"Heh! Hanin!" Langkah kami terhenti, aku ikut berbalik bersama Hanin, penasaran saja, siapa yang memanggilnya tadi. Aku memerhatikan dua wanita beda usia menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh."Kamu!" Yang terlihat sudah tua di antara keduanya menuding Hanin penuh amarah, siapa mereka? Kenapa terlihat ingin melahap Hanin hidup-hidup? Wanita berhijabku masih bertahan dengan raut wajah santai, dia tak terkejut sedikit pun. "Pak Abi tunggu saya di mobil, ya?" Itu tanya yang lebih mirip permintaan, aku menoleh ragu pada dua wanita di hadapanku itu. Mana bisa meninggalkan dia sendiri? Dilihat dari gestur tubuh, mungkin saja mereka akan mengeroyoknya."Tidak usah, apa kau takut kalau dia mengetahui bahwa kau sudah janda?" Netraku langsung melebar, kenapa dengan orang ini? Aku memang sudah tahu Hanin janda, dan aku tetap suka, kok. Asli, dia punya dendam kesumat dengan sekretarisku ini."Apa masalah Anda Nyonya Khadijah?" Nada suara Hanin masih tenang, sedang wanita yang menudingnya terlih
Aku terjaga saat hujan sudah sedikit reda, cukup aman untuk mengemudi pulang, aku menoleh ke belakang, di sana Hanin terkulai dengan sebelah tangan menopang kepala. Kasihan, dia pasti kelelahan hari ini.Coba lihat wajahnya jika sedang tidur, itu sangat manis, kulit putihnya, bulu mata lentik yang selalu mengerjap lucu saat dia terkejut dengan perintahku, hidung mancung dan bibir ranum yang senantiasa mengomel di belakangku, semua yang ada padanya bagai candu, dia mampu menjungkir balikkan duniaku dalam sekejap mata.Entah bagaimana dia datang lalu memercikkan warna baru dalam jiwa yang gersang, dia dengan mudah masuk dan mengambil tempat di hatiku. Apa? Apa yang harus kulakukan saat semua sudah jelas, bahwa aku memang sudah terjerat dalam cinta terpendam pada diri seorang Hanindiya.Ya, aku memendam dalam relung hati yang paling dalam, ego sialan ini tak membiarkanku mengakuinya. Jika ditanya sejak kapan, maka akan kujawab, sejak bulir bening menyeruak jatuh dari netra almond itu.
Aku menanyakan keadaan Hanin dengan rasa khawatir, kulit wajahnya begitu pucat dengan kedua mata yang terlihat layuh, dia mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tapi aku yakin itu hanya sangkalan saja.Dan pradugaku segera menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari satu menit, dia tumbang saat pintu lift terbuka. Tanganku sigap menyangga tubuhnya yang hampir merosot, aku menepuk pipinya beberapa kali, dia tak merespons, kesadarannya benar-benar hilang.Dua klienku ikut panik melihat kejadian itu, tanpa kupedulikan lagi, aku mengangkat tubuh Hanin ala bridal style, membopongnya ke luar dari lift, maafkan saya Hanin, ini urgent, tidak mungkin saya biarkan kamu digendong orang lain, hanya saya yang paling pantas.Aku terus melangkah secepat mungkin, Hanin harus segera mendapat penanganan medis, dia sama sekali tak terlihat baik-baik saja seperti pengakuannya. Lihatlah wanita ini, biar apa coba sok kuat begitu, kalau sudah begini siapa yang susah? Aku juga 'kan! Lihat saja kalau dia ba
Sore harinya aku diperbolehkan pulang, Dian mengambil motornya di kantor, sementara aku disuruh menunggu di sini.Tak lama wanita berhijab itu kembali, dia membawa tas dan ponselku sekaligus."Thanks, Yank!""Yee, dah ah, yuk pulang!" ajaknya, gegas aku beringsut turun dari ranjang, rasanya masih sedikit pusing, langkah yang terasa melayang tak membuatku urung beranjak, aku tak tahan dengan bau obat-obatan ini."Kuat?""Kuat dong!""Hmm, sok kuat itu mah, sini aku bantu!" Dian mendumel sembari melingkarkan sebelah tanganku di bahunya, kemudian kami keluar dari ruangan itu bersama, menyusuri lobi rumah sakit.Langkahku terhenti saat ponsel bergetar dari tas, nama Pak Abi tertera di sana, gegas kuangkat panggilan pria itu."Ya, Pak?"[Di mana?]"Masih di RS, Pak,"[Oke, saya ke sana sekarang,]"Eh, nggak usah, ini juga mau pulang sama Dian,"[Benar sama Dian aja? Nggak ada yang lain?]"Iya, emang siapa lagi?"[Brian mungkin,] Astagfirullah, masih aja su’udzon ini orang.[Ya sudah, pulan
Keesokan harinya aku bangun dalam keadaan lebih bugar, kondisi kesehatanku pun sudah sepenuhnya membaik, rasanya ingin masuk kerja karena tidak sakit lagi, tapi mumpung Pak Abi lagi kasih cuti lebih baik aku gunakan untuk belanja dan me time.Gegas aku membersihkan diri, lauk dari eyang aku panaskan kembali, sisa udang asem manis dan ikan tongkol tumis santan masih tersisa banyak, gegas kusendok nasi dari magic com, lalu menyantap makanan sarapan lezat ini seorang diri. Ah, nikmatnya hidup.Setelahnya aku bangkit, penampilan sudah rapi dengan tunik warna army dan celana krem dan hijab warna senada, kuraih tas hitam yang kerap kukenakan lantas memasang sepatu flat warna serupa, Kukeluarkan kendaraan roda dua milikku kemudian melaju pergi. Ini masih jam sepuluh pagi, aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang, menikmati euforia pagi tanpa omelan Pak Abi yang tiap hari memekak rungu. Tujuanku kini adalah toko baju terdekat, tak perlu bergaya muluk belanja di butik, tak ada bedanya,
Setelah berita menyenangkan yang kudapat siang tadi, aku langsung menelepon Dian, aku memintanya menginap di rumah malam ini, ingin sekali berbagi kabar gembira itu dengannya, aku yakin dia pasti ikut senang.Setelah shalat Asar, aku langsung berkutat di dapur, memasak beberapa menu makan malam bersama Dian nanti. Kubuka kulkas, langsung mengambil beberapa jenis sayur, sepotong daging dan udang.Gegas aku mengolah semua bahan. Tak lama kemudian, tepatnya jam lima sore; satu kuali kecil sup udang dan semangkuk daging rendang sudah terhidang di meja, aku segera mandi, menunggu Dian pulang kerja.———"Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam!" sahutku. Setengah berlari aku menuju ruang tamu, lalu membuka pintu, Dian tampak baru saja dari kantor, aku mengajak wanita itu masuk."Udah sehat kamu, Han?" tanyanya saat baru menjatuhkan bobot tubuh di sofa, aku mengangguk mengiyakan."Alhamdulillah, pas aku bangun pagi tadi udah nggak pusing lagi," sahutku, wanita berhijab itu tersenyum lega, waja
Silau cahaya surya menyinari seluruh pelosok kota, aku menatap di balik jendela pesawat, sebentar lagi burung besi akan menerbangkan kami ke pulau dewata."Kenapa lihat keluar terus? Takut ya? Baru kali ini naik pesawat?" Aku menoleh pada Pak Abi tatkala mendengar celetukan pria itu."Sudah pernah sebelumnya, Pak," "Kapan? Ke mana?" tanyanya beruntun, aku menyamankan diri saat pesawat mulai landing."Dulu, waktu kerja di perusahaan sebelumnya. Saat itu kami ke Sulawesi," terangku. Pak Abi manggut-manggut. Sombong, mentang-mentang orang kaya, dikiranya aku nggak pernah naik pesawat apa! "Istirahatlah, perjalanan kita masih lama, tiba nanti saya mau ajak kamu jalan-jalan," ucapnya, sebelum aku menyahut dia langsung merebahkan kepalanya memasang kaca mata hitam, lalu menyumpal kedua telinga dengan earphone.Akhirnya aku hanya bisa memendam rasa penasaran, ke mana dia akan mengajakku memangnya? Ah, lihat saja nanti, mataku juga sudah terasa berat, tidur sejenak akan membuatku lebih buga
Aku terkejut melihat kehadiran Ammar dan istri barunya di sini, wanita itu bahkan tak segan menyapa, dapat kulihat sang mantan dilanda kegusaran, dia tampak tidak tenang. Sedangkan Kiara, dia terus saja mencoba bicara pada Pak Abi, seolah mereka adalah sahabat dekat yang sudah lama tidak bertemu, aku salut dia tak menyerah walau Pak Abi terlihat muak dan tak menanggapinya sama sekali, wow! Bravo!"Sayang, sapa dong, mantan istri kamu!" Aku menaikkan alis, apa yang coba dia lakukan sekarang? Membuktikan bahwa suaminya tak menganggapku lagi, seperti yang kukatakan padanya saat itu?"Apa kabar, Hanin?" tanya Ammar dengan netra bergerak gelisah, dia sama sekali tak menatapku."Seperti yang terlihat, saya baik-baik saja," sahutku."Kalian tampak serasi," ucap Kiara, aku hendak membuka mulut, tapi Pak Abi lebih dulu menggantikan sahutanku."Tentu saja, kami akan melangsungkan pernikahan bulan depan, ya 'kan Sayang?" Kami saling pandang, aku menyelami binar matanya, itu berbeda, tidak sama
Terhitung sudah satu minggu Mas abi mendiamkanku, sementara itu aku tetap bekerja seperti biasanya dengan posisi baru yang diberikan oleh eyang.Hari ini aku berangkat seperti biasa, suamiku tidak masuk, menurut informasi yang kudengar dia ada rapat di luar kantor bersama dengan rekanan bisnisnya yang juga akan ditarik ke kantor kami untuk investasi besar-besaran, dalam sebuah project baru yang digadang-gadang akan menjadi proyek terbesar selama perjalanan bisnis Wira Bangsa Group.Namun anehnya aku tidak dilibatkan di dalam rapat itu, tapi aku juga tidak melihat kehadiran Kiara hari ini, berbagai sangka buruk pun mulai merasuk, apa mereka pergi bersama dan sengaja tidak mengajakku?Karena hati tak tenang aku kemudian menghubungi eyang, dengan lugas aku menceritakan semuanya tentang project tersebut tanpa melewatkan satupun, "Aku tidak diberitahu apa-apa, Eyang, dan aku juga tidak melihat Kiara di sini," aduku.Aku mengangguk mendengar perkataan eyang di seberang sana, pemikiran kami
Para karyawan lain telah berlalu pergi, begitu pun Kiara, di dalam ruangan luas yang terasa pengap sebab suasana mencekam, aku tinggal dengan Mas Abi dan eyang.Lelaki itu berdiri dengan sebelah tangan memegangi sandaran kursinya, ia meraup wajah berkali-kali, helaan napasnya pun terdengar berat.Aku melihat ke arah Eyang, wanita sepuh itu terlihat duduk dengan tegak, tatapannya menyorot lurus tak goyah. Cucunya mengintimidasi, sementara ia tak merasa bersalah dengan keputusan yang sudah diambil ini.“Apa ada lagi yang ingin kau bicarakan, Abimana?” tanya Eyang. Tampak lelaki itu tersenyum getir, ia menatap lekat pada wajah sepuh, “Aku sangat tersanjung dengan kejutan ini, Eyang. Sekarang, bolehkah aku bicara dengan Hanin sebentar?”“Tidak.” Ia menoleh dengan tatap tajam pada suamiku, “Aku tahu kau ingin menekan Hanin karena keputusanku. Dia tidak bersalah, asal kau tahu Abimana. Jika ingin protes atau menentang keputusan ini, bicara langsung pada eyang, jangan serang istrimu yang tid
Setelah satu minggu aku menerima kabar dari Eyang, beliau meenelepon dan mengatakan padaku agar bersiap-siap, karena besok adalah hari pertamaku di Wirabangsa Group, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku, mas Abimana.Dan di sinilah aku sekarang, berdiri di depan cermin dan menatap pantulan bayanganku yang sudah siap dengan balutan busana formal yang sudah begitu lama tidak kukenakan.Kurapikan hijab label Bella square putih yang kukenakan, blus berwarna baby blue ini sangat cocok kala kupadupadankan, bawahan celana cutbray putih dan tas senada, aku melangkah keluar dengan hak tinggi yang menunjang penampilanku.Mas Abi sudah berangkat sejak pagi, aku menemui Daisyhara, ia juga terlihat cantik dengan baju senada denganku, kami akan berangkat ke kantor itu bersama-sama, sesuai arahan Eyang, bahkan begitu kami keluar mobil utusannya sudah menunggu."Kau siap, my little princes?" Daisyhara mengangguk dengan senyum semringah terpatri di bibirnya, "I'm ready, Mom!" Kami berdua lantas turu
Setelah percakapan panas semalam kami tidak saling bicara lagi, aku putuskan menemui Eyang untuk membicarakan masalah di perusahaan kami. Aku pergi ke sana tanpa sepengetahuan mas Abi, walaupun ia akan membiarkanku pergi, tapi aku tetap tidak ingin memberitahunya. mobil yang aku tumpangi berhenti di depan pelataran rumah besar di mana pertama sekali mas Abi membawaku kemari untuk dikenalkan pada satu-satunya keluarga yang dia miliki, bahkan kenangan manis itu masih melekat di ingatan.Aku bersama Daisy masuk ke dalam, ART baru yang dipekerjakannya mengatakan bahwa Eyang sedang di belakang, ia tidak berubah walaupun masa telah berganti, wanita sepuh itu suka menghabiskan waktunya di kebun kecil penuh anggur yang ia tanam dengan tangan sendiri.Aku langsung menuju ke arah sana, kami menghampirinya yang sedang memetik beberapa anggur dengan keranjang di tangannya, "Eyang ... assalamu'alaikum," panggilku. "Walaikum Salam." Wanita sepuh itu menyahut salamku seraya menoleh, tampaknya ia t
Menjelang sore mas Abi pulang, wajahnya tampak lesu hari ini, priaku sepertinya kelelahan. Lekas aku menyambut tas yang ia bawa kemudian meraih tangan itu dan mencium dengan takzim. “Mau kuambilkan kopi?” tawarku. Dia mengangguk seraya tersenyum tipis, selanjutnya menjatuhkan tubuh di sofa, tampak jemari tangannya memijit pangkal hidung, itu pertanda ia sedang dalam masalah, aku berlalu mengambilkan kopi untuknya, setelah itu menghidangkan di meja. Mas Abi mengambilnya lantas hanya menyesap sedikit, ia memutar-mutar cangkir di atas piring tersebut, seterusnya pria itu termenung. Yang aku herankan, dia tidak bercerita sepatah kata pun, biasanya suamiku begitu ekspresif, ia akan membagi semua masalahnya denganku, sekecil apapun itu. “Mas, kamu baik-baik saja?” tanyaku, dia menoleh sejenak, kemudian mengangguk, “Mas oke, Sayang, hanya sedikit lelah,” sahutnya. Ia seperti baru tersadar, menoleh ke sekitarnya lalu menanyakan keberadaan putri kami, “Di mana Daisy?” “Tadi sopir eyang jemp
Aku dan Kiara duduk berhadapan di ruang tamu, sejenak kami saling terdiam, aku melihat tatapannya sendu kala menatap Daisy, putriku itu memang terkesan cuek dengan orang yang tak dikenalnya.Sikapnya juga seperti orang dewasa, jika ada tamu, ia tak akan datang kalau tak dipanggil lebih dulu, apalagi mengganggu, Daisyhara tak sama dengan bocah seusianya, dia manja pada orang tuanya, tapi tahu waktu.aku memanggil Bibi Wara untuk menyajikan minuman, bagaimanapun wanita ini tamu, aku harus menghormatinya terlepas dari apapun status yang berhubungan denganku di masa lalu. Jika dipikir-pikir ini sungguh gila, bagaimana tidak, Kiara adalah mantan istri dari mantan suamiku, juga mantan pacar dari suamiku yang sekarang. Lihatlah, dunia yang sempit membuat kami berada dalam lingkaran yang rumit, tapi itulah takdir yang sudah tertulis.“Apa dia putrimu?” tanya Kiara tiba-tiba, ia tak mengalihkan tatapannya dari gadis kecilku.“Ya, dia putriku dan mas Abi.” Kiara tersenyum, “Cantik sekali, mata
Lima tahun kemudian ....Di dalam sebuah mansion mewah tampak sepasang suami istri sedang mengawasi seorang anak perempuan berusia kisaran empat tahun yang sedang aktif-aktifnya.“Daisy jangan ke sana, Nak!” seru Hanindiya, wanita itu mengejar buah hatinya yang sedang berlari keluar. Abimana yang sudah siap berangkat kerja langsung bangkit menyusul mereka.Pasca menikah dengan Hanin Abi membeli sebuah mansion untuk ditinggali bersama dengan keluarga kecilnya, ia memutuskan pindah dari apartemen lama yang ditinggali saat masih bujang.Kini keluarga mereka utuh dan bahagia, dikaruniai seorang putri yang sangat menggemaskan.Abi bangkit dari duduknya, ia bergegas mendekat pada pintu utama yang terbuka lebar, tampak istrinya sedang menggendong Daisyhara putri tunggal mereka yang cantik dan pintar.“Sayang, mas berangkat dulu, ya?” Hanin mengangguk, ia mendekat, meraih tangan suaminya dan mencium dengan takzim, Abimana meraih belakang kepala sang istri, balas mengecup keningnya lembut.“Ha
Gema doa-doa terbaik memenuhi aula gedung berdekorasi indah, aku pun ikut menadahkan tangan meminta pada-Nya, semoga biduk kedua yang kutumpangi tidak karam di tengah jalan seperti sebelumnya. Aku memiringkan tubuh menghadap suamiku, meraih tangannya kemudian mencium takzim, dia menyentuh kepala ini melantunkan doa di atasnya. Kemudian aku menegakkan tubuh, netra kami beradu, dia tersenyum padaku. Kubalas senyum itu seiring jantung yang kian berdentam hebat, dia mengikis jarak di antara kami, kemudian sebuah kecupan mendarah di dahi ini, lama dan sanggup membuat hatiku menghangat karenanya. "Ciyeeee!!! " Itu suara Dian dan para karyawati lain, mereka beramai-ramai memfoto bahkan mungkin saja memvideokan kami, tak seperti biasanya, Mas Abi kali ini tersenyum, tak ada raut marah padanya, aku tau dia tengah berbahagia, aku pun begitu. Setelahnya kami diiring ke luar gedung, lalu berjalan berdampingan menuju pelaminan, Dian mengangkat ujung gaunku yang menjuntai, sedangkan aku menggan
Desember sendu, hujan mengguyur di luar sana, aku tengah menyesap secangkir kopi, cairan hitam terfav buatan calon istri. Ya, masih calon, sebutan itu akan segera berganti."Kira-kira di wedding reseption kita bakalan ujan nggak ya, Mas?" tanyanya menatap lurus bulir-bulir rahmat yang tengah tumpah di luar sana, aku meletakkan kembali cangkir kopi di meja."Entahlah, Mas juga nggak bisa jamin, kalau penghujan terus terpaksa kita ganti konsep dari outdoor ke indoor," sahutku menoleh padanya, alis serupa sabit itu langsung menaut."Nggak bisa gitu, dong! Kita udah sewa tempat dan udah bayar jugak, masa dibatalin lagi, sih?" protesnya tak terima, kutarik napas dalam.Satu minggu berlalu, hubunganku dan Hanin semakin intens, kami melakukan semua bersama, begitulah kami akhir ini, sering beda pendapat, kadang bisa cek-cok karna hal kecil.Tapi demi Tuhan aku tak mempermasalahkan perbedaan ini, justru itu adalah warna sendiri dalam hubungan kami, kutatap wajahnya lekat."Terus mau bagaimana