Aku menatap punggung Andi yang semakin menjauh setelah keluar dari rumah, kemudian menaiki motornya tanpa menoleh lagi. Setelah menghidupkan mesin motornya, Andi menatapku dengan datar."Andi!" panggilku, berharap dia tidak pergi. "Kembali, Ndi!" Aku berdiri setelah membantu Ayah berdiri."Biarkan Ayah pergi, Nak. Ayah tidak mau membuat kalian bertengkar." Ayah berjalan ke luar, lalu menghampiri Andi dengan tertatih-tatih. "Maafkan Ayah. Tidak seharusnya Ayah ke sini. Maaf jika telah membuat luka untuk kalian, Nak. Ayah akan pergi. Ayah bahagia bisa melihat kalian hidup bersama tanpa kekurangan apa pun."Andi masih bergeming dengan mesin motor yang menyala, tanpa menoleh pada Ayah. Raut wajahnya masih menunjukkan rasa tidak suka. Kuhampiri mereka dan mematikan mesin motor. Andi menatapku, aku menyentuh bahu Ayah. "Ayah mau ke mana?""Ayah akan kembali ke jalan karena memang itu tempat Ayah. Tapi kamu tidak usah khawatir, nanti Ayah akan mengirimi uang untuk kebutuhan kalian. Ayah akan
Aku meninggalkan Ayah di rumah kontrakan setelah memastikan ada tempat tidur yang bisa ditempati, serta makanan yang kubeli dari sebelah rumah itu. Tidak lupa juga, aku menitipkan Ayah pada sepupu pemilik rumah yang rumahnya berada di samping rumah kontrakan itu.Kali ini aku pergi ke rumah Mbak Fika untuk melihat Lani dan Fajar, juga mengajaknya pulang karena besok pagi harus sekolah. Sesampainya di sana, Kak Nur terlihat berlari dari rumah sambil membawa tas besar. Segera aku turun dari motor tukang ojek dan menghentikan Kak Nur. "Ada apa, Kak?""Mbak-mu mau melahirkan, Vin. Aduh, gimana ini? Aku bingung!" Kak Nur terlihat panik, sesekali memegangi kepalanya sambil mondar mandir."Mbak Fika-nya di mana?" tanyaku yang juga ikut panik."Di tempat bidan, tapi katanya harus dibawa ke rumah sakit, Vin. Haduh, gimana ini?" "Kak Nur sudah bawa semua perlengkapan ibu dan bayi?" Aku memegangi tangan Kak Nur."Kata Fika, semua ada di dalam tas ini. Tapi ... aku nggak tega, Vina." Kak Nur mal
Suster yang melihat Kak Nur pingsan pun segera memanggil perawat laki-laki untuk membantu mengangkatnya. Kak Nur dibaringkan di ranjang dekat Mbak Fika, lalu diberi minyak kayu putih. Katanya, Kak Nur hanya kaget saja, tidak kenapa-napa. Bisa-bisanya kaget melihat bayinya sampai pingsan. Mungkin saja Kak Nur kaget karena bayinya masih berlumuran darah.Bayi mungil yang baru saja lahir itu ditaruh di dada ibunya untuk mendapatkan IMD (Inisiasi Munyusu Dini). Mbak Fika terlihat sangat bahagia melihat wajah cantik dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan itu.Setelah Mbak Fika dan bayinya selesai dibersihkan, aku menggendong bayi mungil yang kini sudah dibedong. "Kak Nur masih belum sadar, Mbak."Mbak Fika menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, dia pun mencebik. "Yang melahirkan siapa, yang pingsan siapa! Baru lihat darah gitu aja udah pingsan!" cemooh Mbak Fika. Aku tertawa mendengarnya."Alhamdulillah bayinya lahir dengan sehat dan normal. Gimana keadaan, Mbak Fika?""Aku merasa l
Entah siapa laki-laki itu, aku tidak mengenalnya. Namun, sepertinya wajahnya tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya. "Namaku Roni."Aku pun membalas uluran tangannya. "Vina.""Aku mencarimu karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Amplop coklat, yang entah berisi apa. "Ada titipan untuk kamu dan adik-adikmu.""Apa ini? Dan maaf, Anda dari mana tahu nama saya, Mas?" Aku tidak langsung menerima apa yang diserahkan itu."Ini adalah titipan uang dari seseorang. Katanya, untuk kebutuhan kalian berempat." Laki-laki bernama Roni itu memaksaku menerima amplop darinya. "Tunggu dulu. Ini maksudnya untuk kebutuhan apa? Dan siapa yang memberikannya? Tolong jelaskan karena saya tidak mengerti," kataku heran. Kenapa tiba-tiba ada orang yang memberikan uang padaku untuk biaya kebutuhan kami, di saat kami sudah berkecukupan. Ini sungguh aneh menurutku. Tentu a
Andi hanya diam seribu bahasa, lalu menolehku dengan tatapan datar. "Nggak penting untuk diingat."Aku mencekal tangannya saat dia hendak pergi. "Katakan, Ndi! Jangan menyembunyikannya dari Kakak!"Aku curiga Ibu ke sini dan bertemu dengan Andi. Kalau iya, sungguh aku juga merasa belum bisa terima dengan kehadirannya. Rasa sakit karena Ibu lebih memilih suami baru dan anak tirinya, serta meminta kami pergi, tentu saja masih segar dalam ingatan. Apa lagi sikapnya pada Alena yang bagaikan memperlakukan tuan puteri, membuatku cemburu dan sakit hati. Namun, kenapa Andi tidak mau bercerita padaku. Apakah karena dirinya tengah kecewa padaku yang menerima Ayah kembali."Kenapa? Apa Kakak juga akan membawanya ke rumah jika dia ke sini? Apa Kakak begitu butuh dia dalam hidup Kakak? Aku heran sama Kak Vina!""Jadi benar, Ibu ke sini menemuimu?" "Jangan sebut dia sebagai ibu! Sudah kukatakan kita tidak memiliki orang tua! Kita ini yatim piatu! Kita bisa hidup tanpa mereka, buat apa lagi menghar
"Enggak, Mbak, ini untuk seseorang. Ya sudah, aku mandi dulu ya, mau berangkat ke rumah makan. Tolong jaga warungnya ya, Mbak.""Siap! Tenang saja!" Mbak Indar menjawab dengan semangat.Rumah sudah rapi saat aku masuk ke dalam. Mungkin Andi membersihkannya sebelum berangkat sekolah. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencuci baju kotor yang kubawa dari rumah sakit. Ada baju Mbak Fika juga. Meski Kak Nur melarang, aku tetap membawanya pulang dan mencucinya. Mereka adalah keluargaku, sudah seharusnya aku membantunya. Apa lagi, Mbak Fika tidak memiliki keluarga lain di sini, begitupun Kak Nur. Kalaupun ada, itu adalah teman-temannya yang waria. Sedangkan Mbak Fika, ayahnya tidak mau menjenguk meski saat menikah dulu."Kok Ayah di luar? Mau ke mana sudah rapi?" Aku menemui Ayah di rumahnya, tetapi Ayah menutup pintu, seperti hendak pergi. "Ayah mau cari pekerjaan, Vin. Ayah akan mencari nafkah untuk kalian." Aku mengajak Ayah masuk lagi."Ayah di rumah saja, ini aku bawakan makanan,"
Aku mengabaikan kata-kata Mbak Indar barusan. Lebih baik aku mencari Fajar karena nanti akan kuajak menjenguk Mbak Fika dan bayinya. "Aku tinggal dulu ya, Mbak. Mau ke rumah sakit setelah ini.""Oh, iya, Vin. Aku nengok nanti kalau sudah pulang saja, ya, soalnya nanti sore mau pergi hajatan ke rumah kerabat." Mbak Indar menyahut."Iya, Mbak.""Eh, itu oleh-olehnya jangan lupa dibawa," ujar Mbak Indar mengingatkan.Kuambil papper bag yang berada di warung dan membawanya ke rumah. "Apa ya, isinya?"Kubuka isi di dalamnya, ternyata sebuah jilbab dan gamis, serta bross. Cantik sekali. Tak henti-hentinya aku mengagumi bross cantik berbentuk bunga di hadapanku. Namun, ini pasti mahal. Kenapa Kak Arya memberikan ini padaku.Kubiarkan dulu jilbab dan gamis itu karena aku harus mencari Fajar. Namun, belum sempat mencarinya, tiba-tiba Fajar berlari dari arah jalanan. Di belakangnya ada Kak Arya. "Kakak ...!"Fajar menghambur ke pelukanku dengan plastik dan papper bag di tangannya yang entah ber
Keadaan terasa canggung saat ada ayah dan ibu tiri Mbak Fika, serta seorang anak kecil. Mungkin anak kecil itu adalah adik Mbak Fika yang tak lain juga adiknya Alena. Mereka duduk setelah Kak Nur dan Andi memberikan kursi pada mereka.Bu Yunita hanya melihatku sekilas, mungkin dia tidak mengenaliku. Maklum, saat dulu bertemu dengannya, kami hanya bertemu sebentar. Namun, aku tetap mengenali wajah dari ibunya Alena itu. Bu Yunita beralih memandang bayi yang saat ini kugendong."Cewek apa cowok bayinya?" tanyanya padaku."Bayinya cewek, Bu. Cantik banget." Aku menjawab dengan senyuman, memperlihatkan wajah bayi Nuri padanya."Oh." Bu Yunita hanya menjawab singkat seakan tidak peduli."Kamu sudah sehat?" Ayah Mbak Fika yang tidak kuketahui namanya itu tengah bertanya pada anaknya."Sudah, Yah. Ayah gimana kabarnya?" Mbak Fika terlihat senang dengan kedatangan orang tuanya. Maklum saja, sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Bahkan saat mengabari tentang pernikahanny
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku dengan cepat."Kondisi pasien sangat kritis. Saat ini harus segera dilakukan operasi karena asam lambungnya sudah parah dan terjadi perdarahan. Operasi harus dilakukan dengan segera, jika tidak, maka akan memicu perdarahan kembali," papar dokter."Tapi, apakah dia bisa membaik setelah operasi?" tanyaku lagi."Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, tapi tentu saja, semua kembali lagi pada Sang Pencipta. Kita berdoa bersama untuk kesembuhan pasien, dan memasrahkan semua pada-Nya." Dokter menjelaskan."Baiklah, jika itu yang terbaik, kami setuju, Dok."Dokter mengangguk dan meminta perawat untuk segera mengatur jadwal operasi. Ibu dipindahkan dari ruangannya menuju ke ICU untuk perawatan lebih intensif sebelum operasi dilakukan. Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu, mengingat Ibu juga terkena demam berdarah."Semoga Bu Ratih segera membaik," ujar Mbak Fika."Kita doakan untuk kesembuhannya. Semoga operasinya berjalan dengan l
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita