Cinta sejati Dante? Perempuan tadi pasti sedang berusaha memanas-manasiku. Kalau Dante memang memiliki cinta sejati, untuk apa dia menyewa orang lain untuk berpura-pura menikah dengannya? Mengapa dia tidak menikahi cinta sejatinya saja? Gadis itu pasti berpikir aku sangat bodoh hingga akan percaya dengan omong kosongnya.Aku kembali menikmati makanan-makanan kecil yang disajikan di meja. Aku benar-benar lapar, tapi mereka hanya menyajikan makanan-makanan kecil dan minuman berwarna-warni di atas beberapa meja yang sangat panjang.Ada pangsit kecil berisi udang yang diletakkan di dalam sendok keramik, pangsitnya terlalu kecil hingga aku menghabiskan 5 potong. Lalu ada roti kecil yang diatasnya diletakkan daging asap dan sayuran yang rasanya sangat lezat, lagi-lagi aku menghabiskan 5 potong. Aku harus memakan setidaknya 50 potong makanan-makanan mini ini sebelum benar-benar kenyang.Tapi setelah kuperhatikan, hanya aku yang terus makan. Orang lain hanya mengambil satu lalu pergi. Apa mer
"Sedang ..." Aku melirik Dante yang mengangkat tangan sambil menunjukkan telepon genggamnya. Joshua langsung berbalik ke arah Dante, dan pria itu langsung menurunkan tangannya."Tuan Dante, saya mau memperkenalkan seseorang," ucap Joshua tiba-tiba."Ini Ruby, dia adalah mahasiswi yang waktu itu anda tegur di kelas khusus anda di kampus kami," ucapnya berseri-seri.Dante hanya mengangguk dengan sopan dan canggung."Anda pasti tidak mengingatnya, karena penampilannya hari ini sangat berbeda dengan biasanya."Joshua menatapku dengan tatapan kagum."Hari ini dia tampak luar biasa cantik. Bukannya selama ini dia tidak cantik, menurut saya dia adalah gadis tercantik di kampus kami, tapi kali ini dia tampak berbeda," puji Joshua sambil menyentuh punggungku.Dante melihatnya dan tatapannya berubah. Sepertinya dia tidak suka melihat tangan Joshua menyentuhku, aku langsung bergeser dan Joshua menyadari ketidaknyamananku dan langsung menurunkan tangannya."Kalau begitu, silakan kalian lanjutkan
"Dante?" gumamku heran tapi dalam hatiku melompat-lompat kegirangan. Aku berjalan ke arah mobil Dante dengan wajah datar meski aku sangat ingin tersenyum bahagia. Entah ini hanya pikiranku saja, tapi aku merasa dia sengaja pulang untuk menemuiku.Aku masuk ke dalam mobil lalu duduk diam meski mulutku sangat ingin bertanya, mengapa dia pulang dan mengantarku padahal harus segera ke bandara."Aku akan berangkat ke luar negeri sebentar lagi, jadi aku mau berpamitan kepadamu," ucap Dante seperti bisa membaca pikiranku. Berpamitan denganku? Apa ini, kenapa aku merasa senang mendengarnya. "Karena aku sudah berjanji akan membawamu menemui orangtuamu akhir pekan ini. Tapi sepertinya aku tidak akan bisa memenuhi janji itu. Tadi aku ke kantor untuk memeriksa jadwalku dan beberapa hal lain. Sepertinya aku akan berada di luar negri selama sepuluh hari."Aku membeku, sepuluh hari? Dia akan pergi selama itu? Kenapa sekarang tiba-tiba aku merasa sedih? Bukankah malah sekarang waktunya aku bahagia
"Kakak tahu?" tanyaku panik. Bagaimana dia bisa tahu?"Meskipun kalian berusaha bersikap biasa-biasa saja, tapi aku sudah memergoki kalian beberapa kali!" ucapnya tegas."Aku sama sekali tidak mempermasalahkan kalau kalian punya hubungan. Yang aku permasalahkan adalah kenapa kalian tidak terbuka? Kenapa kalian membuatku tampak seperti orang bodoh?" tanya Joshua dengan wajah memelas."Kenapa kakak harus merasa seperti orang bodoh. Apa yang membuat kakak merasa seperti itu?" tanyaku bingung. Aku dan Dante tidak pernah melakukan apapun kepadanya, kenapa dia berlebihan sekali?"Aku mohon Ruby, berhentilah berakting. Kau tahu benar apa yang kalian lakukan."Aku menatap Joshua dengan sungguh-sungguh."Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud kakak!" tegasku tanpa berkedip."Baik, akan aku beritahu. Kau dan Rahul, sebenarnya kalian adalah pasangan kekasih kan? Kalian berpura-pura menjadi sahabat padahal sebenarnya hubungan kalian lebih dari itu. Teganya kalian mengajakku makan malam dan kau
"Ruby, ada apa?" tanya Dora langsung berlari ke arahku."Kau tidak apa-apa?" tanya Rahul khawatir.Mereka segera membantuku berdiri lalu duduk di kursi taman, tempat kami sedang bersiap untuk pulang."Aku hanya pusing, mungkin karena kurang istirahat," jawabku berbohong."Mukamu pucat sekali, apa kau sudah makan?" tanya Dora sambil menyentuh dahiku."Sudah, aku hanya kurang tidur.""Apa kau bawa mobil?" tanya Dora kepada Rahul yang langsung menggelengkan kepala."Rahul, apa kau bisa melihat daftar penumpang yang ada dalam pesawat yang kecelakaan itu?" tanyaku dengan wajah berharap."Aku rasa hal seperti itu tidak akan langsung diumumkan ke publik. Mungkin mereka akan mengumumkannya sebentar lagi, ada apa?" tanya Rahul santai lalu tiba-tiba menegang dan menatapku dengan mata membesar."Jangan bilang, apa dia juga berangkat ke Montenegro?" Aku mengangguk. Rahul menutup mulutnya dengan kedua tangan."Siapa yang kalian bicarakan?" tanya Dora bingung."Suamiku," jawabku hampir menangis."
Sadar ini adalah kesalahan yang tidak seharusnya aku lakukan, aku langsung melepas bibirku dan mundur selangkah."Maafkan aku. Hanya saja, aku terlalu bahagia melihatmu baik-baik saja. Maafkan aku, ini bukan berarti aku mencintaimu. Tadi itu hanya dorongan impulsif dari perasaan putus asa yang tiba-tiba mendapatkan harapan, jadi aku-"Dante mendekatiku dan menarik pinggangku hingga wajah kami begitu dekat.Perlahan dia memperpendek jarak diantara kami. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa merasakan hangat napasnya dan aroma segar yang membuat jantungku terasa melompat keluar. Mataku tertutup sendiri tanpa kuperintahkan ketika bibir Dante menyentuh bibirku.Bukan, ini bukan sekedar menyentuh, atau menempelkan bibir seperti yang kulakukan tadi.Tubuhku membeku ketika bibirnya yang lembut, hangat dan manis itu bertemu dengan bibirku. Ini adalah perasaan yang tidak mungkin bisa kuceritakan kepada siapapun bahkan kepada sahabatku. Sekarang aku tahu apa yang dikatakan orang-oran
Aku baru selesai memakai helm dan baru akan naik ke atas motor Joshua, ketika teleponku berbunyi."Angkat saja dulu," ucap Joshua sambil menunjuk ke arah tasku.Aku mengangguk lalu mengambil telepon genggamku. Dante! Dia meneleponku. Aku mematikannya."Kenapa tidak diangkat?" tanya Joshua."Orang ini suka bicara panjang. Nanti kau akan menunggu terlalu lama jika-" Aku belum menyelesaikan kalimatku, teleponku kembali berbunyi. "Angkat saja. Aku tidak keberatan menunggumu," ucap Joshua sambil mematikan mesin motornya.Aku melirik ke arah mobil Dante dan melihat pintu pengemudinya dibuka. Dengan panik aku langsung mengangkat teleponnya."Ada apa?" tanyaku ketus. Joshua tampak terkejut mendengar nada bicaraku."Kembalikan helm itu dan ikut denganku!" perintah Dante dengan suara tenang."Tidak mau!" jawabku tegas dengan wajah serius."Kalau begitu, aku akan keluar dan memperkenalkan diri sebagai suamimu kepada pria itu!" ancam Dante, membuatku tidak berkutik."Tidak!" teriakku dengan mata
"Untuk apa mengubah hal seperti itu? Sama sekali tidak penting!" sahutku tanpa sadar menunjukkan wajah kesalku."Kenapa? Apa kau berharap aku mengubah hal lain?" "Ya, tentu saja. Kalau kau memang sadar sudah merenggut kebebasanku, seharusnya bukan hal seperti itu yang kau ubah," jawabku menurunkan nada suaraku.Tanpa terasa kami sudah tiba di tempat Dante meninggalkan mobilnya."Naiklah, aku akan mengantarmu," ucap Dante sambil membukakan pintu untukku. Jantungku kembali berdetak begitu cepat dengan tindakannya yang sangat berbeda dari biasanya. Kenapa tiba-tiba dia berubah menjadi seorang pria yang sangat sopan dan melakukan hal yang sangat menyentuhku."Aku tahu kau ingin segera mengakhiri perjanjian ini. Tapi aku sangat membutuhkanmu saat ini, aku harus mendapatkan warisan kakek, apapun yang terjadi. Kalaupun mengakhiri perjanjian denganmu saat ini, aku akan tetap mencari wanita lain untuk kujadikan istriku."Aku diam saja, meski rasanya ingin berteriak BUKAN! Aku bukan ingin men
Rasa kantukku langsung hilang. Aku segera memeriksa isi kotak itu. Membaca setiap artikel dengan hati-hati. Tapi sampai semuanya selesai aku baca, tidak ada lagi keterangan tentang penyebab kecelakaan orangtuaku.Dibawah tumpukan artikel-artikel itu ada beberapa foto lama. Aku melihatnya satu persatu, ada foto pernikahan kedua orang yang aku yakini sebagai orangtua kandungku.Lalu fotoku ketika berusia 4 tahun bersama seorang pria remaja, tersenyum begitu lebar. Siapa anak ini? Tidak mungkin mereka menyimpan fotonya kalau dia tidak ada hubungannya denganku. Apa mungkin sebenarnya aku memiliki kakak kandung?Foto terakhir adalah foto kedua orangtua kandungku dan orangtua yang sudah merawatku. Sepertinya mereka saling mengenal dengan baik, terlihat dari kedekatan mereka dalam foto ini. Apakah orangtuaku yang sekarang terpaksa merawatku karena merasa bersalah sudah membunuh ayah dan ibu kandungku, yang dekat dengan mereka?Aku benar-benar putus asa, aku mendapat informasi tapi semuanya h
"Tapi ini kamar suite kami, jadi harganya berbeda. Selain itu karena sekarang sedang ramai jadi harganya-""Tidak apa-apa. Saya tidak masalah dengan harganya," potong Dante yang tampak kelelahan."Baik Tuan. Jangan khawatir kamarnya cukup besar dan memiliki ruang tamu sendiri," jelas resepsionis itu sambil tersenyum senang. Aku diam saja, tapi tubuhku menegang tanpa alasan. Tenggorokanku terasa kering dan jantungku berdetak tidak karuan. Ada apa ini? Mengapa bayangan kami berciuman tiba-tiba melintas lagi di pikiranku, membuat telapak tanganku mulai terasa dingin.Setelah proses dengan resepsionis selesai, seorang pegawai penginapan langsung membawa koperku sambil menunjukkan arah kamar kami.Dante memberikan beberapa lembar uang kepada pegawai itu setelah kami tiba di dalam kamar kami."Kamar suite di kota kecil benar-benar kecil," komentar Dante sambil menatap kamar yang menurutku cukup besar ini. Ini lebih mirip apartemen kecil yang terdapat di ibukota, dan menurutku itu besar.Ada
"Ruby," sapa ibuku dengan nada suara yang sangat asing."Mama, apa yang terjadi dengan mama?" tanyaku bingung. Wajahnya memang ibuku, tapi aku sama sekali tidak mengenali riasan, cara berpakaian, bahasa tubuhnya bahkan nada bicaranya."Masuklah, kita bicara di dalam," ajaknya sambil membukakan pintu lebih lebar.Aku masuk, lalu melihat ayahku yang sedang duduk di sofa. Dia langsung berdiri dan menatapku sambil tersenyum. Dia juga tampak sangat berbeda. Ada apa dengan kedua orangtuaku? Apakah waktu dua bulan bisa membuat seseorang berubah sedrastis ini?"Duduklah," panggil ayahku. Aku berjalan perlahan lalu duduk di hadapan mereka berdua.Kenapa suasananya terasa begitu canggung dan dingin. Mereka berdua seperti sengaja membuatku merasa asing di hadapan mereka."Ma, ada apa ini?" tanyaku putus asa.Aku hanya ingin memeluk ibuku dan menceritakan semua yang terjadi padaku. Aku hanya ingin berkeluh kesah tentang betapa beratnya hari-hariku tanpa ada dia di sisiku. Tapi sekarang aku malah
Untuk apa dia menjelaskan tentang kejadian itu kepadaku? Apa dia tahu kalau aku cemburu?"Apa dia akan tinggal di negara ini selamanya?" tanyaku mencoba terdengar tenang."Sepertinya begitu, dia sudah mendaftar untuk pelatihan pengacara agar mendapat izin praktek pengacara di negara ini.""Apa Naomi juga seorang pengacara?" tanyaku kaget."Ya, dia menyelesaikan sarjana hukumnya di negara ini, lalu ke Eropa dan kembali kuliah hukum disana. Tadinya aku pikir dia akan mengambil gelar master, tapi ternyata dia mengambil sarjana. Setelah itu dia mulai bekerja di kantor pengacara dan dalam waktu singkat dia menjadi seorang pengacara yang hebat."Aku menatap wajah bangga Dante ketika membicarakan Naomi dan menghela napas perlahan. "Jadi dia magang di kantormu?""Ya, calon pengacara lain setidaknya membutuhkan 6 bulan untuk menyelesaikan syarat penanganan perkara, tapi Naomi sudah hampir menyelesaikannya dalam waktu kurang dari sebulan.""Tentu saja, dia adalah pengacara berpengalaman yang b
Joshua, dia bilang aku bisa mengandalkannya saat semua orang tidak ada. Tapi dia sama sekali tidak menepati janjinya. Kali ini aku tidak kecewa, tapi marah. Bukan pada Joshua, tapi pada diriku sendiri karena terlalu mengandalkan orang lain.Andai aku tidak mengandalkan pria itu, aku bisa mempersiapkan diriku untuk perjalanan ini sendirian. Sekarang aku harus pergi sendiri tanpa tahu apa-apa.Aku sangat cerdas dan kuat. Tapi aku bukan orang yang berani pergi sendirian. Dulu selalu ada ibuku, Dora, Rahul dan kemudian Dante. Kalau tidak ada mereka maka aku tidak akan kemana-mana.Seharusnya aku memberanikan diri saja untuk pergi sendirian dan tidak mengajak Joshua. Setidaknya kalau begitu, aku akan mencari tahu apa yang harus aku lakukan, kemana aku harus pergi, naik apa, barang-barang apa yang harus aku persiapkan untuk sebuah perjalanan solo."Kita sudah sampai, Nona," ucap supir membuatku mulai gemetar."Anda tidak apa-apa?" tanyanya saat membukakan pintu untukku. Aku menggeleng pelan
"Kalian akan pergi kemana?" tanya Dora tampak senang. Dia memang selalu berpikir kalau pria yang paling cocok untukku adalah Joshua. "Ke sebuah tempat yang cukup jauh," jawabku tidak ingin menjelaskan lebih detail lagi."Apa kalian akan menginap?""Mungkin," jawabku acuh."Ruby, ada apa?" tanya Rahul yang tentu saja selalu tahu kalau ada yang tidak beres denganku."Tidak ada apa-apa.""Apa kau bertengkar dengan suamimu dan ingin melarikan diri dengan Joshua?" "Ada apa denganmu? Memangnya kenapa kalau Ruby pergi dengan Joshua. Dia jauh lebih baik daripada suami palsunya itu!" bentak Dora yang tidak terima dengan pertanyaan Rahul."Sudahlah, kenapa kalian bertengkar? Aku mau ke perpustakaan dulu. Sampai nanti," ucapku sambil melambaikan tangan lalu meninggalkan mereka berdua.Joshua, aku akan mencarinya dan mengajaknya pergi bersamaku besok.Sepertinya aku memang lebih berjodoh dengan Joshua. Baru saja memikirkannya, dia malah langsung muncul di hadapanku, keluar dari perpustakaan."R
"Aku rasa bukan urusan siapapun. Hal itu adalah urusan pribadiku dan aku tidak harus menjelaskannya," jawab Dante kesal lalu segera berjalan meninggalkanku. Aku segera mengejarnya."Kalau begitu baguslah. Kau punya urusan pribadi, aku juga punya urusan pribadi. Sebaiknya kita memang tidak saling mencampuri urusan yang lain. Jadi, aku minta jangan lagi bertanya kemana dan dengan siapa aku pergi, lagipula kurang dari 6 bulan lagi kita cuma dua orang asing," sahutku lalu segera berlari pulang .Aku membencimu Dante! Aku benci caramu membuatku berharap kepadamu. Aku sempat berpikir kau sengaja menungguku pulang. Aku benci caramu membuatku cemburu. Kenapa kau harus menutupi hubunganmu dengan Naomi kalau diantara kalian tidak ada apa-apa?Aku terus berlari, dan tidak ingin berhenti."Kenapa hanya aku?" teriakku sambil berlari.Kenapa hanya aku yang mencintaimu? Aku terus bertanya dalam hati.***Aku terbangun dengan tubuh yang masih kelelahan. Untungnya kali ini betisku baik-baik saja. Aku
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa tiba-tiba cintamu berpindah kepadaku?" tanya Joshua sambil menepuk meja besi yang ada di depan kami.'Andai aku bisa jatuh cinta kepadamu dan bukan pada pria itu,' gumamku dalam hati."Memangnya cinta bisa dipindahkan seenaknya?" tanyaku tersenyum kecut karena aku sangat berharap cinta bisa dipindahkan semudah itu."Apa kau sedang ada masalah dengan kekasihmu?" "Ha? Kekasih? Aku tidak punya kekasih. Itu hanya omong kosong Rahul," jawabku cepat."Jangan berbohong.""Sungguh, aku memang tidak punya kekasih.""Baiklah, kalau begitu aku akan mengganti pertanyaanku. Apakah kau sedang ada masalah dengan orang yang kau cintai?" tanyanya sambil tersenyum jahil.Aku menghela napas dalam, tidak bisa menghindarinya kali ini."Aku tidak-""Berhenti! Jangan berbohong. Aku mohon, untuk malam ini saja, jujurlah kepadaku. Aku sangat ingin tahu apa yang ada di dalam hati dan kepalamu," ucap Joshua memohon.Aku menatap matanya lalu mengembuskan napas dengan keras
Tiba-tiba Dante muncul dan langsung merangkul Naomi lalu berbalik dan menariknya masuk ke dalam sebuah ruangan."Itu kan wanita yang waktu itu kita lihat di bandara. Mereka bahkan bermesraan di kantor?" gumam Dora terlihat risi."Apa kalian mengenalnya? Kenapa dia sepertinya mengenali kita atau salah satu dari kita?" tanya Rahul sambil menatapku."Ha?" sahutku kebingungan.Untungnya seorang pria muda muncul dan meminta kami masuk ke ruangan Dante, lalu kamipun mengikuti pria itu.Kami masuk setelah pria itu mengetuk dan membukakan pintu."Selamat sore, Tuan," sapa Rahul dan Dora."Selamat sore," jawab Dante santai, seakan-akan tidak mengenalku dan tidak peduli dengan kehadiranku."Saya mengajak sahabat saya, semoga anda tidak keberatan," jelas Dora dengan sopan."Tidak masalah, silakan duduk," ucap Dante acuh sambil menunjuk ke arah sofa.Aku melirik Naomi yang sedang duduk disana sambil menatap kami bertiga."Apakah aku boleh tetap berada disini?" tanya Naomi dengan lembut."Aku khaw