Davin memicingkan mata, berusaha memastikan siapa pria yang kini berdiri di hadapannya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, pria itu sudah menepuk bahunya dengan akrab."Ternyata benar kamu, Davin. Aku tadi ragu, loh," ujar Steve dengan senyum lebar.Davin mengangguk kecil. “Iya, aku baru sampai. Ingat, ya, dua hari lagi datang ke pernikahanku,” ucapnya basa-basi, meski dalam hati ia merasa berat untuk mengucapkan itu. Ia berharap Steve atau siapa pun tidak benar-benar datang ke hari yang tidak diinginkannya itu."Kamu ngapain di sini?" tanya Davin sambil melirik koper kecil yang Steve bawa."Jemput Mama sama Papa. Baru pulang dari luar negeri," jawab Steve. Kemudian, wajahnya berubah serius. "Kamu punya waktu sebentar nggak, Vin? Ada sesuatu yang penting banget mau aku bicarakan."Davin menatap sahabatnya heran. “Ada apa sih, kok serius banget?”Steve tak menjawab langsung, melainkan menghela napas berat. “Pokoknya kita harus bicara, tapi nggak di sini. Kita ke coffee shop depan
"Bawa aja dulu buktinya, nanti ikutin omongan aku. Kamu jangan gegabah," ucap Steve pada sahabat kecilnya sambil menepuk bahu Davin, mencoba menenangkan gejolak emosi yang terpancar jelas di wajahnya."Mereka jahat banget. Aku yakin Mama sangat terluka kalau sampai mengetahui hal ini, tapi kalau tidak, mereka ini sudah kebangetan," jawab Davin, matanya nanar menatap keluar.Dia memikirkan kesehatan sang Mama yang selama ini memang menjadi prioritasnya. Penyakit jantung yang diderita Mamanya sempat membuat seluruh keluarganya tertekan, hingga membuat pertunangan Davin dan Anna terlaksana.Waktu itu dokter bahkan hampir kehilangan harapan, tetapi keajaiban menyelamatkan sang Mama, membuatnya kembali sehat.Steve menghela napas panjang. "Nah, itu yang mungkin akan paling melukai perasaan Mamamu. Jadi, mau nggak mau Mamamu harus siap menerima risikonya, karena kalau didiemin, mereka akan semakin menjadi-jadi," ucap Steve mantap."Makasih ya, Steve. Mudah-mudahan aku masih bisa tahan emosi
"Katakanlah kalau itu tidak benar! Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk merebut pasangan orang!" ucap sang Ibu sambil terisak, matanya memerah penuh duka.Naura memeluk kaki ibunya erat-erat. Air matanya membanjiri wajahnya yang kini tampak begitu lemah dan terluka. Dia masih bersimpuh di lantai setelah tadi Anna, calon istri Davin, menjambak rambutnya tanpa ampun."Maafkan Naura, Bu... Maafkan Naura," ucapnya penuh penyesalan, suaranya bergetar, seperti seorang anak kecil yang mengakui kesalahan besar.Sang ibu, yang hampir tak sanggup berdiri karena tekanan emosional, berusaha menahan tangis lebih keras. Namun, sebelum dia sempat menjawab permohonan anaknya, sebuah tangan kasar tiba-tiba menjambak rambut Naura kembali, menariknya hingga kepala Naura mendongak ke atas. Jeritan kesakitan menggema di ruangan sempit itu."Dengar ya, perempuan sialan!" bentak Nyonya Laura dengan penuh kebencian. Matanya menyala seperti bara api. "Jangan pernah berani mendekati Davin lagi! Jangan pernah b
Hawa dingin menyeruak masuk melalui celah dinding bangunan kosong yang sudah hampir runtuh itu. Naura menggigil, meski bukan karena udara malam yang menusuk tulangnya, melainkan ketakutan yang menghantui pikirannya.Sementara, sang ibu terduduk lemah dengan mata setengah terpejam, kelelahan setelah hari yang penuh teror.Naura memandang rantai yang melilit pergelangan tangan mereka. Mata cokelatnya menyipit, menimbang-nimbang kekuatan pengikat itu. Pikirannya bekerja keras mencari cara untuk melepaskan diri."Bu, Ibu kuat, kan?" bisik Naura lirih, khawatir membangunkan para preman yang mungkin masih berjaga di luar."Ibu... akan mencoba, Nak," jawab ibunya dengan suara serak. "Apa... kita bisa keluar dari sini?"Naura menatap ibunya dengan tekad yang mulai tumbuh. "Kita harus keluar, Bu. Malam ini juga."Perlahan, Naura menarik rantai yang mengikatnya ke pilar besi di tengah ruangan itu. Rantai itu berkarat, namun cukup kuat untuk menahan perlawanan ringan. Naura mengerahkan tenaga ya
Nyonya Laura meraih ponselnya, dan menghubungi kembali anak buahnya, dalam hitungan detik terdengar jawaban dari seberang telepon. “Halo, Nyonya.”"Temukan mereka SEGERA!" bentaknya. "Kali ini aku tidak mau mendengar alasan atau kegagalan. Pastikan mereka tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di kota ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tetapi aku ingin mereka lenyap untuk selamanya."Ada jeda singkat di seberang sana, kemudian pimpinan preman itu menjawab dengan suara tegas, "Baik, Nyonya. Kami akan menyelesaikan ini malam ini juga."Nyonya Laura memutus sambungan telepon, napasnya memburu. Wajahnya yang biasanya terlihat elegan kini berubah garang, mencerminkan kebencian mendalam terhadap Naura. Baginya, gadis itu adalah ancaman terbesar bagi masa depan Davin dan calon istrinya.****West CountryHari ini adalah H-1 pernikahan Davin dan calon istrinya. Semua orang sudah sibuk di lokasi acara besar tersebut. Nyonya Laura, saking hebohnya, bahkan mengajak seluruh pekerja di rum
“Oooh, dadamu yang besar ini sangat menggodaku, sayang.”Tuan William sedang berada di atas tubuh calon menantunya, dia menikmati dada sang calon menantu, memainkan lidahnya di sana sementara tangan yang satunya terus meremas bagian yang lain dengan penuh hasrat.Sementara sang wanita menggelinjang seperti cacing kepanasan, setiap adegan ranjang dengan pria yang harusnya menjadi Papa mertuanya ini membuatnya seperti sedang dibawa ke surganya dunia. Papa tiri Davin kembali bergerak maju mundur, menghentak sang calon menantu dengan penuh nafsu yang tak terkendali. Desahan demi desahan tercetus dari mulut keduanya, memenuhi ruangan mewah tersebut.“Oommmm, aku mau keluar,” ucap Anna suaranya serak, layaknya orang yang sudah dibuat melayang.“Sabar sayang, aku belum puas. Kamu di atas ya, sayang,” pinta pria itu.Anna pun merubah posisi, dia memberikan pelayanan terbaik sama calon Papa mertuanya.“Aaaaaah, goyanganmu ini, sangat nikmat, sayang. Lakukan lebih cepat,” ujarnya.Mereka teru
"Kamu pikir aku akan diam saja setelah melihat ini?" tanya Davin, suaranya rendah namun penuh amarah yang terkendali. "Kamu berani-beraninya mengkhianati Mama, di kamarnya sendiri, dengan perempuan yang seharusnya menjadi calon menantunya.""Da... Davin, dengarkan dulu. Papa bisa menjelaskan," pria itu tergagap, mencoba meraih simpati. Namun, Davin mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dia tutup mulut."Kamu bukan Papaku! Jelaskan? Apa lagi yang perlu dijelaskan? Aku sudah melihat semuanya. Kamu bahkan tidak punya rasa malu."Tanpa peringatan, Davin kembali melepaskan satu pukulan keras ke wajah Papa tirinya. Pria itu kembali terjatuh. Anna, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah ketakutan, menjerit kecil namun tak berani bergerak."Davin, hentikan!" Anna memohon, tapi Davin hanya meliriknya dengan tatapan dingin."Diam kamu, pel4cur! Ini bukan urusanmu!" bentaknya. Fokusnya kembali pada Papa tirinya. "Kamu tahu, aku bisa memaafkan banyak hal, tapi mengkhianati Mama? Itu adal
“Maaf, Naura. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk ibumu, tapi Tuhan berkehendak lain. Ibumu, sudah pergi untuk selamanya.”“Ibuuuuuuuu, Naura mohon kembali Bu. Naura mohon jangan tinggalin Naura, Bu. Kembali Bu…”Tangis Naura pecah begitu dokter keluar dari ruang ICU dan menggeleng pelan. Hatinya seolah runtuh, tubuhnya gemetar menahan rasa kehilangan yang begitu dalam. Ibu yang selalu menjadi tempatnya bersandar kini telah pergi, meninggalkannya seorang diri di dunia yang terasa semakin kejam. “Ikhlaskan kepergian ibumu, Naura. Saya tahu ini berat, tapi Tuhan ingin melepaskan semua sakit yang diderita ibumu. Mari ikut saya keluar, biar suster mengurus jenazah, Ibumu,” ujar dokter yang sejak awal merasa kasihan pada, Naura dan Ibunya. Naura terduduk di kursi ruang tunggu rumah sakit dengan pandangan kosong. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menangisi kepergian orang yang paling ia cintai.Saat itu, satu hal menyadarkannya: ia tidak memiliki apa-apa lagi. Tak a
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le