Keluarga Diraja benar-benar sibuk seminggu ini, guna menyiapkan acara pernikahan Naka dan Dinda. Helen dengan gembira ikut membantu, sementara Dewa, sudah bisa ditebak tidak peduli.Dewa lebih banyak menghabiskan waktunya seorang diri, jauh dari keluarga. Dia tidak ingin tahu soal pernikahan adiknya. Hatinya masih sakit dan pasti akan semakin sakit jika harus terlibat dan bertemu dengan Dinda.Sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertemu dengan Dinda. Gadis itu sudah mengirimkan surat pengunduran dirinya dan menitipkan pada Nita. "Kamu berhenti? Kok tiba-tiba?" tanya Nita dengan kening berkerut. Padahal baru Jumat kemarin Dinda menyiapkan berkas untuk meeting dengan perusahaan Jepang yang mengajak Dewa kerja sama."Iya. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan itu menyita hampir seluruh waktuku," jawab Dinda sembari tersenyum kecil.Anita tidak mengatakan apapun lagi. Dia memeluk Dinda. Meski dari awal Dinda bekerja di perusahaan itu Nita tidak langsung menyukai Dinda, tapi pada akh
Acara akan dimulai jam 10 pagi. Dinda sedang dirias di salah satu kamar di hotel yang tidak jauh dari gedung tempat mereka akan melangsungkan pernikahan. "Kenapa kamu ngeliatin Mama kayak gitu?" tanya Dinda tersenyum lembut pada Leon. Anak itu sudah rapi, tampan lagi dengan menggunakan stelan tuxedo."Bunda cantik," jawab Leon balas tersenyum. Dinda begitu gembira, anaknya memberi izin dirinya untuk menikah lagi. Terlebih saat mengetahui kalau Naka lah yang akan menjadi ayahnya.Biasanya, anak tidak akan suka kalau ibunya menikah, karena takut akan tersisih dan tak dicintai lagi. "Apa semua sudah siap?" Tanya Diana yang juga sudah siap dengan riasan dan pakaiannya. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun berwarna putih gading.Dinda mengangguk. Kembali jantungnya berdebar kencang. Semakin dekat ke ballroom hotel, semakin jantungnya terasa copot.Rombong Dinda sudah masuk ke dalam mobil dan segera bergerak menuju gedung. Dinda, Diana dan Leon bersama satu asisten Dinda, naik limosin y
Dinda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi Leon. Dewa bersedia mendonorkan darahnya untuk Leon. Pria itu tampaknya belum keluar dari ruangan tempat diambil darahnya."Din, kamu duduk. Tenang ya, Leon pasti dapat diselamatkan," ucap Helen mengajak Dinda duduk.Wanita itu menurut. Dia juga lelah, tapi tidak akan tenang sebelum mendengar dari dokter keadaan Leon.Tak lama Dewa muncul sambil memegang lengannya yang disumpal dengan kapas. Dia melirik sekilas ke arah Dinda yang sedang dirangkul oleh Naka. Dinda yang juga tengah melihatnya, ingin bangkit mengucapkan terima kasih, tapi melihat Dewa segera berlalu, dia membatalkan niatnya. Pria itu berjalan ke arah ayah dan mertuanya lalu duduk dengan mereka."Bagaimana keadaanmu?" Reni ikut mendatangi Dewa. Sedikit banyak dia khawatir pada anaknya itu. Awalnya dia bilang tidak enak badan makanya tidak bisa menghadiri pernikahan Naka dan Dinda."Aku baik, Ma. Lebih baik Mama temani Dinda, mungkin dia butuh sesuatu. Kelihatan lelah, bilan
Dinda sudah siuman setelah disuntik vitamin. Dia kelelahan hingga jatuh pingsan. Syukurlah, setelah kembali siuman, dokter juga memberikan kabar gembira pada mereka, bahwa operasi Leon sudah berhasil.Tak terbendung rasa gembira yang dirasakan Dinda. Wanita itu terus berdiri di depan ruangan Leon sampai dokter mengizinkannya untuk masuk dan melihat anaknya."Apa kami sudah bisa masuk dokter kami ingin melihat Leon," ucap Diana merangkul pundak Dinda, menjaga agar putrinya itu tidak kembali jatuh pingsan. Dokter yang baru saja keluar mengangguk sembari tersenyum. Dia juga merasa senang untuk keluarga itu karena sudah berhasil menyelamatkan Leon."Keluarga sudah boleh masuk dan melihat Leon, namun saya mohon agar bergantian hanya 2-3 orang saja yang boleh masuk ke dalam ruangan Saat ini Leon belum siuman, tapi sudah bisa dijenguk, tapi tolong jangan mengajaknya terlalu banyak bicara agar sakit di kepalanya tidak menyentak. Dia bisa mendengar, tapi masih sulit mencerna perkataan lawan bi
"Kenapa kamu ada di sini malam begini? Seharusnya kamu sudah berada di rumah?" tanya Rizal yang baru tiba di bar itu. Pria itu mendapat pesan dari Helen memintanya untuk datang.Helen tidak menjawab. Dia menyodorkan gelas yang baru saja diisinya ke hadapan Rizal, sesaat setelah pria itu sudah mengambil tempat duduk di samping Helen.Rizal tahu gadis itu saat ini sedang dalam mood buruk. Helen hanya ingin ditemani, tidak ada tanya jawab atau sok menggurui. Memahami hal itu, Rizal memutuskan untuk mengikuti keinginan wanita itu, duduk diam menghabiskan minuman mereka."Kamu sudah terlalu banyak minum aku mohon Helen, berhentilah. Apa kamu gak ingat saat kamu mabuk, hal yang akan kau sesali terjadi seperti dulu.""Kau pria brengsek! Jangan mengingatkanku akan hal itu. Kau sama saja seperti Dewa, menyakitiku. Katakan padaku Rizal, mengapa aku diperlakukan seperti ini? Kenapa dia berselingkuh dengan wanita itu? Selama ini aku sudah menganggapnya seperti sahabat tapi ternyata di balik senyu
"Din, ada yang datang nyariin kamu." Diana muncul diambang pintu kamar Dinda. Gadis itu sejak tadi tidak keluar dari kamarnya. Seharian menangis sesunggukan menyesali semua perbuatannya.Ucapan Helen masih menggema di telinganya. Membuat hancur perasa Dinda dengan perasaan bersalahnya."Siapa, Bu?" Dinda bangun, menghapus air matanya yang masih membasahi pipi."Kamu menangis? Ada apa? Kenapa kamu menangis?" Diana bertanya cemas. Harusnya saat ini tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan mereka, Leon sudah kembali dari rumah sakit, anak itu sudah sembuh, dan semuanya tidak terlepas dari pertolongan Dewa yang mendonorkan darahnya."Gak ada apa-apa, Bu. Hanya masih shock kalau memikirkan keadaan yang menimpa Leon. Siapa yang datang, Bu?""Ada Dewa."Seketika tubuh Dinda gemetar. Untuk apa pria itu datang menemuinya? Tidak ada janji atau hal yang perlu dibicarakan. Soal pekerjaan, dia sudah mengundurkan diri. Apa ingin menuntut sisa uang karena dirinya membatalkan kontrak kerja ranjang?Da
Dinda tampak bingung untuk menanggapi perkataan Dewa. Mungkin karena masih shock atas teguran Helen saat itu membuat Dinda sulit masuk ke dalam cerita ini lagi."Kenapa kamu bengong? Kenapa Reaksimu seperti itu?""Saya bingung harus menanggapi cerita Bapak. Tadi Bapak bilang yang tidur dengan Bapak ada saya dan juga Bu Helen, lantas bagaimana dengan wanita yang tadi Bapak bilang sudah dirusak masa depannya?"Bola mata Dewa melotot mendengar ucapan Dinda yang santai tanpa beban, menggelontorkan tuduhan merusak masa depan seorang wanita."Loh, Kok, Bapak melotot? Saya salah apa?""Saya nyesal ngajak kamu ngomong sekarang. Tampaknya otak kamu sedang beku!""Mau gimana lagi, saya memang lagi banyak pikiran. Belum kelar masalah kesehatan Leon, ditambah lagi kena amukan Bu Helen. Bapak enak bisa santai.""Sudah, saya malas ngomong sama kamu lagi!""Dih, ngambek! Buruan, Pak. Maksudnya gimana tadi? Bapak bilang tadi yang tidur dengan Bapak hanya ada saya dan Bu Helen, lantas wanita itu?"Sek
Setelah mengantarkan Dinda pulang, Dewa pun pulang. Begitu sampai di rumah, Dinda segera keluar dari mobil lalu berlari ke arah rumah tanpa mengatakan apapun.Dewa merasa kalau saat ini lebih baik dia memberikan Dinda waktu untuk berpikir. Nanti, dia akan datang lagi.Dewa juga perlu menjernihkan pikirannya untuk memutus langkah apa yang akan dia ambil. Namun, saat tiba di rumah, kedatangannya sudah dinanti oleh kedua orang tua dan mertuanya.Melihat wajah mereka tampak sangat marah padanya. Dia melihat satu persatu orang yang ada di ruangan itu. Helen duduk di sudut ruangan di dekat Soraya.Tebakannya, kalau berkumpulnya semua keluarga untuk menanyakan perihal hubungannya dengan Helen."Akhirnya kamu muncul!" suara Soraya menggelegar. Kalau mengikuti kata hatinya, dia ingin sekali berlari ke hadapan pria itu dan segera menampar wajah tampan mantunya.Dewa masih bergeming. Dia memperhatikan setiap wajah mereka satu persatu dengan wajah tenang. Dia siap menghadapi semua tudingan hingga
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me