Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap, tinggal menunggu Mas Yanuar keluar saja. Saat diri ini duduk di dalam mobil, tukang sayur langganan mangkal di depan rumah. Terlihat dia menyapaku yang mau masuk mobil, mengangguk aku pun membalasnya."Nggak belanja, Bu?" tanya Mang Udin."Mau ke rumah orang tua, besok, ya," jawabku sopan."Kenapa tiba-tiba main kesana?" Suara seseorang membuatku tercengang.Wanita dengan rambut yang dikuncir kuda dan pakaian gamis rapi itu mendekat gerbang rumah yang tertutup. Matanya menyipit, sesekali di elus dadanya yang bergelombang itu. Seperti model papan atas, tapi sayang ini bukan tentang model."Pengen tahu banget apa tahu saja?" tanyaku balik."Eh …." Alhamdulillah, suara wanita itu terhenti karena Mas Yanuar keluar dari rumah. Namun, pandangan matanya malah fokus pada suamiku, seperti orang kesambet. Mbak Leni tanpa kedip mengikuti gerak suamiku yang berjalan. Aneh bukan."Permisi!" Suara ini ku buat sekeras mungkin untuk membuat dia sadar."Pelan dikit
Hingga suara langkah kaki terdengar dan akupun berdiri mendekati pintu utama dan melihat Ayah dan ibu yang seperti sedang ada masalah. Bergegas aku dan Mas Yanuar mencium punggung tangan mereka bergantian."Kapan datang? Kok nggak nelpon dulu biar ibu masakan makanan kesukaan kalian," tanya Ibu yang membuat kami hanya bisa mengangguk dan tersenyum saja."Kalian dari mana?" tanyaku balik.Ayah menoleh ke arah ibu lalu tersenyum dan menggenggam tangan ini yang terasa dingin. Iya, aku takut terjadi sesuatu yang tidak aku duga sebelumnya. Jantung ini pun selalu saja membuat perasaan aneh yang menjalar ke seluruh tubuh dan menghangat."Mbah Lanang sakit." Jawaban yang singkat, tapi mampu membuatku bertanya-tanya dalam hati.Kalau sakit kenapa mereka datang kesana? Apakah sudah baikan sama Julia dan Angga? Apalagi di rumah itu masih ada Santoso yang garang walaupun sakit."Kami baik-baik saja, kamu nggak usah berpikir macam-macam tentang mereka." Lagi Ayah seolah tahu isi hatiku dengan meng
"Ayah!" Suara ini pelan hingga seperti dicekik bagian leher."Benar, Ayah akan merawatnya. Bagaimanapun juga beliau adalah orang tua Ayah." Tak habis pikir dengan jalan pikiran Ayahku, padahal dulunya selalu tidak diakui.Namun, kini pada akhirnya apa? Ayahlah yang bertanggung jawab akan kehidupan masa tua Mbah Lanang? Senyum ejekan Angga seperti pecundang yang menang karena kelicikannya.Kedua tangan itupun bersedekap lalu kepalanya bergoyang seolah selebrasi. Pandangannya pun menikam, bak monster yang hendak bersorak kegirangan."Aku nggak salah dengar? Mereka jauh lebih berhak atas Ayah, ada Lek Kandar juga yang sebagai anak kandungnya lalu Ayah? Ayah itu bukan siapa-siapa dia!" Aku geram dengan sikap Ayah yang melunak.Dulu saja jika kami bersitegang dengan putri kesayangannya, Mbah Lanang selalu membela Bi Salimah. Masalah warisan pun tidak adil dan kini saat renta juga tak berdaya harus beralih menjadi tanggung jawab Ayah?Jujur aku nggak ikhlas jika melihat semua ini. Gagahnya
Mas Yanuar mengajakku pulang daripada harus berdebat disini dengan orang tua sendiri. Padahal niatnya mau berkunjung malah berujung perselisihan dan mengungkit masa silam. Sakit banget."Kita pulang sekarang, kemasi barang-barang dan bangunkan Raka. Aku tunggu di mobil!" ucap Mas Yanuar setelah mencium punggung tangan Ayah dan Ibu juga Mbah Lanang."Kalian belum makan, ayo kita makan dulu!" ajak Ibu, beliau berdiri dari duduknya lalu beringsut mendekati Mas Yanuar dan menggandeng tangannya."Nggak, Bu. Aku sudah nggak selera," jawabku ketus.Bukannya ingin menyakiti hati orang tua, tapi rasanya dongkol saja dalam dada karena kedatangan Mbah Lanang. Bayang-bayang masa lalu semakin nampak jelas di pelupuk mata. Apalagi yang terakhir kemarin saat kematian putri tercintanya, mengingat itu aku begitu muak dan semakin membenci lelaki yang hanya mampu mengeluarkan suara pelan itu.Ku bangunkan Raka yang pulas di kasur, niatnya ingin berlama-lama disini. Namun, rasanya seperti terusir di ruma
Berangsur-angsur aku pun melemah, Ibu yang masih terisak di lantai perlahan mendekat diriku dan memeluk erat-erat. Kamu sama-sama menangis, kami sama-sama merasakan sakit yang telah terpendam.Beliau adalah temanku bercerita, pun demikian dengan Ibu. Selalu bercerita tentang apa yang dirasakan kepadaku. Sehingga jelas saja aku pun tahu apa yang terjadi dengannya."Sudah, jangan di buka! Ibu tahu kamu sakit hati selama ini, tapi pada kenyataannya Mbahmu sekarang tidak bisa apa-apa dan cucu-cucu yang selalu di banggakan malah enggan untuk mendekati. Tidak mau bertanggung jawab, ikhlaskan, ada pahala besar untuk kita dan kini saatnya Ayah, Ibu dan kamu menuai pahala itu. Berbesar hatilah, Nak!" ujar Ibu lembut."Kaya sesungguhnya itu bukan semata dinilai dengan harta, uang dan tahta. Akan tetapi, hati yang baik, bersyukur tidak dendam maka hati kita akan bersih dan diangkat derajatnya oleh Tuhan, Gusti Allah, percaya sama Ibu.""Bukankah Ibu pernah bilang padamu, jika kita didzolimi oran
Semenjak pulang dari rumah Ayah aku sering melamun sendiri. Apalagi ketika Raka tidur siang, yang biasanya rajin membersihkan rumah kini hanya duduk di kursi makan sambil membayangkan sesuatu yang sudah terjadi dan berandai-andai jika semua itu tidak pernah aku alami di masa lalu.Pasti kini kami semua akan menikmati indahnya masa tua yang selalu diimpikan banyak orang. Bersantai bersama anggota keluarga sambil bercerita jika ternyata keluarga itu adalah rumah yang paling bahagia.Tukang sayur sudah memanggil para pembeli, sontak lamunan ini pun buyar. Aku berjalan keluar ingin membeli keperluan dapur, tapi belum juga kaki ini melangkah dering ponsel bergetar.Ada nama Ayah tertera di sana, jantung yang tadi berirama biasa kini berubah seketika menjadi lebih cepat dari apa yang aku pikirkan. Telapak tangan dingin dan juga rasa gugup tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku. Pikiran buruk mendominasi kepala sehingga aku hanya bisa mematung sambil melihat ke arah benda pipih yang terletak di
"Ibu," bisikku di telinganya."Sehat, 'kan?" tanya beliau lembut. Aku mengangguk lalu mengajaknya masuk ke dalam.Tangan yang seharusnya kosong saja saat kesini malah terasa berat mengangkat plastik hitam besar yang berisi berbagai sayuran juga buah-buahan. Ada juga mainan buat Raka, ibu memang selalu seperti itu jika ke rumah ini."Kenapa repot-repot seperti ini? Seharusnya ibu nggak perlu bersusah payah untuk membeli semuanya, Suci bisa membeli sendiri!""Tahu, tapi Ibu ingin bertemu dengan kalian, nggak mengganggu, 'kan?" Ku peluk Ibu hangat. Rasanya aku ingin kembali menjadi anak-anak yang selalu saja bersamanya dan memeluk tubuhnya ketika sedang senang maupun sedih.Ibu adalah tempat paling nyaman dalam hidupku ini. Tidak pernah sekalipun beliau mengeluarkan kata kasar ataupun marah jika aku berbuat salah. Justru beliau akan menasehati jika kesalahan itu nggak boleh di ulang lagi. Saking nyamannya aku nggak pernah ada niat untuk meninggalkannya, tapi kini semua berubah dan itu pa
"Ibu bahagia ada Mbah Lanang di rumah?" Akhirnya apa yang menjadi beban pikiran ini bisa keluar.Raut wajah itu biasa-biasa saja, tak menampakan ada keterkejutan, kemarahan atau kesedihan. Ibu terlihat datar-datar saja menanggapi pertanyaan yang aku lontarkan.Tarikan napas panjang Ibu terlihat berat, tapi aku tidak bisa menilai sekilas begitu saja. Sebab, hati itu letaknya di dalam sehingga terlalu angkuhnya diri ini jika percaya pada diriku sendiri kalau ibu sebenarnya tidak suka dengan kedatangan mertuanya yang tidak pernah menganggap ada tersebut.Lagi, aku mencoba mengalihkan pembicaraan supaya Ibu tersenyum saat berkunjung ke rumah ini. Ku peluk Raka yang mulai mengantuk, menciumnya dan mengajaknya bermimpi dalam buaian yang selalu aku lakukan."Sudah tidur?" Suara ibu sangat pelan, takut kalau Raka terbangun.Mengangguk aku menjawab pertanyaan Ibu dan duduk di sebelahnya. Mengelus punggung tangan yang mulai terlihat keriput itu lalu menciumnya penuh kasih."Sebenarnya Ibu sedik
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan