Hmm, apa atas alasan ini Mama begitu patuh pada Om Dimas? Kalaupun iya, Mama belum tahu saja siapa sebenarnya suaminya itu. Aku baru ingat, pria yang menjadi suami Mama itu tidak terlihat di kantor Mama. Biasanya, Om Dimas kerap menemani Mama kerja. Hanya menemani tanpa membantu, karena pria itu sesungguhnya benalu dalam keluargaku. Pria yang tidak terlihat bekerja itu memang hanya ikut menikmati harta peninggalannya Papa.Di tengah-tengah obrolan kami, tiba-tiba ponsel Mama berdering. Sebelum menerima panggilan itu Mama melihatku dengan tatapan heran."Ya, halo." Mama menyapa tanpa mengucap salam. Tidak heran jika aku pun biasa seperti itu karena memang tidak pernah dibiasakan oleh Mama."Waalaikumsalam." Setelah menjeda sebentar Mama terdengar menjawab salam. Mungkin si penelepon yang berinisiatif mengucap salam."Ada. Memangnya kenapa?" Mama menjawab pertanyaan tapi kalimat berikut malah mengajukan pertanyaan sambil melihat ke arahku. Heran."Di kantor Mama."Detik berikutnya wanit
Setelah keluar dari ruangan Mama, aku berpikir keras. Bagaimana caranya supaya aku tidak jadi diantar oleh Om Dimas. Terlintas di pikiranku untuk berlari saja, tapi itu akan menjadi pusat perhatian para karyawan Mama. Lagipula, sepertinya hal itu sia-sia saja aku lakukan, sebab pria ini akan dengan mudah menangkapku.Sampai di depan lift aku ragu untuk memasukinya. Sebab Om Dimas berjalan di belakangku, sudah tentu dia akan bersamaan masuk ke dalam lift ini. Terpikir untuk melalui tangga saja, tapi sudah terbayang olehku capenya. Ruangan Mama berada di lantai tujuh. Lalu akan seperti apa lututku ketika aku sampai di lantai bawah. Tapi tidak apa-apa yang penting aku tidak masuk lift bersamaan dengan Papa tiriku."Mau kemana?" tanya om Dimas dingin.Tak menghiraukan pertanyaan pria yang selalu berpakaian seperti anak seusiaku itu, aku terus berjalan menuju tangga."Lala, apa kamu sudah kehilangan akal sehat, menuruni gedung ini dengan menggunakan tangga?!" Om Dimas sekarang sudah berada
Tanganku terangkat dan berusaha untuk lepas dari kekangan pria yang menakutkan ini."Sekali saja, aku ingin menikmati sensasi yang berbeda dari dua wajah yang mirip." Lalu perlahan wajah itu mendekat kearahku dan tanpa pikir panjang lagi aku pun bereaksi.Cih!!"Ah!!" Om Dimas bergerak mundur ketika aku meludahi wajahnya. "Kamu terlihat semakin menggoda, Lala," ucapnya menyeringai sambil mengusap wajahnya lalu bergerak kembali mendekatiku.Namun aksi pria itu terhenti ketika angka lima belas menyala, itu artinya kami sudah sampai di lantai paling atas. Om Dimas pun bergerak dan menekan kembali angka satu. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengambil ponsel di dalam tas lalu mengaktifkannya. Rasanya lama sekali menanti ponsel ini menyala."Apa kamu mau menghubungi suamimu yang gayanya aneh itu." Suara itu terdengar mendekat lalu detik kemudian ponselku berpindah tangan pada Om Dimas."Apa yang Om Dimas lakukan?! Om tidak bisa semena-mena seperti ini!""Di sini hanya ada kita berdua, jad
"Lala sudah datang, nanti aku hubungi lagi," ucap Om Dimas sambil menutup teleponnya, satu tangannya meraih tanganku lalu dia menyusulku keluar. Setelah berada di luar aku belum benar-benar merasa aman karena masih harus satu mobil dengannya."Jangan coba-coba berlari dariku. Bersikaplah normal hingga orang-orang tidak curiga melihat kita," bisiknya tanpa melihatku. "Atau aku akan menghancurkan nama baik Mamamu." Seperti biasa dia mengancamku.Sebelum melangkah aku membuang nafas berat kemudian berusaha senormal mungkin berjalan menuju parkiran. Aku terus memutar otak bagaimana caranya bisa lepas dari Om Dimas. Tapi kalau pergi sekarang, aku akan kehilangan ponselku yang berada pada pria itu.Tiba di parkiran aku mengulurkan tanganku."Berikan ponselku," ucapku dingin."Untuk apa? Kamu mau menghubungi suami norak-mu itu supaya menjemputmu kesini, heh?""Aku ada janji dengan teman-temanku dan mungkin aku terlambat, maka aku akan memberi kabar pada mereka," kataku lagi tanpa melihat wa
Aku membelalakkan mata ketika mendengar Om Dimas memfitnahku, entah apa yang ada dalam pikiran Om Do sekarang, karena aku tidak melihat wajahnya saat ini."Dia bohong!!" Aku berteriak dari balik punggung Om Do.Mendengar aku menyangkalnya, pria itu tetap tersenyum mengejek."Dia merengek meminta diantar pulang rupanya ada maksud tersembunyi. Dasar anak tidak tahu diri." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Om Dimas yang memutar balikkan fakta."Om Dimas .... " Kalimatku tertahan setelah tangan kanan Om Do terangkat yang mengisyaratkan bahwa aku tidak boleh berkata lagi. Aku diam karena saat ini hanya pria inilah yang menjadi harapanku untuk bisa menolong dari kejahatan Om Dimas."Lo masih belum berubah juga, Dimas." Ucap om Do yang membuat aku kaget, sepertinya mereka saling kenal."Jangan sok tahu, Lo! Apalagi sok kenal!" sahut Om Dimas sambil menunjuk Om Do."Oh, jadi Lo pura-pura tidak mengenal Gue. Lo takut Gue membeberkan semua kebusukan Lo pada Lala dan juga mertua Gue."
Pria ini malah mencebik, lalu tanpa diduga ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Membuatku seketika membelalak. Rupanya barusan dia mengisyaratkan padaku untuk memasang sabuk pengaman. Kenapa aku sebodoh ini, lupa pada keharusan ketika sedang duduk di dalam mobil.Tubuhku mendadak menjadi kaku ketika jarak aku dengannya hanya beberapa sentimeter saja. Aku merapatkan punggung pada jok, bahkan kalau bisa aku ingin mengecil supaya tidak sampai bersentuhan dengannya. Duh, kenapa irama jantungku jadi tidak beraturan seperti ini. Dengan sigap Om Do memasangkan sabuk pengaman padaku dan begitu saja aroma maskulinnya menguar memenuhi rongga penciumanku. Aku sampai memejamkan mata karena wangi ini mampu memberikan sensasi menenangkan.Beberapa detik kemudian Om Do selesai dengan aktivitasnya membantuku, kemudian ia kembali pada posisinya lalu menyalakan mesin. Jujur saja aku masih syok dengan kejadian barusan. Disaat aku dalam ketakutan, Om Do tiba-tiba datang lalu berbicara dengan Om Dimas se
Menjelang maghrib Om Do baru pulang. Setelah mengucap salam, pria itu tidak lagi berbicara, sepertinya ia sibuk membersihkan diri. Hingga kami selesai salat berjamaah maghrib pun, pria dengan kaos dan celana pendek itu duduk di sebelahku. Dengan pakaian seperti ini aura Om Do jadi berbeda, ia kelihatan lebih segar dan lebih muda dari tampilannya tadi pagi.Ish.Kenapa aku jadi memperhatikan dia."Kenapa belum makan?" tanyanya sambil melirik makanan yang masih terbungkus rapi di atas meja."Aku nungguin Om." Aku menjawab sambil memberanikan diri menatapnya."Aku sudah makan. Sebenarnya tidak perlu menungguku, lain kali kalau kamu mau makan, makan saja.""Tapi ini makanannya dua porsi.""Itu untuk kamu semua, orang hamil itu harus makan banyak. Jadi aku sengaja menyuruh Danang untuk memesankan dua porsi."Om Do begitu memperhatikan aku meski kalau aku beneran hamil pun ini bukan darah dagingnya."Tapi bagiku makanan ini terlalu banyak.""Ya sudah, ayo kita makan. Aku mengkhawatirkan bay
"Yang benar saja, Om, aku 'kan masih trauma untuk memasak setelah membuat telur ceplok kemarin. Dan untuk pilihan kedua aku juga tidak mau. Apa tidak ada pilihan lain?""Ada, memangnya kamu mau?""Katakan saja, siapa tahu pilihan ketiga bisa aku lakukan.""Menciumku.""Apa?!" Seketika aku menoleh ke arahnya sambil membelalakkan mata, tapi pria ini terlihat tenang dan diam. Ucapannya barusan sama sekali tidak membuat ekspresi wajahnya berubah."Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Om!""Kesempatan apa? Sebenarnya aku bisa memaksamu untuk melakukan ketiganya. Kamu itu istriku, enggak ada salahnya kamu masak untuk makan suamimu. Bisa mendapatkan pahala jika diniatkan ibadah. Soal memijat kakiku ketika aku pulang bekerja, itu juga sudah seharusnya kamu lakukan untuk menyenangkan suami. Lalu menciumku, apa salahnya jika seorang istri mencium suaminya? Bukankah kita halal melakukannya?" "Masalahnya adalah kita bukan suami istri beneran!" Aku menjawab masih dengan nada tinggi."Ka