Arumi mengangguk mendengar penuturan Entik. Tentu saja Arumi menurutinya walau bagaimanapun mereka adalah saudara dari suaminya.Benar saja mereka memesan makanan termahal dan tentunya penuh di dua meja. Bayu mengusap wajahnya sungguh keluarganya tidak bisa berubah. Meski Arumi bersikap baik pada mereka tetap saja itu tidak pantas."Bayu kalian mau ke mana? Mau kabur ya? Katanya kalian orang kaya pesan segini aja kalian udah mau kabur!" sinis Entik."Mana mereka mau mengeluarkan uang sebesar ini untuk sekali makan kita. Berapa sih kekayaan yang mereka miliki ibu yakin dan tidak akan mampu untuk membayar semuanya apalagi kita memesan sampai dua meja seperti ini!" Bu Warsih, mencibir Arumi dan Bayu. Terlebih melihat wajah Bayu yang membuang muka."Kalian tinggal makan aja semua sudah di bayar. Jika kurang pesan dan bayar sendiri." Bertiga meninggalkan restoran Bayu tidak ingin berlama-lama, terlebih keluarganya semakin menjadi sebab ada mertua dari Yoga yang akan merongrong pada istrin
"Jadi kalian bekerja di sini karena mas Yoga?" tanya Arumi, setelah menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba memburu. Seperti sebelumnya mereka tetap bungkam hanya tatapan tidak suka dari mereka yang tertuju padanya. "Oke, kalian pilih diam. Eni siapa di antara mereka yang menjadi kepercayaan mas Yoga?" "Aku kenapa? Lancang sekali kamu datang ke sini mengaku sebagai pemilik butik ini. Lihat saja sebentar lagi mas Yoga datang dan kamu siap-siap di tendang dari sini!" angkuhnya. Berlahan Arumi mendekati wanita yang usianya lebih muda darinya, tatapannya terlihat angkuh, wajahnya begitu mirip dengan Entik. Ya, Arumi baru kali ini bertemu dengan saudara Entik. "Apa kamu adiknya mbak Entik? Jika benar akan aku maklumi tapi jika kamu tetap bersikap seperti ini aku pastikan menyeret kami lebih dulu ke pihak berwajib." Tekan Arumi. "Hahaha! Siapa takut, justru kamu yang berhati-hati. Aku takut kamu mati karena serangan jantung! Lagi pula mas Yoga punya bukti jika butik dan toko in
Suara lantang dari luar mengejutkan mereka semua. Tanpa terkecuali Arumi, wanita hamil itu tersenyum bahagia suaminya tiba di waktu yang tepat. "Mas akhirnya kamu datang tepat waktu," senyum Arumi tidak lepas dari bibirnya. Bukan takut saat menghadapi mereka akan tetapi kondisinya sedang mengandung membuatnya tidak bisa mengontrol emosi hal itu yang akan membahayakan janin dan juga orang-orang yang di dekatnya karena hormonnya yang tidak stabil, ucapannya pasti akan menyinggung perasaan orang lain terlebih mereka tetap saudaranya. "Tentu saja mas akan pulang, mas tidak ingin membiarkan kamu melawan mereka seorang diri. Keluargaku sudah keterlaluan pada kita. Tidak seharusnya mereka bersikap seperti itu, kita bukan yang dulu," sahutnya mengusap kepala Arumi yang tertutup kerudung. "Bayu sudahlah tidak perlu memperpanjang masalah ini lagi pula tidak ada salahnya jika mereka meminta satu toko dan butik ini tidak akan membuat kalian bangkrut. Kami ini bukan orang lain kami masih saudara
"Apa mas? Kamu di pecat tanpa pesangon? Kenapa kamu cuma diam aja, kenapa tidak protes sama atasan kamu! Kamu sudah lama bekerja di perusahaan itu apa dari pihak perusahaan tidak ada cenderamata untuk kamu sebagai karyawan teladan bahkan kamu berapa kali memenangkan tender. Apa kerja keras kamu tidak terlihat oleh mereka? Kamu tahu berapa banyak kamu menguntungkan untuk perusahaan sedikitpun tidak memberikan apapun padamu!" Entik yang baru tiba di rumah terkejut mendengar penuturan Yoga pada Ibunya. "Dek sudah duduk dulu. Kita bicara dengan kepala dingin," bujuk Yoga. "Bicara dengan kepala dingin katamu? Mas, aku butuh uang bukan bicara omong kosong begini!" teriak Entik. "Ya mas tahu. Mas juga akan berusaha untuk mencari pekerjaan lagi. Udah ya, ini gaji mas bulan ini tapi mas ambil sebagian ya, buat jaga-jaga nyari kerjaan," ujar Yoga. "Ya udah, pokoknya kamu harus dapet kerjaan yang sama. Aku nggak mau memenuhi kebutuhan keluarga kamu mas." Kata Entik, tanpa sadar. "Keluargaku?
"Ya, ini aku Entik. Apa kabar? Lama kita nggak ketemu, ngomong ngomong berapa anakmu?" tanya pria yang kini duduk di samping Entik. "Dua. Kamu?" Pria itu hanya menggeleng, tak lama wajahnya muram gurat kesedihan tercetak jelas di sana. "Kenapa?" tanya Entik. "Anakku di bawa mantan istriku. Beginilah, hidup seorang diri tanpa ada anak dan istri. Terus kamu kenapa ada di sini menangis seorang diri?" "Aku? Aku hanya ingin sendiri setidaknya di sini aku bisa tenang," "Ada masalah? Dalam rumah tangga sudah biasa bertengkar selisih pendapat hal yang lumrah, tapi setidaknya jangan pernah meninggalkan rumah tanpa izin dari suami," "Kamu benar tapi bagaimana jika suami tidak bekerja? Dia pengangguran di rumah dan semua tanggung jawab dilimpahkan pada istri? Apakah perdebatan itu ada solusinya tentu jawabannya adalah tidak, yang ada hanya pertengkaran demi pertengkaran dan hawa panas di dalam rumah semakin membakar belum lagi harus menampung mereka semua, mereka hanya menggantungkan hi
Pukulan demi pukulan yang tidak bisa di hindari, Yogi tidak ada kata ampuh pada Yudi yang menantangnya. Suara teriakan dari Entik di indahkan oleh Yogi dan Yudi, mereka saling serang mempertahankan harga diri mereka. Kegaduhan itu menimbulkan perhatian para tetangga dan keluarga yang mencoba melerai keduanya. "Hentikan!! Apa yang kalian lakukan ini? Kalian sudah dewasa sudah berumah tangga kenapa main kekerasan. Bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus main pukul!" seru Pak RT setempat. "Jangan ikut campur pak rete biarkan saya memberi pelajaran laki-laki ini yang sudah menjadi selingkuhan istri saya!" seru Yoga. "Sabar pak Yoga, sebaiknya kita duduk dulu." Yoga menurut ia duduk di depan bersama berapa warga di sana. "Jadi gimana pak Yoga, apa benar tuduhan yang bapak berikan pada istri bapak?" tanya pak RT. "Itu benar. Apa yang dilakukan seorang wanita bersuami pulang malam bersama dengan laki-laki? Sebagai seorang suami tentu akan marah dan curiga, apapun alasannya itu tida
Satu minggu sudah kepergian Entik dan keluarganya, seminggu itu pula Yoga jungkir balik mencari pekerjaan hingga menjadi pemulung. Tidak jauh berbeda dengan Yoga, Bu Laras bekerja dari satu rumah ke rumah yang lain. Semua ia lakukan demi dua cucunya agar tidak kelaparan. Miris di mana Yoga yang arogan itu? Bukankah dulu dia membanggakan jabatan dan dasinya? Kini hanya untuk makan saja mereka menjadi tukang panggul di pasar, itu saja tidak cukup menutupi kebutuhan mereka."Ayah udah pulang?" Angga dan Vani menyambut kedatangan sang Ayah. Hatinya perih, hasil kerja hari ini lagi-lagi tidak cukup untuk mereka makan."Ya, sayang. Kalian sudah makan?" tanya Yoga, walau sebenarnya ia tahu jika mereka belum makan. Mereka hanya diam sesaat mereka berkata yang mampu membuatnya sulit percaya."Jika sehari nggak makan bukankah itu tidak membuat kita mati, Yah? Ayah, dulu Salwa tidak makan dua hari tapi Salwa kuat. Aku sama kak Angga pasti kuat," ucapnya polos. Hal itu mampu membungkam Bu Laras
"Waalaikumsalam bapak siapa?" Yoga, menerima uluran tangan dari pria paruh baya di depannya. "Duduklah di sini, sudah Salat?" tanya pria itu. Yoga menggeleng, entah kapan terakhir dia salat. "Mau salat sendiri, atau bareng saya? Kebetulan saya belum salat," tawar pria paruh baya itu lagi."Bapak saja sendiri, baju saya kotor," "Baiklah, duduk di sini. Tunggulah sampai saya selesai salat kita bisa berbincang. Saya tahu ada banyak masalah yang sedang anda hadapi," ujarnya menempuk pundak pria Yoga.Yoga yang tidak yakin dengan ucapan pria paruh baya itu, namun tidak dipungkiri bahwa apa yang dikatakan beliau adalah benar adanya. Saat ini ia membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya tetapi pikiran bercabang begitu rumit, mendesak nya terus menerus apakah ia akan mengikuti kata Ibunya atau terus berjuang seorang diri. Entah perasaan apa saat ini yang ia rasakan adalah rasa malu dan rasa sakit hati dalam waktu bersamaan."Alhamdulillah ternyata anda ada di sini," ucap
Waktu terus bergulir hari berganti minggu, lima bulan terlewati kabar dari Bu Laras tidak di ketahui. Mereka sudah berusaha untuk mencari nyatanya hingga hari ini perempuan paruh baya itu bak di telan bumi.Kesuksesan Arumi membawa namanya semakin di kenal oleh penduduk Indonesia tapi juga panca negara, berkat kerja kerasnya kini Arumi berhasil meluncurkan produk terbaru dan launching butik barunya, selain itu bertepatan Arumi mengadakan fashion show di salah satu hotel berbintang. Acara berjalan lancar hingga di pengunjung acara Arumi berdiri bersama beberapa model yang memeragakan pakaiannya. Memberikan berapa sambutan dan ucapan terima kasih pada orang-orang yang berada di belakangnya terutama suami dan keluarganya."Selamat ya sayang, mas bangga banget sama kamu," ujar Bayu, melihat kemampuan istrinya yang tersembunyi kini semakin memancarkan aura binatangnya."Aku yang makasih mas, kamu selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Kesuksesan aku karena ridho kamu mas,""Dan kerja ke
Sampai di rumah sakit mereka di sambut tangis Nila di depan ruang UGD. Eni membiarkan suaminya menenangkan tantenya, ada berapa luka yang ia tahu itu adalah luka bakar."Sekarang tante jelaskan kenapa bisa seperti ini," tanya Duta, setelah tantenya tenang."Tadi sepulang dari restoran tiba-tiba ada orang yang menyiramkan cairan ke wajah Sely, Duta tolong tante," ucap Nila, mengiba pada Duta. Tanpa sengaja melihat Eni di belakang Duta."Puas kamu hah, kamu kan yang menginginkan hal ini. Secara kamu kan temannya Arumi." Sinis Nila."Tante sudah ya, dalam keadaan seperti ini tante masih menyalahkan orang lain, kenapa kalian tidak berpikir kalau ini adalah teguran untuk tante dan juga Selly. Mengenai orang yang menyiram air keras itu kenapa tante tidak mencari tahu siapa orangnya atau jangan-jangan dia adalah orang suruhan istri laki-laki yang menjadi simpanan Sely.""Duta tega kamu ya, istrimu itu pasti cerita sama Arumi mereka pasti bahagia kalau kami seperti ini! Dasar kamu orang miski
Mendengar penuturan Bu Laras, mereka menggelengkan kepala. Bu Wati tersenyum mengejek, begitu miris bagaimana keluarga besan nya berulang kali melakukan kesalahan dan di maafkan oleh anak dan menantunya. Tetapi kembali melakukan kesalahan yang sama, dan kali ini Bu Wati menolak keras jika Arumi memaafkan lagi besannya.Geram dengan tingkah dan perkataan Bu Laras, Bu Wati memilih untuk pergi. Dengan begitu kewarasannya tetap terjaga. Namun langkahnya terhenti dan berbalik kearah Bu Laras."Sekali lagi kamu menyentuh anak dan menantuku terlebih kedua cucuku, aku pastikan tangan ini yang akan membuatmu diam selamanya! Ingat hari ini, detik ini kamu menolak mereka maka tidak ada jalan untuk mendekati mereka apa lagi mengiba. Hidup lah sediri di panti jompo, hanya tempat itu yang cocok untukmu wahai Bu Laras yang terhormat, orang yang paling kaya dan orang kota." Ucap Bu Wati sebelum meninggalkan ruangan itu.Ruangan itu seketika hening ada rasa takut yang singgah di hatinya, hanya berapa
Bayu mengajak Arumi pulang lebih dulu, mereka tidak tahu harus seperti apa lagi. Kasih sayang dan sabarnya mereka karena tingkah dan kebencian ibu pada keluarga kecilnya justru hampir saja membuat istrinya celaka. Seandainya waktu bisa di rubah mungkin tak ingin terlahir dari rahim wanita yang tidak memiliki rasa sayang. Bayu melajukan mobilnya menjauh dari restoran meninggalkan sesak yang menghimpit dadanya, Ibu adalah cinta pertama untuk anak laki-lakinya justru menorehkan luka begitu dalam, seakan ia terkahir dari rahim orang lain.Wanita yang sampai saat ini masih bertahan di samping pria yang menjadi imamnya itu turut serta rasa yang menyesakkan, ketika melihat suaminya tidak baik-baik saja. Arumi meminta untuk berhenti di salah satu taman kota yang hari ini terlihat sepi. Mungkin karena siang hari sehingga banyak kursi yang kosong, meski ada berapa pengunjung."Mas menangis lah jika itu membuat kamu tenang," lirih Arumi, mengusap lengan kokoh itu. "Salahku apa dek, ibu begitu m
Bayu tersentak mendengar penuturan Arumi, selama ini Arumi hanya bilang kalau ada maling, tapi tidak tahu jika pelakunya adalah Ibu serta mantan menantunya terlebih Tante dan keponakannya terlibat."Nggak usah liatin aku gitu banget mas! Aku nggak ikutan mereka, aku sibuk urusan aku!" Ujar Sely, sebelum tertuduh ikutan mereka."Yakin kamu?""Sangat yakin! Aku bisa buktikan kok, hei Arumi aku nggak ada hubungannya sama kejadian di gudang kamu ya!" Seru Sely, menatap tajam wanita berhijab itu."Tapi kamu terlibat di dalamnya, Sely." Arumi tidak akan membiarkan orang-orang yang sudah menzaliminya bebas begitu saja, kesempatan yang sudah ia berikan tidak akan ada lagi. "Kamu jangan mengarang cerita, aku tidak pernah terlibat apapun untuk menyakiti kalian paham!" Sely tidak terima."Baiklah kalau kalian tetap tidak mengakui perbuatan kalian maka lihatlah ini," Arumi membuka layar proyektor di sana dengan jelas video di mana wajah-wajah mereka yang begitu antusias bahkan tanpa ada sesal at
"Apa kalian juga menuduh aku terlibat? Lagi pula ini urusan kalian aku tidak ada hubungannya sama kalian, aku hanya orang luar jadi aku memutuskan untuk pergi selesaikan masalah kalian. Buk, aku pulang dulu kita akan ketemu lain waktu saja," ucap Entik yang diikuti acara."Yakin kalau kamu tidak terlibat?" Tegas Bayu, tanpa embel-embel mbak."Menurut kamu aku terlibat? Kamu jangan sembarangan menuduhku. Aku memang bertemu dengan ibu, tapi kami membicarakan masalah anak, sama seperti yang kalian dengar tadi kami menghabiskan waktu bersama. Aku ingin bersilaturahmi dengan kalian meskipun istri kalian cemburu jadi berhenti untuk mendukung atau jangan-jangan ini ulah istri kamu agar kami terlihat buruk di depan kalian terutama ibu?" Ujar Entik tidak terima."Kamu pikir aku tidak punya bukti? Kamu salah, aku tahu tentang keterlibatan kamu apalagi kamu adalah dalang dari semua kejadian yang menimpa istriku." "Kamu jangan main tuduh dulu, jangan berpikir kejadian di masa lalu akan terus te
Hari yang di tunggu tiba, Arumi dan Bayu pergi ke restoran yang sudah di tentukan oleh mereka. Tentu tanpa di sadari oleh Entik, Andara dan keluarga Ibu mertuanya. Arumi hanya bisa memantapkan hati agar tidak iba lagi terlebih ibu mertuanya yang tidak hentinya mengiba jika kebenaran itu itu terbukti. Selama ini buk Laras mengusiknya, terlebih satu hal yang belum ia katakan pada suaminya dan itu akan ia katakan di sana bersama dengan mereka yang terlibat.Sementara itu Andara tersenyum puas melihat ruangan khusus untuknya, meski banyak kursi disana tapi sepertinya hal itu tidak membuat Andara curiga."Wah, mas kamu siapkan ini semua?" Andara mengelilingi ruangan yang cukup besar dan mewah."Ya dong sayang eh,""Nggak apa-apa mas, aku suka kamu panggil begitu. Aku kangen saat kita –" ucapan Andara terhenti saat pintu ruangan terbuka. Bukan hanya Andara yang terkejut tapi juga Entik yang wajahnya seketika berubah."K–kamu di sini?" Tunjuk Entik, hal yang sama di lakukan oleh Andara."Mas
Arumi masih memikirkan cara untuk mempertemukan mereka di satu meja, walau bagaimanapun yang akan ia kumpulkan nanti adalah keluarga dari suaminya. Tentu akan menjadi masalah yang panjang kedepannya."Aku cuma ingin mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan tidak lagi mengusik keluarga kita. Kamu adalah keluarga mereka sedangkan aku hanyalah menantu dan ipar untuk mereka, tapi apa yang mereka lakukan sama kamu ini sudah melebihi batas kesabaran yang kita miliki Mas aku cuma ingin mereka kembali seperti sebelum kejadian tiga tahun ini,""Mas tahu, mas paham apa yang menjadi tujuan kamu sayang. Kamu tetap hati-hati mas akan mendukung setiap langkah kamu, jika itu demi kebaikan keluarga kita. Maafkan semua kesalahan yang di lakukan keluarga Mas termasuk ibu,""Aku sudah memaafkan semua kesalahan mereka sekalipun mereka tidak minta maaf padaku secara langsung, tapi aku hanya ingin mereka sadar mas. Aku minta supaya kamu tetap mendukung apapun yang terjadi nanti, aku minta
Dua hari setelah pertemuan Arumi, Lusi dan Eni, selama itu pula mereka tidak lagi bertemu bahkan sekedar komunikasi antara Bayu dan ibunya seakan putus begitu saja. Mobil hitam yang membuntuti Arumi kini semakin gencar, seakan enggan untuk berjauhan dengannya. "Kamu begitu lucu manatan kakak iparku, entah apa tujuan kamu mengikutiku seperti ini. Tapi yang pasti aku bahagia karena kamu begitu peduli padaku meski tujuanmu ingin aku hancur." Gumam Arumi, memastikan dirinya untuk bersikap tenang walau entah kapan waktunya akan menjadi hal yang menakutkan.Sampai di supermarket Arumi mendorong troli, ia tahu jika wanita itu terus mengikutinya. Bibirnya tertarik keatas melihatnya hanya seorang diri, maka tidak ada yang perlu di takutkan lagi. "Apa lagi ya? Tunggu, tadi bude Narsih ngasih list belanjaan mana ya," Arumi membuka tasnya mencari secarik kertas yang di berikan oleh Bude Narsih."Nah ini dia!" Serunya tertahan, wajahnya berbinar mengingat jarang sekali Bude Narsih bersedia memin