"Alat bantu sex?" Aku bergumam melihat benda yang menyerupai barang milik pria tersebut.BRANGG!Aku melempar benda itu ke dinding. Jadi, selain dengan Guntur. Kharisma juga memuaskan dirinya dengan alat bantu itu? Apa Kharisma memang hyper? Hingga tak cukup hanya satu rudal yang meledakkan dirinya?Aku mengusap wajah dengan kasar. Pantas saja, akhir-akhir ini saat aku masih bergelung dalam selimut. Kharisma sudah bangun dan keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang cerah merona.Padahal, jika aku tidak menyentuhnya saat malam hari. Maka, dia akan menggodaku untuk bercinta menjelang pagi harinya.Tapi entah sejak kapan tepatnya. Kharisma tak lagi seperti itu. Dia tak mempermasalahkan, saat aku tak rutin memberinya kebutuhan biologis.Apa jangan-jangan, aku ...? Ah tidak. Tidak mungkin. Aku sehat. Aku normal. Tidak ada masalah pada diriku. Itu hanya tuduhan yang tanpa bukti. Kalaupun benar aku ini seperti yang dituduhkan, mungkin aku tidak akan bisa menggauli Kharisma dengan baik. Me
Aku memeriksa kembali isi chat yang lain. Namun, tidak ada lagi yang aneh. Semuanya biasa saja. Hanya pesanan nasi uduk itu yang terasa janggal di pikiranku.Gegas aku membereskan barang-barang yang berserak di atas tempat tidur, memasukkannya ke dalam tas. Setelah selesai, aku mengambil ponselku.Sudah jam 11 malam. Aku ingin menelpon Argi. Ingin meminta alamat rumah atau kantor milik Guntur. Namun, sekarang sudah cukup malam.Kubuka aplikasi WhatsApp. Lalu melihat akun milik Argi. Ternyata dia sedang on. Langsung saja aku menelponnya."Hallo, Wa?" sapa Argi saat panggilan dariku diterimanya."Hallo, Gi. Lo belum tidur?" tanyaku berbasa-basi."Belum. Gue lagi pelajari, tips dan trik marketing yang lo kasih, Wa!" jawabnya."Wah, semangat banget lo. Sampe jam segini masih belajar.""Iyalah, Wa. Gue pengen niru kesuksesan elo di bisnis cafe. Makanya gue semangat banget ini.""Ya, baguslah. Gue suka semangat lo, Gi. Eh, iya, ada yang mau gue tanyain sama lo, Gi!""Apa, Wa?""Gini, gue ka
Alwina mendecih. "Buka pikiran anda! Itu bukan nasi uduk biasa! Itu kode rahasia!" balasnya membuatku semakin tak mengerti.Aku terdiam. Menunggu Alwina melanjutkan ucapannya. Namun, Alwina tak lagi berbicara. Padahal aku sangat ingin dia menjelaskannya tanpa aku menyela. "Kode rahasia apa yang kamu maksud?" tanyaku akhirnya.Alwina menggeleng. Dia tersenyum samar. Raut wajahnya sungguh jauh berbeda. Pagi ini, wajahnya begitu cantik dan juga cerah. Tak ada lagi mata sembab dan wajah kusutnya seperti malam saat mobilku hampir menabraknya."Anda benar-benar tidak tahu? Jangan bilang, kalau Anda juga baru tahu istri Anda berselingkuh, saat datang ke penginapan?" tanyanya dengan tatapan menelisik.Aku mengatupkan bibir. Alwina bukan bertanya. Itu terdengar seperti sebuah cibiran. Alwina kembali menatapku. Terdengar dia mendengkus."Jadi Anda benar-benar tidak tahu?" tanyanya. Lalu dia menopang dagu dengan kedua tangannya yang bertaut.Aku mengangkat bahu. "Aku ke sini, untuk mencari tahu.
"Dua tahun, istrimu berselingkuh dengan suamiku, Dewa! Dan kamu tidak mengetahuinya sama sekali. Tugasmu sebagai suami memang bekerja, Dewa. Menafkahi anak serta istri. Tapi jangan kamu lupakan, untuk memberi istrimu perhatian dan belaian. Agar dia tidak mencarinya pada lelaki lain!" ucapnya menohok.Tidak kulihat lagi mata sembab dengan tatapan sayu di mata Alwina. Hanya berselang hari, Alwina sudah benar-benar berubah. Alwina di hadapanku pagi ini, begitu lugas dan tegar.Aku menggigit bibir bawahku. "Aku terima, jika semua menyalahkan kesibukanku. Tapi aku tidak terima dengan caranya yang mengkhianatiku. Kenapa dia harus berselingkuh dengan orang yang kuanggap sahabat. Kenapa dia tidak bicarakan, kalau dia memang ingin mengakhiri pernikahannya denganku, dengan begitu, mungkin aku tidak akan sehancur sekarang Alwina!" lirihku berucap."Ada kalanya, seorang wanita mencapai puncak lelahnya. Dia lelah karena merasa tidak juga didengarkan. Hingga akhirnya, dia memilih diam dan membiarka
Alwina benar. Aku terlalu kalut dan shock saat itu. Sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan ponsel Kharisma saja baru aku sentuh semalam. Setelah malam kedua kematiannya."Apa kamu tahu, sejak kapan mereka mengkonsumsi obat-obatan itu?" tanyaku kemudian.Alwina menggeleng. "Entah. Aku rasa itu tidak penting. Aku sudah malas mengurusinya. Aku tidak mau membuang waktu dan pikiranku untuk mencari tahu tentang mereka lagi. Ada kantor ini yang lebih memerlukan waktu serta pikiranku, Dewa!" ucapnya dengan sangat tegas. Setiap jawaban yang meluncur bebas dari bibirnya, seakan mampu membuat bibirku ini menjadi kelu.Baru kali ini, aku bertemu dengan perempuan setangguh Alwina. Meski hatinya telah patah. Tapi semangat hidupnya tetap menyala. Hingga dia mampu berdiri hari ini dengan kepala tegak. Seolah-olah, hanya malam itu saja dia sangat rapuh.Alwina melihat jam tangannya. "Maaf, Dewa. Sudah waktunya aku bekerja. Aku rasa pembicaraan kita pun sudah selesai," ucapnya.Aku menganggu
Nakula bersama Karina? Sedekat itu? Apa aku tak salah lihat?Segera aku mengulurkan tanganku untuk membuka kaca mobil sebelah kiri. Namun, lampu sudah berganti, sehingga kendaraan di belakangku membunyikan klaskon mereka. Aku pun harus melajukan mobilku dengan segera. Selanjutnya, terpaksa aku menepikan mobilku di depan sebuah swalayan.Setelah mobilku berhenti. Lantas aku menghubungi Ibu."Hallo, Bu?" ucapku setelah panggilanku diterima Ibu."Iya, hallo, Wa?""Bu, Nakula udah lakuin apa yang Ibu suruh ke dia kemarin?""Udah, Wa. Naku kemarin malam bawa uangnya dan dia serahin sama Ibu, tiga ratus lima puluh juta."Mataku membulat mendengar perkataan Ibu. Secepat itu mereka membayar hutangnya setelah dua tahun mereka lalai? Aku rasanya tidak percaya. Apalagi dengan yang barusan kulihat, Nakula bersama Karina. Aku rasa mereka tak akan punya uang sebanyak itu saat ini. "Emm, Ibu yakin mereka bayar?" tanyaku pada Ibu."Maksud kamu, Wa? Kemarin malam, jelas-jelas Nakula setorkan uangnya
Sontak alisku bertaut mendengarnya. "Kok bisa?""Iya, Pak. Sepertinya modal toko habis dipakai buat bangun rumah baru, Pak," terangnya semakin membuatku tak mengerti."Rumah baru gimana maksudnya, Mas Bud?"Mas Budi menghela nafas panjang. "Gini, Pak, enam bulan yang lalu. Pak Ken ada bangun rumah di komplek perumahan belakang toko ini. Pembangunannya sekitar dua bulananlah, udah beres itu rumah. Setelah rumah itu beres, toko yang kena imbasnya. Barang-barang mulai berkurang, Pak. Gimana pembeli mau belanja, kalo barang yang dibutuhkan ga ada? Padahal toko lagi rame-ramenya loh, Pak."Aku tertegun mendengarnya. Dua tahun mereka tidak membayar uangnya pada Ibu. Tapi mereka membangun rumah di komplek perumahan. Sedangkan barang-barang di toko ini dibiarkan tak terisi karena kemungkinan modalnya habis untuk biaya bangun rumah baru. Jadi, darimana uang yang Nakula bawa dan berikan pada Ibu?"Tunggu tunggu, Mas Bud. Kenapa mereka harus bangun rumah baru? Rumah mereka emangnya kenapa?""Loh
Selesai sarapan pagi ini. Aku langsung bergegas ke rumah Ibu. Dengan membawa sertifikat toko yang kemarin diberikan Pak Ken. Rumah Ibu hanya terhalang lima rumah lain dari rumahku. Rumah Ibu memiliki dua lantai. Di rumah, Ibu tinggal bersama sepasang suami-istri yang menjadi ART-nya. Juga Nakula.Tapi Nakula jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di outlet miliknya. Nakula menekuni usaha di bidang kaos distro yang dijualnya secara offline juga online.Outlet kaosnya berupa ruko dua lantai. Lantai bawah sebagai tokonya langsung. Sedangkan lantai dua sebagai tempat produksi kaosnya. Dimulai dari pola. Cutting. Sablon. Hingga penjahitan. Semuanya dilakukan di lantai dua.Darah seorang pebisnis turunan dari almarhum Ayah. Sepertinya memang mengalir dalam diriku juga adikku itu. Di usianya yang baru 24 tahun, Nakula sama sepertiku dulu. Sudah berhasil memiliki usaha sendiri. Mengelola bisnis yang diminati. Menggelutinya dan terus mengembangkan. Sampai akhirnya berdiri, berjal
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih