"Apa? Mau apa? Kamu pikir aku bercanda? Kamu pikir aku nggak berani bunuh bayi ini? Hah?"Diki terdiam, nafasnya naik turun, kini ia benar-benar tak berkutik dengan ancaman Dea, ia tak mau hal buruk terjadi dengan anaknya. "Tunggu disini!" pinta Dea.Dea beranjak mendekati lemari, diambilnya sebotol obat berukuran kecil dan menunjukkannya pada Diki. "Kamu liat apa ini? Ini obat, dan kalau aku minum obat ini, hmmm ya kamu tau apa yang akan terjadi sama anak kamu Mas.""Astaghfirullah, Dea. Kenapa kamu begitu memaksakan diri Dea.""Karena aku ingin seperti Kakak iparmu Mas! Aku ingin di kagumi banyak orang. Aku ingin di hormati, dulu saat aku jadi guru, orang-orang menghormati aku, sekarang? Apa yang mereka liat dari aku? Mereka bahkan selalu merendahkan aku Mas!""Itu cuma perasaan kamu De.""Itu kenyataan!"jawab Dea dengan berteriak.Diki akhirnya terdiam. "Kita beli mobil besok! Harus!" Hardik Dea."Pikirkan De, dimana mobil itu nanti di simpan? Tidak ada jalan mobil ke rumah ini.
Kini hutang Dea kian menumpuk, banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk menagih. Tak jarang Dea sering bersembunyi di dalam rumahnya karena tidak bisa membayar hutang. Pagi hari di hari minggu, Diki tengah membenarkan kipas yang rusak. Tok tok tok. Assalamualaikum? ucap seorang wanita berusia empat puluh tahunan, dengan wajah yang nampak sedikit kesal."Waalaikumsalam," terdengar sahutan seorang lelaki, sembari membukakan pintu. " ya Bu?""Mbak Dea nya ada Mas?""Ada di belakang, sebentar ya saya panggil kan."Tak lama Diki kembali bersama Dea."Biar aku yang temani dia," pinta Dea pada suaminya, Diki pun mengiyakan dan membiarkan , Dea menemui tamunya di teras rumah. "Disini saja ya Bu Erah, di dalam ada suami saya.""Iya nggak apa-apa, gimana nih Bu Dea, ko cicilannya macet terus? Sudah tiga bulan loh ini.""Iya Bu, ekonomi lagi susah nih. Minggu besok lagi saja ke sini ya?""Tidak bisa Mbak Dea, sekarang waktunya bayar. Hutang Mbak sudah tujuh juta loh.""Apa? Tujuh
"Tidak! Aku tidak mau cerai. Aku tidak mau cerai Mas!""Cukup Dea! Cukup kamu buat aku pusing. Istri seperti kamu tidak bisa di nasehati dengan cara lembut.""Aku minta maaf, Mas. Aku janji, aku akan berubah lebih baik lagi.""Tidak! Sekarang juga serahkan mobil itu ke sowrum sekarang!"teriak Diki. Amarahnya saat ini tak bisa di tahan lagi, kekecewaannya sudah begitu besar pada Dea."Tidak Mas, jangan. Aku janji, aku bisa menyicilnya, aku akan bekerja keras untuk membayar semua hutang-hutang ku."Diki langsung mengambil kunci mobil dan bergegas menuju ke arah mobil Dea yang di simpan di kebun pinggir jalan raya. Tak tinggal diam Dea mengejar Diki untuk menghalanginya, hatinya tak ikhlas andai mobil itu harus di tarik."Mas, tunggu Mas, aku gak akan membiarkan kamu kembalikan mobilku ke sowrum. Kamu harus percaya sama aku, aku bisa kerja buat bayar cicilannya Mas,"ujar Dea dengan langkah cepat mengejar suaminya.Sementara Diki sudah tak peduli lagi dengan ocehan Dea, kepalanya terasa
"Aneh deh, masa kamu yang nemenin aku di sini? Mas?" teriak Dea memanggil manggil Gilang, namun Gilang tetap berlalu meninggalkan Dea dan Fitri."Udah, diem kalau ngerasa sakit. Tapi kalau ngerasa udah sembuh cepet pulang. Lagian gak betah aku lama-lama harus nungguin kamu di sini."hardik Fitri.Dea terdiam, wajahnya nampak sedih menatap pintu. Hatinya terasa begitu sakit saat keadaannya sakit, suami yang ia butuhkan perhatiannya memilih untuk pergi.(begitu pikirnya)**** "Masih ada yang terasa sakit Bu Dea?"tanya seorang dokter."Ini dok, sebelah dada terkadang nyeri.""Oh iya Bu, itu karena benturan. Lambat laun akan pulih dengan sendirinya.""Jadi kapan bisa pulangnya dok?" tanya Fitri. "Hmmm, hari ini juga boleh, semuanya terlihat membaik.""Allhamdulillah."Dan dokter pun meninggalkan ruangan Dea. "Cepat siap-siap kita pulang hari ini."Dea menuruti ucapan Fitri, ia bersiap membersihkan dirinya. Sementara Fitri menelepon Gilang untuk menjemput mereka. Setelah semua biaya suda
Part 14. Dea salah paham dalam menilai kebaikan Gilang. Hatinya begitu rapuh, saat ia begitu mengharapkan perhatian dari seseorang, kini Gilang bisa memberinya tanpa ia sadari hal itu akan menjadi bumerang untuk dirinya.[Mas ... Terimakasih ya, makanannya. Enak banget,] Ketiknya dengan bibir yang terus tersenyum. Centang biru pun langsung terlihat, tak sabar hatinya menunggu balasan dari Gilang.[Iya] balas Gilang. (Hmmmm, gitu doang balasannya? Panjangan dikit kek. Tapi.... Gak apa-apa deh, aku lebih suka nih di buat penasaran begini, hihihi) gumamnya. Kini hidup Dea bagaikan tak ada beban, ia hanya memikirkan untuk dirinya sendiri, karena Icha terlihat bahagia tinggal bersama Fitri. ***** Pagi hari seperti biasa para karyawan satu per satu memasuki ruangan, dan mulai bekerja dengan serius. Hari itu Dea terlambat datang, sehingga semua mata bisa menoleh kearahnya. Penampilan Dea tak seperti biasanya, ia menggunakan blazer hitam, di padukan dengan celana panjang, sementara ra
"Asstagfirallah, Mas... kenapa kamu sekarang berani bohongi aku? Aku kenal kamu dari dulu, kamu nggak pernah begini, Mas." Guman Fitri dengan air mata berderai, hatinya hancur lebur menatap suaminya yang tengah berduaan dengan Dea. Fitri membalikan tubuhnya, ia memutuskan untuk pergi dari tempat itu, sementara Dea tersenyum miring menatap punggung Fitri yang semakin menjauh. ("Ini baru awal Mbak, selanjutnya kamu akan benar-benar hancur,") batin Dea. "De, Mas mau pulang sekarang, kamu mau ikut kerumah, atau balik ke kost an?""hmm, aku balik ke kostan aja Mas, oya makasih ya.""Oke. hati-hati ya."Gilang pun pergi meninggalkan Dea yang terlihat begitu ceria. "Ehmm, cie..... yang udah jalan bareng ... "suara seorang wanita mengejutkan Dea, Rina teman sekantor Dea tengah berdiri di samping belakang tubuhnya. "Rina, kamu disini?""Iya, udah santai aja. Aku bakal jaga rahasia ko." ucap Rina, sembari mencubit kecil bahu Dea diiringi tawa candanya. "Apaan si?""Udahlah De, kita sekan
"Ehmmm ... Oya sepertinya tadi anak kamu kamu minta jalan-jalan De, sebaiknya hari ini kamu ajak Icha jalan gih," Ucap Fitri yang secara langsung membuyarkan tatapan Dea. "Oya? Icha mau jalan-jalan?" Tanya Dea pada anak semata wayangnya. Icha pun dengan cepat mengangguk."Oke, hari ini kita jalan-jalan, bilang sama mamah, kamu mau kemana?""Du-Dufan."Icha terbata-bata sembari melirik kearah Fitri. "Ooh ke Dufan ya? Baiklah, yuk kita siap-siap!" seru Dea."Mah, ke Dufannya bareng Uwa dan Mentari kan?""Hmm, tidak...tidak... Icha, hari ini uwa dan Mentari nggak pergi kemana-kemana, badan uwa capek, mau istirahat dirumah, Icha jalan sama Mamah aja ya?" celetuk Fitri. Icha melirik kebarah Dea dan mengangguk pelan, walaupun sebenarnya bukan ini yang ia mau. "Oke, kalau begitu, pamit dulu sama uwa, Cha."pinta Dea sebelum pergi meninggalkan rumah Fitri. Rumah Fitri pun mendadak sepi saat Icha pergi bersama Dea, Mentari duduk sendiri menatap halaman rumahnya, dalam hatinya ia berharap De
"Apa? Berkas ini? Kamu yakin?""Ya, aku yakin. Tapi sudahlah lupakan saja. Aku tau kamu nggak bisa beri itu," Ucap Dea menantang. "Bukan, bukan itu maksud ku, kalau soal berkas proyek, oke saja, tapi jujur ini salah satu proyek besar yang selama ini aku incar, lalu kamu untuk apa?""Bastian, aku saat ini sedang merintis perusahaan kecil, ya semoga dengan proyek dari kamu itu, membuat perusahaan ku meju lebih cepat," Jelas Dea meyakinkan. "Benarkah? Wah... Kalau begitu boleh, tapi dengan syarat temani aku satu minggu ini, bagaimana? Bayarannya seimbang bukan?" "Oke, deal."Bastian dan Dea pun bersulam atas apa yang merekha rencakan. Batin Dea tertawa puas, "tak masalah hanya sekedar menemani Bastian satu minggu, dan imbalannya pun memuaskan, yang penting aku ingin membantu Mas Gilang, pastinya Mas Gilang akan salut padaku," gumam Dea. Malam semakin larut, Bastian membawa Dea menuju hotel, tanpa berpikir panjang Dea melakukan semua itu demi membuat Gilang senang. Rapat kembali di
Cukup jauh keduanya baru menemukan pom mini, Bastian langsung membeli bensin yang di masukan kedalam botol, setelah selesai mereka pun kembali ke jembatan."Ayok cepat isikan!" seru Fitri. Bastian langsung menurutinya, tak lama motor Fitri pun kembali menyala. " Alhamdulillah.... nyala. Makasih ya?""Oke! Silahkan kamu duluan hati-hati. "Fitri mengangguk dan melepas senyum sebelum berlalu meninggalkan Bastian. ***"Ya Allah... kamu dari mana sayang? Jam segini baru sampe rumah?" tanya Gilang dengan penuh kekhawatiran, sementara Fitri hanya menatapnya sekilas lalu berlalu ke arah kamar.Gilang merasa ada yang aneh dari sikap istrinya, ia mengikuti Fitri kedalam kamar dan memastikan bahwa Fitri baik-baik saja."Kamu baik-baik saja kan Bu?""Ponsel mu nggak aktif, aku khawatir nunggu kamu, sebenarnya kamu dari mana?"Gilang menodong Fitri dengan pertanyaannya. Fitri terlihat terdiam, sesekali terlihat ia mengatur nafasnya. "Aku dari kantor mu, dan kamu pergi, dari mana kamu Mas?"F
"Jangan Ge' Er kamu! Aku kenal suamiku, dia tidak serendah itu!" Hardik Fitri. "Oya? Jadi Mbak mau bukti, serendah apa suami mbak di hadapan aku?""Hmmm, sebentar!" Dea mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu membuka-buka galerinya. "Kita pernah menikmati malam bersama berdua, nih." Ucapnya dengan semangat menunjukkan photo saat keadaan Gilang tengah tak sadar. Fitri membuang muka, seakan jijik melihat photo yang Dea unjukkan pada dirinya."Oya, satu lagi yang harus Mbak tau, sebenarnya aku capek jadi kekasih gelap kakak iparku sendiri, dari itu aku memutuskan untuk memberitahu Mbak juga hal ini.'' sambungnya. Dea menyodorkan testpack di atas meja tepat di hadapan Fitri. "Itu hasil hubungan kami selama ini. Maafin aku ya Mbak." ujar Dea menatap lekat wajah Fitri."Apa ini? Kamu?" Bola mata Fitri seketika membesar saat menatap barang bergaris dua di hadapannya. Bagai petir menyambar dirinya, Ingin menjerit saat itu juga, namun ia menahannya sekuat tenaga. "Ya, itulah yang s
"Bagaimana dia bisa hamil? Aku sama sekali tidak sadar melakukannya.""Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada Fitri?"Pertanyaan satu persatu memenuhi isi kepala Gilang, kegelisahannya kembali muncul. "Pak, rapat hari ini sudah bisa di mulai?" tanya Rendi yang menyembulkan kepalanya ke ruangan Gilang. "Rendi, rapat kita tunda.""Di tunda lagi pak?""Ya, saya sedang tidak fokus hari ini.""Baik Pak. Apa pak Gilang sedang sakit?""Ya, sepertinya begitu, saya izin pulang cepat." ucap Gilang terburu-buru meninggalkan ruangan. Gilang menaiki mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. tak lama berselang, Fitri yang baru sampai kantor suaminya, sekilas melihat sebuah mobil yang ia kenali melaju keluar."Mas Gilang? Mau kemana dia?" tanya Fitri penasaran. Dengan cepat ia pun mengikuti mobil Gilang dari belakang. "Apa sebaiknya aku telepon Mas Gilang?""Ah, tidak. Sebaiknya aku ikuti saja, di jam kerja mau kemana dia?" bisik hati Fitri gelisah. Gilang menuju kesebuah
Dea masih mematung di hadapan Gilang, ia tak tau apa yang harus di lakukannya. sementara ia tak pernah melakukan kesalahan. Hatinya menjadi kesal dan ingin berontak, namun ia tersadar siapa kah dirinya?"Baik, jika itu kemauan kalian, aku akan keluar dari kantor ini." Ucap Dea tegas sembari berlalu.Fitri tersenyum miring, semenjak kejadian malam itu, Fitri tak mau dekat dengan mantan adik iparnya itu. "Alhamdulillah... terima kasih ya Mas," lembut suara Fitri menolehkan ke arah Gilang. Gilang merasa bahagia, karena sikap Fitri telah kembali hangat, apapun akan ia lakukan demi keharmonisan rumah tangganya. "Iya, sayang .."Dea bergegas masuk ruangannya dengan mata merah padam dan nafas naik turun. "Ada apa De? serius banget keliatannya?" tanya Rina penasaran. "Gila, gue di pecat, Rin.""Serius?""Ya, dan gue yakin ini keinginan Fitri, Bukan Mas Gilang."Rina mendekat dan berdiri di hadapan Dea seakan masih tak percaya. "Kamu serius?""Iya Rin. Sekarang juga aku harus beresin bar
Hari berganti hari, sikap Fitri perlahan berubah tak seperti biasanya, wanita berkulit putih itu lebih banyak diam. Ia tau keadaan rumah tangganya sedang tidak baik. melihat sikap Gilang yang begitu lembut akhir-akhir ini, Fitri berniat untuk melupakan kejadian malam itu. Namun entah mengapa, selalu saja ada rasa sesak yang menyelimuti pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan? Bertanya detail kah pada Mas Gilang tentang malam itu? Atau aku pura-pura tak tau dan melupakanny? Ya Allah... mengapa berat sekali memaafkannya..." lirihnya dengan mata memandang ke arah langit. "Bu, ada tamu...." ucap Bibi mendekatnke arah Fitri yang duduk di pinggir kolam."Siapa Bi?""Katanya teman Ibu, saya lupa nggak tanya nama.""Baik Bi. "Fitri beranjak menemui tamunya. Perempuan berambut sebahu terlihat duduk di teras rumah. "Assalamualaikum?'"Waalaikumsalam... Fitri...."Keduanya terlihat terkesima, dan pada akhirnya saling berpelukan. Dia Nisa, teman kuliah Fitri dulu di kebidanan. Suasana ber
"Cerai?" Gilang menatap mata wanita yang selama ini menemaninya, begitu menakutkan kata itu dalam pikiran Gilang. Perlahan bibirnya tersenyum tipis. Pandangannya menunduk di hadapannya Fitri, di raihnya jemari Fiitri dengan lembut. "Mas tau kamu sering bercanda in Mas. Tapi untuk kata itu Mas mohon jangan kita jadikan candaan sayang ... "Fitri terdiam, ia merasa sedang tak bercanda mengapa Gilang menganggapnya sedang bercanda? "Mas sangat takut, meskipun hanya sekedar mendengar," tuturnya dengan mata yang tak berani menatap wajah Fitri. Perlahan Fitri melepaskan genggaman tangan Gilang. "Aku serius Mas, dan tidak sedang bercanda. Aku mau pisah saja dari kamu,"Kini Gilang menanggahkan kepalanya, matanya nampak berkaca-kaca. "Salah aku apa sayang? Tidak! aku tidak mau kita bercerai.""Apa tidak merayakan ulang tahun kamu anggap itu kesalahan besar? sambungnya. Sementara itu Fitri nampak gemetar menahan amarahnya."Kamu ini kenapa si Mas, jangan hanya keputusan cerai ada padam
Fitri membekap mulut dengan kedua tangannya, hatinya benar-benar hacur, ia ingin berontak memaki suaminya, namun tenaganya tak tersisa lagi, Fitri hanya mampu menggeser badannya ke arah ruang tamu dan menangis sesegukan. "Apa yang kamu lakukan Mas? Kamu manusia kejam!" Ucapnya dalam hati dengan airmata yang terus berderai. Beberapa menit Fitri bersimpuh di lantai, ia tengah mengumpulkan tenaganya untuk bangkit, dan membangunkan suaminya. Perlahan Fitri kembali ke dalam kamar, matanya merah menyoroti dua insan yang tengah tidur bertelanjang dada, detak jantungnya semakin cepat. Kesedihannya dengan cepat berganti menjadi amarah. ingin rasanya saat itu juga, ia membun*h keduanya. Beruntung hati dan pikirannya masih bisa di tenangkan, Fitri beberapa menit dengan susah payah mengendalikan emosinya yang menggebu-gebu dengan ucapan dzikir. Perlahan kakinya bergerak ke arah belakang, melangkah perlahan demi perlahan, lalu dengan cepat beranjak keluar rumah, dan menuju mobilnya lalu berl
Dea meringkuk di meja kerjanya, merasakan pusing dan lemasnya badan. Jam menunjukan pukul lima sore. Sementara itu Gilang tengah bersiap untuk pulang, membereskan semua berkas-berkas di mejanya. ia pun keluar dan langsung mengarah keruangan Dea. Terlihat Dea tengah tertidur di kursinya. tok...tok...tok..."De? Kamu belum pulang?" Ucap Gilang. "Mas, badan aku lemas. Tolong pesankan taksi untukku,"jawabnya dengan mata sayup."Kamu masih sakit De?""Aku rasa aku sudah baikkan Mas, tapi hari ini badanku lemas banget, kepalaku pusing.""Kamu yakin pulang pakai taksi?"Dea mengangguk, meskipun hatinya berharap Gilang yang mengantarnya. "Baiklah, sebentar Mas pesankan taksinya,"ujar Gilang, merogoh ponselnya di dalam saku. Dengan cepat Dea beranjak dari tempat duduknya. Dan tiba-tiba... Brukk... tubuhnya ambruk ke lantai, membuat Gilang terkejut panik. "Dea? Asstagfirallah....""Rend! Rendi... kemari Rend!"Seakan tak ingin sendirian, Gilang segera meminta pertolongan pada Rendi, den
"Kenapa aku tidak tau Dea kena musibah Mas?""Maaf Bu, Dea sendiri yang melarangnya memberitahumu, Dea takut kamu jadi ikut sibuk." "Apa yang terjadi?""Entahlah, motifnya masih jadi tanda tanya, pulang lembur di tengah jalan dia di berhentikan beberapa orang laki-laki, dan Dea terjatuh dari motor.""Serem banget si Mas, kalau bisa Dea jangan sampai ikut lembur-lemburan begitu Mas, diakan cewek, rawan pulang sendirian.""Iya Bu, sudah Mas sampaikan ke Dea.""lalu....""Lalu apa?""Apa kamu setiap hari menjemput dan memgantarkan Dea?" tanya Fitri dengan serius. "Tidak, yang benar saja, masa aku setiap hari jadi supirnya? Kalau tadi itu, aku sekalian mau ambil berkas penting didia, ternyata dia ikut sekalian." jawab Gilang menutupi kebenarannya. Kini hati Fitri cukup tenang, dan langsung menpercayai penjelasan Gilang. "Mas, minta maaf ya, atas kejadian di ruangan tadi, tadinya Mas mau sarapan di kantin, tapi nggak enak sama niat baik Dea yang bawain bekal ke ruangan tadi. ""Iya Mas