Malam ini terasa berbeda, suasananya tenang dan hangat. Ayah mertua dengan sigap menjaga separuh hatinya itu penuh cinta. Telaten sekali beliau menyuapi, mengajak berbicara dan tersenyum sumringah. Sungguh pasangan yang menurutku sempurna.Sesudah makan malam Raka tidur di kamar dengan pulas. Iya, malam ini kami menginap di rumah ini, rumah yang penuh sayang ketika pertama kali menginjakkan kaki disini dan aku berharap akan begitu selamanya. Jika memang aku dan ibu dulu merenggang, harapan sebagai seorang menantu dan anak adalah erat untuk sekarang.Cucian piring dan gelas menunggu untuk dibersihkan. Aku teringat pertama kali di sini, bekerja sama dengan Kakak ipar untuk bersih-bersih bersama. Sungguh pemandangan paling indah karena di luaran sana yang terdengar ada cerita tidak rukunnya hubungan antara ipar.Akan tetapi, itu tidak terjadi padaku dan jangan sampai terjadi. Biarkanlah kemarin itu menjadi pengalaman yang paling baik selama hidup ini."Kamu istirahat saja dulu, jaga kese
Suasana duka di rumah ini begitu menyentuh hati, apalagi saat Kakak ipar datang. Tangis yang semula reda akhirnya kembali lagi menghangat di mata. Para keluarga dan kerabat pun seolah ingin menumpahkan segala kesedihan saat ini juga.Pemakaman berjalan lancar, Ibu dan Ayah pun turut serta hadir di sini. Genggaman tangan Ibu menguatkan diri ini yang sedikit oleng. Benar, aku pun butuh kekuatan atas kesedihan yang terjadi. Rasa bersalah selama ini kembali muncul, apalagi saat kami bersitegang dulu, ada sesuatu yang memojokkan hatiku.Durhaka kah diri ini selama menjadi menantu? Padahal semua bisa dibicarakan baik-baik antara kami, tapi keegoisan yang muncul seolah membuatku arogan untuk tidak mengakui jika aku salah."Bu, aku ….""Jangan menyalahkan diri sendiri, ada hal lain yang harus kamu pikirkan. Hidup ini memang tidak selamanya tenang ada pasang surutnya dan kamu harus kuat dan tahan terhadap apapun itu. Jadikan semua ini pengalaman, nggak selamanya hubungan itu baik, nggak selama
Seminggu ini kami menginap di rumah Ayah mertua, meskipun ada Mbak Wulan, tapi saat melihat lelaki dari suamiku yang sedih karena separuh hatinya telah pergi meninggalkan dunia untuk selamanya itu, aku sungguh tak mampu untuk mengajak Mas Yanuar pulang. Jadi keinginan yang sempat ingin ku utarakan akhirnya kandas.Malam ini Ayah dan kedua anaknya duduk santai di ruang tamu. Suasana hening saat aku ikut serta di sana. Dengan membawa minuman hangat dan kue basah, aku pun duduk di samping Mas Yanuar."Besok kalian harus kembali ke aktivitas masing-masing, jangan terlalu memikirkan Ayah yang disini sendirian. Kalian fokus saja dengan masa depan yang tengah kalian bangun!" ujar Ayah mertua membuka percakapan."Ayah ikut Wulan saja, nanti akan Wulan cari seseorang untuk bersih-bersih rumah. Ayah pun bisa kesini kapanpun Ayah mau," ucap Mbak Wulan antusias.Akan tetapi, Ayah mertua justru tersenyum simpul lalu menggeleng pelan. Aku paham, jika seseorang yang dicintainya pergi maka ada sesuat
Pagi ini kami berpamitan dengan Ayah mertua, wajah yang tersenyum meskipun aku tahu itu hanya diluar saja seolah memberatkan langkah kami menuju rumah. "Seminggu sekali nanti kami akan menginap di sini, itu pun jika Ayah nggak keberatan," ucap Mas Yanuar setelah melepas pelukannya."Kamu ini, Ayah akan selalu menerima kapanpun itu. Yang paling penting keluarga kecilmu dulu, soal Ayah bisa diatur," balas Ayah."Kami pun insya Allah nanti akan kesini seminggu sekali, biar kita bareng-bareng dan nanti ramai, ya." Mbak Wulan pun ikut menimpali pembicaraan adik dan Ayahnya tersebut.Setelah berpamitan, kami menuju rumah. Sepanjang perjalanan Mas Yanuar membisu, entah apa yang dipikirkan olehnya. Aku pun enggan untuk mengusiknya, sejenak ku biarkan dia dalam dunianya itu."Jika Ayah ikut kita atau Mbak Wulan pasti rumah itu akan sepi dan kotor. Akan tetapi, jika beliau ikut ke salah satu anaknya, mungkin bisa mengobati atau sekedar melupakan sedikit apa yang dirasakan." Mas Yanuar memulai
Saking jengkelnya diri ini terhadap tetangga yang sok tahu, rasanya malas sekali untuk memasak. Raga ini lelah apalagi batin, sudah lelah, lemah dan tidak berdaya malah ada lagi perkataan yang terdengar di telinga seolah menyalahkan apa yang ada pada diriku.Raka menangis, sehingga aku baru tersadar jika dia tengah lapar. Segera aku beranjak dari duduk dan memaksimalkan diri untuk memasak. Nasi beserta rebusan sayur brokoli dan wortel yang diiris memanjang dengan telur ceplok telah siap. Lahap sekali Raka menyantapnya, aku pun bahagia karena sesimpel itu anakku bisa makan.Suara ketukan di pintu membuat diri ini sejenak termenung dan berpikir, siapakah tamu di waktu makan siang seperti ini? Ah, dadaku tak karuan, naik turun bagaikan jalan menuju pegunungan.Wajah ayu penuh riasan tebal itu tersenyum tatkala mata kami bertemu. Dia adalah sepupu gilaku, Julia. Senyumnya yang khas orang sirik, iri dan jahat mengembang di bibir merahnya itu. Seperti seorang aktris yang berperan sebagai ib
Aku menghadiahkan sebuah tamparan keras di pipinya hingga membekas cantik. Puas? Iya, aku sangat puas melihat dia semakin marah. Sisi burukku telah datang san sulit mengontrolnya.Andai Mas Yanuar tidak pulang maka kami pasti akan saling menjambak dan memukul satu sama lain. Karena sama-sama terbakar api kemarahan. Seseorang dengan memakai peci pun datang diantara kerumunan ini."Hentikan! Ada apa ini? Malu, Mbak, dilihat banyak orang. Setiap masalah bisa diselesaikan baik-baik tanpa harus bermain fisik!" ujar lelaki tersebut."Saya sebagai ketua RT disini bertanggung jawab atas apa yang terjadi di lingkungan saya dan Mbak ini siapa?" Pertanyaan Pak RT itu belum dijawab Julia.Napasnya masih memburu dengan tatapan mata tajam ke arahku."Pak, bisa diselesaikan di dalam?" Kini Mas Yanuar yang mencoba menenangkan suasana.Pak RT mengajak seseorang yang memegang tangan Julia dan masuk ke dalam rumahku. Dia berontak tidak ingin mengikuti apa yang menjadi keputusan itu, tapi lelaki yang mem
Julia nangis? Aku nggak salah lihat ini? Berulangkali ku usap mata untuk memperjelas jika apa yang aku lihat adalah sebuah kenyataan. Hingga cubitan kecil mendarat di paha ini, mata Mas Yanuar melotot ke arahku sambil memberikan kode kedipan.Sebagai pasukan aku pun tunduk pada perintah pemimpin, memasang wajah sedih."Tutup sudah permusuhan ini, Nak! Kamu dan Suci harus memulainya dengan baik supaya kelak anak-anak kalian bisa berhubungan baik. Jaman sudah modern dan semakin maju, begitu pula pola pikir dan jalan yang kalian tuju, masak mau membentuk karakter yang sama dengan masa lampau dan malah mundur. Lagi pula malu sama tetangga, kadang ada tetangga yang senang dengan perselisihan kita.""Masak kamu mau menjadi hiburan mereka yang akan memecah belah keluarga kita, ayo, Nak, perbaiki!" Panjang lebar Ayah memberikan nasehat kepada Julia dan itu semakin membuat wanita itu tergugu.Julia benar-benar menangis di hadapanku, dia sedih. Dalam hati aku bersyukur jika masih ada hati baikn
“Kamu, nangis?” ucapku tanpa berkedip mendengar kata maaf yang terucap dari mulut Julia.Mas Yanuar yang melihatku seperti seseorang yang tengah kerasukan sontak mencubit kecil di bagian paha. Sakit banget.“Apa sih?” tanyaku kencang.“Aku tahu jika selama memang akulah yang salah. Maaf, ya,” ujarnya lembut.“Tidak apa, setiap orang mempunyai kesalahan dan kekhilafan, itu wajar. Yang paling penting kita sekarang sudah memadamkan api permusuhan ini. Semoga kedepannya lebih baik,” jawab Mas Yanuar.Ayah dan Julia pun pulang setelah berpamitan. Meninggalkan aku yang benar-benar kaget di buat oleh sikap dari Julia tersebut. Semudah itu dia berubah? Aku masih tak habis pikir jika keadaan sedang ini masih terlalu cepat berlalu.Dia dan keluarganya yang selalu mencari keributan kini meminta maaf dan kita baikan? Aku masih belum percaya sepenuhnya.“Bersyukur karena dia sudah berubah.” Mas Yanuar menyodorkan segelas air putih. Spontan aku langsung meminumnya hingga tandas.Seperti seseorang y
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan