Tangis Helen menggelegar malam itu saat kedua orang tuanya memaksa anaknya ikut pulang bersama mereka. Helen menolak, memohon agar Dewa diberi kesempatan, tapi Handoyo yang merasa terhina tetap bersikeras agar Helen ikut mereka.Tidak punya pilihan lain, Helen masuk ke mobil mereka. Perkataan Dito dan Reni yang berusaha menyadarkan mereka begitu saja diabaikan oleh keduanya."Kita bisa bicarakan ini, Han!" ujar Dito menahan langkah besannya, tapi kemudian ditepis oleh Handoyo dan bergegas masuk. "Aku akan segera meminta pengacara ku untuk mengurus perceraian ini!" kata Handoyo sesaat sebelum melajukan mobilnya.Dewa tidak mengantar kepergian mereka, dia memilih untuk diam di kursinya hingga Reni dan Dito kembali masuk ke rumah."Dasar anak brengsek! Begini sikap kamu pada keluarga istri mu? Tega benar kamu berselingkuh di belakang Helen? Apa yang kurang dari dia? Papa gak habis pikir, bisa-bisanya kamu selingkuh dengan sekretaris mu itu!" umpat Dito geram."Besok, kamu datang ke rumah
Perkelahian berlangsung dengan sengit. Satu pukulan dari Naka akan dibalas dua kali oleh Dewa. Meski belum tahu apa alasan adiknya menyerang tiba-tiba, Dewa tidak bisa menahan emosinya. Lagi pula dia juga butuh tempat untuk menyalurkan amarahnya agar kepalanya tidak nyut-nyutan dan emosinya meledak-ledak."Dasar pria gak berguna. Hanya untuk menjaga rumah tangga mu pun kau tak bisa!" umpat Naka meludah di lantai. Air liur bercampur dengan darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya yang dihantam oleh Dewa."Kau bilang gak berguna? Justru kau yang tak berguna! Mengemis cinta pada wanita. Apa kau tahu kalau Dinda tidak akan pernah menyerahkan hatinya padamu? Kau hanya akan jadi pria bayangan!"Sakit hati Naka mendengar ucapan Dewa. Terbukti kalau pria itu sadar bahwa Naka tidak ada di dalam hati Dinda. Itu membuat harga dirinya terasa semakin diinjak-injak.Satu pukulan mematikan dilayangkan Naka lagi. Kali ini dia melakukan dengan segenap hatinya yang sakit.Dewa tidak mau kalah, mem
'Kita harus ketemu!'Dinda membaca ulang pesan dari Helen, dan itu sudah kalia ke empat. Dia pikir Helen salah kirim, tapi saat wanita itu kembali mengirim pesan, menanyakannya keberadaan nya, Dinda yakin memang Helen sedang menunggu kedatangannya.Meski berat, Dinda tetap menyanggupi undangan itu. Dalam hati terus bertanya, apa yang diinginkan Helen darinya lagi. Dia sudah ditampar dan dipermalukan di depan umum waktu itu, tapi entah mengapa dia merasa tidak enak hati kalau tidak datang.Mereka janji bertemu di sebuah restoran. Saat Dinda tiba, dia mendapati Helen tengah duduk dengan gelisah. Berulang kali memperhatikan ke arah jendela hingga saat kepalanya berputar dan mendapati Dinda memasuki restoran, Helen berdiri, melambai menunjukkan keberadaannya."Kamu kenapa lama banget nyampenya?" Helen menarik jari Dinda agar segera duduk di depannya. Dinda yang terkejut mengamati wajah Helen yang sedikit berbeda. Pucat dan terlihat takut."Ibu kenapa? Sakit?"Helen jadi salah tingkah. Dia
Dewa menyambut gembira kedatangan Helen ke rumah mereka. Sudah seminggu dia menginap di rumah orang tuanya. Dewa kesulitan untuk mengajak Helen bicara ujung permasalahan mereka ini.Begitu mendapat pesan dari Helen, Dewa penuh semangat menunggu kedatangan wanita itu."Senang bertemu denganmu, Helen. Kamu apa kabar?" sapa Dewa, mengikuti langkah wanita itu yang masuk begitu saja ke dalam rumah, lagi pula ini masih rumahnya.Helen mengambil tempat di sofa single, menunggu Dewa melakukan hal yang sama."Aku kemari, ingin membahas sesuatu padamu!" ucap Helen menjaga nada suaranya. Tadinya dia memaksa Dinda ikut, tapi wanita itu bilang, urusan ini lebih baik diselesaikan mereka berdua, tanpa ada orang lain. Bukan tanpa alasan Helen ingin mengajak Dinda, dia ingin wanita itu yang bicara dengan Dewa. "Kenapa saya, Bu? Ini sih, lebih baik dibahas oleh Bapak dan Ibu," tolak Dinda saat diminta jadi juru bicara."Aku takut, Din. Kalau kamu yang bilang, Dewa gak akan marah. Aku yakin akan hal it
"Leon, jangan lari-larian, nanti jatuh!" seru Dinda memantau dengan cemas langkah Leon. Hari ini anak itu merengek minta dibawa jalan ke mall. Dia ingin membeli mainan dan alat tulis karena sebentar lagi akan masuk sekolah.Kegembiraan Leon tak terbatas. Selama masa pemulihan, anak itu benar-benar terkurung di rumah, bahkan untuk ke rumah teman sebelah rumah saja, Dinda tidak mengizinkan. Sekarang, setelah bebas dari rumah, Leon tentu saja ingin mengunjungi semua tempat yang dia lihat.Pandangan Leon terkesima kala melewati toko mainan, hingga langkahnya tidak lagi diperhatikan dan alhasil menubruk tubuh seseorang."Heh anak kecil, punya mata gak? Lihat-lihat kalau jalan!" hardik seorang wanita dengan Sasak rambut yang tinggi. Kesal dan merasa sakit karena perutnya ditabrak Leon.Namun, saat wanita itu menyadari anak siapa yang tengah dia omelin, wanita itu semakin memasang wajah galak."Jadi, kamu ternyata. Dasar anak nakal, kelakuan kamu sama saja dengan ibumu!" hardiknya menjewer te
Cuih!Rizal meludah untuk kesekian kalinya, cairan berwarna merah terus saja keluar, menyatu dengan air liurnya. Wajahnya bisa dikatakan bonyok oleh Dewa. Salah sendiri, berani sekali mengganggu istri dari Sadewa Diraja!Demi mengantisipasi serangan lebih lanjut, Raja mengambil jarak dengan Dewa. Biar bagaimanapun, Rizal tidak ingin menjadi samsak lagi.Rizal sudah mengakui kesalahannya, hingga Dewa mau melepaskannya, paling tidak untuk sementara."Aku mohon, cukup Dewa!" Rizal menarik tubuhnya kala melihat Dewa bergerak. Dia takut kalau Dewa kembali menghajarnya."Sebaiknya kau katakan hal yang dapat menyelamatkan nyawamu, dan kalau sampai gagal, jangan salahkan aku jika nanti bersikap lebih kasar dari ini!"Rizal bergeming, berpikir cepat apa yang sebaiknya dia katakan untuk mendinginkan hari Dewa, jangan sampai malam ini nyawanya dicabut oleh pria penuh emosi itu!"Saat itu kami benar-benar tidak sadarkan diri. Helen datang dengan pikiran kalutnya, bercerita tentang perselingkuhanm
"Kamu sudah pulang? Apa kata anak brengsek itu?" Kedatangan Reni disambut tanya oleh Dito. Naka yang juga ada di meja makan mencoba memasang telinga. Meski dia tua tidak mungkin lagi bisa bersama Dinda, tapi rasa ingin tahunya tentang sikap dan jawaban Dewa buatnya penasaran.Reni mengambil tempat di sebelah kanan suaminya. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan secara perlahan-lahan. Diletakkan tangan kanan di dada, mencoba meraba jantungnya yang masih berdetak kencang.Sepanjang jalan, Reni terus memikirkan perbincangan nya dengan Dewa, menyimpan rapat di pikiran agar saat menyampaikan pada suaminya, tidak akan ada satu kalimat pun yang terlewat."Ma, kok, diam? Apa kata anakmu itu? Papa tahu dia pasti membantah, kan? Dasar anak gak tahu diri. Gara-gara dia, hubungan Papa dengan keluarga Helen jadi memburuk! Pokoknya kita harus satu suara, memaksa Dewa kembali rujuk dengan Helen!"Sudah saatnya Reni angkat bicara agar suaminya tidak memperburuk keadaan dengan omongan ya
Dinda berdecak kesal, setiap dia membaca pesan dari Dewa. Pria itu mengeluh sedang sakit, dan menjual cerita sedih karena tidak ada yang mengurus dan memperhatikannya.Sudah mencoba untuk mengabaikan, tapi hatinya terusik, dia merasa gelisah juga memikirkan keadaan Dewa. Di rumah itu sudah tidak ada lagi Helen, bisa jadi pria itu juga belum makan."Kamu lagi masak apa?" tanya Diana, mendapati putrinya tengah masak di dapur. Sementara hari sudah siang, sudah lewat jam makan siang, dan mereka juga sudah makan tadi."Buat bubur, Bu," jawabnya singkat. Dia pikir ibunya sedang tidur, tidak akan tahu kalau dia sedang masak. Bukan apa, saat ini Dinda sedang tidak ingin menjelaskan apapun pada ibunya yang banyak tanya. Tapi kini, dia tidak punya pilihan."Buat siapa?"Nah, kan. Benar tebakannya."Buat.... Pak Dewa, Bu," jawab Dinda singkat.Dinda mengamati gerak Dinda yang memindahkan bubur ke dalam wadah. Banyak tanya yang ingin dia ajukan pada Dinda.Dengan cekatan Dinda memasukkan bubur da
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me