Dua hari kemudian, Bora kembali bertemu dengan gurunya di hari minggu."Tadinya saya kira akan bertemu lagi dengan tuan ketiga, ternyata saya hanya bertemu dengan anda." Guru memeriksa tugas milik Bora. "Dan anda mengerjakan semua tugas sendiri."Bora terkejut melihat sikap guru yang formal kepada dirinya dan Fendi. "Guru-""Saya tahu, anda pasti bingung bukan? Di hari pertama saya bersikap non formal, lalu di pertemuan kedua sekarang- saya bersikap formal."Bora mengangguk singkat."Ini karena saya sudah melihat perilaku anda berdua selama saya mengajar, termasuk kinerja kalian selama enam hari. Anda berdua memang berniat mengurus keluarga yang sudah lama berantakan ini."Bora menyimak perkataan guru. "Sepertinya tuan besar berubah pikiran dan mengambil keputusan lebih cepat, menarik tuan ketiga dan mempelajari manajemen bisnis lebih awal."Bora bertanya, "Guru, apakah saya boleh belajar manajemen juga?" Gurunya sudah bertindak dan bersikap formal, tidak mungkin Bora tidak melakukan
Fendi yang mulai pertimbangan pemikirannya, menatap lurus Hendra yang sedang menunggu pendapatnya. "Aku tidak ingin ada potongan ini, bagaimana dengan kakak?"Hendra tentu saja tidak langsung mengiyakan pendapat sang adik, harus ada penjelasan masuk akal yang bisa diterima oleh berbagai pihak. "Uang potongan adalah hak para pekerja, jika mereka menginginkan adanya serikat buruh. Kenapa kita melarangnya? Kita tidak punya hak sama sekali.""Dan kita juga tidak memiliki kewajiban sama sekali," jawab Fendi dengan cepat. "Perusahaan mewajibkan potongan dan diberikan kepada serikat pekerja- lucu sekali, jika kita melakukan hal itu."Arka mengangguk paham. "Aku punya pegawai hotel, mereka bekerja sesuai shift. Misalnya pagi jam tujuh sampai jam dua siang, tujuh jam. Tidak ada istirahat. Bagaimana dengan buruh di pabrik kita?"Direktur operasional pabrik menjawab. "Dari jam sembilan sampai jam empat sore, jika ada lembur- mentok jam delapan malam. Kami berikan uang lembur dua puluh ribu perja
"BERSULANG!"Hendra dan istrinya, Arka bersama sang istri, lalu Bora serta Fendi. Bersulang dengan bahagia lalu meminum jus buah di gelas masing-masing.Setelah menghabiskan minuman, Arka tertawa lebar. "Wah, aku beruntung bisa melihat om Fendi yang hebat, saat di rapat para petinggi manajemen perusahaan- mereka sampai tidak berkutik, pengacara memang berbeda dengan pengusaha. Jantungku sempat berdebar kencang ketika membahas masalah serikat buruh.""Serikat buruh?" Tanya Bora.Fendi tidak tertarik dengan pujian dan Arka dan sibuk meletakkan ayam di piring istrinya. "Bukan masalah besar, nanti kamu akan paham.""Apakah karena aku perempuan, makanya kamu bilang begitu?" Tanya Bora yang sedikit tersinggung.Fendi tersenyum kecut. "Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja aku terlalu malas menjelaskan."Bora menaikkan kedua alisnya lalu mengangguk singkat. "Baiklah, jika kamu bicara seperti itu."Fendi menepuk kepala Bora dengan lembut. "Jangan marah."Bora menepis tangan Fendi. "Aku tidak m
"Selamat malam untuk adik-adik mahasiswa yang saya sayangi, termasuk masyarakat yang saya cintai. Terima kasih sudah bersedia datang untuk mendengarkan saya." Edwin mulai membuka acara sambil berdiri, menatap para peserta yang hadir. "Dikesempatan kali ini, ada presiden kesayangan kita yang juga hadir, mari kita tepuk tangan terlebih dahulu."Aji berdiri dan menyapa para peserta dengan menangkupkan kedua tangan. "Nah, mumpung ada pak Presiden tercinta di sini. Ayo kita membahas tentang legal atau ilegal rumah atau tanah yang ditempati masyarakat di tanah milik pemerintah." Edwin tersenyum ke Aji. Perkataan Edwin, tentu saja membuat orang yang paham, menjadi lelucon. Dimana-mana menempati tanah atau rumah yang tidak memiliki sertifikat jelas, pasti ilegal. Namun, tidak semua masyarakat paham mengenai hal ini dan parahnya masyarakat tidak mau tahu tentang hal ini, bagi mereka yang mendiami tempat itu sudah lama, tentu saja dianggap legal. Hal ini karena kurang tegasnya pemerintah dan
Menjadi presiden itu tidak mudah. Begitulah nasehat yang dilontarkan lingkungan sekitar Aji. Namun pria itu memiliki cita-cita dan ambisi untuk merubah negara Indonesia ke arah yang lebih baik. Masih banyak hal yang belum disentuh pemerintah, banyak contoh yang tidak bisa disebutkan, namun Aji ingin membuat perubahan untuk masyarakat termasuk ketiga anaknya. Aji yang duduk di kursi sambil memakai handuk di kepala, setelah membersihkan wajah, menatap kedua tangannya yang gemetar. Bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Ike melihat jelas? Apakah Bora menonton televisi bersama suaminya? Apakah Harsa dan Genta juga tahu hal ini?Jika Aji melihat dengan jelas, semua yang didapatkannya mungkin karma karena meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Rasa bersalah Aji semakin besar dan bahunya bergetar. Sekarang dia sendirian, tidak ada yang menemani. Aji mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan menutupnya cukup lama untuk menahan kesedihannya, setelah merasa tenang, dia membuka kedua tangan, l
Aji terperanjat mendengar jawaban kepala sekretariat. "Benarkah? Aku kira dia tidak akan peduli lagi kepadaku."Senyum kepala sekretariat hilang. "Kenapa anda-"Aji mengalihkan tatapannya karena malu, merasa jadi orang bodoh. "Lupakan, aku minta maaf sudah mengganggu kamu seperti sekarang ini.""Anda baik-baik saja? Sudah sewajarnya anda terkejut dengan tindakan mereka, anda juga bisa menuntut para pelaku dengan pasal penghinaan terhadap Presiden."Aji tersenyum sedih. "Tidak perlu, biarkan saja mereka.""Tapi para pendukung anda pasti tidak terima.""Jika aku melaksanakan tuntutan, masyarakat akan terpecah belah dan aku tidak ingin ada sesuatu yang terjadi. Biarkan saja."Kepala sekretariat menghela napas. "Seandainya masyarakat tahu jalan pikiran anda-""Di luar sana memang ada banyak orang baik, tapi jauh lebih banyak orang egois. Aku tidak mau orang baik terkena imbasnya, hatiku memang sedih tapi jika aku tidak mendapatkan masalah seperti ini, aku mungkin tidak akan pernah tahu kal
Ike yang sudah ditarik ke dalam mobil dan dimarahi sepanjang jalan, tanpa peduli pandangan orang-orang, berusaha menahan sabar sekaligus sedih, ketika Edwin melontarkan kalimat kasar di dalam mobil sembari sopir menjalankan mobil menuju rumah mereka berdua."Aku sudah bilang untuk menjauh dari Aji, dia itu hanya iblis pengganggu. Dia sudah membuat hidup kamu hancur dengan melahirkan anak-anak iblis!"Ike menatap Edwin dengan tidak percaya. "Aku yang melahirkan mereka bertiga dengan susah payah, kenapa kamu berkata jahat seperti itu? Mereka tidak tahu apa pun.""Jika mereka bukan iblis, lantas apa? Kenapa mereka bertiga lahir menjadi cacat seperti itu? Mengandalkan hewan? Memangnya Tuhan tidak ada?""Edwin!" Teriak Ike. "Kenapa kamu bicara sekasar itu tentang anak-anakku? Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun!""Mereka sudah melakukan kesalahan padaku dan kamu!" Teriak Edwin dengan marah. "Seandainya kamu tidak menikah dengan Aji, tidak melahirkan mereka bertiga! Kita tidak akan hidu
Postingan yang dibuat Laras, membuat perhatian netizen menjadi terpecah belah. Para pendukung Laras mulai menyerang akun media sosial Bora, begitu pula sebaliknya. Namun, perundungan di media sosial terhadap Bora, jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan ada orang-orang politik yang juga ikut campur menyerang Bora lalu Aji.'Aji tidak pantas menjadi Presiden, menjaga keluarga saja tidak bisa, mau sok-sokan menjaga negara, dia pasti berbohong soal impian.''Turunkan Presiden!''Turunkan Aji!''Dia sudah membuat malu Indonesia!''Aji jelas tidak becus memimpin negara.'Bora yang sekarang sedang istirahat di ruang kerja Fendi, duduk bersila di sofa dan melihat layar yang ditunjukan Bern palsu. "Banyak yang mulai berkomentar buruk mengenai Papa, akunku juga diserang. Sayang sekali aku tidak bisa masuk dan membalas mereka."Fendi tetap berbincang pada istrinya, meskipun tangan dan mata masih fokus pada dokumen yang menumpuk. Siapa yang bilang menjadi Ceo itu enak? Sial!"Bagaimana dengan pest