Bora dan Harsa saling bertukar tatapan dalam diam. Mereka sudah melewati masa yang menyedihkan ketika orang tua saling bertengkar di belakang, tapi di depan mereka bertindak seolah tidak terjadi apa pun. Harsa tersenyum sedih. Dia pernah melihat Aji melakukan kekerasan pada Bora, dan tidak ingin Genta mendapatkan hal yang sama. "Bisakah kita seperti sekarang saja? Harsa hanya ingin bersama kakak, Harsa tidak ingin mengganggu kehidupan Papa yang sekarang. Menjadi Presiden pasti sangat sulit."Aji mengalihkan tatapannya dari Bora ke Harsa. "Harsa-""Mama mati-matian ingin mempertahankan Harsa dan Genta dan Papa juga mati-matian ingin mengambil kakak. Sekarang Harsa hanya ingin hidup damai dengan kakak."Perasaan Aji semakin sesak ketika mendengar ucapan anak keduanya, tangannya ingin menggapai anak itu dan memeluknya. Tapi, mungkin itu adalah ide yang buruk. "Papa minta maaf, tapi istana terbuka untuk kalian. Jika ingin berkunjung- Papa tidak akan marah."Bora tersenyum. "Bukan Papa ya
Kakak Yuni adalah anak laki-laki yang dimanjakan di dalam keluarga Yuni. Orang tua selalu bangga dan memanjakan anak laki-lakinya, berharap dia bisa meninggikan derajat orang tua.Yah, memang kakak Yuni cerdas bagi orang lain. Namun di luar pria itu terkenal licik dan juga pemalas, jarang ada yang mau bekerja sama dengan kakak Yuni, sehingga pada akhirnya ketika keluarga besar mengetahui Yuni sedang berkencan dengan salah satu orang di bidang politik, mereka mulai memanfaatkan Yuni.Yuni kesal dengan keluarganya, tapi juga tidak bisa berbuat apa pun karena setiap tidak punya uang, rumahnya lah yang bisa menyediakan. Setelah rapat keluarga, Laras masuk ke dalam kamar Yuni dan menguncinya, supaya tidak ada orang yang mencuri dengar percakapan mereka. "Mama yakin, Papa tidak akan menceraikan Mama?"Yuni sendiri juga tidak yakin dengan ancaman Aji. "Mama tidak tahu, tapi jika Mama mengiyakan- mereka pasti akan membuat ulah dan berusaha menekan Mama."Laras juga tahu tentang itu. "Lalu,
Ike hamil di luar nikah dan mendapat tekanan dari keluarganya yang bangsawan, terkait aib yang ada di dalam dirinya. Wanita itu berusaha tegar dan menguatkan diri, namun ternyata dia tidak bisa terlalu lama menyabarkan diri. Aji, suaminya yang juga terpaksa menikah demi tanggung jawab, tidak bisa menjadi seorang suami di mata Ike. Semua kejadian di masa lalu masih membekas di ingatan Ike.Aji terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa melihat anak-anaknya dengan baik, bertegur sapa saja pria itu enggan. Mengajak pergi keluar saja tidak pernah. Bagi Aji, pekerjaan adalah nomor satu, demi bisa memberikan uang kepada Ike dan anak-anak. Namun Ike, tidak mau terus-terusan sendiri. Mereka berdua mulai renggang dan bertengkar untuk hal-hal kecil.Aji tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan Ike di rumah sementara Ike tidak suka dengan perilaku Aji yang bukan seperti kriteria pria impiannya. "Aku capek bekerja di luar sana, Ike. Kenapa kamu harus menuntut aku ini itu?""Apa salahnya sih m
Ike merasa bersalah pada Bora ketika mengingat masa lalunya menyakitkan. Anak itu tidak salah apa pun, dan dia juga tidak bisa melindunginya dengan baik. "Mungkin satu-satunya cara yang terbaik adalah dengan menjauh dari Bora dan dua anakku lainnya, kita jadi bisa fokus mengurus masa depan."Edwin menghabiskan minumannya lalu diletakkan di atas meja. "Semua keputusan terserah padamu, aku tidak akan mengganggu."Ike setuju dengan keputusan Edwin. "Ya, terima kasih banyak sudah mengerti."Edwin menepuk punggung tangan Ike. "Sudah sewajarnya, aku selalu ada di pihak kamu."Ike tersenyum canggung."Apa pun akan aku lakukan untuk kita berdua." Edwin tersenyum lalu memeluk wanita yang dicintainya.Ike merasa tersanjung dan memeluk Edwin, pria inilah yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada dirinya. Di saat Ike merasakan hati yang berbunga, Fendi bertemu dengan Arka, anak dari almarhum kakak pertamanya. Pria itu terkejut melihat wajah Arka yang sangat tampan, mirip dengan kakak pertama t
Dua hari kemudian, Bora kembali bertemu dengan gurunya di hari minggu."Tadinya saya kira akan bertemu lagi dengan tuan ketiga, ternyata saya hanya bertemu dengan anda." Guru memeriksa tugas milik Bora. "Dan anda mengerjakan semua tugas sendiri."Bora terkejut melihat sikap guru yang formal kepada dirinya dan Fendi. "Guru-""Saya tahu, anda pasti bingung bukan? Di hari pertama saya bersikap non formal, lalu di pertemuan kedua sekarang- saya bersikap formal."Bora mengangguk singkat."Ini karena saya sudah melihat perilaku anda berdua selama saya mengajar, termasuk kinerja kalian selama enam hari. Anda berdua memang berniat mengurus keluarga yang sudah lama berantakan ini."Bora menyimak perkataan guru. "Sepertinya tuan besar berubah pikiran dan mengambil keputusan lebih cepat, menarik tuan ketiga dan mempelajari manajemen bisnis lebih awal."Bora bertanya, "Guru, apakah saya boleh belajar manajemen juga?" Gurunya sudah bertindak dan bersikap formal, tidak mungkin Bora tidak melakukan
Fendi yang mulai pertimbangan pemikirannya, menatap lurus Hendra yang sedang menunggu pendapatnya. "Aku tidak ingin ada potongan ini, bagaimana dengan kakak?"Hendra tentu saja tidak langsung mengiyakan pendapat sang adik, harus ada penjelasan masuk akal yang bisa diterima oleh berbagai pihak. "Uang potongan adalah hak para pekerja, jika mereka menginginkan adanya serikat buruh. Kenapa kita melarangnya? Kita tidak punya hak sama sekali.""Dan kita juga tidak memiliki kewajiban sama sekali," jawab Fendi dengan cepat. "Perusahaan mewajibkan potongan dan diberikan kepada serikat pekerja- lucu sekali, jika kita melakukan hal itu."Arka mengangguk paham. "Aku punya pegawai hotel, mereka bekerja sesuai shift. Misalnya pagi jam tujuh sampai jam dua siang, tujuh jam. Tidak ada istirahat. Bagaimana dengan buruh di pabrik kita?"Direktur operasional pabrik menjawab. "Dari jam sembilan sampai jam empat sore, jika ada lembur- mentok jam delapan malam. Kami berikan uang lembur dua puluh ribu perja
"BERSULANG!"Hendra dan istrinya, Arka bersama sang istri, lalu Bora serta Fendi. Bersulang dengan bahagia lalu meminum jus buah di gelas masing-masing.Setelah menghabiskan minuman, Arka tertawa lebar. "Wah, aku beruntung bisa melihat om Fendi yang hebat, saat di rapat para petinggi manajemen perusahaan- mereka sampai tidak berkutik, pengacara memang berbeda dengan pengusaha. Jantungku sempat berdebar kencang ketika membahas masalah serikat buruh.""Serikat buruh?" Tanya Bora.Fendi tidak tertarik dengan pujian dan Arka dan sibuk meletakkan ayam di piring istrinya. "Bukan masalah besar, nanti kamu akan paham.""Apakah karena aku perempuan, makanya kamu bilang begitu?" Tanya Bora yang sedikit tersinggung.Fendi tersenyum kecut. "Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja aku terlalu malas menjelaskan."Bora menaikkan kedua alisnya lalu mengangguk singkat. "Baiklah, jika kamu bicara seperti itu."Fendi menepuk kepala Bora dengan lembut. "Jangan marah."Bora menepis tangan Fendi. "Aku tidak m
"Selamat malam untuk adik-adik mahasiswa yang saya sayangi, termasuk masyarakat yang saya cintai. Terima kasih sudah bersedia datang untuk mendengarkan saya." Edwin mulai membuka acara sambil berdiri, menatap para peserta yang hadir. "Dikesempatan kali ini, ada presiden kesayangan kita yang juga hadir, mari kita tepuk tangan terlebih dahulu."Aji berdiri dan menyapa para peserta dengan menangkupkan kedua tangan. "Nah, mumpung ada pak Presiden tercinta di sini. Ayo kita membahas tentang legal atau ilegal rumah atau tanah yang ditempati masyarakat di tanah milik pemerintah." Edwin tersenyum ke Aji. Perkataan Edwin, tentu saja membuat orang yang paham, menjadi lelucon. Dimana-mana menempati tanah atau rumah yang tidak memiliki sertifikat jelas, pasti ilegal. Namun, tidak semua masyarakat paham mengenai hal ini dan parahnya masyarakat tidak mau tahu tentang hal ini, bagi mereka yang mendiami tempat itu sudah lama, tentu saja dianggap legal. Hal ini karena kurang tegasnya pemerintah dan