"Katakanlah kalau itu tidak benar! Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk merebut pasangan orang!" ucap sang Ibu sambil terisak, matanya memerah penuh duka.Naura memeluk kaki ibunya erat-erat. Air matanya membanjiri wajahnya yang kini tampak begitu lemah dan terluka. Dia masih bersimpuh di lantai setelah tadi Anna, calon istri Davin, menjambak rambutnya tanpa ampun."Maafkan Naura, Bu... Maafkan Naura," ucapnya penuh penyesalan, suaranya bergetar, seperti seorang anak kecil yang mengakui kesalahan besar.Sang ibu, yang hampir tak sanggup berdiri karena tekanan emosional, berusaha menahan tangis lebih keras. Namun, sebelum dia sempat menjawab permohonan anaknya, sebuah tangan kasar tiba-tiba menjambak rambut Naura kembali, menariknya hingga kepala Naura mendongak ke atas. Jeritan kesakitan menggema di ruangan sempit itu."Dengar ya, perempuan sialan!" bentak Nyonya Laura dengan penuh kebencian. Matanya menyala seperti bara api. "Jangan pernah berani mendekati Davin lagi! Jangan pernah b
Hawa dingin menyeruak masuk melalui celah dinding bangunan kosong yang sudah hampir runtuh itu. Naura menggigil, meski bukan karena udara malam yang menusuk tulangnya, melainkan ketakutan yang menghantui pikirannya.Sementara, sang ibu terduduk lemah dengan mata setengah terpejam, kelelahan setelah hari yang penuh teror.Naura memandang rantai yang melilit pergelangan tangan mereka. Mata cokelatnya menyipit, menimbang-nimbang kekuatan pengikat itu. Pikirannya bekerja keras mencari cara untuk melepaskan diri."Bu, Ibu kuat, kan?" bisik Naura lirih, khawatir membangunkan para preman yang mungkin masih berjaga di luar."Ibu... akan mencoba, Nak," jawab ibunya dengan suara serak. "Apa... kita bisa keluar dari sini?"Naura menatap ibunya dengan tekad yang mulai tumbuh. "Kita harus keluar, Bu. Malam ini juga."Perlahan, Naura menarik rantai yang mengikatnya ke pilar besi di tengah ruangan itu. Rantai itu berkarat, namun cukup kuat untuk menahan perlawanan ringan. Naura mengerahkan tenaga ya
Nyonya Laura meraih ponselnya, dan menghubungi kembali anak buahnya, dalam hitungan detik terdengar jawaban dari seberang telepon. “Halo, Nyonya.”"Temukan mereka SEGERA!" bentaknya. "Kali ini aku tidak mau mendengar alasan atau kegagalan. Pastikan mereka tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di kota ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tetapi aku ingin mereka lenyap untuk selamanya."Ada jeda singkat di seberang sana, kemudian pimpinan preman itu menjawab dengan suara tegas, "Baik, Nyonya. Kami akan menyelesaikan ini malam ini juga."Nyonya Laura memutus sambungan telepon, napasnya memburu. Wajahnya yang biasanya terlihat elegan kini berubah garang, mencerminkan kebencian mendalam terhadap Naura. Baginya, gadis itu adalah ancaman terbesar bagi masa depan Davin dan calon istrinya.****West CountryHari ini adalah H-1 pernikahan Davin dan calon istrinya. Semua orang sudah sibuk di lokasi acara besar tersebut. Nyonya Laura, saking hebohnya, bahkan mengajak seluruh pekerja di rum
“Oooh, dadamu yang besar ini sangat menggodaku, sayang.”Tuan William sedang berada di atas tubuh calon menantunya, dia menikmati dada sang calon menantu, memainkan lidahnya di sana sementara tangan yang satunya terus meremas bagian yang lain dengan penuh hasrat.Sementara sang wanita menggelinjang seperti cacing kepanasan, setiap adegan ranjang dengan pria yang harusnya menjadi Papa mertuanya ini membuatnya seperti sedang dibawa ke surganya dunia. Papa tiri Davin kembali bergerak maju mundur, menghentak sang calon menantu dengan penuh nafsu yang tak terkendali. Desahan demi desahan tercetus dari mulut keduanya, memenuhi ruangan mewah tersebut.“Oommmm, aku mau keluar,” ucap Anna suaranya serak, layaknya orang yang sudah dibuat melayang.“Sabar sayang, aku belum puas. Kamu di atas ya, sayang,” pinta pria itu.Anna pun merubah posisi, dia memberikan pelayanan terbaik sama calon Papa mertuanya.“Aaaaaah, goyanganmu ini, sangat nikmat, sayang. Lakukan lebih cepat,” ujarnya.Mereka teru
"Kamu pikir aku akan diam saja setelah melihat ini?" tanya Davin, suaranya rendah namun penuh amarah yang terkendali. "Kamu berani-beraninya mengkhianati Mama, di kamarnya sendiri, dengan perempuan yang seharusnya menjadi calon menantunya.""Da... Davin, dengarkan dulu. Papa bisa menjelaskan," pria itu tergagap, mencoba meraih simpati. Namun, Davin mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dia tutup mulut."Kamu bukan Papaku! Jelaskan? Apa lagi yang perlu dijelaskan? Aku sudah melihat semuanya. Kamu bahkan tidak punya rasa malu."Tanpa peringatan, Davin kembali melepaskan satu pukulan keras ke wajah Papa tirinya. Pria itu kembali terjatuh. Anna, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah ketakutan, menjerit kecil namun tak berani bergerak."Davin, hentikan!" Anna memohon, tapi Davin hanya meliriknya dengan tatapan dingin."Diam kamu, pel4cur! Ini bukan urusanmu!" bentaknya. Fokusnya kembali pada Papa tirinya. "Kamu tahu, aku bisa memaafkan banyak hal, tapi mengkhianati Mama? Itu adal
“Maaf, Naura. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk ibumu, tapi Tuhan berkehendak lain. Ibumu, sudah pergi untuk selamanya.”“Ibuuuuuuuu, Naura mohon kembali Bu. Naura mohon jangan tinggalin Naura, Bu. Kembali Bu…”Tangis Naura pecah begitu dokter keluar dari ruang ICU dan menggeleng pelan. Hatinya seolah runtuh, tubuhnya gemetar menahan rasa kehilangan yang begitu dalam. Ibu yang selalu menjadi tempatnya bersandar kini telah pergi, meninggalkannya seorang diri di dunia yang terasa semakin kejam. “Ikhlaskan kepergian ibumu, Naura. Saya tahu ini berat, tapi Tuhan ingin melepaskan semua sakit yang diderita ibumu. Mari ikut saya keluar, biar suster mengurus jenazah, Ibumu,” ujar dokter yang sejak awal merasa kasihan pada, Naura dan Ibunya. Naura terduduk di kursi ruang tunggu rumah sakit dengan pandangan kosong. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menangisi kepergian orang yang paling ia cintai.Saat itu, satu hal menyadarkannya: ia tidak memiliki apa-apa lagi. Tak a
“Aaaaaaaaah,” Anna mendesah.Tangan Tuan William terus masuk ke dalam gua sempit milik wanita cantik di sampingnya ini. Tidak hanya Tuan William yang merasakan kenikmatan ketika tangannya menari-nari di dalam sana, namun wanita ini juga sangat menikmati sentuhan panas dari pria matang di sebelahnya.Semakin lama jari-jari Tuan William, semakin bergerak cepat di bagian intim milik sang wanita. Keduanya sudah melayang menikmati setiap sentuhan yang mereka buat untuk kenikmatan satu sama lain.Bukan berarti keduanya mengabaikan masalah yang sedang terjadi, namun semuanya sudah tidak bisa diputar balik lagi. Nama keduanya sudah buruk di mata publik, dan sekarang mereka juga menginginkan hiburan untuk melepaskan diri dari amarah yang masih mengganjal di hatinya. Mereka membenci Davin yang dengan tega mempertontonkan video tersebut ke sosial media.“Enak kan, Sayang?” tanya Tuan William.“Enak banget, Om. Lakukan lagi, aku menyukainya,” jawab Anna sambil tersenyum manja.Paha kanan Anna, in
“Demi Tuhan, aku tak menyangka, Mama akan sejahat ini,” gumamnya.Davin turun dari pesawat dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Marah, kecewa, dan frustasi bercampur menjadi satu. Dia melangkah cepat, seolah ingin segera menuntaskan semua kekacauan yang sudah terjadi. Di area kedatangan, Bram sudah menunggu dengan wajah penuh ketegangan.“Kita langsung jalan, Bram. Aku nggak mau buang waktu lagi,” ujar Davin dengan nada dingin.“Baik, Pak. Mobil sudah siap di luar,” jawab Bram sambil membawa koper kecil Davin.Begitu masuk ke mobil, Davin segera bertanya, “Kamu dapat info terbaru soal Jeep itu?”“Sampai sekarang belum ada kabar jelas, Pak. Anak buah kita masih terus mencari,” jawab Bram sambil mengemudi. “Tapi saya yakin, kita akan menemukan mereka.”Davin hanya mengangguk pelan, menatap ke luar jendela. Matanya tajam, namun ada luka yang terpancar jelas. Ia masih tak habis pikir bagaimana sang mama bisa tega melakukan hal sekejam itu.“Bram, coba kamu pikir, Naura dan ibunya itu n
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh