Akhirnya mereka berdua pun melakukan hubungan sepuasnya dan ketiduran karena merasa kelelahan. "Li... na...! Uuuu, uuuu, ken.. cing..." desis nenek Lina. Lina yang biasanya tidur satu kamar tapi beda kasur dengan neneknya, tentu saja tidak mendengar permintaan neneknya yang ingin buang air kecil. Nenek Lina yang sekarang sudah bisa duduk serta menggunakan kursi roda dengan didorong keluarga itu pun beringsut duduk dan berusaha meraih kursi roda yang ada di samping tempat tidurnya. "Liiiinn.. Linaaa!" seru neneknya terbata dengan suara serak. Tangan renta itu hampir berhasil meraih kursi roda, saat kursi roda itu justru tergeser karena rodanya yang lupa dikunci. Akhirnya nenek Lina berusaha untuk bangkit dan berdiri dari kasur untuk meraih kursi rodanya. Berhasil! Tangan nenek Lina berhasil meraih pegangan kursi rodanya. Namun nahas, sebelum berhasil duduk di kursi roda, syaraf kaki renta nenek yang lemah dan tidak singkron dengan perintah ke otak, akhir membuat nenek Lina tersungk
"Om, Om! Lepas kan suami Lina! Maafkan Lina! Sertifikat nya ada di bank! Huhuhu, maafkan Lina!"Wajah paman Lina memerah. "Hah? Apa?!""Iya, Om. Jadi memang aku membawa sertifikat itu ke bank," ulang Lina takut - takut. Paman Lina mendelik. "Kenapa? Kenapa kamu membawa sertifikat rumah nenek, Lin?" tanya pamannya penuh selidik. Paman Lina menatap tajam ke arah Lina dan Bagas secara bergantian. "Pasti guru ini yang mengajari kamu untuk mengambil dan memanfaatkan aset keluarga kita, ya kan?!" tuduh paman Lina seraya mengepalkan tangan kanannya. Bagas menatap dengan agak takut pada paman Lina yang gempal. Dia teringat pada ucapan Lina, beberapa hari sebelum mereka mengadakan resepsi. "Pak, saya tertekan sekali di rumah. Tetangga dan keluarga menatap saya dengan meremehkan. Huhuhu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Lina saat mereka bertemu di warung bakso langganan. Bagas menghela napas panjang. Dia juga bingung dan panik. Tapi dia berusaha untuk menenangkan diri agar Lina tidak
Satu bulan berlalu, Renita baru saja mengunci pintu rumahnya saat terdengar suara sapaan. "Lo Bu, mau kemana malam - malam begini?" tanya Arjuna yang muncul dari pintu gerbang rumah Renita. Di tangan anak lelaki berusia setahun lebih tua dari murid sebayanya itu membawa kantung plastik warna putih. Wangi gurih manis menguar dari dalamnya. "Kami mau ke pasar malam, Jun. Tadi sepulang dari daycare, Damar meminta ke sana malam ini," ujar Renita tersenyum menatap ke arah murid sekaligus tetangganya itu. "Oh, waduh. Padahal saya ingin ngobrolin proyek game yang akan saya masukkan ke aplikasi play store, dan sudah kubawakan martabak telur dan martabak manis dari holland," ujar Arjuna sambil menunjukkan plastik di tangannya. Renita tersenyum. "Wah, nggak usah repot - repot, Jun. Kan jadwal les privatnya besok? Jadi sekalian besok saja ya membahasnya?" tawar Renita. Arjuna mengangguk. Tapi dia tampak kecewa. Anak lelaki itu kesepian dan begitu merindukan almarhum mamanya. Tapi terkada
"Bu, sebulan lagi saya ujian sekolah dan lulus. Tunggulah saya sampai selesai kuliah dan bekerja. Saya akan melamar bu Renita. Apa bu Renita bersedia?" tanya Arjuna membuat Renita mendelik. Sesaat waktu terasa berhenti, hanya celoteh Damar saja yang terdengar. Arjuna menatap Renita dengan serius, sedangkan Renita menatap Arjuna dengan tatapan tidak percaya. Mendadak terdengar suara kesakitan dari mulut Arjuna. "Aduuuhh! Sakit, Bu!" ujar Arjuna saat tangan Renita mendarat di telinga muridnya itu. "Makanya jangan kelewatan bercanda nya, Jun! Kita memang dekat, tapi di sekolah hanya sebatas guru dan murid, sedangkan di luar lingkungan sekolah jadi kakak adik. Masa kamu memperlakukan saya seperti bercanda pada teman sebaya," protes Renita. Ekspresi Arjuna berubah. "Tapi, Bu, saya benar - benar serius dengan perkataan saya barusan," kata Arjuna. Renita menghela napas berat. "Jun, kalau kamu mengatakan hal yang aneh - aneh lagi dan menganggap saya teman sebaya kamu, lebih baik saya me
"Ayah, Bunda! Ayolah! Aku minta bagian warisan ku! Kalau tidak bisa membayar, pasti aku masuk penjara! Keluarga Lina tidak mau tahu dan akan melaporkan ku ke polisi kalau sertifikat rumah nenek Lina tidak dikembalikan dalam jarak waktu sebulan. Dan besok adalah waktu sebulan nya," ujar Bagas menghiba. Dia sudah mengemis pada orang tuanya untuk kesekian kalinya untuk meminta bagian warisan, kendati orang tuanya masih sehat. Orang tuanya hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala melihat kelakuan Bagas."Kamu nggak waras, Gas? Sejak kamu selingkuh, kamu seperti nya selalu apes!" ujar ibu Bagas kesal. "Iya. Ayah lihat, kamu sebagai laki - laki sudah tidak ada harga dirinya. Sudah ompong. Kamu kan sudah meminjam tiga puluh juta pada kami, dan sekarang kamu meminta warisan? Padahal kami belum m a ti, Gas!" ujar ayahnya menahan marah."Ayolah, amAyah! Bunda! Sekali lagi ini saja, tolong lah, Bagas! Bagas tidak mau masuk penjara! Bagas meminta bagian warisan seratus lima puluh juta saja. Na
Bagas menatap orang tuanya dengan pandangan penuh dengan terimakasih. "Ayah, Bunda! Terimakasih karena telah menyelamatkan hidup Bagas!" seru Bagas sambil memeluk kedua orang tuanya dengan erat secara bergantian di kantor polisi. Ayah Bagas hanya mengangguk tanpa suara. Lelaki itu memang dingin, tidak banyak bicara, tapi dia sangat memikirkan anak - anaknya dalam diamnya. "Itu harta ayah dan bunda terakhir, jangan bikin ulah lagi atau kami tidak bisa menolong kamu," ujar Bunda Bagas tegas. Bagas mengangguk dan mengiyakan ucapan ibunya berulang kali."Kamu pikir Bunda diam saja setelah mengetahui kamu tertimpa musibah dan membutuhkan uang? Ayah dan bunda langsung bermusyawarah untuk menjual rumah. Dan kamu tahu sendiri jika menjual rumah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu kami tidak bisa segera menjawab saat kamu meminta tolong untuk menebus sertifikat rumah nenek Lina. Dan kamu harus berterima kasih pada kakak kamu, karena dia juga rela rumah itu dijual sekaran
" Hm, tapi Jun, kamu masih anak sekolah, kelas tiga SMA yang sebentar lagi lulus. Apa kamu mampu menafkahi bu Renita? Kasihan lho kalau perempuan setelah menikah juga cari nafkah selain ngurus anak dan urus rumah. Aku melihat ibuku seperti itu di rumah. Jadi aku tahu betapa susah nya," ujar Adam seraya menghela napas panjang. Idris pun mengamini. "Aku gedek banget sama laki - laki yang menyia - nyiakan istri nya! Ya kayak bokap ku yang selingkuh sama pelakor dan akhirnya cerai sama nyokap! Emang laki - laki kayak t*i!" umpat Adam. "Aku tahu dengan pasti hal itu! Karena itu aku akan bekerja keras sambil kuliah. Setelah kuliah, aku akan masuk perusahaan papa walaupun harus bersaing dengan saudara tiriku! Kalau aku sudah berhasil masuk ke perusahaan papa, kalian juga akan kurekrut, jadi pastikan game yang sudah kita pasang di play store kemarin berkembang. Nanti kita akan kembangin lagi di perusahaan papa," ujar Arjuna yakin. Adam dan Idris berpandangan lalu mengacungkan kedua jempol
Renita menatap Arjuna dengan perasaan terkejut dan tidak percaya. Perlahan tangannya meraih kotak beludru berisi cincin itu. Dia mengalihkan pandangannya dari Arjuna ke cincin yang ada di tangannya. Cincin berlian sederhana, namun bercahaya indah di bawah sinar matahari senja.“Bu,” ujar Arjuna, menatap mata Renita dengan serius. “Saya tahu ini mungkin terdengar gila, tapi saya ingin menyampaikan sesuatu sebelum semuanya terlambat.”Renita menatap Arjuna, menunggu kelanjutan kata-katanya.“Saya mencintai Ibu,” ucap Arjuna dengan lantang.Renita tertegun, namun sebelum ia sempat menjawab, Arjuna melanjutkan. “Saya tahu saya masih muda, dan Ibu mungkin melihat ini sebagai cinta sesaat. Tapi saya sungguh-sungguh. Saya ingin Ibu menunggu saya. Saya berjanji akan kuliah dengan sungguh-sungguh, bekerja keras, dan ketika waktunya tiba, saya akan melamar Ibu.Renita, yang teringat beberapa kali Arjuna pernah membantunya—mulai dari mengantarkan Damar ke rumah sakit saat sedang hujan deras, mem
"Kamu tahu nggak apa persamaan antara cintaku padamu dengan isi kartu ATM ini?" tanya Arjuna dengan senyum dikulum. Renita menggeleng. "Emang apa persamaannya?!" tanya Renita bingung. "Persamaan antara isi kartu ATM ini dengan perasaanku padamu adalah sama - sama unlimited, jadi jangan ragu - ragu kalau kamu ingin beli apapun, Yang," ujar Arjuna sambil meraih tangan Renita dan memberikan black cardnya. Renita melongo. Diraihnya tangan Arjuna dan dikembalikan lagi kartu itu pada si empunya kartu. "Lho kenapa dibalikin, Yang? Kamu nggak butuh duit?" tanya Arjuna heran. Renita tertawa. "Haha, siapa sih di dunia ini yang nggak butuh duit? Tapi nanti saja deh, kalau kita sudah menikah, baru aku mau menerima nafkah dari mu. Kalau sekarang, jangan dulu. Kan kamu juga sudah membantuku untuk mendapatkan pekerjaan," ujar Renita tersenyum. Arjuna pun manggut-manggut. "Ya sudah kalau keinginanmu seperti itu. Hm, ngomong - ngomong soal menikah, aku ingin menikah langsung setelah aku lulus k
Semakin orang gila itu mendekat ke arah Renita, Renita pun terkejut saat melihat siapa sebenarnya perempuan gila yang disoraki oleh anak-anak, karena perempuan gila itu adalah Lina! Renita menahan nafas saat Lina semakin mendekat ke arahnya. Sesaat dia ragu jika perempuan gila yang sedang disoraki oleh anak - anak kecil itu adalah Lina, tapi semakin sosok itu mendekat ke arah Renita, dia pun semakin yakin bahwa perempuan ODGJ itu adalah perempuan yang sama yang telah merebut suaminya. "Lina? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kulit dan pikiran kamu rusak?" desis Renita saat Lina tepat berada di hadapannya. Tanpa diduga Lina berhenti di hadapan Renita sejenak, lalu mereka bertatapan. Dan mendadak Lina tertawa terbahak. "Hahaha! Ada set an! Haaa haaa haa!” seru Lina sambil menunjuk ke wajah Renita. Renita terperanjat dan sama sekali tidak menyangka jika Lina akan menyapanya dengan cara seperti itu. "Arghh! Setan! Setan!" seru Lina sambil merentangkan kedua tangannya dan berusaha menja
"Bagaimana kalau kamu juga bekerja di kantorku? Bu Renita kan juga sarjana komputer? Hitung-hitung membantu aku di perusahaan. Nanti aku tanyakan pada HRD, apa ada posisi kosong yang bisa diisi oleh bu Renita," ujar Arjuna mantap. "Ah tidak perlu. Aku tidak mau kalau mendapatkan pekerjaan dengan cara nepotisme," kata Renita. "Ini bukan nepotisme, ini hanya memberikan posisi pada orang yang membutuhkan. Begini, Bu, misalkan ada posisi di perusahaan yang sedang kosong, apakah lebih baik diberikan pada orang yang tidak kita kenal sama sekali atau kita berikan pekerjaan pada orang yang sudah kita kenal dengan baik dan terpercaya?" tanya Arjuna.Renita hanya manggut - manggut. "Ya, kamu benar. Ya sudah, kalau begitu besok aku akan melamar kerja ke perusahaan papa kamu," ujar Renita. "Sekarang kamu tidur ya, sudah malam,” sambung Renita lagi. "Iya, Bu. Tapi sebelum tidur, sebenarnya saya itu STNK sama gurunya," ujar Arjuna. Kening Renita mengerut. "Hah, apa itu STNK?" "STNK itu Selalu
Renita sedang mencari lowongan pekerjaan melalui media sosial nya saat sebuah pesan whatsapp masuk di ponselnya.Renita tersenyum saat membaca pesan whatsApp itu karena pesan itu dikirim oleh Arjuna.[Aku punya tebakan nih, Yang! Apa perbedaan antara akhir pekan dan cintaku padamu?]Renita dengan cepat membalas pesan Arjuna.[Tidak tahu. Memangnya apa bedanya, Jun?][Kalau akhir pekan itu weekend kalau cintaku padamu will never end]Balasan pesan dari Arjuna membuat Renita tersenyum. [Kamu bisa saja, Juna. Kamu belajar dari mana?][Belajar dari hati dong, Yang! Oh ya, kamu lahir tanggal satu ya?]Renita menjawab, [Enggak, emang kenapa?][Aku kira kamu lahir tanggal 1, karena kamulah satu-satunya tujuan hidupku.]Balasan chat dari Arjuna membuat Renita tertawa lepas.[Aku lahir tanggal 7 bulan depan.]Arjuna membalas dengan senyum terkembang. [Wah pantas saja kamu lahir tanggal 7, karena kamu adalah tujuan dari doa-doaku selama ini 🥰]Bunga - bunga di hati Renita seakan bermekaran.
Renita mengangguk, dia kemudian menggendong Damar dan berjalan menuju ke arah mobil Arjuna. Suasana hening saat mobil melaju. Damar yang semula merengek karena ingin bermain hujan, terdiam setelah Arjuna memberikan roti coklat yang memang sudah disiapkannya untuk calon anak sambungnya itu. "Kenapa kamu diam saja, Bu Ren?" tanya Arjuna melirik ke arah Renita yang sedang menatap kaca jendela yang basah oleh air hujan. "Apa ada hal berat yang sedang bu Nita pikirkan?" lanjut Arjuna lagi. Renita menghela napas panjang. "Aku masih merasa sangat bersalah pada Mas Bagas. Apa aku harus mengatakan pada orang tua Bagas bahwa anak bungsu mereka meninggal karena menyelamatkan aku?" tanya Renita. Arjuna menggeleng. "Menurut saya hal itu tidak perlu. Bukan kamu yang bersalah. Kamu kan tidak minta ditabrak, kamu juga tidak minta untuk diselamatkan oleh Bagas kan, Bu? Jadi tidak usah mengatakan hal yang akan membuat orang tua pak Bagas justru menaruh dendam pada bu Renita," ujar Arjuna panjang leb
Disusul dua batu yang mendarat dengan mulus di kaca belakang. Adi yang ketakutan, membeku di kursi belakang kemudi. Beberapa orang turun dari motor dan menyerbu mobil Adi. "Turun kamu! Atau mati!" teriak mereka murka. Adi menatap pada kerumunan orang yang berkeliling di depan mobilnya. "Ayo keluar dari mobil mu dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu atau aku kami akan memberi pelajaran, biar kamu modyar sekalian!" teriak orang-orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi sangat ketakutan. Tetapi dia tetap tidak mau keluar dari mobil karena khawatir akan diamuk massa. "Woi, budek ya?! Kalau kamu tidak mau keluar, kami akan menghancurkan mobilmu secara paksa dan menghajarmu!" teriak sebagian orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi terdiam di belakang kemudi sehingga membuat jengkel orang - orang yang berkerumun di hadapannya. Dua orang lelaki yang membawa batu besar menghantamkan batunya ke kaca bagian depan mobil sehingga pecah berhamburan, tepat pada saat itu, Adi ditarik o
"Sebagai manusia biasa, aku kecewa pada almarhum papamu, tapi bagaimana pun juga, papamu kan harus mendapatkan keadilan, terlepas apa yang pernah beliau lakukan padaku?!" tanya Renita balik. Arjuna manggut-manggut, lalu tersenyum pada Renita, merasa semakin yakin jika Renita adalah pasangan yang ditakdirkan oleh Tuhan untuknya. ***Malam itu, Adi sedang berada di rumah seorang teman, jauh dari hiruk pikuk rumahnya sendiri. Dia menikmati malam dengan tawa, mencoba melupakan keheningan dingin yang selalu menyelimuti rumah setelah kepergian Bisma, ayah tirinya. Sekaligus ingin mengerjakan tugas kuliahnya secara berkelompok.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan memenuhi ruangan, memberitahunya bahwa sesuatu terjadi di rumahnya."Den Adi, pulanglah sekarang," bunyi pesan dari salah satu asisten rumah tangganya. "Polisi datang menangkap Nyonya Sisi."Seakan tersambar petir, Adi segera meraih jaket dan helmnya. Ia tidak berpikir panjang. Motor melaju cepat melewati jalan gelap menuju rumahnya
Arjuna gemetaran. Ia mundur beberapa langkah dari meja, dadanya sesak. Ternyata selama ini kecurigaannya benar. Ibu tirinya adalah dalang di balik kematian ayahnya.Setelah menarik napas panjang, Arjuna kembali duduk. Dia tidak boleh membiarkan bukti ini hilang. Tangannya gemetar saat ia menyalin rekaman itu ke sebuah flashdisk yang tergeletak di laci meja. Setelah itu, dia juga mengirimkan file rekaman ke ponselnya sebagai cadangan. Namun, dia merasa bukti ini perlu dilindungi dengan lebih baik. Ia teringat pada Renita, sang kekasih hati yang selalu bisa menenangkannya. Arjuna mengirimkan video itu ke nomor Renita. "Renita harus tahu. Dia bisa membantu," gumamnya pelan.Tidak lama setelah mengirim pesan, ponselnya berdering. Nama Renita muncul di layar. Namun, Arjuna tidak ingin membicarakan hal ini melalui telepon. Dia mematikan ponselnya, memastikan ruangan kerja ayahnya kembali seperti semula, lalu bergegas mengambil kunci motor.Udara malam itu dingin menusuk. Angin yang bertiup
Suasana di makam yang mendung, membuat hati Arjuna gerimis. Dia seolah lemas dan tak bertulang saat turun ke galian tanah untuk menerima jasad papanya. Wangi kamboja yang ditiup semilir angin tak mampu meredakan kesedihan dan kecurigaannya atas kematian Bisma. Lagi, air matanya jatuh menetes di pipi. Renita yang datang melayat tanpa mengajak Damar, dengan leluasa memegang bahunya lembut, seolah menularkan kekuatan. Tapi Arjuna hanya terdiam, sebenarnya dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Renita, tapi salah satu sisi hatinya meminta untuk bersandar pada perempuan itu. Arjuna menahan keinginan untuk menangis di bahu Renita, dia tidak ingin membuat Renita khawatir. Setelah pemakaman selesai, suasana di rumah kembali sunyi. Arjuna duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Sisi terlihat masih sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Namun tak lama kemudian, seorang pria berkacamata masuk dan memperkenalkan diri sebagai pengacara almarhum Bisma.“Mohon maaf, saya ingin berbicara denga