Keluarga yang ditinggalkan bersedih, ku lirik sekilas Julia begitu terpukul atas kepergian ibunya untuk selamanya. Dengan bantuan para tetangga yang memang juga tidak begitu akrab dengan keluarga ini, acara pemakaman akhirnya bisa dilaksanakan dengan lancar.Satu persatu para pelayat pun pulang ke rumah masing-masing. Pun demikian dengan aku, tidak ingin menciptakan suasana duka ini menjadi panas, aku pulang tanpa permisi itu pikirku. Namun, saat langkah kaki ini hendak melangkah suara menggelegar dewi si empunya rumah malah membuat suasana kacau.Lek Santoso berteriak kencang dengan memanggil namaku penuh emosi. Kudengar napasnya memburu, meskipun dia sakit, tapi kenyataannya kebencianmu itu masih bersemayam dalam hatinya."Suci! Kamu adalah pembawa petaka di sini, kenapa kamu membunuh istriku dengan cara yang sadis? Kenapa?" teriaknya lantang.Aku yang berdiri kaku dengan memicingkan mata seolah ingin membalas perkataan bodoh yang keluar dari mulut berbisa lelaki yang duduk di kursi
Ayah dan Mas Yanuar sudah berada di rumah, mereka berdua makan dengan lahap setelah usai mengikuti acara pemakaman Bi Salimah. Tidak ada suara di rumah ini hanya celotehan lucu dari Raka saja yang memecah keheningan.Mbah Lastri pun sudah datang lagi ke sini karena tadi pulang ke rumahnya sejenak untuk mandi dan berganti pakaian. Sore telah datang dengan semburat jingganya yang indah di bagian barat. Burung-burung pun mulai berterbangan menuju tempatnya masing-masing.Menunggu adzan Magrib, kami semua duduk di kursi sofa sambil menikmati cemilan ubi rebus dan teh hangat. Suasana masih sepi, tidak ada yang memulai untuk berbicara baik itu aku, Ayah, Ibu ataupun Mas Yanuar juga Mbah Lastri. Semua terlalu asyik dengan pikirannya sendiri-sendiri.Hingga aku pun akhirnya memecah kesunyian ini tatkala melihat mereka."Lek Santoso masih saja menilai kalau aku adalah pembawa sial di keluarganya," ucapku pelan.Semua mata melihatku, lalu Ibu melirik ke arah Mbah Lastri yang menyunggingkan seny
Seminggu hampir berlalu semenjak kepergian Bi Salimah, tapi di seberang sana terlihat adem ayem seperti tak ada pergerakan manusia. Karena biasanya jika sudah mendekati hari ketujuh akan ada acara lebih dari biasanya, orang mengaji dan para tetangga kanan-kiri akan ikut bergotong royong memasak."Melamun saja!" tegur Mas Yanuar saat melihat diriku yang duduk dengan tangan terdiam."Ibumu nggak kesana?" tanyaku dengan menunjuk tempat Julia dengan dagu."Sengaja aku nggak mengabari, suasana masih belum stabil dan akan lebih baik tidak dulu kesini.""Bukan disini, tapi kesana!" jelasku mempertegas. Aku nggak mau di lain hari nanti sesuatu ini di jadikan masalah besar oleh mertuaku itu.Karena sikap manisnya yang pertama aku menjadi menantu di sana berubah menjadi menyeramkan hanya sebuah hasutan kecil yang keluar dari mulut berbisa Julia. Bisa saja dendam tertutup awan sementara ini, kita tidak tahu kapan api itu akan melahap semua yang ada disekitarnya.Harapanku semoga saja tidak, tapi
"Ini jalan terbaik bagi keluarga kita, mengertilah!" Suara Mas Yanuar terdengar melemah.Aku tahu dia berusaha keras untuk tidak mengikuti emosiku yang naik hingga ke ubun-ubun. Inilah yang aku suka dari dia, tidak pernah sekalipun bersikap buruk meskipun terkadang emosiku tak stabil.Lelakiku ini terlalu baik dan penyayang. Jujur aku sangat mencintainya, tapi di lain sisi aku menyayangkan keputusannya untuk mengajak pergi dari rumah masa kecilku ini."Suaramu membuat orang lewat menolehkan kesini semua." Ibu yang mendengar kami bersitegang akhirnya duduk bersamaku."Ingat pesan ibu dan Ayah untuk mematuhi suamimu jika dalam kebaikan. Jangan suka membantahnya, dosa besar!" ujar Ibu lagi."Bu, ini bukan soal bantah membantah, tapi tentang masa depan kita. Bagaimana bisa aku meninggalkan kalian semua disini berhadapan dengan manusia manipulatif seperti mereka?"Ibu menggeleng kepalanya seraya tersenyum padaku. Entah terbuat dari apa hatinya, dulu saat aku masih kecil disiksa secara bati
Rumah mungil minimalis dengan kamar tidur dua, menjadi pilihan Mas Yanuar memboyongku ke tempat baru ini. Suasananya tidak terlalu sepi juga ramai. Riuh anak-anak sedang bermain di jalanan saat mobil kami memasuki kompleks perumahan.Bau cat tembok yang masih menyengat seolah mengucapkan selamat datang kepada kami. Warnanya yang putih terkesan terang dan menenangkan jiwa. Kursi tamu sudah ada, berbagai macam peralatan dapur pun lengkap. Hingga kaki ini menuju kamar tidur, aku pun dibuat terpana.Ranjang kayu dengan kasur busa serta lemari sudah kokoh di sana. Di sisi lain aku bersyukur lelaki yang berstatus suami ini ingin membuat diriku nyaman dan bahagia karena tidak perlu lagi aku berpusing ria untuk membeli segala perlengkapannya."Ini sudah menjadi rumah kita, kamu bebas mau melakukan apapun," ucap Mas Yanuar saat aku duduk di atas kasur. Raka yang kecapekan ku tidurkan di ranjang, wajahnya begitu menggemaskan apalagi saat bermimpi indah seperti ini.Dialah penyemangatku saat ini
Dua Minggu sudah aku bersama keluarga kecil hidup di lingkungan baru. Suasananya hampir sama di tempat lama, pepohonan masih rindang dan subur di sepanjang jalan. Riuh anak-anak saat bermain di sore hari membuat Raka begitu girang.Kebangkitan disini penghuninya adalah karyawan di pabrik dekat dengan perumahan ini. Mereka yang datang pergi saat bekerja membuatku ingin juga melakukan hal yang sama. Namun, sayang Mas Yanuar tidak mengizinkan.Dia lebih suka aku di rumah menjaga anak dan menjadi istri yang baik. Meskipun terkadang aku merengek-rengek meminta izin untuk kembali bekerja sekedar membantu mencari rezeki, tapi dengan tegasnya suamiku itu menolak keras.Sore ini aku mengajak Raka berjalan mengelilingi kompleks, sembari mengenal lingkungan sekitar dan bertegur sapa dengan tetangga. Ada yang sama denganku, di rumah menjaga anak-anaknya juga."Baru, Mbak?" tanya seorang wanita itu.Aku mengangguk dan menerima uluran tangannya yang di hiasi dengan gelas emas besar-besar itu. Aku b
"Mas, mau makan malam apa ini? Nasi goreng?" tanyaku saat Mas Yanuar baru saja sampai di depan pintu.Senyumannya terasa menyejukkan, langkah kakinya menuju kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki membuat aku mengikutinya di belakang."Kita makan malam di luar, sesekali. Yuk!""Alhamdulillah." Kuusap dada ini sambil tersenyum simpul.Inilah yang aku harapkan, karena sejak tadi aku bingung mau masak apa buat makan malam. Ake mengangguk dan segera memandikan Raka, karena udara malam tidak baik bagi anak-anak maka secepatnya aku membersihkan diri juga."Semangat sekali," celetuk Mas Yanuar."Nanti malam aku ceritakan." Mas Yanuar menautkan kedua alisnya. Aku tahu dia bingung, tapi ini bukan waktunya untuk bercerita hal konyol tadi sore. Lebih baik segera dandan dan pergi makan malam supaya pulangnya nggak terlalu larut.Aku nggak mau melihat suamiku menunggu dengan lama hanya karena seseorang yang konyol. Apalagi kami baru saja memulai kehidupan yang indah bersama. Rumah tangga yang ha
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap, tinggal menunggu Mas Yanuar keluar saja. Saat diri ini duduk di dalam mobil, tukang sayur langganan mangkal di depan rumah. Terlihat dia menyapaku yang mau masuk mobil, mengangguk aku pun membalasnya."Nggak belanja, Bu?" tanya Mang Udin."Mau ke rumah orang tua, besok, ya," jawabku sopan."Kenapa tiba-tiba main kesana?" Suara seseorang membuatku tercengang.Wanita dengan rambut yang dikuncir kuda dan pakaian gamis rapi itu mendekat gerbang rumah yang tertutup. Matanya menyipit, sesekali di elus dadanya yang bergelombang itu. Seperti model papan atas, tapi sayang ini bukan tentang model."Pengen tahu banget apa tahu saja?" tanyaku balik."Eh …." Alhamdulillah, suara wanita itu terhenti karena Mas Yanuar keluar dari rumah. Namun, pandangan matanya malah fokus pada suamiku, seperti orang kesambet. Mbak Leni tanpa kedip mengikuti gerak suamiku yang berjalan. Aneh bukan."Permisi!" Suara ini ku buat sekeras mungkin untuk membuat dia sadar."Pelan dikit
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan