FALDOSetelah tertunda beberapa waktu, akhirnya aku kesampaian juga mengajak Lala untuk melihat rumah kami. Ya, sebenarnya aku punya rumah yang sudah siap untuk dihuni. Bahkan dua orang sudah kupekerjakan di sana. Mang Ujang dan istrinya, Bi Anah. Sepasang suami istri yang sudah menempati rumah itu sejak enam bulan yang lalu. Sebelum menikahi Lala, aku pun kadang tinggal di sana, meski seringnya aku tinggal di ruko. Rumah sebesar itu memang tidak enak kalau dihuni sendirian, jadi aku memilih untuk tinggal di ruko saja. Rumah itu memang aku persiapkan untuk kutinggali setelah aku punya pendamping. Meski saat itu aku masih ragu untuk bisa mengambil keputusan. Sampai akhirnya Allah memberikan aku jodoh yang tak disangka-sangka. Jodoh terbaik yang Allah berikan secara dadakan. Aku memulai semuanya dari nol. Karena tak sepeserpun harta warisan Ayah bisa kunikmati. Mbak Renita bilang, aku tak punya hak apa-apa terhadap harta peninggalan Ayah, karena aku hanyalah anak pelakor. Padahal aku
"Nanti aku jelaskan di jalan. Sekarang kita harus segera ke kantor polisi." Aku bangkit diikuti olehnya. Tanpa banyak tanya lagi Lala segera menyambar tas yang terletak di atas meja lalu berpamitan pada dua orang yang mengurus rumah ini."Polisi mengabarkan bahwa yang diduga pelaku pengeroyokan tempo hari, salah satunya sudah tertangkap." Kujelaskan pada Lala ketika kami sudah di perjalanan. "Apa?! Jadi kasus itu dilaporkan ke polisi?""Ya.""Kapan? Kok, aku nggak tahu?" Aku memang belum memberitahu pada Lala perihal laporan itu. Khawatir akan menggangu konsentrasi kuliahnya. Sudah cukup banyak masalah yang dihadapi gadis berusia dua puluh tahun itu."Besoknya, setelah kejadian itu. Sewaktu kamu pergi kuliah, aku pergi ke kantor polisi dan tidak ada satu orang pun yang tahu karena saat itu Mama dan Dimas juga sudah pergi.""Dan Om tidak memberitahuku setelahnya?" Ada sedikit nada kesal kudengarkan dari pertanyaannya."Aku tidak mau konsentrasimu jadi terganggu, meskipun pada akhirny
Selanjutnya aku tidak bertanya lagi. Biarlah pak polisi yang menjalankan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan. Aku sudah cukup puas salah seorang dari mereka sudah ditangkap. Itu artinya ada harapan untuk bisa mengetahui siapa dalangnya dibalik aksi pengeroyokan itu. Selesai memastikan pria yang tertangkap itu aku langsung berpamitan. Karena hari sudah menjelang sore, aku langsung pulang saja ke rumah Mama mertua. Tadi pagi aku tidak melihat Dimas ada di rumah, dan ketika Lala bertanya pada Mamanya tentang keberadaan pria itu, Mama menjawab Dimas sedang ada urusan di luar kota. Tak salah lagi, aku jadi curiga Dimas sedang bersama dengan Kinara atau bisa saja ada wanita lain. Pria seperti Dimas tidak akan cukup dengan satu wanita. Bahkan sejak kuliah, sejak dia masih menggunakan uang kedua orang tuanya untuk memacari gadis-gadis seusianya.Sekarang di umur yang sudah waktunya menafkahi satu wanita halal, Dimas masih saja betah dengan kelakuan bejadnya itu."Mama yakin Om Dimas pergi
Aku bertukar pandang dengan Lala saat mengetahui siapa yang membuat keributan di dekat pos satpam. Gadis yang baru saja aku bicarakan bersama istriku itu kini berada di sini. Rupanya Kinara berusaha menerobos masuk ke area rumah Mama mertuaku, namun dihalangi oleh satpam yang sedang berjaga. "Mana Papa tiri kamu?" Kinara menatap Lala penuh amarah, meski aku tahu kemarahan yang sebenarnya itu ditujukan untuk Dimas. "Kalau mau bertamu itu yang sopan! Jangan main teriak saja, kamu seorang terpelajar 'kan?" Lala menjawab tak kalah sengit. Aku segera menghampiri istriku yang mulai terbawa emosi karena sikap Kinara tersebut."Jangan diladeni," bisikku sambil merangkul pundaknya."Jadi Mas mau membelanya?" sahut Lala sambil berbisik geram."Panas itu jangan dilawan dengan panas lagi, coba kamu tarik nafas, jangan terbawa emosi." Aku berbisik lagi."Mana Dimas?!" Kinara kembali berteriak sambil mendongak ke arah rumah. "Mau apa mencari Om Dimas? Kalau mau ambil, ambil aja!" Meski sudah kup
Tidak ada pergerakan dari kami berempat, Pak satpam yang berdiri di dekat pos satpamnya pun tidak berbuat apa-apa. Tubuh Lala bergetar hebat, gadis ini kupeluk dengan erat. Aku terus memperhatikan Mama dan Dimas, keduanya berdiri mematung dan saling berhadapan. "Sayang dia gadis depresi, kamu jangan percaya begitu saja," ucap Dimas setelah beberapa menit mereka membisu. Tangan kanannya terulur hendak menyentuh bahu Mama."Cukup Mas, aku tidak butuh lagi penjelasan." Mama mengangkat satu tangannya sebagai pertanda dia tidak mau disentuh."Berarti kamu percaya 'kan sama aku, Sayang?" Wajah Dimas berseri. Melihat itu, aku hanya menyungging senyum miris."Aku sangat percaya pada gadis itu," sahut Mama datar."Sayang, gadis itu depresi." Wajah pria yang seumuran denganku itu kembali muram."Gadis mana yang tidak akan depresi kalau dia dihamili tanpa dinikahi. Bahkan sejumlah uang yang diberikan untuk menggugurkan kandungannya, tidak akan bisa membeli harga dirinya." Mama berkata sambil me
"Jadi, waktu tempo hari Om Dimas tidak pulang itu sepertinya sedang membujuk Kinara untuk menggugurkan kandungannya," ucap Lala begitu kami masuk kamar. "Dari dulu selalu begitu. Setelah habis manisnya, Dimas meninggalkan gadis-gadisnya dalam keadaan berbadan dua. Makanya, bagi yang tidak kuat, mereka akan depresi. Dia belum kapok karena belum kena batunya." "Apa Om yakin, kalau dalang pengeroyokan itu juga Om Dimas?" "Aku tidak mau suudzon, kita tunggu saja, polisi sedang menangani kasus ini." ***Besoknya kami bertemu Mama di meja makan. Lala tidak banyak bertanya pada Mama, hanya mengucapkan selamat pagi dan bertanya kabar."Mama baik-baik saja, La. Kalian tidak usah khawatir," jawab Mama sambil menyendok nasi."Syukurlah, Ma. Lala seneng kalau akhirnya Mama bisa mengambil sikap.""Ini berkat bantuan kalian juga.""Maksud Mama? Kami memang berharap Mama bisa lepas dari buaya itu." "Waktu Dimas pamit dan beralasan ada urusan bisnis beberapa hari yang lalu, sahabat-sahabatmu men
"Jadi si Kinara datang ke rumah Lo?" tanya Ghea sambil menyuap. Siang ini kami sedang menikmati makan siang di kantin kampus. "Huum." "Thanks ya, untuk bantuan kalian." Aku melirik kedua sahabatku ini secara bergantian."Kok, makasih buat gue?" Mitha menoleh."Kalian 'kan yang ngasih tahu Mama gue perihal Kinara dan Om Dimas pas ke hotel tempo hari.""Kok, lo tahu?""Mama yang bilang." "Itu cuma kebetulan saja. Ya 'kan Ghe?" Mitha menyenggol lengan Ghea yang sedang asyik makan."Huum.""Mau itu kebetulan atau disengaja, yang jelas kalian sudah berbuat banyak untuk menyelamatkan Mama.""Mendengar cerita lo tempo hari tentang Kinara dan Papa tiri Lo, sebenarnya gue juga merasa geram sih sama si Kinara. Tapi ya, si Kinara nggak sepenuhnya bersalah. Bisa jadi Kinara nggak tahu kalau Om Dimas itu punya istri. Tetap saja Om Dimas juga berperan penting."Sangat penting malahan. Karena Om Dimas adalah otaknya, dia buka saja menyakiti Mama dan mengkhianati pernikahan mereka. Pria itu juga t
"Sebenarnya tadi sempat juga sih, ketemu Mas Faldo waktu di ruko. Tapi beliau cepat-cepat pergi, sepertinya harus pergi ke pesantren. Jadi kami tidak sempat mengobrol lama.""Jadi ibu bertemu sama Om saya? Pantesan Ibu terlihat bahagia sekali." Aku tersenyum miris mengatakan itu."Hemm, iya." Seketika wajahnya merona. Ia tidak dapat menyembunyikan rona bahagianya. Ya Tuhan, apa jadinya setelah dia tahu kalau aku adalah istrinya Om Do.Selanjutnya Bu Zaskia banyak cerita tentang dirinya dulu sewaktu di pesantren dengan Om Do. Meskipun aku kurang begitu suka mendengar ceritanya itu, tapi tidak mungkin juga aku harus pergi begitu saja. Beruntung Om Do meneleponku, mengabarkan bahwa dia sudah menungguku di depan"Maaf, Bu. Om saya menelepon, dia sudah menunggu di depan." Meski tidak enak aku harus menyampaikannya."Ah iya, nggak apa-apa. Silakan." "Kalau begitu saya permisi dulu, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Setelah berpamitan aku bergegas pergi. Rasanya seperti habis melakukan in
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong