****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.