Renita menatap Arjuna dengan perasaan terkejut dan tidak percaya. Perlahan tangannya meraih kotak beludru berisi cincin itu. Dia mengalihkan pandangannya dari Arjuna ke cincin yang ada di tangannya. Cincin berlian sederhana, namun bercahaya indah di bawah sinar matahari senja.“Bu,” ujar Arjuna, menatap mata Renita dengan serius. “Saya tahu ini mungkin terdengar gila, tapi saya ingin menyampaikan sesuatu sebelum semuanya terlambat.”Renita menatap Arjuna, menunggu kelanjutan kata-katanya.“Saya mencintai Ibu,” ucap Arjuna dengan lantang.Renita tertegun, namun sebelum ia sempat menjawab, Arjuna melanjutkan. “Saya tahu saya masih muda, dan Ibu mungkin melihat ini sebagai cinta sesaat. Tapi saya sungguh-sungguh. Saya ingin Ibu menunggu saya. Saya berjanji akan kuliah dengan sungguh-sungguh, bekerja keras, dan ketika waktunya tiba, saya akan melamar Ibu.Renita, yang teringat beberapa kali Arjuna pernah membantunya—mulai dari mengantarkan Damar ke rumah sakit saat sedang hujan deras, mem
Malam harinya, Arjuna menghubungi Renita melalui telepon. Ia tak bisa menahan hasrat untuk mendengar suara wanita yang kini telah ia beri cincin.“Bu Renita,” sapanya dengan suara riang.“Ya, Arjuna? Ada apa?” jawab Renita, kali ini terdengar lebih santai.“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih lagi. Cincin itu adalah janji saya. Dan satu lagi, Bu...” Arjuna berhenti sejenak, menyusun kata-kata manis di kepalanya.“Apa?” Renita bertanya, penasaran.“Ibu tahu nggak, kalau senyum Ibu itu seperti sinar bulan di malam gelap? Membuat hati saya tenang setiap kali melihatnya,” ujar Arjuna.Renita tertawa kecil. “Kamu ini, ada-ada saja.”“Tapi itu serius, Bu. Saya akan pergi kuliah ke luar negeri minggu depan, tapi saya akan tetap menghubungi Ibu. Tolong doakan saya agar sukses, ya.”"Tentu saya akan selalu mendoakan kamu, Jun. Semangat ya," sahut Renita. Hening sejenak. Renita merasakan hatinya menghangat, seperti ada kupu - kupu yang beterbangan di sana. Tapi perempuan itu segera mengg
"Ini suratsurat perjanjian, Mas. Bahwa kamu tidak akan berpaling dariku, dan tidak akan mencari perempuan lain, baik itu mantan istri mu atau gadis lainnya. Kalau kamu melakukan nya, semua tabungan akan jadi milikku dan kamu akan pergi ruko ini tanpa membawa sepeser pun uang. Bagaimana, Mas? Apa kamu setuju?!" tanya Lina dengan ekspresi serius.Bagas tercengang sejenak, menatap tidak percaya pada mantan anak didiknya yang sekarang menjadi istrinya. Lalu tak lama kemudian, Bagas tertawa, membuat Lina mengerutkan dahinya. "Mas kok kok tertawa sih? Apa ada yang lucu? Padahal aku sedang ngomong serius," ujar Lina dengan manyun. Bagas hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. "Aku hanya tidak percaya. Apa kamu benar - benar murid polos yang ku nikahi kemarin? Hm, ralat, kamu nggak polos sih, kamu pintar matematika, hanya saja kamu masih kecil dan kehilangan dalam menghadapi hidup ini. Tapi sekarang, apa ini? Kamu seperti emak - emak yang takut ditinggal selingkuh suaminya padahal suamin
Setelah Lina tertidur, Bagas pun merebahkan diri di samping Lina. Tapi belum sepuluh menit, Bagas memejam mata, Lina sudah menggoyang - goyangkan bahunya. "Mas, Mas Bagas, bangun, Mas!"Bagas menguap sebentar lalu mengucek matanya. Dia menatap ke arah Lina dengan pandangan penuh tanya. "Mas, anakmu lapar. Kayaknya pengen sate ayam! Tolong belikan, Mas," pinta Lina dengan wajah memelas. Bagas menatap ke arah jam dinding. "Sudah jam setengah sebelas malam, Lin. Kamu makan yang ada saja ya. Tadi aku nggoreng telur dadar. Aku ngantuk, besok saja satenya," ujar Bagas, meminta pengertian Lina. Tanpa diduga, Lina menangis keras. "Huhuhu, mas Bagas jahat! Pokoknya aku mau sate malam ini!" Bagas pun menghela napas panjang. "Ya sudah, iya. Jangan nangis. Aku belikan sekarang ya," ujar Bagas. Dia pun bangun lalu memakai jaketnya. Bagas keluar dari ruko satu lantai sederhana yang disewanya lalu menaiki motor menyusuri jalan mencari sate ayam. Gerimis tipis mulai turun dan membasahi Bagas
Beberapa bulan sebelum nya, Lina duduk di ruang tamu dengan wajah kesal. Ponselnya telah ia tekan berulang kali, mencoba menghubungi Bagas, suaminya. Namun, setiap panggilan berakhir sama: nada sambung tanpa jawaban. Sudah lebih dari satu jam sejak Bagas pamit pergi untuk membelikannya cenil dan lupis, ponselnya mati. Lina mulai gelisah, pikirannya berputar."Jangan-jangan dia...," batinnya terganggu. Pikiran buruk tentang Bagas kembali pada Renita, mantan istrinya, mulai menguasai benaknya.Lina berjalan mondar-mandir, mendadak emosinya memuncak. "Kalau memang dia kembali ke Renita, aku tak akan memaafkan dia!" Lina membanting ponselnya ke sofa.Tiba-tiba, dering telepon membuyarkan kemarahannya. Dengan cepat, Lina meraih ponselnya. Namun, bukan nama Bagas yang tertera, melainkan nomor asing."Halo?" Lina menjawab dengan suara ketus.“Selamat malam, Ibu Lina. Saya Bripka Hadi dari Polsek Cempaka. Suami Anda, Bagas, mengalami kecelakaan dan saat ini berada di rumah sakit. Mohon seger
Lina, yang mengetahui rencana Bagas, justru merasa lega. "Baguslah kalau ada yang mau ngurus kamu," katanya tanpa emosi.Bagas merasa hatinya hancur. Ia tidak pernah membayangkan rumah tangganya dengan Lina akan berakhir seperti ini. Namun, ia juga tidak punya pilihan. Demi bisa bertahan, ia harus menerima kenyataan yang pahit.Dan kini sekarang dia berada di ruang tamu Renita, berharap mantan istrinya itu bersedia kembali padanya. Tapi rupanya Renita dengan terang - terangan menolaknya. "Maaf, saya tidak bisa membantu. Tolong jangan datang lagi!" seru Renita tegas. "Kenapa kamu begitu keras kepala, Ren?! Apa kamu tidak kasihan dengan Damar? Kita rujuk agar Damar tidak menjadi anak broken home!" seru Bagas. Renita menghela napas panjang. Melirik sejenak ke arah ruang di belakang nya. Damar tadi sudah tidur, tapi jika Bagas berteriak seperti ini, bisa - bisa anak itu terbangun lagi. Hal itu yang dikhawatirkan Renita. "Kamu ingin rujuk, untuk Damar atau agar dapat perawat gratis da
"Gampang! Kerjaan nya mudah, gajinya gede. Jadi LC, Mbak. Kebetulan ada tamu saya yang fetishnya suka sama perempuan hamil," bisik perempuan itu lirih, tapi sanggup membuat Lina terpana. "Apa?!"Lina terdiam dan menatap perempuan berdandan menor di depannya dengan tatapan tak percaya. 'Hah, LC? Kalau nggak salah LC itu kan pemandu karaoke? Jadi seperti nya nggak apa - apa kan kalau aku cuma menjadi pemandu karaoke. Lagipula aku butuh uang juga untuk menghadapi persalinan,' batin Lina. 'Tapi kayaknya aku pernah liat di tiktok kalau LC itu kerjaannya dibawa orang ke hotel. Duh, gimana ya? Tapi tetangga ku dulu LC, kayaknya hidupnya baik - baik saja,' batin Lina. "Mbak, kenapa diam? Nge LC di tempat saya gede lho bayarannya. Kalau mau, bisa simpan kartu nama saya nih." Perempuan menor itu mengulurkan kartu nama ke arah Lina. Lina terdiam dan memperhatikan kartu nama itu. 'Mama Rosa, alamat jalan cinta, gang kepiting, nomor 109, nomor telepon 082Xxx,' batin Lina mengeja nama di kartu
Mobil itu pun melaju di area jalan raya. Lina meremas tas mungilnya dengan rasa takut. Semua kaca di mobil itu dicat gelap. Sehingga Lina tidak dapat melihat keluar mobil. Lina hanya bisa melihat jalanan depan dari kaca mobil depan supir.Lina tidak tahu jalanan mana yang dilewatinya, tahu - tahu setelah sekitar lima belas menit dibawa oleh mobil itu, akhirnya mobil itu berhenti. Supir mobil itu membukakan pintu mobil untuk Lina dan mengajak Lina masuk ke bangunan mirip hotel itu. Sampai di lobi bangunan, Mami Rosa tampak sedang bersantai mengenakan baju yukensi warna hitam, tanpa lengan sepaha. Dandanannya menor dan sebatang rokok terselip di antara jari tengah dan jari manis. Begitu melihat Lina, dia berdiri menyambutnya."Ah, selamat datang, Sayang! Duduk dulu. Aku jelaskan dulu jobdisk pekerjaan kamu di sini," ujar mami Rosa dan mengajak Lina untuk duduk di samping nya. Lina mengedarkan pandangan matanya ke lobi itu. Beberapa perempuan tampak mondar mandir. Beberapa dari mereka
"Kamu tahu nggak apa persamaan antara cintaku padamu dengan isi kartu ATM ini?" tanya Arjuna dengan senyum dikulum. Renita menggeleng. "Emang apa persamaannya?!" tanya Renita bingung. "Persamaan antara isi kartu ATM ini dengan perasaanku padamu adalah sama - sama unlimited, jadi jangan ragu - ragu kalau kamu ingin beli apapun, Yang," ujar Arjuna sambil meraih tangan Renita dan memberikan black cardnya. Renita melongo. Diraihnya tangan Arjuna dan dikembalikan lagi kartu itu pada si empunya kartu. "Lho kenapa dibalikin, Yang? Kamu nggak butuh duit?" tanya Arjuna heran. Renita tertawa. "Haha, siapa sih di dunia ini yang nggak butuh duit? Tapi nanti saja deh, kalau kita sudah menikah, baru aku mau menerima nafkah dari mu. Kalau sekarang, jangan dulu. Kan kamu juga sudah membantuku untuk mendapatkan pekerjaan," ujar Renita tersenyum. Arjuna pun manggut-manggut. "Ya sudah kalau keinginanmu seperti itu. Hm, ngomong - ngomong soal menikah, aku ingin menikah langsung setelah aku lulus k
Semakin orang gila itu mendekat ke arah Renita, Renita pun terkejut saat melihat siapa sebenarnya perempuan gila yang disoraki oleh anak-anak, karena perempuan gila itu adalah Lina! Renita menahan nafas saat Lina semakin mendekat ke arahnya. Sesaat dia ragu jika perempuan gila yang sedang disoraki oleh anak - anak kecil itu adalah Lina, tapi semakin sosok itu mendekat ke arah Renita, dia pun semakin yakin bahwa perempuan ODGJ itu adalah perempuan yang sama yang telah merebut suaminya. "Lina? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kulit dan pikiran kamu rusak?" desis Renita saat Lina tepat berada di hadapannya. Tanpa diduga Lina berhenti di hadapan Renita sejenak, lalu mereka bertatapan. Dan mendadak Lina tertawa terbahak. "Hahaha! Ada set an! Haaa haaa haa!” seru Lina sambil menunjuk ke wajah Renita. Renita terperanjat dan sama sekali tidak menyangka jika Lina akan menyapanya dengan cara seperti itu. "Arghh! Setan! Setan!" seru Lina sambil merentangkan kedua tangannya dan berusaha menja
"Bagaimana kalau kamu juga bekerja di kantorku? Bu Renita kan juga sarjana komputer? Hitung-hitung membantu aku di perusahaan. Nanti aku tanyakan pada HRD, apa ada posisi kosong yang bisa diisi oleh bu Renita," ujar Arjuna mantap. "Ah tidak perlu. Aku tidak mau kalau mendapatkan pekerjaan dengan cara nepotisme," kata Renita. "Ini bukan nepotisme, ini hanya memberikan posisi pada orang yang membutuhkan. Begini, Bu, misalkan ada posisi di perusahaan yang sedang kosong, apakah lebih baik diberikan pada orang yang tidak kita kenal sama sekali atau kita berikan pekerjaan pada orang yang sudah kita kenal dengan baik dan terpercaya?" tanya Arjuna.Renita hanya manggut - manggut. "Ya, kamu benar. Ya sudah, kalau begitu besok aku akan melamar kerja ke perusahaan papa kamu," ujar Renita. "Sekarang kamu tidur ya, sudah malam,” sambung Renita lagi. "Iya, Bu. Tapi sebelum tidur, sebenarnya saya itu STNK sama gurunya," ujar Arjuna. Kening Renita mengerut. "Hah, apa itu STNK?" "STNK itu Selalu
Renita sedang mencari lowongan pekerjaan melalui media sosial nya saat sebuah pesan whatsapp masuk di ponselnya.Renita tersenyum saat membaca pesan whatsApp itu karena pesan itu dikirim oleh Arjuna.[Aku punya tebakan nih, Yang! Apa perbedaan antara akhir pekan dan cintaku padamu?]Renita dengan cepat membalas pesan Arjuna.[Tidak tahu. Memangnya apa bedanya, Jun?][Kalau akhir pekan itu weekend kalau cintaku padamu will never end]Balasan pesan dari Arjuna membuat Renita tersenyum. [Kamu bisa saja, Juna. Kamu belajar dari mana?][Belajar dari hati dong, Yang! Oh ya, kamu lahir tanggal satu ya?]Renita menjawab, [Enggak, emang kenapa?][Aku kira kamu lahir tanggal 1, karena kamulah satu-satunya tujuan hidupku.]Balasan chat dari Arjuna membuat Renita tertawa lepas.[Aku lahir tanggal 7 bulan depan.]Arjuna membalas dengan senyum terkembang. [Wah pantas saja kamu lahir tanggal 7, karena kamu adalah tujuan dari doa-doaku selama ini 🥰]Bunga - bunga di hati Renita seakan bermekaran.
Renita mengangguk, dia kemudian menggendong Damar dan berjalan menuju ke arah mobil Arjuna. Suasana hening saat mobil melaju. Damar yang semula merengek karena ingin bermain hujan, terdiam setelah Arjuna memberikan roti coklat yang memang sudah disiapkannya untuk calon anak sambungnya itu. "Kenapa kamu diam saja, Bu Ren?" tanya Arjuna melirik ke arah Renita yang sedang menatap kaca jendela yang basah oleh air hujan. "Apa ada hal berat yang sedang bu Nita pikirkan?" lanjut Arjuna lagi. Renita menghela napas panjang. "Aku masih merasa sangat bersalah pada Mas Bagas. Apa aku harus mengatakan pada orang tua Bagas bahwa anak bungsu mereka meninggal karena menyelamatkan aku?" tanya Renita. Arjuna menggeleng. "Menurut saya hal itu tidak perlu. Bukan kamu yang bersalah. Kamu kan tidak minta ditabrak, kamu juga tidak minta untuk diselamatkan oleh Bagas kan, Bu? Jadi tidak usah mengatakan hal yang akan membuat orang tua pak Bagas justru menaruh dendam pada bu Renita," ujar Arjuna panjang leb
Disusul dua batu yang mendarat dengan mulus di kaca belakang. Adi yang ketakutan, membeku di kursi belakang kemudi. Beberapa orang turun dari motor dan menyerbu mobil Adi. "Turun kamu! Atau mati!" teriak mereka murka. Adi menatap pada kerumunan orang yang berkeliling di depan mobilnya. "Ayo keluar dari mobil mu dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu atau aku kami akan memberi pelajaran, biar kamu modyar sekalian!" teriak orang-orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi sangat ketakutan. Tetapi dia tetap tidak mau keluar dari mobil karena khawatir akan diamuk massa. "Woi, budek ya?! Kalau kamu tidak mau keluar, kami akan menghancurkan mobilmu secara paksa dan menghajarmu!" teriak sebagian orang yang berkerumun di depan mobil Adi.Adi terdiam di belakang kemudi sehingga membuat jengkel orang - orang yang berkerumun di hadapannya. Dua orang lelaki yang membawa batu besar menghantamkan batunya ke kaca bagian depan mobil sehingga pecah berhamburan, tepat pada saat itu, Adi ditarik o
"Sebagai manusia biasa, aku kecewa pada almarhum papamu, tapi bagaimana pun juga, papamu kan harus mendapatkan keadilan, terlepas apa yang pernah beliau lakukan padaku?!" tanya Renita balik. Arjuna manggut-manggut, lalu tersenyum pada Renita, merasa semakin yakin jika Renita adalah pasangan yang ditakdirkan oleh Tuhan untuknya. ***Malam itu, Adi sedang berada di rumah seorang teman, jauh dari hiruk pikuk rumahnya sendiri. Dia menikmati malam dengan tawa, mencoba melupakan keheningan dingin yang selalu menyelimuti rumah setelah kepergian Bisma, ayah tirinya. Sekaligus ingin mengerjakan tugas kuliahnya secara berkelompok.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan memenuhi ruangan, memberitahunya bahwa sesuatu terjadi di rumahnya."Den Adi, pulanglah sekarang," bunyi pesan dari salah satu asisten rumah tangganya. "Polisi datang menangkap Nyonya Sisi."Seakan tersambar petir, Adi segera meraih jaket dan helmnya. Ia tidak berpikir panjang. Motor melaju cepat melewati jalan gelap menuju rumahnya
Arjuna gemetaran. Ia mundur beberapa langkah dari meja, dadanya sesak. Ternyata selama ini kecurigaannya benar. Ibu tirinya adalah dalang di balik kematian ayahnya.Setelah menarik napas panjang, Arjuna kembali duduk. Dia tidak boleh membiarkan bukti ini hilang. Tangannya gemetar saat ia menyalin rekaman itu ke sebuah flashdisk yang tergeletak di laci meja. Setelah itu, dia juga mengirimkan file rekaman ke ponselnya sebagai cadangan. Namun, dia merasa bukti ini perlu dilindungi dengan lebih baik. Ia teringat pada Renita, sang kekasih hati yang selalu bisa menenangkannya. Arjuna mengirimkan video itu ke nomor Renita. "Renita harus tahu. Dia bisa membantu," gumamnya pelan.Tidak lama setelah mengirim pesan, ponselnya berdering. Nama Renita muncul di layar. Namun, Arjuna tidak ingin membicarakan hal ini melalui telepon. Dia mematikan ponselnya, memastikan ruangan kerja ayahnya kembali seperti semula, lalu bergegas mengambil kunci motor.Udara malam itu dingin menusuk. Angin yang bertiup
Suasana di makam yang mendung, membuat hati Arjuna gerimis. Dia seolah lemas dan tak bertulang saat turun ke galian tanah untuk menerima jasad papanya. Wangi kamboja yang ditiup semilir angin tak mampu meredakan kesedihan dan kecurigaannya atas kematian Bisma. Lagi, air matanya jatuh menetes di pipi. Renita yang datang melayat tanpa mengajak Damar, dengan leluasa memegang bahunya lembut, seolah menularkan kekuatan. Tapi Arjuna hanya terdiam, sebenarnya dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Renita, tapi salah satu sisi hatinya meminta untuk bersandar pada perempuan itu. Arjuna menahan keinginan untuk menangis di bahu Renita, dia tidak ingin membuat Renita khawatir. Setelah pemakaman selesai, suasana di rumah kembali sunyi. Arjuna duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Sisi terlihat masih sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Namun tak lama kemudian, seorang pria berkacamata masuk dan memperkenalkan diri sebagai pengacara almarhum Bisma.“Mohon maaf, saya ingin berbicara denga