"Sayang," panggil Davin lirih pada wanita pujaan hatinya yang masih terlelap di dalam mobil.Mobil Naura kini telah terparkir di basement apartemen. Setelah mematikan mesin mobil, Davin menoleh ke samping, menatap wajah Naura yang damai dalam tidurnya.Ia mengusap lembut puncak kepala wanita itu, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengecup kening Naura. Tak ingin membangunkannya, Davin keluar dari mobil, menutup pintu dengan hati-hati, lalu memutar setengah badan mobil untuk membuka pintu di sisi kiri.Hal pertama yang diambilnya adalah tas kerja Naura, yang ia letakkan di tangannya. Setelah itu, dengan penuh perhatian, Davin merengkuh tubuh mungil sang sekretaris yang masih terlelap dalam mimpi indahnya. Menggunakan tubuhnya untuk menutup pintu mobil, Davin kemudian menekan kunci otomatis hingga terdengar bunyi klik, memastikan mobil terkunci dengan baik.Davin melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai apartemen Naura. Tak lama, pintu lift terbuka. Davin berjalan c
Davin merogoh ponselnya, dia menghubungi Bram untuk menggantikan memimpin meeting pagi ini. Tak lupa Davin minta agar tak ada yang mengganggunya dulu dengan, Naura.Tentu saja Bram paham maksud atasannya. Dengan cepat ia menjawab, “siap Bos.”Setelah memastikan Bram mengambil alih semua tugasnya untuk dua jam ke depan, pria itu kembali fokus pada goa sempit, yang seperti magnet minta disentuh terus."Enak kan, sayang?"Sejak tadi tangan pria itu terus sibuk di dalam milik Naura. Davin merasa ini adalah pelampiasan atas segala masalah yang datang bertubi-tubi tanpa ampun.Pria itu memasukkan tiga jarinya ke dalam lubang sempit wanita Pujaan hatinya, hingga membuat Naura berkali-kali mendesah merasakan kenikmatan yang tak terperi, wanita itu bahkan harus menggigit Bibir bawahnya karena rasanya memang senikmat itu."Isssssssh, aaaaaaah."Setiap kali Naura mendesah, saat itu juga gairah dalam tubuh sang CEO kembali terbakar. Davin terus menikmati sensasinya atas permainan lincah tangannya
“Apa, jangan-jangan kamu lagi ngidam, sayang?”Pertanyaan Davin meluncur dengan nada menggoda, tetapi efeknya jauh dari santai. Naura merasa dadanya sesak. Dia hampir kehilangan napas dan bingung harus memberikan jawaban apa. Namun, sebelum sempat membuka mulut, ponsel Davin tiba-tiba berdering, memecah suasana.“Halo, Ma. Ada apa?” tanya Davin, suaranya datar namun sopan.“Kamu harus pulang segera, Davin. Jangan sampai pas hari H kamu baru tiba di rumah. Kamu sudah janji sama Mama, jangan sampai Mama ngamuk ke Suncity. Jangan kecewakan keluarga kita,” suara dingin dan tegas dari Nyonya Laura terdengar jelas di telepon.Davin menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Ma. Davin selesaikan dulu urusan di sini. Bayar-bayar kerugian, urusan asuransi, dan lain-lain. Setelah itu, Davin pulang. Paling empat hari lagi Davin sudah di rumah.”Naura, yang mendengar pembicaraan itu tanpa sengaja, merasa dadanya semakin teriris. Kenyataan pahit hubungan mereka kembali menghantamnya. Dia harus
“Aku pasti akan sangat merindukan, sentuhan panasmu, sayang,” ucap Davin.Pria itu mendorong ke belakang jok mobilnya, agar Naura bisa dengan leluasa memberikan sentuhan lembut di bagian intim Davin yang sudah menegang. Pria itu juga melepaskan celananya menurunkan hingga selutut dan menyentuh kepala Naura agar segera melakukan tugasnya.“Nikmatnya, sayaaaaaaang.”Bibir dan tangan Naura bekerja sama dengan baik untuk memanjakan Davin. Pria itu mendongak ke atas setelah sandaran jok mobilnya ia turunkan, tangannya masuk ke dalam bra yang digunakan oleh sang sekretaris, lalu meremas 2 bagian menyembul itu secara bergantian.Sampai akhirnya, erangan panjang terdengar dari mulut Davin.Saat mereka menikmati kebersamaan di dalam mobil, tanpa mereka sadari ada mobil yang terparkir tak jauh dari mobil itu sedang memberi kabar pada mamanya Davin dan juga tunangan Davin.Salah satu orang suruhan mamanya Davin menghubungi wanita paruh baya itu.“Halo,” sapa mamanya Davin.“Halo, Nyonya. Saya in
Naura masih duduk di kursinya, berusaha mengatur napas yang terasa memburu setelah kejadian menegangkan tadi. Tangannya masih sedikit gemetar, dan ia terus mengingat momen saat mobil Jeep hitam itu mendekati mobilnya. Sorot mata para pria di dalamnya terlihat dingin dan penuh ancaman, membuat Naura hampir kehilangan kendali.“Ya Tuhan, siapa orang-orang itu? Sangat menyeramkan sekali,” gumamnya, suara lirihnya terdengar jelas di dalam mobilnya.Naura mengusap keningnya, mencoba menenangkan diri. Ketakutan masih menghantui pikirannya. Pikirannya berkecamuk, mencari penjelasan mengapa mereka membuntutinya. Ia mengingat kembali momen di taman kota, saat Jeep itu terparkir tidak jauh dari mobilnya. Apakah mereka memang membuntutinya sejak saat itu?Setelah merasa cukup tenang, Naura memutuskan untuk kembali bekerja. Ia tahu ada banyak tugas yang harus diselesaikan, dan tidak ingin kejadian tadi mengganggu pekerjaannya. Dengan langkah cepat, ia masuk ke kantor, menarik napas dalam sebel
Begitu sampai di apartemennya, calon istri Davin menutup pintu dengan rapat. Mereka lalu berciuman dengan sangat panas bahkan tangan pria itu sudah meremas dua gundukan kenyal yang ukurannya sangat besar. Tanpa melepaskan ciuman panasnya, pria itu mulai melepaskan seluruh pakaian yang menutupi tubuh calon menantunya tersebut, lalu ia juga membuka seluruh bagiannya, hingga tubuh keduanya sekarang sudah polos tanpa penutup sehelai benang pun. Mereka masuk ke menu utama.“Aaaaaah, lebih dalam Om,” jerit Anna.“Iya, baby,” balasnya.Anna sangat kenikmatan setiap kali pria itu menghentaknya dari posisi belakang, sang selebgram cantik selalu terpuaskan oleh sentuhan calon Papa mertuanya.“Balik, baby,” ujarnya.Kini, Anna ada di atas tubuh pria itu, bergerak penuh hasrat.“Ooooh, baby. Ini nikmat sekali,” ucapnya.Goyangan Anna juga membuat calon papa mertuanya keenakan.“Om, tolong remas dada, Anna. Anna kangen banget sentuhan Om,” ucapnya.Dengan senang hati calon Papa mertuanya melakuka
Davin duduk terpaku di kursinya, menatap kosong ke luar jendela pesawat. Langit yang terbentang luas di hadapannya tak mampu menenangkan kekacauan di dalam hatinya. Pikirannya melayang, terjebak dalam pusaran rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.Dia mencintai Naura, itu kenyataan yang tak bisa dia pungkiri. Tapi, di saat yang sama, dia harus menikahi wanita lain—sebuah keputusan yang dirasa seperti menghancurkan dunianya sendiri. Davin mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak emosi yang terus membara.Bayangan wajah Naura menghantui setiap sudut pikirannya. Senyumnya yang tulus, sorot matanya yang lembut, dan cara dia berbicara dengan penuh perhatian—semua itu terasa seperti belati yang terus menusuk hatinya."Apa yang sedang dia rasakan sekarang?" pikir Davin sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Hatinya terasa remuk membayangkan Naura yang mungkin sedang berjuang menahan air mata, terluka karena dirinya.Davin menghela napas panjang, namun rasa sesak itu tetap tidak
Davin memicingkan mata, berusaha memastikan siapa pria yang kini berdiri di hadapannya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, pria itu sudah menepuk bahunya dengan akrab."Ternyata benar kamu, Davin. Aku tadi ragu, loh," ujar Steve dengan senyum lebar.Davin mengangguk kecil. “Iya, aku baru sampai. Ingat, ya, dua hari lagi datang ke pernikahanku,” ucapnya basa-basi, meski dalam hati ia merasa berat untuk mengucapkan itu. Ia berharap Steve atau siapa pun tidak benar-benar datang ke hari yang tidak diinginkannya itu."Kamu ngapain di sini?" tanya Davin sambil melirik koper kecil yang Steve bawa."Jemput Mama sama Papa. Baru pulang dari luar negeri," jawab Steve. Kemudian, wajahnya berubah serius. "Kamu punya waktu sebentar nggak, Vin? Ada sesuatu yang penting banget mau aku bicarakan."Davin menatap sahabatnya heran. “Ada apa sih, kok serius banget?”Steve tak menjawab langsung, melainkan menghela napas berat. “Pokoknya kita harus bicara, tapi nggak di sini. Kita ke coffee shop depan
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le