Aku segera menjauh sambil memeriksa ponsel yang ternyata panggilan dari Ghea."La, gue lihat Om Dimas di mall," lapornya heboh."Terus apa hubungannya sama gue? Dia sudah bukan siapa-siapa gue lagi. Mama sedang mengurus perceraian mereka.""Dia bersama seorang wanita.""Mungkin mangsa barunya." "Kayaknya seumuran sama Mama Lo. Entar gue kirim potonya, ya.""Oke!"Setelah sambungan telepon terputus, masuk sebuah pesan dari Ghea. Benar saja, rupanya tidak perlu waktu lama untuk move on dari Mama, Om Dimas sudah dapat pengganti Mama. Syukurlah kalau dia sudah move on dari Mama, jadi aku tidak perlu khawatir lagi kalau dia akan mengganggu Mama. [Kayaknya tua-an wanita ini.]Tulis Ghea.[Mau tua mau muda, yang penting buat gue, pria itu sudah jauh dari Mama.]"Telepon dari siapa?" tanya pria yang entah sejak kapan berada di belakangku. Kalimat itu dia ucapkan seiring dengan tangannya yang melingkar di pinggangku. Dan jujur saja, ini membuat aku tiba-tiba meriang. Tanpa menjawab, aku memp
"Aku memang pernah menyukai Zaskia, tapi aku mundur di saat mendengar ucapan Ayahnya saat itu. Aku sadar kalau aku terlalu rendah untuk Zaskia. Sudah cukup segala penghinaan dari keluarga Mbak Renita selama ini. Aku berpikir jika aku telah memiliki segalanya pun aku akan tetap merasa rendah di hadapan keluarga Zaskia. Jadi tolong lenyapkan semua pikiran negatifmu selama ini. Zaskia hanya mampir sebentar di hatiku dan sudah lama kulupakan." Ucapannya itu membuat aku yakin bahwa aku tidak salah langkah. Mas Faldo adalah yang terbaik untukku.Aku semakin yakin menjalani rumah tanggaku ke depannya. Pernikahanku dengan Mas Faldo memang bukan pernikahan yang dulu kuimpikan, tapi apa yang Mas Faldo bilang memang benar. Bahwa jodoh bukan orang yang kita cintai di masa lalu, tapi orang yang ada bersama kita dalam satu ikatan halal saat ini. Dan aku harus jujur pada diriku, bahwa rumah tangga kami sekarang telah membuatku nyaman. Mas Faldo bukan pria tua yang menyebalkan, tapi pria dewasa yang
"Sebelumnya maaf, aku dan Lala bukan Om dan keponakan seperti yang Lala bilang. Kami menikah lima bulan yang lalu." Dengan suara berat Mas Faldo mulai menjelaskan.Tak sanggup melihat wajah Bu Zaskia yang kecewa berat, aku bermaksud untuk meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya berdua. Baru satu langkah aku pergi, tanganku kembali diraih oleh suamiku sehingga aku mengurungkan niatku."Kenapa Lala tidak jujur saat itu? Kenapa kalian membiarkan harapanku terus tumbuh? Aku memang sudah curiga saat kita di mall. Saat Mas Faldo memanggil Lala dengan sebutan sayang." Bu Zaskia membuang muka."Ada satu hal yang tidak bisa dijelaskan yang membuat kami harus merahasiakan identitas pernikahan ini. Tidak ada maksudku untuk menyembunyikan ini darimu. Kami memang merahasiakannya dari siapapun. Dan masalah harapanmu aku rasa kita hanya salah paham saja.""Maksud Mas?" Wanita itu kembali menatap suamiku."Dek, diantara kita tidak pernah ada pembicaraan atau komitmen apa pun,
"Ya semua sudah terlanjur. Termasuk hatiku, sudah terlanjur kuserahkan pada gadis bernama Tri Nala Puspita. Oh ya aku lupa menanyakan satu hal padamu.""Apa itu?""Apa kamu tidak mempermasalahkan status sosialku? Aku tidak punya keluarga apalagi harta. Hanya seorang manusia yang memulai semuanya dari nol, bahkan sampai saat ini aku belum bisa dibilang berhasil dan jauh dari kata mapan." Aku merasa dia menatapku dalam."Mas, aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Mama juga tidak pernah mempertanyakannya, bukan? Jadi untuk apa kita membahasnya?" Aku membalas tatapannya hingga dada ini bergemuruh."Terima kasih sudah menerima om-om ini menjadi suamimu. Terima kasih sudah menerima laki-laki yang berpakaian aneh ini untuk menjadi imammu," ucapnya serius."Sebenarnya bukan aku yang memilih, tapi Tuhan yang telah memberikan jodoh terbaik untukku." "Bagiku, kamu adalah musibah terindah." "Kok, musibah.""Ya jelas musibah, kita 'kan awalnya tidak mau satu sama lain untuk menikah. Pernikahan
"Kamu belum salat juga?" tanya Mas Faldo setelah ia selesai salat isya. "Belum," jawabku sambil mengalihkan pandangan dari ponsel. Kedua alisku menyatu lantaran tidak biasanya Mas Faldo bertanya seperti itu. Padahal dia tahu aku sedang datang bulan dari beberapa hari yang lalu."Kok, lama?" tanyanya sambil tersenyum menyeringai.Aku mengubah posisi dudukku karena benar-benar heran."Kata siapa lama, ini sama aja dengan bulan-bulan kemarin, kok.""Tapi 'kan kemarin-kemarin aku enggak merhatiin." Ia tetap tersenyum aneh.Sampai sini aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud oleh suamiku ini. "Apa sih, Mas." Mendapat pertanyaan seperti itu Mas Faldo yang baru saja melepas sarung dan pecinya mendekatiku sambil mengusap tengkuknya. Sementara bibirnya menyungging senyum aneh."Eum ... mungkin ini terlalu dini, tapi aku rasa kita perlu membicarakannya," ucapnya setelah duduk di sebelahku."Tentang ... apa ... ?" Jujur saja aku tidak tahu kemana arah pembicaraan pria ini."Soal ... anak .
Yang aku khawatirkan hanya satu, bagaimana kalau ternyata Rendy sedang ada di rumah. Sejak kejadian di cafe itu memang aku tidak pernah mendengar lagi kabar pria itu. Keputusanku untuk menjalani rumah tangga bersama Mas Faldo memang bukan tanpa alasan. Selain aku merasa nyaman bersama pria yang lebih dewasa dariku sepuluh tahun ini, aku juga tidak yakin jika harus kembali pada Rendy. Rendy yang kutemui di cafe itu sangat jauh berbeda dengan Rendy yang aku kenal beberapa waktu yang lalu. Pria itu berubah jadi arogan dan egois, bahkan terkesan memaksa."Alhamdulillah, Mbak sangat senang dengan kedatangan kalian. Bagaimana kabar kalian?" Mbak Renita menyambut kami dengan penuh rasa bahagia, senyum terpancar di wajahnya.Aku melirik suamiku yang nampak canggung dan heran melihat sambutan dari kakaknya itu. Mas Faldo pernah bilang, selama ini sikap Mbak Renita memang dingin dan cenderung kaku. Aku bisa membayangkan bagiamana sikap Mbak Renita dan saudara kandungnya yang menganggap Mas Fald
"Aamiin, Mbak. Terima kasih."Selanjutnya obrolan kami beralih pada pembahasan lain. Mbak Renita nampak ramah dan hangat. Entah memang dia sudah berubah atau hanya berpura-pura. Aku tidak mau terlalu memperdulikannya. Sebelum pulang kami dipaksa untuk menikmati hidangan dulu. Katanya mumpung kami berkunjung sekalian makan bersama. Lantaran tidak enak, akhirnya kami menerima tawaran Mbak Renita.Suami Mbak Renita sendiri sedang tidak ada di rumah. Sebelumnya aku sudah tahu kalau Papanya Rendy seorang pebisnis yang lumayan sukses. Kami makan ditemani oleh anak bungsu Mbak Renita, sementara anak keduanya sedang tidak ada di rumah juga.Di tengah-tengah kami menikmati hidangan, terdengar suara langkah menuruni anak tangga. Sontak aku melirik ke sana. Dan begitu aku melihat sosok yang kuhindari itu, seketika aku menghentikan aktivitasku sejenak. Rendy berjalan dengan wajah yang sulit diartikan menuju meja makan. Aku melirik Mas Faldo, wajah pria ini pun nampak kurang suka dengan kedatangan
Pov FaldoTak kusangka kedatanganku ke rumah Mbak Renita untuk bersilaturahmi malah disuguhi drama penangkapan Rendy. Sebagai Om-nya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lantaran memang tidak tahu duduk persoalannya. Polisi itu sendiri tidak menjelaskan atas kesalahan apa Rendy ditangkap. Aku hanya bisa menenangkan Mbak Renita yang nampak syok. Sebelum dibawa oleh mobil petugas kepolisian, Rendy sempat menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau sudah begini, gimana Do?" Mbak Renita panik dengan wajah yang basah oleh air mata."Tenang dulu, Mbak. Kita 'kan belum tahu duduk persoalannya. Siapa tahu ini hanya salah paham.""Kamu mau 'kan menemani Mbak ke kantor polisi?" Mbak Renita memegang tanganku penuh pengharapan."Ayo Mbak, aku antar."Mbak Renita yang sempat berteriak histeris akhirnya menyusul Rendy ke kantor polisi bersamaku. Sepanjang perjalanan kakak perempuan tertuaku itu terus menangis. Ia terus bergumam mempertanyakan kesalahan Rendy. Di perjalanan aku mendapat telep
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong