"Wuaaahhh- rumah kakak dan kakak ipar besar sekalii-" Genta menyuarakan pikirannya tanpa malu sementara Harsa yang sudah terbangun dan sudah mencerna semua cerita Bora, masuk ke rumah dengan takjub.Rumah dengan taman yang luas untuk masuk menuju pintu utama, lalu ornamen mewah ala barat yang menyambut mereka, menambah kekaguman. Rumah utama keluarga Tsoejipto hanya ditempati oleh keluarga inti dari kepala keluarga. Fendi telah tumbuh di rumah ini. Kadang kala jika ibunya bosan, mereka akan pindah ke rumah lain untuk mencari suasana baru. Tidak ada yang menempati rumah utama sebelumnya. Hendra tidak tetap menempati rumah ini bersama istrinya, karena kedua anak mereka tidak tahu status sebenarnya ayah mereka. Hendra sendiri juga tidak mau anak-anaknya menjadi anak manja, hanya karena tinggal di rumah besar. Pewaris selanjutnya, keponakan Hendra dan Fendi lebih suka tinggal bersama ibu dan istri. Namun, keponakan mereka berdua jauh lebih betah tinggal di rumah ibu mertua yang sederha
Bora mendengar alasan tidak masuk akal dari guru tersebut. "Tidak tahu harus berbuat apa, tapi anda tidak menutupi tubuh adik saya dengan payung dan lainnya- supaya tidak kena sengatan matahari?""Waktu itu saya sibuk membubarkan teman-temannya supaya tidak mengganggu Harsa. Saya tidak kepikiran, maaf."Bora menghela napas lalu berkacak pinggang. "Haa- kamu dengar kan, Harsa?"Harsa terdiam, kecewa dengan jawaban wali kelasnya. "Kamu mau tetap sekolah di tempat ini atau keluar?" Tanya Bora. Wali kelas yang mendengar pertanyaan Bora menjadi panik, kepala sekolah akan memarahi dirinya jika Harsa keluar dari sekolah, terutama jika keluarnya secara tidak baik. "Saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi. Lagipula, jika Harsa mendadak keluar- dia-"Harsa melihat sekeliling ruang kelas dan semua teman-teman sekelas, menatap heran dirinya. Lalu tatapan Harsa beralih ke Bora. "Ya, kakak. Lebih baik aku sekolah di tempat lain. Kasihan teman-teman di sini, mereka pasti tidak nyaman jika a
Bora dan Harsa saling bertukar tatapan dalam diam. Mereka sudah melewati masa yang menyedihkan ketika orang tua saling bertengkar di belakang, tapi di depan mereka bertindak seolah tidak terjadi apa pun. Harsa tersenyum sedih. Dia pernah melihat Aji melakukan kekerasan pada Bora, dan tidak ingin Genta mendapatkan hal yang sama. "Bisakah kita seperti sekarang saja? Harsa hanya ingin bersama kakak, Harsa tidak ingin mengganggu kehidupan Papa yang sekarang. Menjadi Presiden pasti sangat sulit."Aji mengalihkan tatapannya dari Bora ke Harsa. "Harsa-""Mama mati-matian ingin mempertahankan Harsa dan Genta dan Papa juga mati-matian ingin mengambil kakak. Sekarang Harsa hanya ingin hidup damai dengan kakak."Perasaan Aji semakin sesak ketika mendengar ucapan anak keduanya, tangannya ingin menggapai anak itu dan memeluknya. Tapi, mungkin itu adalah ide yang buruk. "Papa minta maaf, tapi istana terbuka untuk kalian. Jika ingin berkunjung- Papa tidak akan marah."Bora tersenyum. "Bukan Papa ya
Kakak Yuni adalah anak laki-laki yang dimanjakan di dalam keluarga Yuni. Orang tua selalu bangga dan memanjakan anak laki-lakinya, berharap dia bisa meninggikan derajat orang tua.Yah, memang kakak Yuni cerdas bagi orang lain. Namun di luar pria itu terkenal licik dan juga pemalas, jarang ada yang mau bekerja sama dengan kakak Yuni, sehingga pada akhirnya ketika keluarga besar mengetahui Yuni sedang berkencan dengan salah satu orang di bidang politik, mereka mulai memanfaatkan Yuni.Yuni kesal dengan keluarganya, tapi juga tidak bisa berbuat apa pun karena setiap tidak punya uang, rumahnya lah yang bisa menyediakan. Setelah rapat keluarga, Laras masuk ke dalam kamar Yuni dan menguncinya, supaya tidak ada orang yang mencuri dengar percakapan mereka. "Mama yakin, Papa tidak akan menceraikan Mama?"Yuni sendiri juga tidak yakin dengan ancaman Aji. "Mama tidak tahu, tapi jika Mama mengiyakan- mereka pasti akan membuat ulah dan berusaha menekan Mama."Laras juga tahu tentang itu. "Lalu,
Ike hamil di luar nikah dan mendapat tekanan dari keluarganya yang bangsawan, terkait aib yang ada di dalam dirinya. Wanita itu berusaha tegar dan menguatkan diri, namun ternyata dia tidak bisa terlalu lama menyabarkan diri. Aji, suaminya yang juga terpaksa menikah demi tanggung jawab, tidak bisa menjadi seorang suami di mata Ike. Semua kejadian di masa lalu masih membekas di ingatan Ike.Aji terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa melihat anak-anaknya dengan baik, bertegur sapa saja pria itu enggan. Mengajak pergi keluar saja tidak pernah. Bagi Aji, pekerjaan adalah nomor satu, demi bisa memberikan uang kepada Ike dan anak-anak. Namun Ike, tidak mau terus-terusan sendiri. Mereka berdua mulai renggang dan bertengkar untuk hal-hal kecil.Aji tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan Ike di rumah sementara Ike tidak suka dengan perilaku Aji yang bukan seperti kriteria pria impiannya. "Aku capek bekerja di luar sana, Ike. Kenapa kamu harus menuntut aku ini itu?""Apa salahnya sih m
Ike merasa bersalah pada Bora ketika mengingat masa lalunya menyakitkan. Anak itu tidak salah apa pun, dan dia juga tidak bisa melindunginya dengan baik. "Mungkin satu-satunya cara yang terbaik adalah dengan menjauh dari Bora dan dua anakku lainnya, kita jadi bisa fokus mengurus masa depan."Edwin menghabiskan minumannya lalu diletakkan di atas meja. "Semua keputusan terserah padamu, aku tidak akan mengganggu."Ike setuju dengan keputusan Edwin. "Ya, terima kasih banyak sudah mengerti."Edwin menepuk punggung tangan Ike. "Sudah sewajarnya, aku selalu ada di pihak kamu."Ike tersenyum canggung."Apa pun akan aku lakukan untuk kita berdua." Edwin tersenyum lalu memeluk wanita yang dicintainya.Ike merasa tersanjung dan memeluk Edwin, pria inilah yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada dirinya. Di saat Ike merasakan hati yang berbunga, Fendi bertemu dengan Arka, anak dari almarhum kakak pertamanya. Pria itu terkejut melihat wajah Arka yang sangat tampan, mirip dengan kakak pertama t
Dua hari kemudian, Bora kembali bertemu dengan gurunya di hari minggu."Tadinya saya kira akan bertemu lagi dengan tuan ketiga, ternyata saya hanya bertemu dengan anda." Guru memeriksa tugas milik Bora. "Dan anda mengerjakan semua tugas sendiri."Bora terkejut melihat sikap guru yang formal kepada dirinya dan Fendi. "Guru-""Saya tahu, anda pasti bingung bukan? Di hari pertama saya bersikap non formal, lalu di pertemuan kedua sekarang- saya bersikap formal."Bora mengangguk singkat."Ini karena saya sudah melihat perilaku anda berdua selama saya mengajar, termasuk kinerja kalian selama enam hari. Anda berdua memang berniat mengurus keluarga yang sudah lama berantakan ini."Bora menyimak perkataan guru. "Sepertinya tuan besar berubah pikiran dan mengambil keputusan lebih cepat, menarik tuan ketiga dan mempelajari manajemen bisnis lebih awal."Bora bertanya, "Guru, apakah saya boleh belajar manajemen juga?" Gurunya sudah bertindak dan bersikap formal, tidak mungkin Bora tidak melakukan
Fendi yang mulai pertimbangan pemikirannya, menatap lurus Hendra yang sedang menunggu pendapatnya. "Aku tidak ingin ada potongan ini, bagaimana dengan kakak?"Hendra tentu saja tidak langsung mengiyakan pendapat sang adik, harus ada penjelasan masuk akal yang bisa diterima oleh berbagai pihak. "Uang potongan adalah hak para pekerja, jika mereka menginginkan adanya serikat buruh. Kenapa kita melarangnya? Kita tidak punya hak sama sekali.""Dan kita juga tidak memiliki kewajiban sama sekali," jawab Fendi dengan cepat. "Perusahaan mewajibkan potongan dan diberikan kepada serikat pekerja- lucu sekali, jika kita melakukan hal itu."Arka mengangguk paham. "Aku punya pegawai hotel, mereka bekerja sesuai shift. Misalnya pagi jam tujuh sampai jam dua siang, tujuh jam. Tidak ada istirahat. Bagaimana dengan buruh di pabrik kita?"Direktur operasional pabrik menjawab. "Dari jam sembilan sampai jam empat sore, jika ada lembur- mentok jam delapan malam. Kami berikan uang lembur dua puluh ribu perja