"Aku Ammarullah dengan sadar dan tanpa paksaan menjatuhkan talak padamu Hanindiya binti Atmojo," Suara itu terdengar lagi, ini yang ke tiga kali. Aku terpaku di tempat, menatap nanar padanya."Kenapa lagi kali ini, Mas?" tanyaku pada Mas Amm, kami tidak punya masalah apa pun, dia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, lalu tiba-tiba mengucap kata keramat yang dibenci oleh Allah padaku."Karena aku muak Hanin! Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kau sudah membuat ibuku menangis! Kenapa kau mengulang kesalahan yang sama selama tiga tahun ini?" tanyanya menatapku dengan sorot penuh amarah. Ibu? Apa maksud dia ...."Ada apa dengan ibu, Mas?" tanyaku seraya meraba dada yang kian sesak."Halah! Jangan pura-pura, Hanin! Kamu tau kan betapa ibu sangat berharga untukku? Dia satu-satunya orang tuaku yang masih hidup, tega kamu menyakitinya!" tuturnya lantang. Ya Rabbi fitnah apa yang sedang aku hadapi kini."Katakan apa yang sudah kulakukan sehingga ibumu menangis!" hardikku, kali ini aku
Tiba di rumah, aku langsung merebahkan badan di ranjang. Dan sialnya aroma tubuh lelaki bangs*t itu masih tertinggal di sini, aku bangkit, melepas kasar seprei dan sarung bantal melemparnya ke keranjang baju kotor.Aku bisa gil* jika terus-terusan begini, tidur pun tidak akan tenang jika rumah ini masih kutinggali. Semua sudut rumah yang menjadi saksi tiga kali diceraikan seolah menertawakanku.Kucengkram kepala kuat-kuat, berharap denyut kesakitan di sana sedikit berkurang, sampai kapan aku begini, Allah ... kuraih gunting di nakas, lantas berdiri di depan cermin hias.Aku tatap pantulan diri di sana, menyentuh wajah yang masih cantik, "Lelaki bukan dia saja, Hanin! Allah sudah mempersiapkan yang lebih baik untukmu," sisi warasku seakan menjerit."Ya benar, lelaki bukan dia saja," ucapku dalam hati. Rambut yang tergerai hingga batas pinggang kusisir kasar, dulu dia sangat menyukai rambut ini, dia tergila-gila padaku.Aku membawa gunting memdekati surai hitam yang tergerai, memotongny
"Masuk!" Terdengar seruan itu dari dalam, aku menormalkan debaran jantung yang mendadak lebih cepat, 'calm down, Hanin! You can!" batinku menyugesti diri, kutarik napas dalam lantas mengembuskan pelan, menekan hendel pintu itu pelan lalu melangkah masuk.Ruangan bernuansa krem—putih gading menyapa indra penglihatanku, dua sofa memanjang warna dark blue terletak rapi membentuk sudut sembilan puluh derajat, dengan sebuah meja persegi di depannya.Dinding ruangan terdapat beberapa ornamen berupa lukisan abstrak menggantung keren. Di tengah ruangan sebuah meja berdiri kokoh, di atasnya terdapat papan bentuk persegi panjang bertuliskan 'Abizar Permana—Direktur Utama' jantungku terasa makin berdebar saja melihat betapa angkuh atasanku.Dia duduk membelakangiku di kursi kebesarannya, menatap gedung-gedung menjulang di luar sana dari sekat kaca di hadapannya. Aku mengayunkan langkah pasti, meredam rasa gugup, mengumpulkan keberanian berdiri tegak di depan meja itu."Anda memanggil saya, Pak?
Selamat membaca!*****Aku berangkat ke tempat tinggal Dian sore harinya, sengaja tidak menghampiri di kantor tadi sebab tak ingin mengganggu pekerjaannya. Dian tinggal di sebuah kontrakan yang lumayan, gadis itu masih melajang dan hanya tinggal seorang diri di kota ini.Ayah dan ibu Dian sudah berumur senja, mereka tinggal jauh di Surabaya, menunggu kiriman anak sulungnya setiap bulan untuk menunjang hidup. Sedang adik Dian masih menempuh jenjang pendidikan salah satu SMA swasta di Bandung.Akhirnya setelah berkendara selama dua puluh lima menit aku tiba di depan rumah kontrakan yang dulu sering jadi basecamp bersama girls squad satu kantor. Aku mengedarkan pandangan, lama sekali sudah tidak kemari, sejak aku dituduh berselingkuh dua tahun lalu, Mas Amm membatasi pertemananku, dia bahkan mengatur boleh—tidaknya aku berteman dengan mereka.Aku melangkah pasti saat melihat motor Dian sudah terparkir di sana, itu artinya gadis itu sudah pulang."Assalamu'alaikum ... Dian!" panggilku ser
Hingga beberapa saat tak ada yang menghampiri. Aku sudah tidak tahan lagi, nyamuk dan rintik hujan yang mulai turun mendorong sisi otakku untuk menghadang siapa saja agar menolongku.Sadar tak punya pilihan lain, aku melangkah maju. Dari mengacungkan jempol hingga mengibaskan lengan ke atas sudah kulakukan. Namun tak ada satu pun yang peduli, kesal aku melepas hak tinggi yang masih membungkus sebagian kaki.Kemudian melangkah maju hampir ke tengah jalan, aku menunggu mobil yang sudah tampak sorot lampunya dari kejauhan. Saat hampir mendekat aku langsung berdiri menghalangi.Aku menutup telinga saat suara ban beradu dengan aspal khas rem mendadak berdecit nyaring. Bodoh amat! Yang penting tidak tertabrak dan berhasil menghentikan pemilik mobil agar aku bisa minta bantuan dan pulang."Woi! cari mati, ya?" teriak orang itu, aku melepaskan kedua tangan dari telinga berjalan ke sisi kanan, tepatnya di bangku pengemudi, gementar aku memanggil pria yang berteriak tadi, wajahnya tampak garang
Malam merangkak semakin larut, aku bergegas tidur setelah menyelesaikan makan malam seorang diri. Jika sudah seperti ini, ajakan Dian sepertinya akan jadi opsi terbaik.Aku merebahkan bobot tubuh di ranjang, menarik selimut hingga batas leher. Baru sekejap memejamkan mata, ponsel di nakas bergetar mengusik lena yang sudah hinggapi pelupuk mataku."Halo?" sapaku seraya menguap dengan mata setengah terbuka. Aku tak melihat siapa yang menelepon, asal saja.[Besok datang lebih awal, jam tujuh kurang sepuluh menit harus stand by di ruangan saya, telat satu menit hukuman kamu saya tambah,] Aku tahu ini si mesum, malas sekali bicara dengan orang sombong sepertinya."Hmmm," jawabku tanpa bicara, selain kantuk yang semakin menyerang, rasa malas menanggapi pun ada.[Hmm apa? Kau mendengarku atau tidak?]"Hmmm,"[Dasar wanita aneh, awas kalau terlambat!]"Hmmm,"Gerutuannya samar-samar terdengar, entah apa lagi yang dibicarakannya setelah itu, aku sudah tidak tahu, ngantuk.***Kriiiiiiiiing!Su
Setelah kecanggungan yang mendera di peristiwa pantry, aku langsung ditunjuki ruangan oleh pria penuduh itu. Dia bilang aku asyik pacaran? Dengan Brian? Ya Tuhan ... sungguh membangongkan.Pak Abi bahkan tak membiarkan Brian mengantarku, dia langsung menyuruh pria itu kembali ke mejanya."Kamu tempati ruangan lantai atas, agar lebih cepat datang saat saya panggil," ucapnya dengan raut tegas."Baik, Pak!" sahutku kesusahan mengikuti langkahnya yang lebar. Hingga tiba di depan sebuah ruangan dia berhenti mendadak, walhasil aku hampir saja menabrak punggung tegap itu.Aku melangkah masuk menyusulnya, ruangan bernuansa krem menyapa penglihatan, dia menunjukkan meja kerja lengkap dengan kursi putar, dan semua kebutuhan yang diperlukan untukku bekerja."Oke, saya akan mengirim jadwal saya melalui email, tugas pertama kamu hari ini, atur sebaik mungkin jadwal rapat dan kepemimpinan!" serunya. Aku mengangguk paham."Baik, Pak! Akan saya kerjakan," sahutku."Bagus!" ucapnya, kemudian berbalik
Hari itu sepulang dari kantor, aku enggak sengaja melihat seorang gadis cantik yang tengah berdiri di pinggir pembatas jembatan. Dia menangis, menatap nanar ke bawah sana, Ya Tuhan, apa dia mau bunuh diri? Kasihan, mana masih muda.Gegas aku turun, menarik tangannya secepat kilat, takut kalau terlambat malah dia terjun duluan ke bawah sana. Wajahnya menubruk dadaku, really itu bukan sebuah kesengajaan, aku menariknya terlalu kencang hingga kami bertabrakan.Namun reaksinya diluar dugaan, dia berhenti menangis, raut wajahnya berganti marah, lalu ....Trak! Shit! Ouch damn girl! Dia malah menendang tulang keringku, aku meracau sembari menahan sakit, kujelaskan bahwa maksudku menolong dia, berharap dia paham, minimal minta maaf dan mengatakan terima kasih. Tapi dugaanku meleset lagi, dan sekarang dia mengataiku cabul dan melenggang pergi begitu saja. Come on, pria sebaik aku? Cabul? Ya Tuhan, siapa gadis itu, berani sekali dia mengabaikan dan berkata kasar pada seorang Abimana. Awas ka
Terhitung sudah satu minggu Mas abi mendiamkanku, sementara itu aku tetap bekerja seperti biasanya dengan posisi baru yang diberikan oleh eyang.Hari ini aku berangkat seperti biasa, suamiku tidak masuk, menurut informasi yang kudengar dia ada rapat di luar kantor bersama dengan rekanan bisnisnya yang juga akan ditarik ke kantor kami untuk investasi besar-besaran, dalam sebuah project baru yang digadang-gadang akan menjadi proyek terbesar selama perjalanan bisnis Wira Bangsa Group.Namun anehnya aku tidak dilibatkan di dalam rapat itu, tapi aku juga tidak melihat kehadiran Kiara hari ini, berbagai sangka buruk pun mulai merasuk, apa mereka pergi bersama dan sengaja tidak mengajakku?Karena hati tak tenang aku kemudian menghubungi eyang, dengan lugas aku menceritakan semuanya tentang project tersebut tanpa melewatkan satupun, "Aku tidak diberitahu apa-apa, Eyang, dan aku juga tidak melihat Kiara di sini," aduku.Aku mengangguk mendengar perkataan eyang di seberang sana, pemikiran kami
Para karyawan lain telah berlalu pergi, begitu pun Kiara, di dalam ruangan luas yang terasa pengap sebab suasana mencekam, aku tinggal dengan Mas Abi dan eyang.Lelaki itu berdiri dengan sebelah tangan memegangi sandaran kursinya, ia meraup wajah berkali-kali, helaan napasnya pun terdengar berat.Aku melihat ke arah Eyang, wanita sepuh itu terlihat duduk dengan tegak, tatapannya menyorot lurus tak goyah. Cucunya mengintimidasi, sementara ia tak merasa bersalah dengan keputusan yang sudah diambil ini.“Apa ada lagi yang ingin kau bicarakan, Abimana?” tanya Eyang. Tampak lelaki itu tersenyum getir, ia menatap lekat pada wajah sepuh, “Aku sangat tersanjung dengan kejutan ini, Eyang. Sekarang, bolehkah aku bicara dengan Hanin sebentar?”“Tidak.” Ia menoleh dengan tatap tajam pada suamiku, “Aku tahu kau ingin menekan Hanin karena keputusanku. Dia tidak bersalah, asal kau tahu Abimana. Jika ingin protes atau menentang keputusan ini, bicara langsung pada eyang, jangan serang istrimu yang tid
Setelah satu minggu aku menerima kabar dari Eyang, beliau meenelepon dan mengatakan padaku agar bersiap-siap, karena besok adalah hari pertamaku di Wirabangsa Group, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku, mas Abimana.Dan di sinilah aku sekarang, berdiri di depan cermin dan menatap pantulan bayanganku yang sudah siap dengan balutan busana formal yang sudah begitu lama tidak kukenakan.Kurapikan hijab label Bella square putih yang kukenakan, blus berwarna baby blue ini sangat cocok kala kupadupadankan, bawahan celana cutbray putih dan tas senada, aku melangkah keluar dengan hak tinggi yang menunjang penampilanku.Mas Abi sudah berangkat sejak pagi, aku menemui Daisyhara, ia juga terlihat cantik dengan baju senada denganku, kami akan berangkat ke kantor itu bersama-sama, sesuai arahan Eyang, bahkan begitu kami keluar mobil utusannya sudah menunggu."Kau siap, my little princes?" Daisyhara mengangguk dengan senyum semringah terpatri di bibirnya, "I'm ready, Mom!" Kami berdua lantas turu
Setelah percakapan panas semalam kami tidak saling bicara lagi, aku putuskan menemui Eyang untuk membicarakan masalah di perusahaan kami. Aku pergi ke sana tanpa sepengetahuan mas Abi, walaupun ia akan membiarkanku pergi, tapi aku tetap tidak ingin memberitahunya. mobil yang aku tumpangi berhenti di depan pelataran rumah besar di mana pertama sekali mas Abi membawaku kemari untuk dikenalkan pada satu-satunya keluarga yang dia miliki, bahkan kenangan manis itu masih melekat di ingatan.Aku bersama Daisy masuk ke dalam, ART baru yang dipekerjakannya mengatakan bahwa Eyang sedang di belakang, ia tidak berubah walaupun masa telah berganti, wanita sepuh itu suka menghabiskan waktunya di kebun kecil penuh anggur yang ia tanam dengan tangan sendiri.Aku langsung menuju ke arah sana, kami menghampirinya yang sedang memetik beberapa anggur dengan keranjang di tangannya, "Eyang ... assalamu'alaikum," panggilku. "Walaikum Salam." Wanita sepuh itu menyahut salamku seraya menoleh, tampaknya ia t
Menjelang sore mas Abi pulang, wajahnya tampak lesu hari ini, priaku sepertinya kelelahan. Lekas aku menyambut tas yang ia bawa kemudian meraih tangan itu dan mencium dengan takzim. “Mau kuambilkan kopi?” tawarku. Dia mengangguk seraya tersenyum tipis, selanjutnya menjatuhkan tubuh di sofa, tampak jemari tangannya memijit pangkal hidung, itu pertanda ia sedang dalam masalah, aku berlalu mengambilkan kopi untuknya, setelah itu menghidangkan di meja. Mas Abi mengambilnya lantas hanya menyesap sedikit, ia memutar-mutar cangkir di atas piring tersebut, seterusnya pria itu termenung. Yang aku herankan, dia tidak bercerita sepatah kata pun, biasanya suamiku begitu ekspresif, ia akan membagi semua masalahnya denganku, sekecil apapun itu. “Mas, kamu baik-baik saja?” tanyaku, dia menoleh sejenak, kemudian mengangguk, “Mas oke, Sayang, hanya sedikit lelah,” sahutnya. Ia seperti baru tersadar, menoleh ke sekitarnya lalu menanyakan keberadaan putri kami, “Di mana Daisy?” “Tadi sopir eyang jemp
Aku dan Kiara duduk berhadapan di ruang tamu, sejenak kami saling terdiam, aku melihat tatapannya sendu kala menatap Daisy, putriku itu memang terkesan cuek dengan orang yang tak dikenalnya.Sikapnya juga seperti orang dewasa, jika ada tamu, ia tak akan datang kalau tak dipanggil lebih dulu, apalagi mengganggu, Daisyhara tak sama dengan bocah seusianya, dia manja pada orang tuanya, tapi tahu waktu.aku memanggil Bibi Wara untuk menyajikan minuman, bagaimanapun wanita ini tamu, aku harus menghormatinya terlepas dari apapun status yang berhubungan denganku di masa lalu. Jika dipikir-pikir ini sungguh gila, bagaimana tidak, Kiara adalah mantan istri dari mantan suamiku, juga mantan pacar dari suamiku yang sekarang. Lihatlah, dunia yang sempit membuat kami berada dalam lingkaran yang rumit, tapi itulah takdir yang sudah tertulis.“Apa dia putrimu?” tanya Kiara tiba-tiba, ia tak mengalihkan tatapannya dari gadis kecilku.“Ya, dia putriku dan mas Abi.” Kiara tersenyum, “Cantik sekali, mata
Lima tahun kemudian ....Di dalam sebuah mansion mewah tampak sepasang suami istri sedang mengawasi seorang anak perempuan berusia kisaran empat tahun yang sedang aktif-aktifnya.“Daisy jangan ke sana, Nak!” seru Hanindiya, wanita itu mengejar buah hatinya yang sedang berlari keluar. Abimana yang sudah siap berangkat kerja langsung bangkit menyusul mereka.Pasca menikah dengan Hanin Abi membeli sebuah mansion untuk ditinggali bersama dengan keluarga kecilnya, ia memutuskan pindah dari apartemen lama yang ditinggali saat masih bujang.Kini keluarga mereka utuh dan bahagia, dikaruniai seorang putri yang sangat menggemaskan.Abi bangkit dari duduknya, ia bergegas mendekat pada pintu utama yang terbuka lebar, tampak istrinya sedang menggendong Daisyhara putri tunggal mereka yang cantik dan pintar.“Sayang, mas berangkat dulu, ya?” Hanin mengangguk, ia mendekat, meraih tangan suaminya dan mencium dengan takzim, Abimana meraih belakang kepala sang istri, balas mengecup keningnya lembut.“Ha
Gema doa-doa terbaik memenuhi aula gedung berdekorasi indah, aku pun ikut menadahkan tangan meminta pada-Nya, semoga biduk kedua yang kutumpangi tidak karam di tengah jalan seperti sebelumnya. Aku memiringkan tubuh menghadap suamiku, meraih tangannya kemudian mencium takzim, dia menyentuh kepala ini melantunkan doa di atasnya. Kemudian aku menegakkan tubuh, netra kami beradu, dia tersenyum padaku. Kubalas senyum itu seiring jantung yang kian berdentam hebat, dia mengikis jarak di antara kami, kemudian sebuah kecupan mendarah di dahi ini, lama dan sanggup membuat hatiku menghangat karenanya. "Ciyeeee!!! " Itu suara Dian dan para karyawati lain, mereka beramai-ramai memfoto bahkan mungkin saja memvideokan kami, tak seperti biasanya, Mas Abi kali ini tersenyum, tak ada raut marah padanya, aku tau dia tengah berbahagia, aku pun begitu. Setelahnya kami diiring ke luar gedung, lalu berjalan berdampingan menuju pelaminan, Dian mengangkat ujung gaunku yang menjuntai, sedangkan aku menggan
Desember sendu, hujan mengguyur di luar sana, aku tengah menyesap secangkir kopi, cairan hitam terfav buatan calon istri. Ya, masih calon, sebutan itu akan segera berganti."Kira-kira di wedding reseption kita bakalan ujan nggak ya, Mas?" tanyanya menatap lurus bulir-bulir rahmat yang tengah tumpah di luar sana, aku meletakkan kembali cangkir kopi di meja."Entahlah, Mas juga nggak bisa jamin, kalau penghujan terus terpaksa kita ganti konsep dari outdoor ke indoor," sahutku menoleh padanya, alis serupa sabit itu langsung menaut."Nggak bisa gitu, dong! Kita udah sewa tempat dan udah bayar jugak, masa dibatalin lagi, sih?" protesnya tak terima, kutarik napas dalam.Satu minggu berlalu, hubunganku dan Hanin semakin intens, kami melakukan semua bersama, begitulah kami akhir ini, sering beda pendapat, kadang bisa cek-cok karna hal kecil.Tapi demi Tuhan aku tak mempermasalahkan perbedaan ini, justru itu adalah warna sendiri dalam hubungan kami, kutatap wajahnya lekat."Terus mau bagaimana