Puasa sebentar lagi datang, suasananya begitu sangat kurindukan. Terasa sejuk dan nyaman. Sujud syukur selalu kami ucapkan karena masih bisa menikmati bulan penuh berkah dan ampunan ini. Berbagai macam banner dipasang di jalan dengan kalimat selamat datang bulan suci ramadhan.Menyambut hari kemenangan yang akan datang sebulan lagi. Aku dan ibu pun sama seperti orang-orang pada umumnya, mempersiapkan segalanya berdua. Berharap aku bisa ikut berpuasa meskipun sedang hamil tua. Ini kali pertama aku berpuasa bersama suami dan calon anak. Tanpa Mas Agus, meskipun sedekah ibu menangis teringat akan anak lelakinya tersebut. Namun, tetap berusaha tersenyum kala aku mencoba mendekat. Memeluk, merangkulnya dalam cinta kasih. "Alhamdulillah, masih diberikan umur panjang dan bisa berpuasa lagi. Oh, iya, nanti kalau puasa biar ibu yang memasak. Kamu nggak usah bantuin juga nggak apa," ujar Ibu saat kami sedang memetik daun singkong untuk sahur besok paginya. "Aku mau ikut membangun ibu, supaya
Menikmati hari puasa bersama keluarga mendapatkan kebahagiaan tersendiri. Setiap pagi dan sore aku membantu ibu di dapur untuk menyiapkan makanan. Menjelang lebaran jalannya semakin ramai, banyak pengendara dari luar kota yang berlalu-lalang. Bahkan sanak saudara yang dari jauh pun ikut meramaikan hari raya nanti. Kini rumah-rumah yang anggota keluarganya ada di luar kota menjadi satu dengan lainnya di tempat ini. Sungguh pemandangan yang sangat dinantikan para orang tua yang hanya menunggu kerabatnya menjenguk meski setiap setahun sekali saja. Begitupun Lek Kandar, adik bungsu dari ayah itu datang dan menginap di rumah Bi Salimah. Baru sehari mereka ada disana, mungkin badannya terlalu lelah untuk berkunjung ke rumah Ayah. Tak apa, kami sangat maklum dan tidak mau memaksanya untuk segera datang. Lebaran tinggal satu hari, tak terasa hampir sebulan penuh kami melaksanakan ibadah puasa. Dalam keadaan seperti ini baik Lek Santoso maupun anak istrinya tak terlihat datang untuk sekedar
Suara takbir berkumandang di semua musholla dan masjid. Ramai para pemuda serta anak-anak yang saling berkumpul untuk ikut keliling. Berbagai macam kerajinan yang dibuat telah dibawa menuju masjid desa. Kami duduk di teras depan dengan melihat orang-orang yang lewat di jalan raya. Mereka seolah ikut dalam menyambut hari kemenangan ini dengan penuh suka cita. Beragam kembang api pun menghiasi langit yang cerah di malam bertaburan bintang. Ibu sibuk di dapur, meskipun aku sudah mengajaknya untuk keluar melihat berbagai keindahan malam ini. Aku mencoba mengajaknya lagi, tapi diri ini terpaku kala melihat wanita tercinta itu sedang mengusap air matanya dengan ujung jilbab yang dipakai. "Ibu." Ku panggil beliau dengan lembut, tapi ibu malah terhenyak kaget mendengar suaraku. "Ibu nggak apa-apa," ucapnya berbohong. "Mana ada orang nggak apa, tapi nangis, Ibu ingat Mas Agus?" tanyaku lagi.Beliau mengangguk lemah, ini memang lebaran pertama sejak kepergian kakak lelakiku itu. Rasa rindu
Pagi cerah, warga sekitar berduyun-duyun mendatangi masjid untuk menunaikan ibadah sholat idul Fitri. Semua bersukacita, jalanan terasa penuh dengan lautan manusia. Tak terkecuali kami pun ikut pergi ke rumah Tuhan itu. Meski matahari sudah mulai menghangatkan tubuh kala kami semua berdiri berjamaah di halaman masjid bagi yang tidak kebagian tempat di dalam. Namun, rasanya tidak terasa karena saking bahagianya menuju kemenangan setelah sebulan penuh menahan lapar, haus serta nafsu yang masih saja mengusik ketenangan jiwa.Sepulangnya dari masjid kami semua saling memaafkan satu sama lain. Tak terasa air mata kami pun hadir lagi di tengah-tengah kebahagiaan ini, kehilangan akan salah satu anggotanya keluarga membuat kami berduka di suasana istimewa."Kita ke peristirahatan terakhir Agus dulu. Kamu di rumah saja sebentar, ya," ujar Ayah yang aku jawab dengan anggukan saja. Tenggorokan ini kering dengan sisa isakan yang masih saja bertahan. Mas Yanuar pun ikut bersama ayah dan ibu meng
"Suci!" teriak ibu. Aku menghembuskan napas kasar, antara marah dan jengkel. Semua itu keluar dari otak yang sudah penuh. Seolah ingin mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam, tapi ibu malah membentak.Melampiaskan sesuatu yang sekian lama terpendam hampir saja terkabul. Mas Yanuar yang berada di sisiku hanya tersenyum simpul melihat apa yang terjadi."Nggak boleh begitu, nak! Ingat kamu lagi hamil, berkatalah yang baik-baik. Ibu nggak mau di bilang nanti tidak bisa mendidik anak jika kamu berpikiran buruk terhadap mereka." Ibu membulatkan mata kala berbicara denganku, tapi bukannya sakit hati aku justru memeluknya erat."Aku masih sakit hati, Bu. Perlakukan mereka sejak diri ini kecil hingga akan mempunyai anak masih saja sama. Nggak ada bedanya, bukannya dikurangi malah semakin parah." "Biarkan saja, nggak perlu lagi kita balas atau membicarakan buruk mereka. Tuhan itu terlalu baik sama kita, memberikan kita semua panjang umur dan kesehatan, sudah jangan beri lagi tubuhmu
Sebenarnya malu karena itu sebuah aib, tapi saat aku selalu bersedih di depan mereka. Mas Yanuar justru bercerita panjang lebar, sehingga mengundang rasa kasihan dari orang tua dan saudara-saudaranya. Banyak sekali nasehat ayah mertua yang salah satunya mengajarkan untuk selalu saja mengesampingkan kebencian. Padahal anak lelakinya selalu dijadikan bahan ghibah oleh keluarga Lek Santoso. Sampai sekecil perbuatan Mas Yanuar dianggap salah bahkan seolah menyainginya.Namun, Ayah mertua selalu mengingatkan untuk tidak membalasnya sama seperti Ayah. Tidak usah menyia-nyiakan waktu dekat hal yang nggak penting. Padahal kalau menurutku itu sangat penting bagi kesehatan. Terutama diriku."Bawa ini, makanan kesukaan kamu! Ibu dan kakak-kakak kamu yang membuatnya!" ujar Ibu dengan mengulurkan sebuah tas plastik berwarna hitam. Saat tangan ini hendak membuka, Mbak Salsa Kakak tertua Mas Yanuar mendekat sambil merangkul pundak ini."Lemper," bisiknya yang membuatku membalas memeluk tubuh sinta
"Assalamualaikum!" Aku mengucap salam dengan suara keras. Sepi, rumah ini seakan ditinggal oleh penghuninya.Aku bergegas mencari keberadaan Ayah dan Ibu yang tidak kunjung juga menjawab salamku. Membuat jantung ini semakin tak menentu saja gerakannya dan aku pun bertambah panik.Kamar ibu ku ketuk berulang kali, tapi masih saja nggak ada jawaban. Entah kemana kedua orang tuaku ini, suaranya pun tidak bisa kudengar jika memang mereka di belakang rumah."Bu!" panggilku lagi dengan lebih keras dari sebelumnya.Celingukan mencari mereka, tapi tak juga kutemukan. Belakang rumah yang biasanya mereka akan duduk berdua bersenda gurau sambil memberikan makan buat ayam, samping rumah hingga dalam kamar pun tak ada. Lelah, akhirnya aku terduduk di kursi makan dengan wajah sendu. Sedang Mas Yanuar masih terlihat sibuk memasukkan tas yang berisi pakaian. Lalu terdengar suara dari luar yang membuat diri ini seketika beranjak menemuinya.Lega, ku peluk ayah dan ibu bergantian seperti melepas kange
Mas Yanuar terlihat menganga dan tidak mau melewatkan kesempatan yang unik ini begitu saja. Dia pun seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tapi suamiku itu selalu pintar untuk menyembunyikan rasa kebingungannya dengan baik. Berbeda dengan diriku yang masih terlalu awam dalam menepikan rasa terkejut. "Suci, apa laporan kamu sudah dicabut?" Akhirnya suara itu terdengar juga di telinga ini. Namun, ada yang aneh, dicabut? "Dia baru pulang dan aku belum mengatakan apapun. Masih banyak waktu, lagian ini juga masih lebaran." Ayah menjelaskan sesuatu yang tidak aku tahu. Kening ini pun berkerut menunggu jawaban ataupun penjelasan yang belum aku ketahui perihal kedatangan wanita yang rambutnya telah memutih ini. Pandangan matanya terlihat berbeda, kosong dan menyedihkan. Entah itu nyata atau hanya berpura-pura supaya ada rasa kasihan dari kami.Otak gila ini seketika berselancar dalam ketidakwajaran, sulit untuk mempercayai seseorang yang telah berulang kali berbuat jahat kepadaku
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan