Pelayan yang biasa melayani Rianne berlari tergopoh dengan spatula di tangannya. Mereka memang di minta untuk membuat makanan untuk menyambut tamu tuannya."Dimana Nyonya Rianne?""Maaf Tuan, tapi Nyonya belum kembali." Jawabnya takut.Alexander mengernyit, "Belum pulang?"Alexander memejamkan mata, setelah melihat pelayannya mengangguk yakin, Alexander langsung menelepon Rafh, dia baru tahu bahwa asistennya itu memang tidak terlihat."Kenapa tidak mengabariku, Rafh!" Bentaknya melalui ponselnya.Menghembuskan napas pelan, mencoba tenang dia menatap Frea yang sejak tadi hanya diam saja menyaksikan bagaimana Alexander yang sangat terlihat sangat khawatir."Tolong, bawa Frea di kamar yang biasa Caroline gunakan!"Pelayan wanita yang biasa di panggil Bi Fath itu mengangguk, dan membawa tamu nya ke dalam kamar yang tuannya perintahkan."Apakah Alexander selalu berteriak seperti itu?" Tanya Frea pada si pelayan. Alexander langsung berlari mengendarai mobilnya setelah menutup panggilan dari
"Kau hanya punya pilihan itu, Nona." Ujarnya menatap datar Erika yang tidak ada menariknya sama sekali.Bagi Rafh satu-satunya wanita menarik menurutnya adalah--Ah, semakin Rafh mengingatnya semakin besar rasa rindunyaSetelah menimbang beberapa menit, akhirnya Erika.mengangguk lemah, dan itu membuat Rafh sedikit lega karena urusannya berkurang satu."Baiklah, besok sore aku akan menjemputmu, aku sendiri yang akan membawamu bertemu dengan nyonya Rianne."Setelahnya, Rafh berlalu lagi, mengabaikan teriakan melemah Erika._____Alexander masuk ke dalam kamar setelah berbicara lama dengan Rafh, memastikan pekerjaan asistennya itu berjalan dengan baik seperti biasa."Sayang, kau tidur lagi?" Alexander mendekati ranjang dan memeriksa sang istri yang sudah memejamkan mata lagi.Menghembuskan napas panjang, Alexander masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri, dan saat itulah Rianne membuka mata.Rianne menunggu sampai Alexander keluar dari kamar mandi, tatapannya lurus pada jam di atas na
Semua menoleh ke arah sumber suara, senyum lebar Frea jelas sekali terlihat oleh Arnita, namun sedetik kemudian menghilang saat melihat seseorang berjalan di belakang sang tuan."Kalian bisa kembali." Titah Alexander pada Arnita dan juga Roi. Keduanya mengangguk dan undur diri. Arnita jelas bahagia karena sudah melihat sang nyonya rasa teman baginya."Frea ... katakan, kau ingin mengatakan apa?" Tuntut Alexander lagi. Rianne berdiri di sebelah suaminya, menatap Frea biasa saja. Adik Arche ini, memang jarang sekali bersikap ramah setelah kepergian kakaknya dan bertemu dengan Alexander."Lebih baik kita bicara di ruang keluarga saja. Aku lelah kalau harus berdiri." Sahut Rianne."Benar. Kita bisa bicara santai di ruang keluarga. Ayo Frea." Alexander sudah melewati Frea dan membimbingnya ke ruang keluarga diikuti oleh Rianne.Mereka bergandengan jadi pasti jalan bersebelahan."Tapi ... aku hanya ingin bicara berdua denganmu." Desaknya pada Alexander.Rianne mengerutkan kening, wanita ham
Belum sempat Alexander menjawab Rianne sudah tidak sadarkan diri. Alexander membawa Rianne masuk ke dalam mobil yang dikemudi oleh dirinya sendiri, sementara Arnita dibelakang menjaga Rianne."Nyonya ... bertahanlah!" Arnita begitu panik sekarang.Alexander melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, melihat darah yang keluar semakin membuatnya kalut.Sampai di rumah sakit, Maya langsung membawa Rianne ke ruang rawat. Wanita yang terlihat baik-baik saat itu sudah terlihat sangat lemah.Arnita dan Alexander menunggu di luar. Pria tampan itu sudah terlihat sangat gelisah, saat bersamaan ponselnya berdering, Alexander meminta Arnita untuk menunggu Rianne selama dia menjawab panggilan dari Rafh."Katakan!"Rafh melaporkan bahwa anak buahnya sudah mendapatkan kembali uang mereka yang dibawa oleh Framos, pria yang dengan percaya diri datang ingin mengambil Rianne dalam dekapan Alexander itu sudah mereka bereskan dengan mudah.Alexander selalu bangga dengan apa yang Rafh lakukan, s
Alexander mengernyit, dia berpikir keras bagaimana anak sekecil Jonas ingin menjadi seorang penjahat untuk membalas dendam orang tuanya.Di ruangan yang didominasi warna gelap itu, Alexander menatap lekat anak kecil di hadapannya, masih terlalu dini untuk urusan seperti keinginannya."Kau tahu, siapa yang membunuh orang tuamu?"Jonas menggeleng, itu membuat Alexander semakin resah. Bagaimana dia bisa balas dendam jika pembunuh orang tuanya saja tidak dikenali."Lalu bagaimana kau akan membalas dendammu?""Paman, ajarkan saja aku menjadi kuat, saat besar nanti aku akan menemukannya sendiri."Menghembuskan napas pelan, Alexander menyilangkan kakinya menatap Jonas yang begitu bersungguh-sungguh dalam niatnya."Dimana kau tinggal selama ini?""Di panti asuhan. Tapi aku kabur dan berlari ke rumah sakit. Untungnya Tuhan menajamkan mata dan telingaku, dan menemukan paman.""Kabur? Bagaimana bisa kabur? Bukankah ada penjaan? Dan kau--,""Paman, jangan menanyakan itu, aku sudah sering berusaha
"Rafh ... bawa Renata malam ini juga." Perintah Alexander pada Rafh yang berlari setelah mendengar suara sang tuan yang menggema.Rafh langsung mengangguk dan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk memanggil nama yang baru saja Erika sebutkan–Renata."Tuan ... ada apa? Kenapa Anda terlihat sangat marah?" Erika berdiri dan mundur selangkah, melihat kemarahan Alexander membuat bulu kuduknya merinding."Kau diam. Jangan bergerak sebelum temanmu datang menemanimu."Erika luruh sampai berlutut, "Tuan, maafkan saja, jika memang saya salah tolong beri saya kesempatan untuk berubah." Erika sudah mulai merasa terancam. Sudah cukup dia terkurung selama ini, dia tidak akan mampu jika hukumannya harus ditambahkan."Bukankah kau yang menungguku untuk datang?" Alexander melewati Erika, mengambil kemejanya fan duduk kembali di sofa miliknya."Tuan saya bersalah." Erika tidak tahu kenapa suasana nya berubah begitu pekat, padahal tadi saat dia masuk tidak merasakan apapun selain rasa bahagia karena
Ketiganya menelan ludah dengan susah payah. Ketiganya saling pandang, mereka sama-sama tidak tahu kalau pria di hadapannya tahu rencana mereka."Tuan, maafkan saya," Erika yang lebih dulu membuka suara. Dia yang paling takut. Rumor tentang kekejaman sang tuan sudah menyebar di asrama wanita. Tidak ada yang tidak tahu bagaimana pria pemilik tempat perjudian itu jika marah. Sudah banyak nyawa yang melayang, walau terkadang bukan tangannya yang membunuh. Tetapi tetap saja, jika bibir menggoda itu sudah memberi perintah maka, tidak akan ada yang bisa mereka lakukan."Saya melakukannya karena saya menyukai Anda." Jujur Erika."Cinta seperti apa? Kau bahkan membuat berita bahwa istriku bukan wanita baik di asrama, kau sadar, siapa pemilik asrama itu Erika?"Erika menangis, dia bersalah, dia memang menyebarkan berita bohong, menjelekkan nama Rianne kepada seluruh penghuni asrama. Dia memang pernah melihat Rianne sesekali di kedai, jelas saja dia tahu, karena semua tentang Alexander ditelusu
"Hahaha!" Arnita tertawa keras, "Kau pikir aku takut? Ayo ... lakukan, aku ingin melihat seberapa hebat, adik Arche ini.""Arnita, aku bilang, turunkan pisau itu. Kau kenapa?" Rianne mencoba bernego sambil memikirkan situasi ini, dia tidak tahu, bagaimana mungkin wanita yang dia anggap sahabat selama ini melakukan hal mengerikan seperti sekarang."Oh. Sayang sekali. Kau tahu, Rianne ... sejak pertama kali melihatmu, aku sudah ingin membunuhmu." Rianne mengernyitkan kening. Ada apa dengan Arnita sebenarnya."Kau bingung ya? Suamimu, pria bodoh itu sudah memudahkan langkahku, dia ... membawaku lebih dekat dengan tujuanku selama ini." Arnita menatap Rianne remeh, "Membunuhmu."Sekarang giliran Rianne yang terkekeh, dia merasa sangat memprihatinkan, tidak satupun dari orang terdekatnya yang benar-benar tulus padanya. Tidak satupun termasuk suaminya--Alexander."Kalian semua ternyata saja saja. Sengaja menggunakan topeng malaikat untuk mengelabuiku." Rianne kembali tertawa, tetapi dadanya