Pria ini malah mencebik, lalu tanpa diduga ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Membuatku seketika membelalak. Rupanya barusan dia mengisyaratkan padaku untuk memasang sabuk pengaman. Kenapa aku sebodoh ini, lupa pada keharusan ketika sedang duduk di dalam mobil.Tubuhku mendadak menjadi kaku ketika jarak aku dengannya hanya beberapa sentimeter saja. Aku merapatkan punggung pada jok, bahkan kalau bisa aku ingin mengecil supaya tidak sampai bersentuhan dengannya. Duh, kenapa irama jantungku jadi tidak beraturan seperti ini. Dengan sigap Om Do memasangkan sabuk pengaman padaku dan begitu saja aroma maskulinnya menguar memenuhi rongga penciumanku. Aku sampai memejamkan mata karena wangi ini mampu memberikan sensasi menenangkan.Beberapa detik kemudian Om Do selesai dengan aktivitasnya membantuku, kemudian ia kembali pada posisinya lalu menyalakan mesin. Jujur saja aku masih syok dengan kejadian barusan. Disaat aku dalam ketakutan, Om Do tiba-tiba datang lalu berbicara dengan Om Dimas se
Menjelang maghrib Om Do baru pulang. Setelah mengucap salam, pria itu tidak lagi berbicara, sepertinya ia sibuk membersihkan diri. Hingga kami selesai salat berjamaah maghrib pun, pria dengan kaos dan celana pendek itu duduk di sebelahku. Dengan pakaian seperti ini aura Om Do jadi berbeda, ia kelihatan lebih segar dan lebih muda dari tampilannya tadi pagi.Ish.Kenapa aku jadi memperhatikan dia."Kenapa belum makan?" tanyanya sambil melirik makanan yang masih terbungkus rapi di atas meja."Aku nungguin Om." Aku menjawab sambil memberanikan diri menatapnya."Aku sudah makan. Sebenarnya tidak perlu menungguku, lain kali kalau kamu mau makan, makan saja.""Tapi ini makanannya dua porsi.""Itu untuk kamu semua, orang hamil itu harus makan banyak. Jadi aku sengaja menyuruh Danang untuk memesankan dua porsi."Om Do begitu memperhatikan aku meski kalau aku beneran hamil pun ini bukan darah dagingnya."Tapi bagiku makanan ini terlalu banyak.""Ya sudah, ayo kita makan. Aku mengkhawatirkan bay
"Yang benar saja, Om, aku 'kan masih trauma untuk memasak setelah membuat telur ceplok kemarin. Dan untuk pilihan kedua aku juga tidak mau. Apa tidak ada pilihan lain?""Ada, memangnya kamu mau?""Katakan saja, siapa tahu pilihan ketiga bisa aku lakukan.""Menciumku.""Apa?!" Seketika aku menoleh ke arahnya sambil membelalakkan mata, tapi pria ini terlihat tenang dan diam. Ucapannya barusan sama sekali tidak membuat ekspresi wajahnya berubah."Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Om!""Kesempatan apa? Sebenarnya aku bisa memaksamu untuk melakukan ketiganya. Kamu itu istriku, enggak ada salahnya kamu masak untuk makan suamimu. Bisa mendapatkan pahala jika diniatkan ibadah. Soal memijat kakiku ketika aku pulang bekerja, itu juga sudah seharusnya kamu lakukan untuk menyenangkan suami. Lalu menciumku, apa salahnya jika seorang istri mencium suaminya? Bukankah kita halal melakukannya?" "Masalahnya adalah kita bukan suami istri beneran!" Aku menjawab masih dengan nada tinggi."Ka
"Jujur saja aku sempat kaget ketika melihat dia berada di rumahmu waktu aku datang di hari pernikahan itu. Ternyata dia Ayah tirimu. Dan dorongan untuk menikahimu bukan semata-mata karena Rendy tidak datang. Aku tahu kamu dalam bahaya jika berdekatan dengan Dimas. Tindakanku menikahimu sudah tepat karena secara tidak langsung sudah menjauhkanmu dari pria berbahaya itu. Terlepas dari kamu bisa menerima atau tidak pernikahan ini, yang jelas kamu aman bersamaku."Ya Tuhan. Kenyataan apalagi ini? Satu fakta lagi terungkap bahwa Om Do dan Om Dimas saling mengenal. Ini memang terlihat dari ekspresi mereka berdua ketika tadi bertemu di parkiran. Aku sudah menduga kalau di antara keduanya ada apa-apa dan pengakuan Om Do barusan menguatkan dugaanku itu. Hanya saja saat ini aku belum berani bertanya lebih jauh mengenai Om Dimas pada pria yang kini duduk bersamaku ini."Mulai saat ini aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Dimas bisa mengintaimu kapan saja. Lihatlah bagaimana tadi dia menc
"Janji tidak pake mesum!" Aku memberanikan diri menatapnya dan seketika keningnya berkerut."Aku janji. Karena memang tidak ada teman yang mesum.""Bagus!""Adanya juga teman tapi mesra.""Ish!" "Gak salah 'kan?" Tawanya berderai sedangkan aku menarik tanganku sambil mencebik."Jelas salah, mesum sama mesra itu sama saja.""Kata siapa?""Kata aku!""Ya memang sama. Sama-sama terdiri dari lima huruf." Pria berkaos itu kembali terkekeh.Aku kembali membuang pandangan, kesal dengan ucapannya yang terkesan berbelit-belit dan mengejekku. Di sisi lain aku tidak menyangka kalau Om Do yang selama ini otoriter dan dingin ternyata ada sisi humorisnya juga. "Om punya pacar?" Kalimat itu begitu saja terucap. Sebenarnya hal ini sudah ingin aku tanyakan sejak dulu. Tapi karena sungkan dan cenderung kesal mendominasi, aku tidak punya kesempatan untuk menanyakannya. Dan saat ini aku merasa sudah lebih punya keberanian pada pria ini, maka aku memutuskan untuk bertanya."Pacar?" Dia malah balik berta
Sejak kejadian di parkiran kantor Mama, aku tidak berani lagi bepergian sendiri. Om Do juga bersedia mengantarku, dan aku merasa aman pergi dengannya. Seperti yang telah dibicarakan kemarin setelah ini kami berteman. Pagi ini aku memilih memasak demi kata maaf darinya. Membuat nasi goreng yang semalam tutorialnya aku tonton berkali-kali di salah satu channel media sosial. Meskipun kata Om Do keasinan dan kebanyakan minyak tapi dia tetap memakannya. Dia bilang aku harus sering-sering menonton video tutorial masak karena terus-menerus membeli makanan junk food ataupun makanan di luar juga tidak sehat."Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ibu dan masakan paling enak bagi seorang anak adalah masakan yang dimasak oleh tangan Ibunya sendiri." Itu yang dia katakan ketika kami makan.Aku hanya mengangguk sambil meliriknya sekilas karena mulutku penuh, aku tidak berniat menjawab."Kamu itu sebenarnya anak yang cerdas, La. Cuma karena terbiasa dimanjakan, kamu tidak bisa mandiri.""Sok tah
"Jangan bilang seperti itu, kamu kelihatannya benci banget sama aku, La. Hati-hati, loh, antara benci dan cinta itu beda tipis." "Apaan sih, Om, pagi-pagi udah ngomongin cinta. Tidak ada cinta di antara kita, jadi nggak usah diomongin.""Oke, oke. Sekarang mungkin tidak tapi tidak menutup kemungkinan untuk kedepannya, 'kan.""Dih, percaya diri banget sih, Om! Masa aku jatuh cinta sama Om-om dengan tampilan seperti ini." Aku bergumam sambil meliriknya sinis."Apa tadi kamu bilang?""Aku enggak bilang apa-apa." "Tapi aku mendengarnya samar-samar.""Mungkin Om salah dengar.""Baiklah!"Hening untuk beberapa saat. Hanya terdengar deru mesin dan musik yang diputar oleh pria ini. Lagu yang sebenarnya cukup membuat suasana di dalam mobil cukup syahdu. Dan sedari tadi aku mencoba menahan untuk tidak begitu larut dalam suasana ini."Ini mobil Om?" Aku berusaha mencairkan suasana."Bukan.""Lalu milik siapa?""Milik seseorang.""Seseorang itu siapa?""Apa perlu aku memberitahumu?""Sebenarnya
Sudah beberapa hari ini aku berangkat dan pulang kuliah bersama Om Do. Meskipun katanya sibuk, pria itu menyempatkan untuk menjemputku dan setelahnya dia kembali pergi yang katanya masih punya pekerjaan. Aku sendiri belum tahu apa pekerjaannya dan tidak banyak bertanya karena selama ini Om Do selalu menjawab beberapa pertanyaanku dengan jawaban yang tidak pasti, berbelit-belit dan penuh teka-teki. Jadinya aku malas untuk bertanya apapun. Aku pikir tidak perlu juga aku banyak tahu tentang pria itu. Aku tidak tertarik pada kehidupannya, yang penting sekarang dia mau melindungi aku dan menjagaku, itu saja.Mobil yang kemarin aku tanya kepemilikannya tiap hari memang digunakan untuk mengantar dan menjemputku. Jadi aku punya kesimpulan bahwa mobil itu memang bukan milik orang lain tapi milik suamiku.Sejujurnya aku heran, Om Do yang hanya punya usaha toko dan fotocopy juga tinggal di sebuah ruko itu punya mobil sebagus ini. Pasalnya aku tahu mobil ini harganya hampir 1 M, sama seperti mobil
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong