Berbekal alamat yang kudapatkan dari teman Rendy, akhirnya aku mendatangi kediamannya. Sengaja aku datang disaat jam kerja karena aku tahu saat itu Rendy tidak ada di rumah. Aku nekat dan menemui orang tua Rendy, karena aku pikir ini cara lain agar Rendy tidak bisa membantah lagi.Akhirnya aku sampai di sini, di ruang tamu kediaman orang tua Rendy. Kekasihku ini memang bukan orang sembarangan, rumahnya saja besar, jadi aku pikir aku tidak salah kalau nanti aku menikah dengan dia. Meskipun sebenernya bukan masalah uang, aku pun tidak pernah kekurangan harta. Peninggalan Papa sangat berlimpah karena aku adalah pewaris tunggal.Minimal jika aku menikah dengan Rendy, dia tidak akan menumpang hidup padaku, karena orang tua Rendy pun sepertinya sebanding dengan kami, kaya raya."Apa?! Hamil?!" Reaksi itu yang aku terima ketika Mamanya Rendy tahu kalau aku hamil cucunya."Iya Tante, maaf sebelumnya, selama dua tahun kami pacaran kami baik-baik saja tidak pernah berbuat yang melanggar batasan
Aku tidak tahu bagaimana Tante Renita bertemu Mama dan membicarakan masalah kehamilanku. Yang jelas pernikahan kami segera dilaksanakan meskipun Rendy tetap menentangnya."Sekarang atau nanti akhirnya kita akan menikah Ren. Apa kamu tidak sungguh-sungguh padaku?""Aku sungguh-sungguh sama kamu, La, tapi bukan begini caranya dan bukan sekarang juga. Nantilah tunggu beberapa tahun lagi setelah kamu lulus kuliah dan aku sudah punya tabungan. Saat ini karirku juga baru saja dimulai." Itu yang menjadikan alasan Rendy.Tapi sepertinya sanggahan Rendy tidak berarti karena dia terlihat pasrah ketika Mama dan Tante Renita menentukan tanggal pernikahan kami dan ini membuatku sangat bahagia. Usahaku ternyata tidak sia-sia, akhirnya Rendy berkutik. Mungkin karena desakan Tante Renita sebagai Mamanya.Hari ini pernikahan itu akan dilaksanakan. Aku tak henti tersenyum sambil memandangi bayanganku di cermin, bayangan seorang wanita dengan berbalut kebaya putih. Sebentar lagi akan menjadi istri Rendy
Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku."Sayang?!"Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku."La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu.""Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir."Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Ata
"Dih, gue serius, La." Mhita menarik badannya hingga aku bisa jelas menatap wajahnya dengan mimik serius."Udah, ah, jangan digoda mulu, Ta. Mendingan kita cabut, yuk. Gue udahlah gerah, nih, pake baju beginian." Ghea menunjuk dirinya sendiri yang kini mengenakan kebaya modern."Oke, deh. Kita cabut dulu, ya, Say. Lo jangan lupa pake baju yang menggoda supaya dia jatuh cinta sama Lo." Kali ini Mitha berkata dengan nada biasa hingga aku yakin jika laki-laki itu menguping pasti akan mendengarnya.Aku melotot sambil menempelkan telunjuk pada bibirku. Kenapa Mhita ceroboh sekali berkata seperti itu. "Udah, deh. Katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh keduanya ke arah pintu. Risih juga kalau mereka terus-menerus menggoda aku di depan pria itu. Meskipun pria yang duduk membelakangi aku itu sedang asyik mengobrol dengan Om Drajat. Siapa tahu diam-diam dia menguping."Ya ampun, La. Beneran, nih anak, udah enggak sabaran pengin berduaan." Mhita kembali berujar dengan nada tinggi, jadi meskip
Selesai mengemasi barang-barang yang hanya dua koper, aku turun bersama Mama. Tidak banyak baju yang aku bawa, hanya beberapa baju untuk kuliah, piyama juga buku-buku yang nantinya aku perlukan selama kuliah. Aku tak yakin akan betah tinggal bersama pria asing itu makanya seperti saran Mama aku hanya membawa sebagian kecil baju."Ingat pesan Mama, ya, La. Kamu harus merubah sikap, jangan manja lagi, harus mandiri dan bisa mengurus suami kamu," pesan mama sekali lagi ketika mengantarkan ke depan.Sudah ada taksi yang menunggu di depan rumah, mungkin pria itu sudah memesannya secara online."Faldo, Mama titip Lala, ya. Lala masih kekanak-kanakan, sangat jauh dari kata dewasa. Maklumlah dia anak satu-satunya dan kami sangat memanjakannya. Ini tugas Nak Faldo untuk membimbingnya jadi wanita mandiri, mudah-mudahan Nak Faldo bisa bersabar karena Lala masih perlu bimbingan."Insya Allah, Ma. Terima kasih kalian sudah percaya kepada saya, mudah-mudahan saya bisa membimbing Lala," jawab Om Do
"Lagian aku juga gak bakalan ngapa-ngapain kamu, kok. Memangnya aku mau mencampur benih ponakanku sendiri? Di dalam Islam sendiri tidak diperbolehkan menumpuk benih di dalam rahim.""Oh, jadi Om juga meledekku?" Aku tidak terima Om Do merendahkan aku."Memang seperti itu kenyataannya. Bukankah wanita yang aku nikahi ini hamil anak ponakanku sendiri. Aku tak menyangka jika nasibku akan seperti ini, menikahi pacar ponakan yang sedang hamil dan manja." Setelah berkata seperti itu Om Do menarik dua buah koperku dan membawanya ke kamar."Pokoknya aku tidak mau tidur satu kamar sama Om. Kalau Om tidak mau tidur di luar, biar aku saja yang di luar!" Aku berteriak supaya pria itu mengurungkan niatnya membawa koper-koper itu ke kamar.Di ruangan ini terdapat satu sofa panjang yang berhadapan langsung dengan televisi. Mungkin ini bisa aku gunakan untuk merebahkan diri atau aku bisa tidur di atas karpet yang terbentang di antara televisi dan sofa ini, begitu pikirku.Pria itu tidak mendengarkan
Aku membuka mata ketika indera pendengaranku menangkap suara seperti pintuterbuka. Begitu mataku terbuka, aku baru sadar kalau ternyata aku tertidur diatas kasur di dalam kamar Om Do. Lalu begitu saja ada wangi menguar yang akucium, sepertinya ini wangi sabun.Segera aku bangkit mengambil posisi duduk. Tapi itu tidak berlangsung lama,karena mataku menangkap pemandangan yang menurutku sangat tabu saat ini."Aaaaa .... Om ngapain sih?!" Aku berteriak sambil menutup wajahkudengan kedua tangan. Baru saja aku melihat pria itu berdiri di depan lemariyang pintunya terbuka dengan hanya menggunakan handuk yang menutupi bagianbawah tubuhnya. Sementara dari pinggang ke atas tampak punggung lebarnya tanpatertutup apapun. Jelas saja ini adalah pemandangan aneh bagiku."Kenapa kamu bikin aku kaget saja, sih, La? Aku sedang mencari bajuku didalamnya kamarku sendiri, apa salah?""Yang bikin kaget itu Om, tiba-tiba ada di depanku dengan penampilanseperti itu." Aku berteriak dengan posisi yan
Selesai membersihkan badan aku keluar dan mendapatkan pria itu tengah duduk disofa."Bereskan baju-bajumu, buka saja pintu lemari yang paling kanan!"teriak Om Do sementara matanya masih fokus ke layar televisi. Tanpa menjawabaku menurut apa yang baru saja dia katakan, ternyata lemari paling kanan itumemang kosong."Sudah?" Seperti biasa, tiba-tiba dia sudah berada di pintu."Sudah," jawabku tanpa menoleh lalu menutup pintu lemari."Sebentar lagi maghrib, sebelum makan kita salat berjamaah dulu.""Salat?" tanyaku heran, pasalnya di rumah, aku hampir tidak pernahmelaksanakan salat."Iya salat, kamu muslim 'kan?" tanya Om Do sambil menautkan keduaalisnya."Eum ... iya, aku muslim, tapi...aku tidak membawa...mukena," jawabkuragu."Apa? Kamu pindah ke sini tidak membawa mukena? Lalu kamu salat memakaiapa? Atau ... jangan-jangan ....""Aku.... "Aku aku tak bisa meneruskan ucapanku karena memang benar di rumahku yangmenjalankan salat hanya bibi saja. Aku dan Mama nyaris tidak perna
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong