"Hei, Bro! Kok bengong!" Seorang teman menepuk pundaknya. "Kamu kenal dia?" Ia menunjuk ke arahku, tetapi yang ditanyai malah menggeleng. "Aku mana kenal! Udah yuk, kita cabut!" Mereka beranjak pergi, aku masih berjalan mengejarnya. "Andi!" panggilku, dan mereka berhenti lalu menoleh ke belakang. Namun, tidak dengan putraku. Dia tidak ikut menoleh seperti yang lainnya. Ya, dia adalah Andi putraku. Anak keduaku yang dulu sering banyak bertanya tentang kehidupan kami yang harus berpisah dengan ayahnya. Meski sudah empat tahun lamanya tidak bertemu, aku masih bisa mengenalinya.Ia sudah beranjak dewasa, tubuhnya lebih tinggi dariku dan wajahnya juga semakin tampan dan semakin mirip dengan Mas Ramlan. "Dia tahu namamu, Ndi." Temannya berkata lagi, tapi dia tetap tidak menoleh. "Andi, ini Ibu, Nak." Aku memanggilnya lagi. Keempat temannya masih menatapku, tapi Andiku tetap tidak mau melihat diri ini. Mungkinkah dia memang sangat membenci wanita yang telah melahirkannya ini? Tidak
Aku harus membiasakan diri mendengar suara-suara dari kamar sebelah saat tidur. Semua ini tidak akan lama karena besok, aku sudah bisa bertemu dengan anak-anakku dan kemungkinan, aku akan segera pulang. Semoga saja semuanya berjalan dengan baik. Dan semoga saja, Bu Sinta bisa membantuku membujuk Andi agar mau memaafkanku.Seperti biasa, pagi hari aku bangun lebih awal dari penghuni kost lainnya. Mencuci baju, mandi, serta memandikan Farla. Setelah itu kubawa cucuku itu ke warung makan untuk membeli sarapan. Termos kukembalikan pada pemilik warung, lalu menikmati sarapan pagiku. Dengan meminta tolong Roni yang kebetulan berada di warung, aku menuju ke ATM. Mengambil sejumlah uang yang kumiliki dari mengumpulkan sisa pemberian Mas Erik, yang rencananya akan kuberikan pada Andi nanti sore. "Ini untukmu karena sudah mau mengantarkanku." Selembar uang berwarna merah kuberikan pada Roni, tadi pun aku membayarkan sarapannya. "Wah, makasih ya, Bu. Dengan senang hati aku akan jadi tukang
Dengan bimbingan Bu Sinta, aku kembali melaksanakan kewajiban pada Yang Maha Kuasa. Hati terasa lebih tenang dan pikiran pun lebih terbuka. Doaku adalah agar anak-anakku tidak lagi membenciku, dan suatu saat bisa menerima diri ini kembali. "Terima kasih sudah membantu saya, Bu Sinta. Jujur saya malu karena tidak pernah shalat." Aku duduk bersama Bu Sinta di dalam masjid seusai melepas mukena. Farla tertidur dan ditaruh di karpet di sampingku. "Sama-sama, Bu Ratih. Berserah dirilah pada-Nya, hanya Dia yang bisa membolak-balikkan hati manusia. Mungkin saat ini Andi belum bisa menerima Bu Ratih, tapi yakinlah suatu saat anak-anak akan kembali dalam pelukan ibunya. Doa Ibu tetaplah bisa menembus langit." Bu Sinta tersenyum ramah, seraya memegang tanganku. Rasanya begitu bahagia bisa mendapatkan pencerahan darinya. Bu Sinta menguatkanku untuk tetap bersabar dan menunggu. "Tapi saya ingin sekali bertemu dengan mereka, Bu. Ingin melihat wajah mereka, rasanya rindu sekali. Saya sadar, ke
Tidak. Rasanya aku tidak sanggup memperlihatkan wajah ini pada Vina. Namun, kerinduan di hatiku juga sudah begitu menggunung. Ingin sekali aku memeluknya, mengelus kepalanya, lalu mengatakan bahwa aku sangat merindukannya. Akan tetapi, benar kata Andi. Vina tampak bahagia, dan kedatanganku hanya akan membuat mereka mengingat rasa sakit yang pernah kuberikan. Ya, lebih baik aku pergi saja. Rasanya begitu malu untuk mengaku sebagai seorang ibu jika mengingat apa yang dulu kulakukan pada mereka. Suara langkah kaki semakin mendekat, aku memberi kode pada Roni untuk segera membawaku dan Farla pergi dari sini. Tanpa menunggu lama, aku pergi dari tempat ini dengan berlindung pada tubuh tinggi Roni. "Lho, kok pergi." Masih kudengar suara Vina. Mungkin terlihat aneh karena belum sempat pesan makanan, tapi sudah pergi. "Kenapa malah pergi, Bu Ratih? Katanya mau ketemu anaknya," ujar Roni saat kami sudah menaiki motor. "Aku malu ketemu dengannya, Ron. Kedatanganku hanya akan membuat merek
Vina memasukkan bekal satu per satu ke dalam tas adik-adiknya. Andi membonceng kedua adiknya, lalu pergi setelah mencium tangan sang kakak. Vina melambaikan tangan pada mereka dan dibalas dengan ciuman jarak jauh. Senyum masih terpancar dari wajah anak pertamaku itu saat ketiga adiknya sudah pergi. Sungguh aku merasa iri. Seharusnya aku yang melakukan itu untuk mereka. "Gimana, Bu? Kita pergi sekarang apa gimana?" Roni mengagetkanku. "Atau Ibu berubah pikiran dan ingin menemuinya?" "Kita pergi sekarang saja, Ron. Aku sudah tidak sanggup berada di sini. Aku tak mampu menampakkan diri, meski hatiku ingin. Aku merasa tak layak." Jujur saja aku ingin tetap di sini. Tapi penolakan Andi kemarin sudah menyadarkanku, bahwa aku tidak lagi dibutuhkan. Lebih tepatnya, sudah terlupakan. Ya, mereka mungkin sudah melupakan rasa sakit itu, termasuk juga dengan diri ini. Dan kedatanganku hanya akan mengingatkan mereka, serta merusak kebahagiaan mereka saat ini. Aku pasrah. Pasrah dengan apa yan
"Kak, Kak Vina! Aku dapat hadiah!" Suara Fajar berteriak dari luar rumah. Aku yang sedang menata puding pun segera ke luar mencari keberadaan adik bungsuku. "Ada apa? Kok nggak beri salam dulu malah teriak-teriak?" kataku. Fajar tersenyum meringis, lalu membuka topinya."Assalamualaikum, Kakak ...." "Saking senengnya dapat juara, dia, Vin," sahut Mbak Indar yang bekerja di warung, tadi kuminta menjemput Fajar. Dia kembali ke warung setelah mengantar Fajar sampai ke dalam.Fajar meletakkan benda berbentuk kotak seperti kado yang tadi dibawanya di meja, lalu mencium tanganku dan menarikku untuk duduk. "Aku menang lomba balap karung dan kelereng dalam sendok, Kak. Ini dapat hadiah dari Bu Guru."Mata Fajar berbinar kala berbicara, terlebih saat mengeluarkan amplop dari tasnya. Amplop itu diberikan padaku dan aku membukanya. Isinya uang seratus ribu dengan tulisan selamat karena menang lomba membawa kelereng dalam sendok. Acara tujuh belasan di sini memang kerap mengadakan lomba untuk
"Terima saja, Vin. Kapan lagi ada kesempatan bagus seperti ini? Lagian, kamu sudah berpengalaman memasak. Kalau masalah pelanggan, restoran itu sudah memiliki banyak pelanggan. Tidak akan rugi jika kamu mengelolanya. Ini kesempatan agar kamu bisa lebih maju dan berkembang."Kak Nur sangat mendukungku agar mau mengelola rumah makan prasmanan milik Bu Ambar. Setelah Andi menjemput, aku mengajaknya ke rumah Kak Nur yang kini berada di sebelah salon."Iya, Vin, benar itu. Terima saja, toh kamu sudah terbiasa mengurus warung makan. Jarang-jarang kita ketemu orang baik seperti Bu Ambar." Mbak Fika ikut menyahut lalu berusaha duduk di sampingku dengan kepayahan karena perutnya yang membesar."Hati-hati, Mbak." Aku membantunya duduk, lalu mengelus perut buncit itu. "Kapan tanggal lahiran, Mbak?""Perkiraan satu minggu lagi," jawab Mbak Fika tersenyum."Silakan diminum." Andi datang dari dapur sambil membawa empat gelas teh dan menaruhnya di meja. Setiap ke sini, kami memang membuat minuman se
Aku tidak menyangka dengan apa yang kulihat kali ini. Rasanya begitu menyakitkan, juga sedih melihat wajah laki-laki renta di sampingku. Matanya mengerjap, menatapku dalam-dalam, lalu menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat melihatku.Ya, dia adalah ayahku. Ayah yang dulu menolak kedatanganku dan adik-adikku. Ayah yang lebih memilih menuruti kemauan istrinya yang tidak menyukai kami. Ayah yang lemah dan tunduk pada istrinya, tanpa mau peduli bagaimana nasib anak-anak yang masih butuh nafkah darinya. Yang membuatku heran, kenapa Ayah sampai mengemis dengan keadaan menyedihkan seperti ini.Akan tetapi, meski pernah membuatku kecewa dengan sikapnya, rasanya hati kecilku tidak tega melihatnya dengan keadaan yang menyedihkan. Biar bagaimanapun, Ayah pernah memberikan kenangan indah padaku saat kecil. Melihatnya dengan pakaian lusuh dan tubuh yang lemah, tentu hatiku tergugah untuk membantunya, terlepas dari hubungan antara ayah dan anak."Mari masuk, saya ambilkan makanan." Aku
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku dengan cepat."Kondisi pasien sangat kritis. Saat ini harus segera dilakukan operasi karena asam lambungnya sudah parah dan terjadi perdarahan. Operasi harus dilakukan dengan segera, jika tidak, maka akan memicu perdarahan kembali," papar dokter."Tapi, apakah dia bisa membaik setelah operasi?" tanyaku lagi."Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, tapi tentu saja, semua kembali lagi pada Sang Pencipta. Kita berdoa bersama untuk kesembuhan pasien, dan memasrahkan semua pada-Nya." Dokter menjelaskan."Baiklah, jika itu yang terbaik, kami setuju, Dok."Dokter mengangguk dan meminta perawat untuk segera mengatur jadwal operasi. Ibu dipindahkan dari ruangannya menuju ke ICU untuk perawatan lebih intensif sebelum operasi dilakukan. Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu, mengingat Ibu juga terkena demam berdarah."Semoga Bu Ratih segera membaik," ujar Mbak Fika."Kita doakan untuk kesembuhannya. Semoga operasinya berjalan dengan l
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita