Pagi mulai datang, suasananya, rasanya bahkan setiap detiknya terasa begitu indah. Cerahnya hari ini seakan memberikan kesejukan bagi orang-orang yang datang bergotong-royong di rumah Mbah Lastri. Rumah sudah banyak para ibu-ibu yang sibuk dengan tugasnya masing-masing, yang lelaki pun sibuk dengan kambing yang sudah siap untuk disembelih. "Sudah tujuh hari Mbahmu meninggalkan kita semua disini, semoga kalian semua bisa tentram seperti harapan beliau," ucap Mbah Lastri dengan mengelus punggung tangan ini berulang-ulang."Aku pun sudah lelah jika harus bergelut dengan masalah yang sama sejak lahir hingga sekarang ini. Malah kadang aku pengen pergi dari rumah itu dan membangun di tempat baru, Mbah." Aku mengatakan dengan pandangan lurus ke depan.Sebenarnya apa yang aku katakan adalah kenyataan yang saat ini terjadi. Memang rasanya aku sudah muak jika berhadapan dengan masalah itu-itu melulu. Padahal aku dan Mas Yanuar selalu merencanakan masa depan indah nan cerah tanpa ada lagi gang
"Bagaimana dia?" Pertanyaan pertama yang aku tujukan pada Mas Yanuar saat menginjakkan kaki di rumah dengan rasa penasaran kondisi Lek Santoso.Mas Yanuar yang datang lalu mencuci mukanya itu tersenyum sebelum duduk di sampingku dan menjawab rasa penasaran ini. "Kepo," bisiknya tepat di telinga."Bagaimana keadaan Lek Santoso, Nak Yanuar?" Kini ibu yang bertanya pada suamiku itu. Ibu memilih duduk di kursi ujung, dengan seksama beliau memperbaiki posisinya demi mendengar penjelasan dari sang menantu. Aku pun tak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi pada lelaki angkuh itu. Apakah dia sehat atau malah kritis? Ini yang ingin aku tahu jawabnya, tapi sayangnya Mas Yanuar malah diam sesaat."Lek Santoso dibawa ke rumah sakit, Bu. Tadi ada mobil ambulans daei puskesmas keliling dan segera membawa dia. Saat dibopong sama warga tadi kelihatan Lek Santoso tidak sadarkan diri," jelas Mas Yanuar akhirnya."Astaghfirullah," ucap ibu menutup mulutnya. "Karma, Bu," sungutku.Semua mata menoleh
Tujuh harinya Mbah Darma selesai dengan lancar. Di malam ini terakhirnya kamu menginap di sini. Menemani Mbah Lastri yang sendirian pada akhirnya nanti. Akan tetapi, bapak berkata pada seluruh keluarga besar tak terkecuali dari pihak Mbah Lastri sendiri."Niat kami ingin mengajak Mbah Lastri ke rumah, bersedia Mbah?" tanya Bapak saat semua seksama mendengarkan."Iya, Mbah, lebih baik ikut Mas Budi saja!" celetuk salah satu keluarga.Mbah Lastri tersenyum sambil memandangi seluruh anggota keluarga yang ikut bergabung di rumah ini. Kebanyakan dari mereka setuju, melihat wanita sepuh itu akan menikmati hari tuanya tanpa pasangan. Pasti akan kesepian karena kami akan kembali menjalani aktivitas masing-masing."Sudah aku katakan sejak awal, aku tidak akan pergi dari rumah ini kecuali Tuhan memanggil. Rumah ini penuh kenangan kami berdua juga bersama kalian yang sering main kesini. Lalu kenapa aku harus meninggalkannya?" jelas Mbah Lastri."Baik kalau begitu, Mbah saya dan istri yang akan i
Bayi mungil di sampingku terlihat begitu lucu, kebahagiaan kami berlimpah kala melihatnya menangis karena suaranya yang indah begitu menyejukkan hati. Mbah Lastri menggendongnya penuh sayang, antara bahagia dan sedih air mata ini jatuh di pipi."Laki-laki apa perempuan?" tanyaku lemah."Alhamdulillah, jagoan," balas Mas Yanuar berbinar-binar."Laki-laki dan sehat, Alhamdulillah. Mbah akan tidur bersama kalian, Budi, kamu untuk sementara tidur di rumah Mbah, ya, karena belum empat puluh hari rumah Mbah di tinggal oleh Mbahmu Darma dan nggak boleh ditinggalkan dalam keadaan kosong tanpa penghuni, nggak baik!" ujar Mbah Lastri terhadap Ayah.Ayah yang diminta pun mengangguk setuju, tapi bukankah itu justru membuat Ayah jarang melihat cucunya sendiri?"Nanti gantian sama Harjo, bukankah dia dan istrinya masih disana?" "Masih, Mbah, ini tadi aku minta dia untuk tidak pulang dulu. Saudara yang lain juga masih banyak yang disana, Mbah." Ayah mengusap pelan lengan ini."Terima kasih telah me
Menjelang Magrib pintu dan semua jendela telah tertutup, Bapak dan ibu mertua menjalankan ibadah sholat di mushola dekat rumah. Sedang aku ditemani Mbah Lastri di kamar dan Raka dalam gendongannya. Mas Yanuar dan ibu pun sedang menjalankan sholatnya di rumah. Suasana sunyi kala ini, hanya suara ayam yang mulai berebut tempat terdengar bising."Gantian, ya, Mbah sholat dulu. Jangan di tinggalkan sendiri, temani anak dan istrimu!" titah Mbah Lastri kepada Mas Yanuar yang sedang membawa piring. Belum ada dua suapan dari luar teriakan seorang wanita membuat kami semua terperanjat. Ibu yang sedang menata makanan untuk diberikan kepada Ayah setengah berlari menuju luar."Mas, kamu nggak ikut keluar?""Makan dulu, kamu yang paling penting saat ini. Nanti setelah selesai aku keluar," jawabnya datar."Mas!" Bukannya menjawab justru tangan kanan suamiku itu memasukkan makanan ke dalam mulut ini."Apa kamu nggak dengar apa pesan Mbah Lastri baeusan, jangan tinggalkan anak dan istrimu sendirian
Bi Salimah menderita stroke itu kabar yang aku dengar saat kemarin ada yang datang ke rumah menjenguk bayiku. Dia nggak bisa berbicara lancar dan sebelah tubuhnya tak bisa bergerak seperti dulu lagi.Sedang Lek Santoso tubuhnya lumpuh separuh, entah apa yang harus aku rasakan saat ini. Mau tertawa terbahak-bahak atau menangis sedih dan turut berduka cita atas musibah yang menimpa mereka. Intinya aku kini pun semakin banyak diam jika melihat mereka sedang duduk di teras bersama-sama.Mbah Lanang yang tubuhnya pun sudah tidak gagah harus ikut merawat anak juga menantunya telaten. Sayangnya begitu besar kepada mereka, setiap pagi menemani berjemur lalu membantu menyuapinya. Bahu-membahu dengan Julia menjaga mereka, pemandangan yang membuat hati pilu. Namun, mau bagaimana lagi, mereka saja hingga detik ini masih tidak menganggap kami saudara.Jarak yang membentang itu semakin bertambah jauh dan terhalang tembok besar nan tinggi. Walaupun kadang aku dan Julia saling tatap mata, tapi dia ma
Kebahagiaan datang bertubi-tubi, Mas Yanuar usahanya pun bertambah lancar. Alhamdulillah, rezeki nggak akan kemana, mereka akan selalu tahu tempatnya sendiri-sendiri. Ibu mertua pun seringkali berkunjung ke rumah dengan alasan ingin menemaniku merawat Raka.Seminggu menginap lalu akan pulang karena kangen rumah, begitulah kehidupan yang aku jalani bersama orang terkasih. Sepulangnya lalu Mbah Lastri pun akan tidur bersama kami di rumah ini, sedang rumah asli beliau akan ditempati oleh Ayah."Pokoknya kalau ada apa-apa segera panggil kami semua, jangan sungkan-sungkan! Kamu adalah harta berharga bagi kami, bukan, bukan kamu, tapi Raka!" Ucapan Mbah Lastri sontak mengundang tawa kami semua yang sedang duduk mengitari buah cinta kami yang kini telah berusia tiga bulan.Tubuhnya yang gembul itu menjadi rebutan para kakek nenek serta saudara yang datang ke rumah. Tak pernah sepi, karena Kakak iparku selalu datang silih berganti membawakan berbagai macam makanan, buah-buahan serta pakaian l
"Ahhhh, prang!" Suara teriakan dari seberang membuat aku yang menggendong Raka di halaman seketika menoleh.Meskipun aku takut untuk mendekat, tapi rasa kasihan tiba-tiba masuk dan mengusik hati ini. Langkah kaki bergerak menuju rumah adik dari Ayah tersebut. Aku takut jika terjadi seseorang yang buruk. Apalagi hanya Mbah Lanang saja yang masih sehat disana."Assalamualaikum," salamku kemudian.Semua mata tertuju padaku, tak terkecuali Mbah Lanang yang terlihat basah di bagian celananya. Sedang mata Bi Salimah yang masih sehat itu membulat sempurna tatkala aku mencoba masuk ke dalam."Buat apa kamu kesini? Mau menertawakan kami? Dasar manusia bedebah, kamu pikir ini karma, tidak! Ini hanya kesalahan kecil yang bisa di benarkan!" bentak Angga dengan sinis."Kamu itu manusia sampah, tidak berarti lagi buat kami. Kamu dan suamimu akan menanggung semua yang pernah kalian lakukan padaku. Kamu pikir aku takut, nggak!""Maksudnya apa? Aku hanya ingin melihat kesini karena teriakan keras, tid
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan