"Ngomong - ngomong, kenapa donat bentuknya nggak sempurna dan bolong di tengah?" tanya Rizki. Devita mengerutkan dahinya dan berpikir serius. "Lah, kan dari sononya kalau bentuk donat bolong di tengah," sahut gadis itu akhirnya. Rizki tertawa. "Bukan itu sih, donat bentuknya bolong di tengah karena yang sempurna dan nggak ada bolong nya cuma cintaku padamu," ujar Rizki tersenyum lebar. Devita terkekeh beberapa saat, lalu wajahnya menegang. "Dev? Kenapa? Kok mendadak diam? Aku salah ngomong ya?" tanya Rizki ragu. Devita mendesah. "Sepertinya aku tahu kenapa mantan istri mu mencintai kamu, Mas.""Lha memangnya kenapa?" tanya Rizki. "Kamu ganteng, badannya bagus, berotot, romantis, humoris. Pantas saja mantan istri kamu bisa jatuh cinta sama kamu dan mungkin sampai sekarang dia belum move on," ujar Devita. Rizki hanya mengedikkan bahu. "Yah, masa lalu biarlah berlari, yang penting sekarang aku sudah sama kamu. Yuk, kita mana piring kamu? Ini aku sudah selesai membakar sebagian da
Beberapa saat sebelum nya, Nina membawa barang belanjaannya dari toko Rizki dengan menggerutu dalam hati, lalu menaiki motor maticnya. "Ih, kok bisa sih mas Rizki tertarik sama cewek matre kayak gitu? Sudah jelas banget kalau perawatan nya mahal banget. Ish, daripada mencari cinta yang baru, mendingan mas Rizki kembali rujuk sama aku deh. Aku kan perempuan sederhana dan nggak boros, aku juga sudah pernah tidur dengannya. Apa mas Rizki benar-benar sudah melupakan sentuhan ku sih?!" gerutu Nina. Dia lalu menghidupkan mesin dan melajukan motornya ke arah rumah orang tuanya. Nina memarkirkan motor di halaman rumahnya, lalu dengan menenteng kantung plastik dari toko Rizki, dia membuka pintu depan yang rupanya tidak dikunci. "Assalamu'alaikum, Mi, Pi!" seru Nina sambil duduk di sofa ruang tamunya. Diletakkan nya barang bawaan nya ke atas meja ruang tamu. "Eh, Nina, kamu baru datang?" tanya maminya yang muncul dari ruang tengah rumahnya. "Sudah ditunggu dari tadi! Mami masak bakso kesuk
"Mereka siapa sih, Mi? Beberapa kali Nina kesini seperti nya mereka selalu ada di pos ronda itu. Apa mereka tidak bekerja?" tanya Nina. Maminya menatap ke arah yang ditunjuk sang anak. "Mereka nganggur sih. Sudah setahun baru lulus dari SMA. Sering gitaran dan nongkrong di situ," ujar Mami Nina. "Kenapa sih?"Nina hanya mengedikkan bahunya. "Enggak apa- apa, Mi. Cuma nanya saja," ujar Nina tersenyum penuh misteri. ***Nina menunggu sampai malam tiba, dan dengan beralasan ingin berjalan - jalan mencari angin, dia menemui tiga orang pengangguran itu. "Mas, kalian butuh kerjaan nggak? Aku ada kerjaan nih untuk kalian! Tapi kalian harus hati- hati!" ujar Nina sambil mengulurkan ponsel ke arah ketiga lelaki pengangguran itu. Di layar itu terpampang foto Devita. Ketiga lelaki di hadapan nya hanya mengerut kan kening. "Memangnya apa pekerjaan untuk kami, Bu? Dan apa ada kaitannya dengan dia?" tanya salah seorang pengangguran itu. Nina menyeringai lalu membisikkan sesuatu ke telinga pa
Rizki dengan panik melajukan motornya membelah jalan raya. Tangan kanannya memegang setir, tangan kiri nya memegang ponsel dan mengikuti arahan maps yang ditunjukkan oleh smartphone nya. Rizki merasa sangat tegang saat melihat penunjuk mobil Devita berhenti di tengah sawah. Dengan perasaan hampir gila, Rizki menaikkan kecepatan menuju ke arah terparkir nya mobil Devita. "Ya Allah, kumohon! Kumohon! Jangan terjadi sesuatu pada Devita!" gumam Rizki cemas. Hingga dia melihat mobil Devita yang ringsek terparkir di pinggir jalan dengan menabrak pohon. Rizki segera turun dari motor nya, mendekati mobil Devita, lalu menelepon polisi yang pernah membantu nya menemukan tersangka pada kasus penyiraman air keras pada almarhum papanya. Tak lupa, dia juga memotret mobil Devita yang mengalami kecelakaan. Rizki melongokkan kepala ke pintu mobil yang terbuka. Kosong. Rizki nyaris saja berteriak memanggil nama gadis itu saat dia melihat ponsel Devita tergeletak di bawah kursi pengemudi. Dengan c
Rizki menyeringai. "Kalian gi la keroyokan dan menodai perempuan!" umpat Rizki. Saat kedua pengangguran itu berdiri menjauh dari Rizki dan oleng karena sibuk membersihkan mata mereka yang terasa perih, kesempatan itu tidak disia - siakan oleh Rizki. Rizki segera menangkap satu persatu pengangguran yang matanya sedang kesakitan itu, mencengkeram kedua bahunya dan menghadiahkan tendangan lutut pada mereka. Dan langsung memukul area dagu mereka. Buaaaghhh! Buaagghhh! Duaakk!Duaakkk! Kedua pengangguran itu langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri. Melihat kedua temannya yang pingsan dan tidak sadarkan diri, salah satu pengangguran yang berniat menodai Devita berlari menjauh. "Heh, jangan lari!" seru Rizki bermaksud mengejar laki-laki itu. Tapi sesaat, Rizki terdiam. Dia melirik ke arah Devita yang sedang pingsan dan memilih menghambur ke arah gadis itu. "Dev! Bangun, Dev! Bangun, Sayang!" seru Rizki sambil bersimpuh memeluk tubuh Devita seerat mungkin, dia merasakan tubuh gadisny
"Terimakasih karena kamu banyak menolong keluarga kami. Agar kamu selalu berada di sisi Devita dan bisa melindungi nya, menurut papa, lebih baik kamu segera menikahi puteri saya," ujar papa Devita membuat semua yang ada di ruangan itu tercengang. Mama Devita yang sedang memeluk anak gadisnya mendelik. "Astaga, Papa! Kok papa bisa kepikiran hal seperti itu sih!? Papa nggak bertanya dulu bagaimana keadaan anak kita? Kok buru - buru banget mau nikahin Devita?!" ujar mama Devita menatap tak suka. Papa Devita membalas tatapan istri nya. "Justru karena aku sayang sekali pada Devita, aku tidak mau anak kita kenapa - kenapa lagi. Jadi lebih baik kan dia harus segera menikah agar ada yang melindungi," sahut papa Devita tenang. . "Ck, papa itu gimana sih? Anak kita lulusan perguruan tinggi ternama di kota ini. Lalu Rizki? Dia kan cuma lulusan SMA. Coba tanya dia, dia nggak kuliah kan? Lagi pula berapa mahar yang bisa diberikan oleh lelaki seperti Rizki, Pa? Papa seharus nya juga memikirka
"Papa salut pada keteguhan hati dan tekad kamu. Papa tahu sebaik-baiknya wanita adalah yang maharnya tidak memberatkan calon suami nya, dan sebaik-baiknya lelaki adalah yang maharnya tidak merendahkan derajat wanitanya. Papa akan memberikan waktu selonggar kamu. Tapi papa minta, kamu juga melindungi Devita. Papa trauma dengan kejadian ini. Bahkan papa berpikir untuk mengakadkan kalian dulu, setelah itu pestanya enam bulan lagi, sesiapnya kamu. Agar kamu bisa melindungi Devita 24 jam.""Astaga, tapi, Pa...!"Papa Devita mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan ucapan istrinya. Mama Devita seketika terdiam saat melihat suaminya dalam mode galak, mode yang tak ingin dibantah. "Oh, ya, Om dengar, kamu mempunyai toko yang ramai kan? Om juga pernah melihat toko kamu lokasinya ada di depan butik Devita. Tepat sekali, kalau kamu menikah dengan Devita, Devita bisa tinggal di ruko kamu, dan paginya bisa ke butik, daripada dia pulang ke rumah Om, malah jauh," ujar papa Devita. "Heh, heh,
"Pak polisi! Dia yang menyuruh saya dan teman-teman untuk menodai gadis dari butik! Tangkap dia juga, Pak! Dia yang menyuruh saya!" seru salah satu pengangguran itu membuat wajah Nina memucat dan tubuh nya gemetaran. Nina mematung sejenak, tapi detik berikutnya, dia segera membalik kan badan secepat kilat dan melarikan diri. Polisi yang sedang berdiri di hadapan salah satu tersangka, segera mengejar Nina. Dan Nina pun kalah cepat dengan langkah polisi itu. "Berhenti, Anda saudari Nina?" tanya polisi itu membekuk kedua tangan Nina di belakang punggung nya. "I- ini hanya salah paham, Pak. Saya bisa menjelaskan semuanya. Jangan tangkap saya!" seru Nina ketakutan. "Dia bohong, Pak! Dia jelas - jelas sudah mentransfer uang muka untuk pembayaran menjahili gadis lain. Saya dan teman - teman mempunyai bukti transfer nya, tapi sayangnya HP kami bertiga tertinggal di sawah semalam!" seru salah satu tersangka. Nina mendelik. "Jangan fitnah kamu! Saya tidak pernah menyuruh hal buruk pada or
Tiga bulan berlalu sejak kematian Nina, Rizki dan Devita mulai mempersiapkan acara resepsi mereka. "Jadi tokonya akan tutup selama berapa hari, Bos?" tanya salah satu karyawan Rizki. "Tiga hari, mulai besok ya."Karyawan Rizki mengangguk. Dia tetap memandang Rizki seperti sedang memikirkan sesuatu. "Bos, hm, sebenarnya saya ingin menyampaikan sesuatu. Tapi takut dan ragu," ujar karyawan Rizki. "Bilang saja, saya sudah jinak kok," sahut Rizki sambil tertawa. "Kemaren saya menjenguk Dedi di penjara. Dia kan dipenjara setahun. Ada bukti bahwa dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh almarhum mas Adi. Papanya mas Adi pun juga tidak keberatan dengan hukuman itu padahal sudah membuat istrinya meninggal. Karena bapaknya mas Adi bilang ke Dedi kalau bapak nya mas Adi ngerasa bersalah sudah gagal mendidik anak sehingga mengakibatkan orang lain di penjara juga," ujar karyawan Rizki. "Lalu apa hubungannya dengan ku?" tanya Rizki bingung. Dia memandang ke arah Devita yang duduk di s
Fuso itu juga mengerem mendadak agar tidak menabrak mobil Nina, namun terlambat, bemper sebelah kanan fuso itu menyambar mobil Nina, sehingga mobil Nina terdorong ke belakang lima puluh meter dalam keadaan ringsek. "Aaaaa! Mas!" jerit Devita kaget karena melihat tabrakan yang terjadi di hadapan nya. "Ya allah, innalillahi wa innalillahi roji'un! Kamu di sini saja, aku akan melihat siapa korban kecelakaan itu dan memanggil polisi," ucap Rizki sambil mengusap kepala Devita. Rizki bergegas menyebrang jalan. Rupanya bunyi tabrakan yang kencang tadi membuat beberapa warga yang mempunyai rumah di jalanan itu segera keluar dari rumah meskipun pada awalnya masing-masing pintu rumah mereka tertutup karena bersiap tidur. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar mobil Nina dan truk fuso. Dan alangkah terkejutnya Rizki, saat melihat korban yang berada di dalam mobil nahas itu. Tampak tubuh Nina yang bersandar di balik kemudi dalam keadaan terpejam. Bemper mobil depan Nina ringsek dan menje
Nina dengan cepat mengetik nomor yang tertera di poster itu lalu menelepon nya. "Halo, dengan toko Rizki di sini. Ada yang bisa dibantu?"Terdengar suara lelaki ramah di seberang telepon. Nina yang baru saja berganti nomor ponsel sangat yakin jika suara itu adalah suara Rizki, mantan suaminya. "Halo, Kak, saya butuh beberapa cemilan dan bahan makanan untuk ngegrill. Bisa diantar kan ke alamat saya?" tanya Nina. Jantung nya berdebar kencang. Berharap Rizki tidak mengenali suaranya lagi. Di seberang telepon, Rizki terdiam. Dia memang sudah lama tidak berkomunikasi dengan Nina, tapi dia yakin jika suara yang didengar nya saat ini adalah suara Nina, mantan istri nya. 'Wah, sepertinya ini suara Nina. Jangan - jangan dia merencanakan sesuatu pada ku atau Devita,' batin Rizki. 'Sebaiknya aku ikuti saja permainan Nina. Awas saja kalau dia sampai berbuat aneh- aneh pada Devita,' sambung Rizki dalam hati. "Oh, ya. Kami memang melayani pembelian secara COD. Jadi apa saja yang ingin dibeli?
Wajah Rizki terlihat keruh saat bersiap untuk membuka toko. "Kamu kenapa, Yang? Ada masalah? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Devita. Dia menumpuk piring kotor setelah mereka makan dan mengumpulkannya di dalam wastafel. "Aku baru dapat pesan dari pengacara kalau kasus Nina berhasil saat naik banding di pengadilan. Dan sekarang dia bebas," ujar Rizki sambil menghela napas panjang. Gerakan Devita yang sedang membasuh piring dengan sabun menjadi terhenti. Dia menggigil sesaat. Teringat saat Nina yang menyuruh preman untuk menganggu dan menculiknya. Untung saja waktu itu Rizki berhasil menyelamatkan kehormatan nya. Kalau saja saat itu Rizki telat datang, Devita bahkan tidak berani untuk membayangkan nya. "Aku takut, Mas. Bagaimana kalau Nina mengincar kebahagiaan kita lagi?" tanya Devita terdiam di depan wastafel. Rizki yang hendak menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah, membalikkan badan dan memeluk Devita erat. "Aku tidak akan membiarkan Nina mengambil kebahagiaan kita, Yang.
Pengacara nya menghela napas panjang, berpikir sejenak. "Bukan kapasitas saya untuk bicara. Mbak Nina lihat saja sendiri saat pulang nanti, sekarang mbak Nina pulang saja dulu," ujar pengacara Nina. Nina mengangguk, lalu tersenyum dan menoleh sejenak ke arah sel tempat dia dikurung kemarin. Telihat para perundungnya yang menatap Nina dengan rasa kesal. Nina yang tampak kurus dan terlihat dekil karena mengalami penganiayaan di dalam penjara oleh teman satu selnya, menatap ke arah teman- teman satu selnya dengan penuh dendam. Dia lalu mengacungkan jari tengah ke arah mereka, kemudian bergegas pergi. ***"Ini rumah siapa, Pak??" tanya Nina pada pengacara nya. "Ini rumah kamu, mbak Nina," ujar pengacara nya membuat Nina semakin bingung. "Bukan! Rumahku gede, Pak! Bukan kecil seperti ini!" ujar Nina seraya menggelengkan kepalanya. "Masuk saja dulu, Mbak Nina. Ada orang tua kamu di dalam," ujar pengacara nya mempersilahkan. Nina pun berjalan sampai ke arah teras rumahnya, dia lalu m
Devita terbangun saat mencium aroma nasi goreng yang lezat. Dia lantas duduk di ranjang sejenak lalu merenggang kan kedua tangan nya ke atas dan menuju ke kamar mandi. Usai sikat gigi, cuci muka dan berganti pembalut, dia menuju ke dapur yang berseberangan dengan kamar nya dan melihat Rizki yang sedang mengaduk masakannya di wajan. Devita menatap nya dengan takjub. Tampak Rizki menuangkan minyak cabai ke dalam wajan berisi nasi goreng lalu menggoyang - goyangkan pegangan wajannya dengan ahli dan tampak api dari kompor yang menjilat sampai ke wajan. "Wihh, bisa begitu ya?" tanya Devita takjub. Rizki menoleh ke arah istrinya. "Hei, kamu sudah bangun, Yang? Duduk gih, aku sedang memasak sarapan kita. Nasi goreng hitam! Ini pakai aneka seafood dan tinta cumi-cumi lho! Rasa pedas kesukaan kamu!" ujar Rizki tersenyum. Devita terdiam dan menatap sang suami penuh cinta. Bukannya menuruti instruksi suaminya untuk duduk, Devita justru mendekat ke arah Rizki dan memeluk nya dari arah belak
Saat langkah Rizki mendekat ke arah pohon tempat Adi bersembunyi, Adi segera berdiri lalu mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. "Hiyaaat! Ma ti kamu, Rizki!" seru Adi sambil membabi buta mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. Buaakkh! "Aarrghhh!"Alih - alih bisa melukai Rizki dengan ayunan pisau nya, tangan Adi justru terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Adi berteriak saat pergelangan tangannya terasa patah terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Kedua lelaki yang pernah menjadi sepasang sahabat itu pun berhadapan dengan sengit. Adi menggerak - gerakkan tangan kanannya yang terkena hantaman dahan pohon. 'Untung saja tidak patah,' batin Adi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pisau lipatnya yang terjatuh ke entah dimana. 'Duh, dimana pula pisau ku tadi!? Bagaimana mungkin aku melawan Rizki hanya dengan tangan kosong?' batin Adi panik. Tapi dia tetap berusaha untuk bersikap tenang. "Menyerahlah saja, Di! Bertanggungjawab lah atas segala hal yang te
Warning : Adegan gore! "Mampus saja kamu, Riz!" seru Adi sambil mendorong pisau di tangannya semakin mendekat ke arah perut Rizki dan Rizki pun sekuat tenaga menahan pisau Adi, dan dalam gerakan dorong- mendorong itu, tangan Rizki tanpa sengaja menekuk dan membalikkan arah tangan Adi, sehingga pisau Adi menghujam perut nya sendiri. "Aaarghh!" Adi berseru bertepatan dengan darah yang mengalir dari perutnya. Rizki dan Adi saling mendelik dalam diam. Cengkeraman tangan Rizki melonggar, sehingga genggamannya pada tangan Adi melemah. Adi berdiri terhuyung dan memegangi perutnya yang tertusuk pisau yang dipegangnya sendiri. Rizki membalikkan badannya dan perhatian nya tertuju pada Devita yang sudah terlepas dari tali yang mengikat tangannya dan lakban yang menutup mulut nya. "Mas!" seru Devita menghambur ke arah Rizki. Rizki dan Devita berpelukan dengan berurai air mata. "Kamu nggak apa- apa kan?" tanya Rizki sambil membingkai wajah istri nya dengan cemas. Devita menggeleng. "Alhamd
"Kenapa kamu nggak lapor polisi, Riz?" tanya teman pemilik gym nya dengan prihatin. Rizki menghela napas panjang. "Sudah. Tapi kata polisi harus menunggu 1x24 jam. Kecuali memang ada bukti ancaman."Teman Rizki berpikir sejenak. "Kalau begitu, apa tidak mungkin istri kamu pergi ke rumah temannya? Lalu HP nya rusak, sehingga dia tidak bisa menelepon kamu?" tanya teman Rizki.Rizki menggeleng."Tidak mungkin! Devita sangat hapal nomor HP ku. Jadi kalau dia memang harus menginap di rumah temannya dan HP nya rusak, dia pasti akan meninjam HP temannya untuk menghubungiku," ujar Rizki. "Kalau HP Devita tidak aktif dan dia juga tidak menghubungi ku, berarti kemungkinan nya hanya satu. Istriku sedang dalam bahaya. Kemungkinan dia diculik orang atau sedang dalam bahaya. Aku butuh bantuan kamu dan Falcon," sambung Rizki lagi. Temannya manggut-manggut. "Kita harus menyediakan alat untuk membela diri, Riz," ujar Johan. Dia lalu masuk ke dalam rumah dan membawa keluar semprotan merica, pisau