Di perjalanan, hari sudah mulai gelap Viola menoleh pada Rianne yang sudah memegang kepalanya. Sudut bibir Viola terangkat tetapi sangat samar."Apakah masih lama? Kepalaku rasanya sangat pusing." Keluh Rianne."Satu putaran lagi kalau tidak salah, aku jelas melihatnya disana saat itu." Bohong Viola."Hem, semoga Lyora masih berada disana." Ucap Rianne lirih matanya semakin merapat dan tertutup. Rianne tidak sadarkan diri. Viola tertawa senang, "Wanita bodoh ini, bagaimana bisa di cintai oleh Orion dan Alexander. Cih!"Mobil terus membawa keduanya ke tempat dimana mereka mengurung Lyora, sebelum turun dari mobil, Viola memastikan keadaan setelah itu membawa Rianne keluar dengan bantuan dua anak buahnya."Bagaimana? Apakah wanita sialan itu masih sadarkan diri?" Yang Viola maksud adalah Lyora. Si anak buah mengangguk, dan mengatakan Lyora terus berteriak hingga saat ini sangat lelah. Viola tertawa, ketakutan Lyora membuatnya senang.Kemudian dia memerintahkan mereka membawa masuk Ria
Rianne menyeringai, "Bagaimana bisa kau membunuhku? Senjatamu ada padaku." Rianne memang mengambil senjata Viola yang terjatuh tadi, sementara Viola berusaha berdiri menahan punggunggnya yang terus mengeluarkan darah."Sialan kau!" Viola berusaha menyerang Rianne dengan kakinya tetapi dengan mudah Rianne menghindar dan menodongkan senjata tadi pada Viola.Dalam ketegangan itu, suara langkah kaki menggema, Rianne tidak berbalik sama sekali karena fokusnya pada Viola. Sementara Lyora dan Viola sudah berharap banyak pada siapa saja yang muncul untuk menolongnya."Tu-tuan." Viola berkaca-kaca karena melihat Alexander yang muncul, Viola menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan pada Alexander bahwa dirinya wanita yang lemah dan tidak berdaya.Alexander menatap Rianne yang memar dibagian wajah, tatapannya datar, lalu tidak lama satu orang lagi muncul dibelakang Alexander. Wajah Lyora berbinar.Dia adalah Orlando. Entah bagaimana ceritanya Orlando datang bersama Alexander.Rianne masih me
Renata menelan ludah kasar, ucapan Alexander biasa saja tetapi sebenarnya tersirat rasa tidak suka dikunjungi. Renata menelan ludah kasar, dia jelas melihat otot perut Alexander yang terpampang jelas di hadapannya, sangat menggiurkan, tanpa menunggu lama, Renata berjalan menghampiri sang tuan. Menatap minat ke arah perut yang tidak tertutup apapun, lalu matanya turun ke bawah di antara kedua paha pimpinan Wgrup itu.Perlahan Renata berjongkok, meraba paha Alexander tanpa takut apapun, dia sudah benar, ini yang tuannya sukai. Tidak peduli bagaimana hubungan sang tuan dengan wanita yang baru saja Renata lihat naik ke lantai atas.Baru saja tangannya akan menurunkan celana bahan sang tuan, suara nyaring membuat Renata terkejut. Alexander hanya tersenyum kecil memperhatikan wajah pucat Renata.Langkah panjang Rianne menggema, satu tarikan di kuat Renata rasakan di kepalanya, "Akh ... apa yang kau lakukan?!" Rianne menahan rambutnya, Rianne menariknya sangat kuat sampai Renata langsung be
"Kalian sudah menemukan dimana Alexander menyembunyikan wanita itu?" Tanya Orlando dibalik telepon genggam yang dia miliki. Dia meninggalkan ruangan Lyora karena harus segera menemukan dimana keberadaan Viola.Setelah mendapatkan kabar yang baik, Orlando langsung mematikan teleponnya dan kembali ke ruangan Lyora. Dia meminta seseorang untuk menjaga Lyora selama dia mengurus Viola, lebih cepat lebih baik, sebelum Alexander kembali menggagalkan rencananya."Jaga dia baik-baik, jangan biarkan siapapun menjenguknya sebelum aku kembali." "Baik tuan." Seorang wanita cantik berlesung pipi membungkuk sedikit lalu lalu membiarkan Orlando--sang tuan meninggalkan area rumah sakit dengan tergesa.Di perjalanan Orlando terus menghubungi anak buahnya guna memastikan keberadaan Viola, dia tidak akan memaafkan siapapun jika targetnya kali ini hilang."Aku akan membuatnya menyesal karena sudah melakukan kesalahan ini pada Lyora." Geramnya menguatkan pegangannya pada setir mobil.Sekitar setengah jam
"Kau masih marah, Anna?" Alexander mengikuti Rianne dari dalam kamar sampai ruang makan, wanita ini ternyata sangat pemarah, dan Alexander baru mengetahuinya."Tidak. Untuk apa aku marah." Rianne duduk, minum susu coklat miliknya dan mengoleskan roti dengan olesan coklat juga."Kalau begitu kenapa mendiami ku? Bukankah setiap pagi kau tersenyum dan mengucapkan selamat pagi yang romantis?"Rianne membulatkan mata karena Alexander mengatakan itu di depan pelayan. Apakah pria ini tidak malu?"Apa yang kau katakan, kau tidak melihat ada yang mendengar?" Bisik Rianne, Sementara pelayan yang sementara menyiapkan makanan tidak tahu harus bagaimana karena jika meninggalkan pekerjaannya, sudah pasti tuannya akan semakin marah."Aku tidak peduli, kau mendiami ku sepanjang malam, dan--,""Oke, maafkan aku, aku tidak marah padamu, aku hanya masih sangat terkejut dengan apa yang aku alami." Tidak sepenuhnya bohong karena Rianne memang masih trauma dengan apa yang Viola lakukan padanya, tetapi dia j
"Kau baik-baik saja?" Tanya Alexander, wajah Rianne semakin pucat saja. Dia memapah Rianne dan membantunya duduk."Hem. Aku baik-baik saja." Rianne memegang perutnya, otaknya tengah bekerja memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja dia melihat ke arah Alexander yang masih terlihat sangat khawatir."Aku harus kembali." Ucapnya langsung berdiri."Kau kenapa? Kita sudah disini, lebih baik langsung menemui Dokter saja." Rianne menggeleng, dia tidak ingin bertemu dengan Dokter siapapun sekarang. Dia ingin pulang tanpa atau dengan Alexander pun."Aku baik-baik saja, percayalah! Aku hanya masuk angin. Lagi, aku sangat membenci bau rumah sakit." Rianne tetap memohon agar Alexander mau menurutinya. Tadinya dia ingin pulang sendiri tetapi merasakan kondisinya yang tidak stabil sepertinya akan sangat berbahaya."Aku mohon." Ucapnya kembali dengan wajah memelas.Alexander yang melihat itu menghela napas lelah, terapi juga curiga pada Rianne yang tiba-tiba saja ingin kembali."Baiklah
Alexander mencium kening Rianne, lembut, setelah itu mengusap kepalanya sayang, "Aku akan usahakan pulang lebih cepat. Ingin di belikan apa?""Manisan mangga, ada?" Membayangkan itu liur Rianne seperti akan menetes, dia membulatkan mata, mengingat sesuatu, bagaimana kalau Alexander curiga padanya?"Manisan?" Alis Alexander tertaut."Hem, kalau ada, aku melihatnya di sosial media beberapa hari yang lalu, tapi tidak ingat siapa pengunggahnya."Tidak mencurigai apapun Alexander mengangguk, "Aku minta Rafh mencarikannya dan langsung diantar."Rianne menggeleng, "Kau yang lakukan. Selesai rapat tolong carikan. Hem." Alexander berdehem.Dia yang sudah terlambat mencium kembali kening Rianne dan langsung meninggalkan Rianne tanpa curiga sedikitpun. Dia hanya ingat akan bergegas ke kantor kemudian rapat."Bagaimana ini?" Rianne, mengusap perutnya yang masih rata.Membayangkan dirinya hamil saja sudah membuatnya sangat takut. Yang tidak dia mengerti, bagaimana bisa dia hamil, setelah rajin men
Sampai di mansion, Alexander langsung naik ke lantai atas, dia harus memastikan apa yang Rafh katakan benar. Sejak keluar dari kantor wajahnya terus berbinar, dia bahagia. Ya jelas saja dia harus bahagia karena usahanya mengganti obat Rianne berhasil.Di dalam kamar Alexander masih melihat Rianne yang tidur meringkuk dengan memeluk guling, dan yang membuat Alexander sampai mengernyit karena Rianne mengenakan kemejanya.Alexander masuk ke kamar mandi dengan langkah sepelan mungkin, dia tidak ingin Rianne bangun sebelum dia memastikan apa yang Rafh laporkan.Ruangan berdinding gelap itu terlihat sangat bersih, tetapi mata elang Alexander masih terus mencari sesuatu sampai dia berdiri di depan tempat sampah yang berada disana.Dengan memejamkan mata, berharap langsung menemukan, Alexander membuka bak sampah dan membola saat menemukan benda yang memang seharusnya dilihatnya.Dia mengambil dan memperhatikan dengan baik, mengambil ponsel di saku celana dan mengabadikan benda tersebut."Anna
"Tuan, Rafh ... tolong maafkan kami." Frea menangis. Baru saja ayahnya menjelaskan semuanya. Ketidak sengajaannya menembak keluarga Rafh serta bagaimana Rafh kecil yang dibawa kabur oleh orang suruhan ayahnya. Rencana hanya untuk mengancam, tetapi takdir berkata lain. Tuan Frasino menembak habis keluarga Alexander.Karena rasa bersalahnya, tuan Frasino akan merawat kedua anak rivalnya. Alexander dan anak yang diculiknya--Rafhael. Namun, nyatanya seseorang sudah membawa anak itu lebih dulu.Mengetahui bahwa Frea menyukai Alexander dan berakhir dengan penolakan, kemarahan tuan Frasino kembali meledak. Dia mengusir Alexander dan mencibirnya sebagai anak tidak tahu terima kasih."Nona Frea, ayahmu melenyapkan orang tuaku coba jelaskan padaku, bagaimana cara memaafkanmu?" Suara Rafh terdengar semakin dingin."Kau tidak dengar? Ayahku tidak sengaja melepas pelurunya," "Seperti ini?" Satu tembakan tepat di jantung tuan Frasino yang Rafh lepaskan. Frea menjerit karena melihat ayahnya semaki
Rianne tidak akan melepas suaminya, perasaannya mendadak tidak enak sama sekali. Bukankah perasaan orang hamil itu sensitif?Alexander memegang wajah istri, mencium seluruh bagian di wajahnya."Hanya beberapa hari saja, hmm." "Memangnya kau mau kemana? Jangan berbohong dengan mengatakan kau akan bekerja. Alexander, aku tahu dirimu."Menghela napas panjang, Alexander memasang senyum secerah mungkin, tidak bisa dia katakan kepergiannya karena kondisi Rianne yang mengandung. "Rafh. Dia harus melihat tempat kerjanya sayang. Perusahaan itu adalah milik orang tuaku yang terbengkalai dan aku berencana menyerahkan pada Rafh. Dia akan membesarkannya," kilahnya tidak sepenuhnya salahAlis Rianne menyatu, masih tidak mengerti, "Rafh adalah keluargaku yang masih tersisa, dia harus bertanggung jawab untuk masa depannya."Mata Rianne membola, lagi-lagi dia dikejutkan dengan berita besar.Alexander mengangguk saat Rianne kembali mengulang kata keluarga. "Aku juga belum mengatakan ini padanya. Dan
Tidak tahan lagi, Alexander langsung menyerang sang istri dengan cepat tetapi masih dengan hati-hati.Siang itu, tidak hanya cuaca diluar saja yang panas, tetapi di dalam kamar dengan pendingin juga sudah terasa panasSuami istri yang sudah terpisah beberapa bulan itu, sama-sama melepas rindu di dalam kamar dengan segala macam gaya. Erangan desahan mengalun indah bersama dengan gerakan pasti si pria. "Sayang ... aku ...." Rianne tersengal, napasnya memburu, ada sesuatu yang ingin meledak di bawah sana rasanya."Bersama sayang. Tolong tunggu aku." Alexander menggerakkan pinggangnya semakin cepat, keduanya menegang karena sebentar lagi akan ada ledakan yang dahsyat."Aaaahhhh." Keduanya mendesah panjang bersama, Alexander mendongak begitupun juga dengan Rianne yang berada dibawahnya yang bergetar karena mendapatkan pelepasan bersama.Napas keduanya memburu, senyum cerah keduanya terlihat sebagai tanda bahwa mereka benar-benar menikmati semuanya."Aku mencintaimu." Alexander menjatuhkan
Orlando berdecak, dia tidak memikirkan Rianne, dia hanya menyakinkan dirinya kalau Frea memang tidak ada lagi di hatinya."Anna tahu kalau kau yang menabrak keluarganya?" Tanya Richard."Hanya aku yang boleh memanggilnya dengan nama itu." Alexander melanjutkan, "Anna tahu, tetapi tidak tahu kalau dalang dari semua ini adalah keluarga Frea."Sejak tadi Rafh hanya diam saja. Berita besar ini baru saja di dengarnya dan dia tidak menyangka akan serumit ini ceritanya, terlalu berkelok dan berliku."Rafh. Antar Orlando bertemu dengan Frea. Kita akan mengikutinya dari belakang. Selama ini pria tua itu terlalu pandai untuk bersembunyi, aku tidak bisa menemukan keberadaannya."Rafh mengangguk. Sementara itu, Richard yang tidak tahu harus melakukan apa, berencana ikut dengan mereka tetapi Alexander mencegah dengan Alasan para wanita tidak ada yang menjaga.Saat itu juga Alexander menempatkan mereka di tempat yang memang seharusnya mereka tinggali.Rafh akan tetap menjalankan bisnis sang tuan.
Richard mendengus kesal, artinya selama ini hanya dia saja yang merasa menjadi sahabat kedua pria bengis ini. Jadi tidak heran kalau Alexander menerjangnya sampai babak belur saat itu, dan Orlando? Jangan tanyakan pria di sebelahnya ini. Di otaknya hanya ada nama Rianne. Sialnya lagi, mereka bertiga menyukai wanita yang sama. Dan selalu Alexander yang mendapatkan hasilnya."Rafh menelepon dan menceritakan semuanya padaku. Sebagai teman Anna, jelas saja aku ikut prihatin karena seseorang tidak menghargai perasaannya dan aku mengurus semuanya." Sindir Richard."Kalian berdua," tunjuk Orlando pada kedua penjaga yang melaksanakan perintah Rafh tanpa sepengetahuannya."Besok datang ke ruanganku, aku akan memberikan imbalan pada kalian karena sudah menjaga istriku malam itu." Kedua penjaga itu saling pandang, semebtara Rafh membola."Terima kasih Tuan." Jawab mereka bersamaan dengan wajah cerah. Apa yang Alexander katakan selanjutnya mampu membuat mereka menghela napas pelan dan mengangguk
Saat kembali ke rumah, Orlando dikejutkan oleh banyaknya mobil mewah berwarna hitam terparkir tepat di depan rumahnya.Bukan hanya itu, beberapa orang berbadan besar sudah menodongkan senjata api di kepalanya dan Lyora. Gadis itu tentu saja pucat, memegang kuat lengan kakaknya dengan badan bergetar."Jangan takut." Bisik Orlando.Lyora mengangguk dan tetap berpegangan teguh di lengan kakaknya, kakinya sudah lemas melihat senjata-senjata itu mengarah tepat di pelipisnya.Orlando berjalan pelan, begitupun dengan mereka yang tetap tidak melepasnya."Turunkan senjata kalian. Kalian tidak melihat adikku ketakutan." Jengah Orlando. Tahu siapa yang bertamu di rumahnya tato kecil berlambang kelabang di leher mereka sudah menunjukkan dari mana asalnya."Ikut saja. Kami tidak akan melakukan apapun selama Tuan tidak melawan." Orlando mendengus, sejak tadi dia diam, tidak melawan tetapi orang-orang ini yang keterlaluan. Sampai di dalam rumahnya. Orlando sudah disambut oleh pria dengan mata tajam
"Untuk apa kalian datang? Dan kau Richard, kita sudah berjanji, kau akan rahasiakan ini dari siapapun. Aku kecewa." Richard menghela napas pelan, "Anna, kau tidak merindukannya? Tuan terlihat sangat khawatir."Richard kembali menambahkan, "Dia harus tahu kabar kehamilanmu."Rianne menggeleng, "Jangan beritahu dia, biarkan dia hidup sesukanya, sampai kapanpun Alexander akan tetap seperti itu."Caroline mendekati Rianne, duduk di sebelahnya, tangan halusnya langsung menyentuh perut Rianne, "Bagaimana rasanya hamil?" Tanya nya menatap Rianne, dia melanjutkan, "Sejak awal hubungan kita tidak baik. Tapi, aku akan meluruskan sedikit masalahmu."Sambil mengelus perut Rianne dia melanjutkan, "Beri dia kesempatan sekali lagi. Aku mendukungmu meninggalkannya dan menikah dengan pria lain kalau dia sampai mengkhianatimu lagi."Caroline melanjutkan, "Alexander sudah meninggalkan usaha di rumah pelacuran. Sudah menyerahkan tempat perjudian pada Roi juga. Dan ku dengar markasnya meledak." Caroline
"Bagaimana? Rafh mengakuinya?" Bukan Alexander yang bertanya tetapi Richard. Caroline masuk ke kamarnya dengan wajah lesu. Di dalam kamar sudah ada Richard, mantan Dokter Alexander ini belum bertemu langsung dengan mantan majikannya.Alasannya karena Alexander yang terus menghilang."Tidak. Dia juga tidak tahu katanya." "Kau yakin? Bisa saja Rafh berbohong."Caroline melepas pakaiannya begitu saja di hadapan Richard, juga mengganti dengan pakaian baru tanpa merasa malu. Richard hanya menggeleng karena kekasihnya ini sangat--berbeda."Tidak. Aku tahu kapan Rafh berbohong dan tidak."Richard berdiri dan memeluk Caroline dari belakang, "Aku cemburu. Sepertinya kau memang ada rasa padanya."Caroline berbalik dan mencubit kedua pipi liat Richard, "Jangan memancing. Kau juga mencintai Rianne kan? Jadi aku harus bagaimana?""Masa lalu. Sekarang masa depanku ada di hadapanku." Richard menaik turunkan alisnya dan Caroline tahu apa maksud kode itu."Tidak sekarang, aku harus menemui Alexander.
Sementara itu, Maya sudah melepas rangkulannya dari Rafh saat Caroline datang mendekatinya. Senyum wanita itu masih tetap sama seperti dulu manis dan juga--menawan.Maya berdehem, berniat akan meninggalkan keduanya tetapi Rafh menahan tangannya. Maya jelas merasa tidak enak, mereka bukan tokoh utama dalam cerita ini tetapi Rafh seolah mengambil peran lebih banyak. Itu yang Maya pikirkan."Bagaimana kabarmu?" Caroline menyapa lebih dulu, memperhatikan Rafh seperti biasanya, bahkan tatapannya juga masih sama seperti dulu."Baik, Nona." Caroline menyapa Maya juga, wanita yang bisa Richard bahas saat mereka senggang, "Anda Dokter Maya, bukan?" Maya mengangguk."Panggil Maya saja. Nona."Caroline terkekeh, "Baiklah, senang bertemu denganmu, Richard selalu membahas dirimu." Maya hanya tersenyum kecil.Caroline menoleh ke kiri dan ke kanan, ada yang belum terlihat olehnya, "Dimana Rianne? Aku tidak melihatnya?" Tanyanya pada Rafh."Nyonya, tidak ikut."Alis Caroline naik setengah, "Kenapa?