33."Mm-mas bisa jelasin, dek. Mas nggak macam-macam didalam sana, sungguh!" Dayat berucap dengan gugup seraya mengangkat jari telunjuk, dan tengahnya. Bertanda dia sungguh-sungguh dengan ucapannya, berharap Siska tak salah paham lagi padanya. Ya. Wanita yang tadi bertanya padanya adalah Siska, yang baru saja datang dari kantin rumah sakit bersama Sandra. Siska tersenyum geli, melihat wajah Dayat yang gugup. Dia pun segera mendekati Dayat, dan duduk di sampingnya. "Terimakasih, mas," ujar Siska tiba-tiba dengan menyenderkan kepalanya pada bahu Dayat. Kening Dayat mengerut mendengar Siska yang mengucapkan terimakasih padanya. Matanya menatap Sandra yang tengah duduk, sibuk menikmati roti yang tadi mereka beli di kantin rumah sakit. Rasanya tak mungkin dia bertanya pada Sandra yang sedang fokus pada makanan nya. Tak mendengar suara sang suami, Siska mengangangkat kepalanya, dan menatap Dayat dengan lekat. "Terimakasih karena sudah menolak permintaan dari mbak Sari. Terimakasih m
34.Sedangkan di lain sisi, ada Tejo yang tengah merasakan sakit yang teramat sangat pada area intimnya. Sudah hampir satu Minggu Tejo tak lagi bisa berbagi keringat dengan wanita yang dia bayar, lantaran 'aset' nya yang teramat sakit. Jangankan untuk berhubungan badan, untuk membuang hajat pun Tejo harus mengumpulkan keberaniannya terlebih dahulu.Sebab rasa sakit itu akan membuatnya sangat takut. "Duuh. Ini, kok tambah sakit, sih? Padahal sudah mau sebulan. Kenapa nggak hilang-hilang sakitnya?" Tejo menggerutu seorang diri di dalam kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untuknya yang sekarang tak bisa lagi berjalan dengan leluasa, akibat rasa sakitnya. Tejo bangkit perlahan dari pembaringannya, dan menggaruk ruam yang kini juga timbul di area mulut, dan belakang telinganya."Ini ruam juga, timbulnya di mana-mana. Nggak di garuk, gatal. Tapi, kalau di garuk malah sakit." Tejo terus menggerutu seraya mengingat-ingat lagi apa penyebabnya sampai dia bisa seperti ini. Namun, tak ada
35."Sar, ayo, ikut mbak ke pengajian!" Wati yang sudah rapi, berdiri di depan pintu kamar sang adik. Dia akan menjalankan perintah yang suaminya katakan beberapa hari yang lalu. Kebetulan hari ini ada pengajian rutin yang dilakukan di masjid yang terletak tak begitu jauh dari rumah yang Wati, dan keluarganya tempati. Tok, tok, tok! "Sari!" Wati mengulang panggilannya saat tak ada suara sahutan dari dalam kamar. Wati yang tak sabaran pun segera memutar kenop pintu kamar Sari. Tapi, sayang. Pintu itu justru terkunci. "Dek. Buka pintunya! Kamu nggak papa'kan?!" Wati dengan panik terus berusaha memanggil Sari. "Loh, mbak?" Sebuah suara yang menyapa gendang telinganya, membuat Wati langsung menoleh. "Ya Allah, dek! Kamu dari mana, sih? Mbak kira kamu didalam, loh!" Wati menggerutu dengan rasa lega. Karena adiknya tengah berdiri di hadapan dengan sehat, tak seperti yang dia pikirkan. "Aku dari kamar Wiwin. Aku," Sari menjeda ucapannya sejenak. Matanya yang mulai berkaca-kaca mena
"Mbak, toilet dimana? Aku mau buang air kecil, nih." Sari menyenggol lengan Wati yang tengah menyimak penjelasan Kyai di depan sana.Wati langsung menoleh padanya. "Mau mbak temenin?" "Nggak usah." Sari menggeleng, "mbak kasih tau aja dimana toiletnya," imbuhnya lagi dengan mimik wajah yang gusar, karena menahan sesuatu yang ingin segera dituntaskan."Kamu keluar dari sini, terus belok kiri. Dari situ kamu jalan lurus aja nanti ketemu toilet disana." Wati menerangkan dengan serius, serta gerakan tangannya. Agar Sari paham. Sari yang menyimak penjelasan Wati dengan serius langsung mengangguk, dan bangkit berdiri dengan tergesa-gesa.Dirinya melempar senyum saat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya.Sudah dari tadi dia menahan diri untuk membuang hajat karena tak enak hati bertanya pada Wati. Sari langsung berjalan menuju toilet dengan mengingat kembali arahan dari Wati tadi. "Akhirnya ketemu juga," seru Sari dengan riang saat sudah menemukan sebuah pintu yang bertuliskan toilet.
Sepanjang perjalanan menuju ke balai desa. Sari terus merengek pada sang kakak, bahwa dirinya tak bersalah.Namun, Wati hanya menatapnya dengan pandangan tak berdaya. "Mbak. Aku mohon, percaya sama aku. Aku nggak ngapa-ngapain sama dia di dalam sana!""Maafkan mbak, dek. Mbak bukannya nggak percaya, tapi mbak nggak bisa melawan orang banyak ini," sahut Wati lirih," kakak iparnu sebentar lagi datang. Biar dia yang mengurus ini," lanjutnya lagi. Memberikan sedikit harapan pada Sari. Sari yakin, kakak iparnya pasti akan membelanya, dan membuatnya terbebas dari masalah ini.Dia terus merutuki dirinya sendiri karena tak melihat tulisan yang berada di pintu toilet. Seandainya tadi dia lebih teliti lagi, pasti dirinya tak berada di posisi ini sekarang. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalannya sungguh tak ada gunanya lagi. ___"Ya Allah, nak! Kamu kenapa bisa berbuat seperti ini? Kalau kamu mau menikah, ibu bisa melamarkan dia dengan cara baik-baik. Nggak perlu pake cara seperti ini
Mau tak mau akhirnya Sari terpaksa harus menikah dengan Trisno. Dia tak mau membuat kakak, dan kakak iparnya ikut mendapat malu karena ulahbya yang teledor. Sari terisak saat mendengar Trisno mengucapakan ijab qobul dengan lantang, dan jelas. Dirinya menangisi takdir hidup yang seperti mempermainkan dirinya.Saat Dayat sudah tak mau lagi menerimanya. Dirinya sudah memantapkan hati untuk hidup sendiri, dan bekerja agar bisa bertemu dengan Sandra. Dirinya sangat ingin memberikan yang terbaik untuk Sandra sebagai bentuk permintaan maafnya. Karena selama ini telah menyia-nyiakan Sandra. Tapi, apalah dayanya. Sari hanya bisa berandai-andai, tapi hanya sang pencipta lah yang menentukan jalan takdirnya. Sari menyambut uluran tangan Trisno dengan kepala tertunduk. Dia masih tak bisa percaya hal ini akan terjadi padanya.Menikah secara mendadak dengan orang asing, dan yang lebih memalukan lagi. Dirinya di gerebek dengan tiba-tiba."Mbak, maafin aku. Aku lagi-lagi gagal menjadi adikmu," uc
Trisno terkejut begitu pintu depan sudah terbuka lebar. Dia menatap wanita yang berpenampilan modis dengan tatapan tak percaya. "Nisa–""Aku kesini mau minta penjelasan kamu, mas. Kamu sudah menikah, iya?!" Wanita yang bernama Nisa itu berteriak lantang. Membuat Trisno memundurkan langkahnya karena merasa gendang telinganya berdengung akibat suaranya. Sari, dan Bu Darni pun tak kalah terkejut mendengar suara teriakan itu. Mereka berdua langsung meninggalkan dapur saat mendengar suara wanita tadi."Trisno. Kenapa wanita ini bisa ada di sini?" Bu Darni menatap wajah Trisno dengan tatapan kecewa. Trisno terburu-buru mendekati ibunya. "Bu, Trisno nggak ta—""Apa selama ini kamu masih berhubungan dengan wanita ini?" Bu Darni menyela pembelaan Trisno.Trisno terdiam tak berkutik di hadapan ibu nya. Dirinya mengaku salah karena sudah membuat ibunya lagi-lagi merasa kecewa. "Mas. Jawab! Kamu sudah menikah?! Ini istri kamu?" Nisa menunjuk Sari dengan geram. Sedetik kemudian kerudung yang
"Sudah, biar ibu saja. Kamu istirahatlah, lukamu pasti terasa sakit, kan?" Bu Darni mencegah tangan Sari yang hendak membantunya mengangkat piring bekas makan malam mereka bertiga. Sari berdiri mematung, tak tau harus berbuat apa. Dia sungkan jika harus masuk kedalam kamar terlebih dahulu. "Tris, bawa istrimu masuk kedalam kamar. Suruh dia istirahat," titah Bu Darni pada Trisno yang baru selesai menenggak air minumnya. Trisno meletakkan gelas kaca tersebut, lalu menatap Sari yang tengah berdiri di sampingnya. "Ayo." Dengan gerakan kepalanya Trisno mengajak Sari mengikutinya. Dengan sopan Sari berpamitan pada Bu Darni, lalu mengikuti suaminya. Saat masuk kedalam kamar, Sari langsung membuka tas ransel tempat pakaiannya berada. Beruntung tadi Wati memberinya beberapa lembar baju gamis, dan kerudung untuknya. Itulah yang akan dia kenakan. Entah kenapa, setelah merasakan kenyamanan memakai pakaian tertutup, dan kerudung. Sari jadi tak menyukai baju-baju yang biasa ia pakai dulu.
Sudah hampir satu Minggu Tejo menunggu kabar dari Fatima dengan rasa gelisah. Dia takut Fatima menolak pinangan darinya,namun apapun itu. Tejo sudah berjanji akan menghargai keputusan Fatima.“Mari makan siang, Bang!” Ajak seorang pekerja yang mengurus kebun Tejo.“Duluan saja, Ri. Aku nanti saja.” Tejo menjawab sekenanya. Ya, dia sekarang tengah berada di kebun miliknya. Kebun yang selama ini dia abaikan karena sibuk dengan nikmat duniawi. Dia membiarkan pekerjanya yang mengurus semuanya, dan dia hanya tinggal menerima hasilnya saja.Namun, semenjak sembuh dari sakitnya. Dia perlahan sudah mulai berkebun kembali. “Huuuft!” Tejo membuang nafasnya dengan kasar. Matanya tak lepas menatap layar ponsel dalam genggamannya dengan perasaan gelisah. Dia menunggu kabar dari Dayat, abangnya. Saat mereka hendak meninggalkan rumah Fatima saat itu, Fatima berkata bahwa dia akan menghubungi Siska untuk menyampaikan keputusannya. Kring…. Kring…. Kring! Ponsel dalam genggaman Tejo berdering c
“Tejo, hei!” Dayat menepuk pundak sang adik cukup keras karena kesal. Sedari tadi dia memanggil adiknya itu, namun adiknya sibuk melamun. Tejo menoleh ke arah abangnya dengan wajah kaget. “Ada apa, bang?” Dayat mendengus. “Makan. Dari tadi di panggilin susah banget, Jo. Kalau suka, bilang saja.” “Seandainya dia bukan sahabatnya mbak Siska,” ujar Tejo dengan tatapan menerawang. Dayat berdecak, sedari tadi adiknya sekali berkata begitu. Apa hubungannya dengan Siska?“Ada apa dengan mbak-mu?” “Aku takut mbak Siska ceritain ke dia tentang kelakuanku dulu.” Tejo menjawab sambil tertunduk. Dayat baru tau tentang kegelisahan adiknya. “Kamu sudah berubah. Kalau kamu betul-betul menyukainya, berusahalah. Biar mbak-mu jadi urusan Abang.” Dayat menepuk pundak Tejo pelan, memberi dukungan padanya. ___Acara syukuran di rumah Dayat telah usai. Semua keluarga nenek Atun pun sudah kembali ke kampung. Nasib Tejo semakin tak jelas. Dia sungguh menyukai wanita yang dia temui di rumah Dayat wa
Akhirnya, hari yang dinantikan oleh pasangan Siska, dan Dayat pun tiba. Hari dimana buah cinta mereka lahir kedunia dengan selamat. Dayat mencium pipi merah anak keduanya itu dengan sayang, setelah menyuarakan adzan pada putranya. Ya, Siska telah memberikan seorang putra pada Dayat. Lengkaplah sudah keluarga kecil mereka. “Aku boleh gendong, nggak?” tanya Sandra yang sedari tadi ikut gemas melihat bayi merah dalam gendongan ayahnya. “Nanti kamu jatuhin,” sahut Dayat seraya kembali mencium pipi putranya. “Ma, Sandra boleh gendong adek, ya?” Sandra merengek pada Siska yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien. Siska tersenyum pada Sandra lalu menatap suaminya. “Mas, kasih dulu ke mbak nya!” titahnya yang membuat Sandra berjingkrak kegirangannya. “Ojo pecicilan, nduk. Jatuh adekmu nanti,” ujar Dayat memperingati saat akan menyerahkan bayi itu pada Sandra. “Pake duduk saja, nak.” Siska memberi isyarat pada Dayat agar menyuruh Sandra duduk. Dia merasa ngeri melihat cara
“Assalamualaikum.” ucap Sandra, dan Dayat berbarengan saat sudah sampai di dekat Sari, dan Trisno berdiri. “Wa’alaikumussalam.” Trisno, dan Dayat langsung berjabatan tangan. Sedangkan Sandra langsung mendekati sang ibu, dengan senyum yang merekah. “Silahkan masuk, bang.” Trisno mengajak Dayat untuk masuk kedalam rumahnya, namun Dayat menolak karena Siska sedang sendirian di rumah.Akhirnya, Dayat pun berpamitan pulang setelah berpesan pada Sandra agar tak merepotkan Sari, dan Trisno. “Masuk yuk. Di tungguin sama nenek dari tadi.” Sari merangkul pundak Sandra, dan bersama berjalan masuk kedalam rumah. ___“Cukup, Bu. Aku sudah kenyang.” Sandra menggeser piring makannya kesamping saat Sari hendak menambahkannya nasi kedalam piringnya.“Makan yang banyak, nak,” ujar Sari memaksa. Sandra menggeleng, dan tetap menjauhkan piringnya. Dia sungguh sudah sangat kenyang saat ini. Bagaimana tidak? Sedari tadi Sari terus saja memberikan berbagai makan padanya.Semua lauk, dan sayur yang dia
“Kamu mau ketemu sama ibu, nak?” Siska angkat bicara. Dia berjalan mendekati kursi tempat Sandra duduk, lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap bahu Sandra yang masih bergetar karena isak tangisnya. “Kalau mau ketemu sama ibu, biar mama yang antar,” tawar Siska dengan senang hati. Sandra mengangangkat kepalanya menatap wajah Siska lalu bergantian menatap wajah Dayat. Dayat mengangguk dengan senyum tipisnya. “Boleh, Ma?” “Boleh, dong. Besok pagi Mama antar, ya. Sekalian Mama mau olahraga pagi, soalnya sebentar lagi adikmu datang,” sahut Siska seraya mengelus perutnya yang membesar. Hari persalinannya memang sudah dekat. Itu sebabnya dia harus banyak bergerak agar persalinannya nanti berjalan dengan lancar, itu pesan ibunya setiap kali menghubunginya lewat telpon. ____“Dek, nasinya dimakan. Jangan di liatin aja,” ujar Trisno saat melihat makanan istrinya masih utuh. Sedangkan Sari sedari tadi hanya menatap piringnya dengan wajah murungnya.“Ada yang mengg
“Hei?! Kamu kenapa, nak? Dari tadi mama panggil kok nggak nyahut? Lagi lamunin apa?” Siksa datang, dan menepuk pundak Sandra. “Eh?!” Wajah Sandra langsung terkejut melihat Siska sudah duduk di sampingnya dengan perut yang sudah membuncit. “Kamu kenapa? Ada masalah sama pendaftaran kuliah?” tanya Siska dengan lembut. Tangannya mengusap surai panjang milik Sandra.Sandra langsung menampilkan senyumnya, dan menutup raut wajahnya yang sedih. “Nggak ada, ma. Semuanya lancar, kok.” “Terus, kenapa?” Siska berusaha menilik wajah dari putri sambungnya itu.Namun, Sandra lebih dulu memalingkan wajahnya. “Sandra ke kamar dulu, ya, ma. Ada tugas kuliah,” kilahnya lalu buru-buru berdiri, dan masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Siska kebingungan. Dia menatap punggung putrinya dengan kening mengernyit. Dia baru menyadari bahwa beberapa hari ini Sandra memang terlihat sedikit pendiam. Jarang sekali Sandra bercanda padanya. Senyum yang Sandra tampilkan pun sangat di paksakan. Sis
Trisno mengumpulkan keberaniannya untuk menemui Sari, dan membawanya pulang bagaimana pun caranya. Ucapan Tejo tadi benar-benar sangat mengganggu ketenangannya. Trisno memarkirkan motornya di halaman rumah Wati, lalu perlahan melangkah menuju teras rumah. Tok, tok, tok. Trisno mengetuk pintu tanpa bersuara, dia takut kalau Wati tidak mau membukakannya pintu jika tau dia yang datang. “Iya, sebentar!” Terdengar sahutan dari dalam, tak lama kemudian pintu itupun terbuka dengan Sari yang berdiri di hadapannya. “Mas Trisno?” Nampak jelas wajah Sari yang terkejut bercampur bahagia. Dia meraih tangan Trisno, dan menciuminya dengan takzim. “Masuk, mas.” Sari menggeser tempatnya berdiri, memberi jalan untuk Trisno masuk. Dengan langkah ragu, dan juga takut Trisno masuk kedalam rumah, dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya sedari tadi sibuk mencari keberadaan Wati, dan juga suaminya. “Kenapa mas baru datang sekarang?” Sari ikut duduk di samping suaminya dengan bibir mengerucut. Trisno t
Sudah dua hari Sari di bawa pergi oleh Wati, dan suaminya. Dan dua hari juga Trisno seperti orang linglung. Dia sangat frustasi karena merasa seorang diri. Tak ada yang ada di sampingnya untuk membantu. Sikap ibunya pun bertambah dingin padanya, walaupun mereka tinggal di bawah atap yang sama. Trisno yang merasa suntuk memilih untuk keluar rumah, menghirup udara segar sekaligus memperbanyak keberaniannya untuk bertemu dengan kedua kakak iparnya. Trisno melajukan motornya ke arah warung kopi yang berada dipinggir jalan, tempatnya biasa bertemu dengan Nisa, dulu.Tentu saja Trisno kesana bukan untuk mengenang kebersamaannya dengan Nisa. “Bu, kopi pahit satu gelas,”pinta Trisno begitu sudah memarkirkan motornya. Dia lalu berjalan mendekati kursi panjang, tempat para pembeli biasa duduk menikmati pesanannya. “Tumben sendiri? Biasanya sama pasangannya,” celetuk ibu pemilik warung itu. Namun, Trisno hanya menanggapi dengan senyum tipisnya saja. Dia mengabaikan ucapan ibu tersebut, dia
Tok, tok, tok! “Permisi, Trisno! Keluar kamu! Sari!” Wati mengetuk pintu rumah Trisno dengan tak sabaran. Suaranya pun sangat nyaring. Sampai-sampai suaminya menegurnya. “Dek, jangan kaya gitu, malu di liatin tetangga.” Indra menarik tangan Wati yang hendak mengetuk pintu lagi. “Biarin! Biar semua orang tau kalau Trisno laki-laki bejat!” Wati menghempaskan tangannya dengan kuat.“Sari! Keluar, dek! Ini mbak mau jemput kamu!” Sedangkan di dalam rumah nampak Sari yang sudah mulai pulih tengah sarapan bersama Trisno. Bu Darni sedang sakit, jadi dia hanya sarapan bubur lalu kembali beristirahat di kamarnya. “Suara siapa itu, dek?” tanya Trisno urung memasukan sesendok nasi pada mulutnya. “Nggak tau, Mas. Tapi, dari suaranya sepertinya itu Mbak Wati. Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu?” Batin Sari mulai gelisah. Dia yakin pasti ada yang tidak beres sehingga kakaknya sampai berteriak seperti itu. “Bentar, mas cek dulu. Kamu habiskan dulu sarapannya, ya.” Trisno mengusap kepala