Setelah kepergian Bram ke kantor, suasana di rumah itu terasa lebih santai. Lidya dan Niken masih duduk di ruang tamu, berbincang dengan akrab seolah mereka sudah lama mengenal satu sama lain."Sejak tadi aku mencium aroma masakan yang enak dari dapur," kata Niken tiba-tiba. "Apa Kak Lidya suka memasak?"Lidya tersenyum. "Aku memang suka memasak, terutama untuk Angelica. Kalau kau lapar, aku bisa membuatkan sesuatu untukmu."Mata Niken berbinar. "Wah, kalau begitu aku tidak akan menolak! Aku penasaran dengan masakan buatan Kak Lidya."Tanpa menunggu lama, Lidya mengajak Niken ke dapur. Ia mulai menyiapkan bahan-bahan, sementara Niken duduk di meja dapur, mengamati dengan penuh antusias."Apa kau punya makanan favorit?" tanya Lidya sambil mulai mengiris bahan.Niken berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Aku suka makanan rumahan yang sederhana, seperti sup ayam atau nasi goreng."Lidya mengangguk. "Kalau begitu, aku akan membuatkan nasi goreng spesial untukmu."Niken bertepuk tangan dengan
Lidya mulai memasukkan benda panjang itu ke dalam mulut. Dengan gerakan naik turun dia menikmati permen kulit tersebut dengan penuh nafsu. Sementara suaminya terus mendesah merasakan kenikmatan yang tak terperi oleh sentuhan Lidya. Pria itu bahkan sampai memejamkan mata saat lampu lalu lintas berwarna merah, beruntung mobil ini ditutup oleh kaca hitam sehingga tidak akan ada orang yang tahu kegiatan panas di dalam mobil yang dikendarai Bagas. “Lebih dalam lagi, istriku,” rancaunya.Lidya pun melakukan permintaan sang suami dengan senang hati tanpa paksaan sama sekali. Bagas juga meremas dada besar milik Lidya yang senjata di malam begitu menggodanya. “Cium aku, istriku,” kata Bagas dengan mata berkabut. Lidya menjauhkan bibirnya dari permen kulit panjang itu, lalu mencium suaminya dengan penuh hasrat. Tangannya masuk ke dalam kemeja kerja yang masih digunakan oleh Bagas. Iya memainkan jari-jarinya di puncak dada pria tersebut membuat Bagas berkali-kali mendesis kenikmatan. Setelah
Lidya terus bergerak naik turun di atas tubuh pria tersebut. Demi apapun rasanya nikmat sekali meski sangat terasa kalau milih Bagas seolah menyentuh perutnya. Lidya benar-benar liar sehingga membuat Bagas menyukai permainan wanita ini. Goyangannya membuat Bagas terus mendesah dan merancau dengan bahasa yang membuat Lidya semakin terangsang.“Hisap susuku dong, suamiku,” rengek Lidya.Dengan senang hati Bagas melakukannya. Dia membiarkan Lidya memanjakan miliknya dengan goyang mautnya, sementara bibirnya mulai menangkup dada wanita itu yang saat ini sedang bergerak naik turun. Ya mulai sekarang Bagas harus rajin-rajin minta ASI dari istrinya. Ternyata rasanya sangat nikmat. Pantas saja bayi-bayi itu sangat menyukai ASI.Bagas terus melahap dada istrinya secara bergantian. Memberi pijatan penuh gairah di dada wanita itu. Sesekali Dia memberi tanda kepemilikan di dada putih Lidya. Buatlah puas menikmati dadanya, Bagas melahap dengan rakus bibir wanita itu, lidah keduanya saling membelit
Sudah tiga bulan ia menjalani pengobatan di luar negeri, tiga bulan penuh harapan dan ketakutan. Namun, hingga kini, ia masih terkurung dalam keterbatasannya—duduk di kursi roda tanpa kepastian kapan bisa berdiri lagi.Davin menggenggam tangannya erat saat seorang perawat mendorong kursi roda Naura menuju ruang terapi. Sepanjang perjalanan, Naura diam saja, menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong. Sejak ia kehilangan kemampuan berjalan, kepercayaan dirinya perlahan memudar. Bahkan ketika berada di rumah sakit bersama suaminya, ia merasa tidak layak berada di sisinya.Setibanya di ruang terapi, seorang terapis pria muda yang sudah familiar bagi mereka tersenyum hangat. "Pagi, Bu. Naura dan Pak Davin. Siap untuk sesi hari ini?"“Pagi juga dok.”Naura hanya mengangguk kecil, sementara Davin mengelus punggung tangannya dengan lembut. "Kita lakukan perlahan, Sayang. Aku di sini," bisiknya.Sesi terapi dimulai dengan latihan peregangan. Dengan bantuan terapis, Naura berusaha menggerak
Setelah sesi terapi yang melelahkan, Naura kembali ke kamar rawatnya untuk beristirahat sejenak sebelum bersiap pergi bersama Davin. Hari ini, suaminya memiliki pertemuan dengan klien bisnis di sebuah restoran mewah, dan untuk pertama kalinya sejak menjalani pengobatan, Davin mengajaknya ikut serta.Davin dengan sabar membantu Naura berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, memastikan istrinya merasa nyaman. "Sayang, kita tidak perlu buru-buru. Ambil waktu yang kamu butuhkan," ucapnya lembut.Naura mengangguk pelan, “iya, sayang.” meskipun di dalam hatinya ia masih diliputi keraguan. "Apa aku harus ikut, Sayang? Aku... aku tidak yakin bisa tampil percaya diri," bisiknya.Davin berlutut di hadapannya, menggenggam tangannya erat. "Kau tetap Naura yang sama di mataku. Kursi roda ini tidak mengubah siapa dirimu, Sayang. Dan aku ingin kau ada di sisiku, seperti biasa."Tatapan penuh keyakinan dari Davin sedikit banyak mengurangi kegelisahan Naura. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum me
Sementara itu, sebuah mobil mewah dengan interior elegan melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit siang yang cerah. Jalanan kota tampak sibuk, namun di dalam kendaraan tersebut, suasana terasa lebih hening dibandingkan hiruk-pikuk di luar sana. Penelope duduk di kursi belakang dengan anggun, kedua kakinya yang jenjang disilangkan, sementara Fernando dengan tenang mengemudi di depan, memastikan perjalanan mereka berjalan lancar.Meskipun suasana di dalam mobil tampak tenang, pikiran Penelope justru sedang penuh dengan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Sejak keluar dari restoran tempat pertemuan bisnisnya dengan Davin Abimanyu, benaknya dipenuhi oleh bayangan pria itu. Ketegasan dalam suaranya, cara ia membawa diri, serta tatapan tajam yang memancarkan kecerdasan dan kharisma yang begitu memikat.Dia sudah banyak bertemu pria sukses di dunia bisnis, tetapi tidak ada yang seperti Davin. Pria itu tidak hanya berwibawa dan cerdas, tetapi juga memiliki sesuatu yang lebih langk
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto