Saat Bram masih berbicara dengan Lidya, tiba-tiba seorang pelayan masuk ke kamar Angelica untuk mencari Bram. Wajahnya tampak ragu seolah khawatir mengganggu, tetapi tugas tetaplah tugas."Selamat siang, Pak Bram. Ada tamu yang ingin menemui Anda," ucap pelayan itu dengan sopan.Bram mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada janji dengan siapa pun hari ini, apalagi di rumah ini."Siapa?" tanyanya penasaran, meletakkan gelas kopi yang sedari tadi digenggamnya."Saya kurang tahu, Pak Bram. Yang jelas, seorang wanita cantik, masih muda. Dia bilang mau bertemu dengan Anda, tetapi pengawal tidak mengizinkannya masuk," jelasnya lagi.Bram menghela napas pelan. Wanita muda? Siapa yang berani datang ke rumah ini tanpa pemberitahuan? Pikiran Bram langsung berputar, mencoba mengingat apakah ada seseorang dari masa lalunya yang mungkin mencarinya."Siapa ya?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, lalu segera bangkit dari duduknya.Lidya yang ada di sana pun mengernyitkan kening. Selama dua tahun bek
Setelah kepergian Bram ke kantor, suasana di rumah itu terasa lebih santai. Lidya dan Niken masih duduk di ruang tamu, berbincang dengan akrab seolah mereka sudah lama mengenal satu sama lain."Sejak tadi aku mencium aroma masakan yang enak dari dapur," kata Niken tiba-tiba. "Apa Kak Lidya suka memasak?"Lidya tersenyum. "Aku memang suka memasak, terutama untuk Angelica. Kalau kau lapar, aku bisa membuatkan sesuatu untukmu."Mata Niken berbinar. "Wah, kalau begitu aku tidak akan menolak! Aku penasaran dengan masakan buatan Kak Lidya."Tanpa menunggu lama, Lidya mengajak Niken ke dapur. Ia mulai menyiapkan bahan-bahan, sementara Niken duduk di meja dapur, mengamati dengan penuh antusias."Apa kau punya makanan favorit?" tanya Lidya sambil mulai mengiris bahan.Niken berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Aku suka makanan rumahan yang sederhana, seperti sup ayam atau nasi goreng."Lidya mengangguk. "Kalau begitu, aku akan membuatkan nasi goreng spesial untukmu."Niken bertepuk tangan dengan
Lidya mulai memasukkan benda panjang itu ke dalam mulut. Dengan gerakan naik turun dia menikmati permen kulit tersebut dengan penuh nafsu. Sementara suaminya terus mendesah merasakan kenikmatan yang tak terperi oleh sentuhan Lidya. Pria itu bahkan sampai memejamkan mata saat lampu lalu lintas berwarna merah, beruntung mobil ini ditutup oleh kaca hitam sehingga tidak akan ada orang yang tahu kegiatan panas di dalam mobil yang dikendarai Bagas. “Lebih dalam lagi, istriku,” rancaunya.Lidya pun melakukan permintaan sang suami dengan senang hati tanpa paksaan sama sekali. Bagas juga meremas dada besar milik Lidya yang senjata di malam begitu menggodanya. “Cium aku, istriku,” kata Bagas dengan mata berkabut. Lidya menjauhkan bibirnya dari permen kulit panjang itu, lalu mencium suaminya dengan penuh hasrat. Tangannya masuk ke dalam kemeja kerja yang masih digunakan oleh Bagas. Iya memainkan jari-jarinya di puncak dada pria tersebut membuat Bagas berkali-kali mendesis kenikmatan. Setelah
Lidya terus bergerak naik turun di atas tubuh pria tersebut. Demi apapun rasanya nikmat sekali meski sangat terasa kalau milih Bagas seolah menyentuh perutnya. Lidya benar-benar liar sehingga membuat Bagas menyukai permainan wanita ini. Goyangannya membuat Bagas terus mendesah dan merancau dengan bahasa yang membuat Lidya semakin terangsang.“Hisap susuku dong, suamiku,” rengek Lidya.Dengan senang hati Bagas melakukannya. Dia membiarkan Lidya memanjakan miliknya dengan goyang mautnya, sementara bibirnya mulai menangkup dada wanita itu yang saat ini sedang bergerak naik turun. Ya mulai sekarang Bagas harus rajin-rajin minta ASI dari istrinya. Ternyata rasanya sangat nikmat. Pantas saja bayi-bayi itu sangat menyukai ASI.Bagas terus melahap dada istrinya secara bergantian. Memberi pijatan penuh gairah di dada wanita itu. Sesekali Dia memberi tanda kepemilikan di dada putih Lidya. Buatlah puas menikmati dadanya, Bagas melahap dengan rakus bibir wanita itu, lidah keduanya saling membelit
Sudah tiga bulan ia menjalani pengobatan di luar negeri, tiga bulan penuh harapan dan ketakutan. Namun, hingga kini, ia masih terkurung dalam keterbatasannya—duduk di kursi roda tanpa kepastian kapan bisa berdiri lagi.Davin menggenggam tangannya erat saat seorang perawat mendorong kursi roda Naura menuju ruang terapi. Sepanjang perjalanan, Naura diam saja, menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong. Sejak ia kehilangan kemampuan berjalan, kepercayaan dirinya perlahan memudar. Bahkan ketika berada di rumah sakit bersama suaminya, ia merasa tidak layak berada di sisinya.Setibanya di ruang terapi, seorang terapis pria muda yang sudah familiar bagi mereka tersenyum hangat. "Pagi, Bu. Naura dan Pak Davin. Siap untuk sesi hari ini?"“Pagi juga dok.”Naura hanya mengangguk kecil, sementara Davin mengelus punggung tangannya dengan lembut. "Kita lakukan perlahan, Sayang. Aku di sini," bisiknya.Sesi terapi dimulai dengan latihan peregangan. Dengan bantuan terapis, Naura berusaha menggerak
Setelah sesi terapi yang melelahkan, Naura kembali ke kamar rawatnya untuk beristirahat sejenak sebelum bersiap pergi bersama Davin. Hari ini, suaminya memiliki pertemuan dengan klien bisnis di sebuah restoran mewah, dan untuk pertama kalinya sejak menjalani pengobatan, Davin mengajaknya ikut serta.Davin dengan sabar membantu Naura berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, memastikan istrinya merasa nyaman. "Sayang, kita tidak perlu buru-buru. Ambil waktu yang kamu butuhkan," ucapnya lembut.Naura mengangguk pelan, “iya, sayang.” meskipun di dalam hatinya ia masih diliputi keraguan. "Apa aku harus ikut, Sayang? Aku... aku tidak yakin bisa tampil percaya diri," bisiknya.Davin berlutut di hadapannya, menggenggam tangannya erat. "Kau tetap Naura yang sama di mataku. Kursi roda ini tidak mengubah siapa dirimu, Sayang. Dan aku ingin kau ada di sisiku, seperti biasa."Tatapan penuh keyakinan dari Davin sedikit banyak mengurangi kegelisahan Naura. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum me
Sementara itu, sebuah mobil mewah dengan interior elegan melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit siang yang cerah. Jalanan kota tampak sibuk, namun di dalam kendaraan tersebut, suasana terasa lebih hening dibandingkan hiruk-pikuk di luar sana. Penelope duduk di kursi belakang dengan anggun, kedua kakinya yang jenjang disilangkan, sementara Fernando dengan tenang mengemudi di depan, memastikan perjalanan mereka berjalan lancar.Meskipun suasana di dalam mobil tampak tenang, pikiran Penelope justru sedang penuh dengan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Sejak keluar dari restoran tempat pertemuan bisnisnya dengan Davin Abimanyu, benaknya dipenuhi oleh bayangan pria itu. Ketegasan dalam suaranya, cara ia membawa diri, serta tatapan tajam yang memancarkan kecerdasan dan kharisma yang begitu memikat.Dia sudah banyak bertemu pria sukses di dunia bisnis, tetapi tidak ada yang seperti Davin. Pria itu tidak hanya berwibawa dan cerdas, tetapi juga memiliki sesuatu yang lebih langk
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh