semua ini hanya sementara."Adrian menatapnya dalam-dalam. "Keira, aku tidak bisa menjanjikan bahwa segalanya akan selalu berjalan lancar. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pergi. Aku memilihmu. Itu tidak akan berubah."Keira merasakan sesuatu menghangat di dalam dadanya. Ia ingin mempercayai kata-kata Adrian, ingin menggenggam harapan yang diberikan pria itu. Namun
Keira duduk di tepi sofa, sementara Adrian masih berdiri di dekatnya. Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung—lebih seperti jeda yang dibutuhkan untuk memahami perasaan masing-masing.Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin tahu apa yang benar-benar ada di pikiranmu, Keira.”Keira menghela napas. “Aku sudah mengatakan semuanya, Adrian. Aku hanya… masih mencoba untuk menerima semuanya. Aku ingin percaya sepenuhnya padamu, tapi aku masih takut.”Adrian berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapannya. “Aku tahu. Dan aku tidak akan menyalahkanmu atas itu.”Keira menatap pria itu, matanya bergetar. Ia tidak menyangka Adrian akan sejujur ini, setulus ini dalam menyikapi ketakutannya.“Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih yakin, apa yang harus kulakukan?” Adrian bertanya dengan nada serius.Keira tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain tetap ada di sini, Adrian.”Adrian mengangguk pelan.
Hari itu, suara burung di taman keluarga Hartono terdengar seperti biasa, tetapi di dalam rumah megah itu, suasana jauh dari tenang. Keira duduk di sofa ruang tamu dengan kaki disilangkan, memelototi ayahnya yang duduk berhadapan dengannya. Di tangannya, sebuah cangkir kopi hampir tumpah karena tangannya yang bergerak-gerak gelisah. “Kenapa sih, Ayah selalu memaksakan kehendak?” sergah Keira dengan nada tinggi. “Aku bukan anak kecil lagi!” Tuan William Hartono, pengusaha dengan reputasi keras dan disiplin, tetap tenang menghadapi protes putrinya. Dengan rambut mulai memutih dan wajah tegasnya, ia menyampaikan pendapatnya dengan nada dingin. “Keira, sudah berapa kali aku bilang, ini soal keamanan. Kau mungkin merasa bisa menjaga dirimu sendiri, tapi nyatanya kau ceroboh. Sudah dua kali kau hampir terlibat kecelakaan dalam satu bulan terakhir,” katanya “Kalau soal itu, aku bisa lebih hati-hati! Tidak perlu menyewa orang asing untuk mengikuti aku ke mana-mana.” Tuan William meny
Pagi itu, Keira terbangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, pikirannya dipenuhi oleh Adrian. Refleks pria itu saat menyelamatkannya dari truk hari sebelumnya membuat nya penasaran. Namun, rasa penasaran itu bercampur dengan amarah kecil yang masih ia simpan. Dia tidak suka merasa seperti gadis lemah yang butuh perlindungan. Dan Adrian, dengan sikap tenang dan hampir sempurnanya, membuat Keira merasa seperti itu. “Apa dia benar-benar hanya seorang sopir?” Keira bergumam pelan sambil menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, dan ia memilih pakaian kasual—sesuatu yang jarang ia lakukan. Saat ia melangkah keluar rumah, mobil sudah menunggunya. Adrian berdiri di samping mobil, membungkukkan sedikit badan sebagai tanda hormat. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang tampak tanpa beban. “Selamat pagi, Nona Keira,” sapanya lembut. Keira meliriknya sekilas, lalu masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa. Namun, ketika Adrian menutup pintu dengan hati-hati, Keira
Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik. “Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya. Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain. Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya. “Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya. Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat da
Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin dan
Keira duduk di tepi sofa, sementara Adrian masih berdiri di dekatnya. Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung—lebih seperti jeda yang dibutuhkan untuk memahami perasaan masing-masing.Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin tahu apa yang benar-benar ada di pikiranmu, Keira.”Keira menghela napas. “Aku sudah mengatakan semuanya, Adrian. Aku hanya… masih mencoba untuk menerima semuanya. Aku ingin percaya sepenuhnya padamu, tapi aku masih takut.”Adrian berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapannya. “Aku tahu. Dan aku tidak akan menyalahkanmu atas itu.”Keira menatap pria itu, matanya bergetar. Ia tidak menyangka Adrian akan sejujur ini, setulus ini dalam menyikapi ketakutannya.“Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih yakin, apa yang harus kulakukan?” Adrian bertanya dengan nada serius.Keira tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain tetap ada di sini, Adrian.”Adrian mengangguk pelan.
Keheningan menyelimuti ruangan saat Keira menatap Adrian yang duduk di seberangnya. Tatapan pria itu tajam, seolah sedang mempertimbangkan banyak hal sekaligus. Di antara mereka, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas."Jadi, apa keputusanmu?" suara Adrian akhirnya memecah kebisuan.Keira menarik napas dalam sebelum menjawab, "Aku... ingin percaya bahwa kita bisa menghadapi semua ini bersama. Tapi jujur saja, Adrian, aku masih takut."Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja. "Takut kehilangan aku?"Keira mengangguk pelan. "Takut kehilanganmu. Takut terluka lagi. Takut bahwa semua ini hanya sementara."Adrian menatapnya dalam-dalam. "Keira, aku tidak bisa menjanjikan bahwa segalanya akan selalu berjalan lancar. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pergi. Aku memilihmu. Itu tidak akan berubah."Keira merasakan sesuatu menghangat di dalam dadanya. Ia ingin mempercayai kata-kata Adrian, ingin menggenggam harapan yang diberikan pria itu. Namun
Fajar pun perlahan menyingsing di balik pepohonan, menyinari dunia dengan cahaya lembut yang kontras dengan kegelapan malam yang baru saja mereka lewati. Di sebuah tempat persembunyian yang baru mereka raih—sebuah rumah tua di pinggiran hutan—Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan duduk dalam keheningan yang penuh perasaan campur aduk.Setelah pelarian dramatis dari pelabuhan, ketika ancaman langsung dari tangan Lucas dan anak buah Victor sempat membuat mereka terpojok, mereka kini dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup mereka tak akan pernah kembali seperti dulu. Masing-masing membawa luka, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Namun, di balik segala kepayahan itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh seiring fajar baru.Adrian duduk di depan jendela besar yang menghadap ke hutan, matanya memandang jauh seolah mencoba membaca setiap bayangan yang masih tersisa. Ia menghela napas pelan, kemudian berkata, “Kita berhasil lolos dari cengkeraman mereka, tapi aku tahu Victor tidak
Keheningan menyelimuti ruangan ketika Keira dan Adrian duduk di sofa, menikmati kehangatan yang terasa asing namun begitu dirindukan. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya detak jantung mereka yang terdengar lebih jelas dalam kedekatan ini.Keira menatap cangkir teh di tangannya, uapnya mengepul tipis di udara. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa begitu sulit keluar.Adrian menoleh ke arahnya. "Apa yang kau pikirkan?"Keira menggigit bibir bawahnya, lalu mengangkat bahu. "Aku hanya… merasa canggung."Adrian tersenyum tipis. "Aku juga."Keira mendesah pelan. "Aku tidak ingin membuat segalanya jadi sulit, Adrian. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku mengambil keputusan yang tepat."Adrian mengangguk mengerti. "Aku tidak akan memaksamu untuk terburu-buru, Keira. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, menunggumu."Keira tersenyum kecil. "Terima kasih."Malam semakin larut, dan suasana mulai terasa lebih nyaman. Mereka berbicara tentang hal-hal r
Keira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan dari Adrian masih terbuka, hanya berisi satu kalimat singkat:"Kita perlu bicara. Aku akan menemuimu malam ini."Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara secara langsung tanpa ada orang lain di sekitar. Hubungan mereka akhir-akhir ini terasa seperti berada di ambang jurang, menggantung di antara kejelasan dan keraguan.Keira menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa sekuat apa pun ia mencoba menyibukkan diri, pikirannya selalu kembali pada Adrian.Saat malam tiba, Keira duduk di ruang tamu apartemennya, menunggu dengan gelisah. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan Adrian katakan. Apakah ini tentang mereka? Tentang Samantha? Atau… tentang sesuatu yang lebih besar?Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Dengan sedikit ragu, Keira bangkit dan membuka pintu.Di hadapannya, Adrian berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia mengenakan kemeja
Malam yang awalnya sunyi berubah menjadi penuh ketegangan.Keira berdiri diam di tempatnya, jantungnya berdebar kencang. Di depannya, beberapa pria bersenjata menghalangi jalan mereka menuju kapal. Wajah mereka dingin, penuh ketegasan.Adrian bergerak cepat, melangkah ke depan dengan tubuh tegak. Matanya tajam menatap pria yang berdiri paling depan, seseorang dengan perawakan tinggi dan sorot mata penuh perhitungan.“Lama tidak bertemu, Adrian,” pria itu berkata, suaranya tenang namun mengandung ancaman.Keira melihat rahang Adrian mengeras. “Lucas,” gumamnya.Dylan yang berada di sebelah Adrian segera bersiaga. Ia melirik Keira dan Samantha, memberi isyarat agar tetap di tempat.Lucas tersenyum kecil. “Aku sudah menunggu kalian. Kudengar kalian ingin pergi jauh. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”Adrian tetap tenang. “Apa yang kau inginkan?”Lucas tertawa pelan. “Kau tahu apa yang kuinginkan. Samantha, bayi itu, dan tentu saja…” Matanya beralih ke Keira. “Wanita yan
Angin malam berdesir melalui celah-celah rumah kayu yang mereka tempati sementara. Di luar, kegelapan membentang, hanya dipecah oleh sinar bulan yang menerobos di antara dedaunan.Adrian berdiri di dekat jendela, memperhatikan jalan setapak yang mereka lewati tadi. Matanya tajam, penuh kewaspadaan. Dylan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kayu, tangannya sibuk membersihkan pistol yang ia bawa.Keira duduk di sofa tua di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Sementara itu, Samantha berdiri tak jauh darinya, memeluk dirinya sendiri seakan mencoba menenangkan kegelisahannya.Suasana di dalam rumah itu begitu sunyi, seolah semua orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Rencana Pelarian yang Belum SelesaiDylan akhirnya memecah kesunyian. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin mereka masih memburu kita.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Kita harus segera bergerak ke pelabuhan sebelum fajar.”Samantha m
Mobil mereka melaju melewati jalanan berbatu yang semakin jauh dari kota. Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan yang pekat. Keira bersandar di kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian di jembatan.Samantha duduk diam di sebelahnya, kedua tangannya masih menggenggam erat sabuk pengaman seolah takut melepaskannya. Sementara itu, Adrian dan Dylan tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka benar-benar telah lolos dari pengejaran."Tidak ada tanda-tanda mobil lain," kata Dylan akhirnya. "Setidaknya untuk sekarang, kita aman."Adrian mengangguk, tapi ekspresinya tetap dingin dan penuh kehati-hatian. "Jangan lengah dulu. Mereka pasti akan mencari kita lagi."Keira menelan ludah. "Ke mana tujuan kita sekarang?"Samantha yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. "Kita harus keluar dari negara ini secepat mungkin."Dylan mengangkat alis. "Dan bagaimana caranya? Semua jalur utama pasti sudah mer
Malam semakin pekat saat Keira, Adrian, Samantha, dan Dylan menyusuri jalanan gelap menuju titik pertemuan. Hanya suara angin dan derap langkah mereka yang terdengar.Keira merapatkan jaket yang diberikan Dylan, berusaha menghalau dingin sekaligus menutupi identitasnya. Mereka harus bergerak cepat sebelum orang-orang Victor menyadari keberadaan mereka.Adrian berjalan di sampingnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Samantha masih mengikuti. Gadis itu tampak pucat, tetapi tetap berusaha tegar."Kita hampir sampai," bisik Dylan, mempercepat langkahnya.Di depan, samar-samar terlihat sebuah mobil hitam terparkir di bawah jembatan kecil. Lampunya dimatikan, dan hanya suara mesin yang terdengar pelan."Siapa yang menunggu di sana?" tanya Adrian waspada."Orang kepercayaanku," jawab Dylan. "Dia bisa membawa kita keluar dari kota tanpa terdeteksi."Mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai mobil itu. Seorang pria berkacamata hitam turun dari kursi kemudi, meskipun mala