"Leon, jangan lari-larian, nanti jatuh!" seru Dinda memantau dengan cemas langkah Leon. Hari ini anak itu merengek minta dibawa jalan ke mall. Dia ingin membeli mainan dan alat tulis karena sebentar lagi akan masuk sekolah.Kegembiraan Leon tak terbatas. Selama masa pemulihan, anak itu benar-benar terkurung di rumah, bahkan untuk ke rumah teman sebelah rumah saja, Dinda tidak mengizinkan. Sekarang, setelah bebas dari rumah, Leon tentu saja ingin mengunjungi semua tempat yang dia lihat.Pandangan Leon terkesima kala melewati toko mainan, hingga langkahnya tidak lagi diperhatikan dan alhasil menubruk tubuh seseorang."Heh anak kecil, punya mata gak? Lihat-lihat kalau jalan!" hardik seorang wanita dengan Sasak rambut yang tinggi. Kesal dan merasa sakit karena perutnya ditabrak Leon.Namun, saat wanita itu menyadari anak siapa yang tengah dia omelin, wanita itu semakin memasang wajah galak."Jadi, kamu ternyata. Dasar anak nakal, kelakuan kamu sama saja dengan ibumu!" hardiknya menjewer te
Cuih!Rizal meludah untuk kesekian kalinya, cairan berwarna merah terus saja keluar, menyatu dengan air liurnya. Wajahnya bisa dikatakan bonyok oleh Dewa. Salah sendiri, berani sekali mengganggu istri dari Sadewa Diraja!Demi mengantisipasi serangan lebih lanjut, Raja mengambil jarak dengan Dewa. Biar bagaimanapun, Rizal tidak ingin menjadi samsak lagi.Rizal sudah mengakui kesalahannya, hingga Dewa mau melepaskannya, paling tidak untuk sementara."Aku mohon, cukup Dewa!" Rizal menarik tubuhnya kala melihat Dewa bergerak. Dia takut kalau Dewa kembali menghajarnya."Sebaiknya kau katakan hal yang dapat menyelamatkan nyawamu, dan kalau sampai gagal, jangan salahkan aku jika nanti bersikap lebih kasar dari ini!"Rizal bergeming, berpikir cepat apa yang sebaiknya dia katakan untuk mendinginkan hari Dewa, jangan sampai malam ini nyawanya dicabut oleh pria penuh emosi itu!"Saat itu kami benar-benar tidak sadarkan diri. Helen datang dengan pikiran kalutnya, bercerita tentang perselingkuhanm
"Kamu sudah pulang? Apa kata anak brengsek itu?" Kedatangan Reni disambut tanya oleh Dito. Naka yang juga ada di meja makan mencoba memasang telinga. Meski dia tua tidak mungkin lagi bisa bersama Dinda, tapi rasa ingin tahunya tentang sikap dan jawaban Dewa buatnya penasaran.Reni mengambil tempat di sebelah kanan suaminya. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan secara perlahan-lahan. Diletakkan tangan kanan di dada, mencoba meraba jantungnya yang masih berdetak kencang.Sepanjang jalan, Reni terus memikirkan perbincangan nya dengan Dewa, menyimpan rapat di pikiran agar saat menyampaikan pada suaminya, tidak akan ada satu kalimat pun yang terlewat."Ma, kok, diam? Apa kata anakmu itu? Papa tahu dia pasti membantah, kan? Dasar anak gak tahu diri. Gara-gara dia, hubungan Papa dengan keluarga Helen jadi memburuk! Pokoknya kita harus satu suara, memaksa Dewa kembali rujuk dengan Helen!"Sudah saatnya Reni angkat bicara agar suaminya tidak memperburuk keadaan dengan omongan ya
Dinda berdecak kesal, setiap dia membaca pesan dari Dewa. Pria itu mengeluh sedang sakit, dan menjual cerita sedih karena tidak ada yang mengurus dan memperhatikannya.Sudah mencoba untuk mengabaikan, tapi hatinya terusik, dia merasa gelisah juga memikirkan keadaan Dewa. Di rumah itu sudah tidak ada lagi Helen, bisa jadi pria itu juga belum makan."Kamu lagi masak apa?" tanya Diana, mendapati putrinya tengah masak di dapur. Sementara hari sudah siang, sudah lewat jam makan siang, dan mereka juga sudah makan tadi."Buat bubur, Bu," jawabnya singkat. Dia pikir ibunya sedang tidur, tidak akan tahu kalau dia sedang masak. Bukan apa, saat ini Dinda sedang tidak ingin menjelaskan apapun pada ibunya yang banyak tanya. Tapi kini, dia tidak punya pilihan."Buat siapa?"Nah, kan. Benar tebakannya."Buat.... Pak Dewa, Bu," jawab Dinda singkat.Dinda mengamati gerak Dinda yang memindahkan bubur ke dalam wadah. Banyak tanya yang ingin dia ajukan pada Dinda.Dengan cekatan Dinda memasukkan bubur da
Wajah Dinda bersemu merah mendengar perkataan Dewa. Rasanya ingin sekali menyembunyikan wajahnya di dasar lantai, atau gak sekalian masuk lemari. Melihat Dinda yang tersipu malu, membuat Dewa mengulum senyum. Dia mendudukkan diri, tanpa kata, Dewa meraih tangan Dinda hingga spontan kepala gadis itu menoleh ke arah Dewa.Suasana hening. Jantung Dinda berdebar kencang hingga dia lupa menarik napas tak kala Dewa justru mendekatkan diri padanya. Wajah pria itu bergerak pelan tapi pasti mendekat pada ke wajah Dinda. Desu napas keduanya saling beradu hingga jarak keduanya terkikis. Dinda sudah terlanjur terhipnotis dengan tatapan elang Dewa, tidak ada lagi jalan untuk menghindar. Seketika ketakutan yang dia rasakan tadi saat berdekatan dengan Dewa menghilang berganti rasa hangat dan nyaman kala bibir pria itu melekat di bibirnya.Kedua tangannya menangkup pipi Dinda hingga bebas mengecup wajah Dinda dan melumat bibir gadis itu penuh gairah sebagai bentuk pelepasan kerinduannya. Bola mata
Wajah Dinda masih terus menunduk, bahkan kali ini semakin menunduk karena takut dan malunya. Tanpa dia mendongak pun, Dinda yakin kalau saat ini pasangan suami istri Diraja sedang memperhatikannya. Dia bagai terpidana mati yang sedang menunggu putusan sidang.Beda cerita dengan Dewa. Pria itu duduk dengan santai di samping Dinda. Menantang orang tuanya untuk berargumen. Sekali saja perkataan mereka tidak pas di hati Dewa, atau ada yang melukai perasaan Dinda, maka dia tidak akan tinggal diam."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dito dingin, suara menggelegar, membuat nyali Dinda semakin ciut.Tubuh gemetar Dinda mengangkat wajahnya, tepat bersitatap dengan Dito. Belum sempat menjawab, Dewa segera mewakili Dinda."Aku yang memaksanya untuk datang ke sini. Aku sakit, dan memintanya untuk mengantarkan makanan," tegas Dewa. Dia ingin lihat siapa lagi yang akan menyerang. Dewa siapa berubah jadi singa jantan yang mencoba untuk menyakiti pasangannya. Di depan orang tuanya, Dewa menggengg
Soraya meremas surat panggilan dari pengadilan agama atas perceraian Helen yang tanpa disengaja dibacanya di atas meja rias Helen. Niatnya untuk memanggil Helen atas permintaan sang suami, tapi justru bertemu suratnya."Apa ini?" sosor Soraya setelah melihat Helen keluar dari kamar mandi. "Mama bisa baca sendiri kan, kalau itu surat gugatan cerai," jawab Helen cuek, wajahnya tampak pucat dan lemas. Tanpa peduli dengan pelototan sang Ibu, Helen menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, terlihat matanya begitu lelah karena sepanjang malam tidak bisa tidur menahan rasa sakit.Soraya yang memperhatikan sikap Helen segera mendekati putrinya. Sangat tidak biasanya Helen terlihat aneh seperti itu, timbul rasa curiga di hati Soraya."Kamu kenapa?" terselip rasa khawatir pada keadaan putri satu-satunya itu. Beberapa hari ini kalau diperhatikan, Helen lebih sering mengurung diri, tubuhnya terlihat semakin kurus, dan selera makannya juga kurang. Dia pikir karena anaknya itu sedih atas perpisahan d
Tak sanggup mendengar kejujuran Helen, Handoyo akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit malam itu. Kata dokter dia mendapatkan serangan jantung dan harus dirawat secara intensif di rumah sakit.Berita itu pun sampai ke telinga Reni dan juga Dito. Merasa masih memiliki hubungan keluarga karena anak mereka belum bercerai, pun mereka juga adalah sahabat, hingga menunjukkan empati dengan datang ke rumah sakit."Kenapa Handoyo bisa sampai kena serangan jantung tiba-tiba?" tanya Dito kepada Soraya yang masih duduk termangu dengan kedua tangan meremas jemari. Terlihat kepanikan di wajah Soraya. Banyak yang menjadi beban pikirannya.Kehadiran suami istri Diraja juga sedikit mengganggu Soraya. Dia takut keduanya sudah mengetahui tentang keadaan Helen hingga mereka datang. Keduanya punya hak untuk menuntut bahkan bisa saja mereka mengumumkan di media massa perbuatan Helen yang sangat memalukan. Alhasil keluarga mereka akan sangat dipermalukan dan sumpah demi apapun, Soraya tidak akan bisa meneri
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me