Septa sedang mengunyah roti panggang saat Dion datang membawa secangkir kopi. Si gondrong maskulin ini tak biasa sarapan, karena jadwal kerjanya yang tak menentu. Gaya hidupnya bisa diibaratkan sarapan di Jogya, bisa jadi makan siang di Surabaya. Bagaimana pun sibuknya, Dion selalu berusaha untuk selalu ada bagi mama dan adiknya.
Dion telah lama menggantikan posisi sang papa, menjadi laki-laki yang bisa melindungi keluarga. Kewajiban inilah yang membuat Dion selektif banget dalam mencari pendamping hidup dan tak buru-buru ingin menikah, sebelum adiknya hidup nyaman. Oleh karena itulah karena kelamaan tak juga segera menikah, akhirnya tunangan Dion lari ke pelukan pria lain.Pagi itu, Septa dibonceng Dion dengan motor vespa. Hal yang paling Septa benci selama ini. Dia paling anti dengan suara motor yang berisik, malu-maluin menurutnya. Berhubung sang abang sejalur dengannya dan ada iming-iming motor akan ditukar tambah dengan yang lebih baru maka dengan senang hati wanita bersweater merah ini duduk manis di boncengan sekarang.“Dek, lu kaga bosen apa pake sweater?” tanya sang abang sambil memandang Septa dari pantulan kaca spion.“Emang kenapa, Bang? Ada larangan gitu pergi kerja pake sweater?” Septa menjawab sembari mengamati sweater merah yang dipakainya.“Gak ada larangan sih. Cuma kaga modis tau, jadi sekretaris tuh pakai blazer atau outer yang fashionable.”“Biarin aja! Gue suka tuh,” jawab Septa sengit, memang ia paling tak suka kalau ada orang yang menyinggung soal sweater merahnya.Perjalanan ke tempat kerja Septa yang baru memakan waktu tiga puluh menit. Suasana perkantoran terlihat lengang, hanya beberapa karyawan terlihat memasuki lobi. Septa segera turun dari boncengan, mencium punggung tangan abangnya lalu segera melangkah ke arah lobi. Ada seorang resepsionis yang telah siap di meja informasi. Septa mendekat ke arah wanita dengan blazer warna gading tersebut lalu bertanya tempat di mana ruang untuk karyawan yang baru mendapat panggilan kerja. Septa segera menuju ruang yang ditunjukkan wanita resepsionis tadi. Kini, Septa telah berdiri di depan sebuah pintu bertulis ‘Direktur Utama’ dan kakinya masih terpaku saat sebuah colekan di bahu kanan menyadarkannya.“Ketuk aja pintunya, bos dari semalam tidur di dalam,” ucap seorang wanita setengah baya dengan senyum ramah. Septa hanya menoleh dan ragu-ragu akan mengetuk pintu, seketika wanita di sampingnya mengetuk pintu. Mereka beberapa menit menunggu tak ada jawaban dari dalam.‘Tok ... tok ... tok!’“Masuk!” jawaban dari dalam, tapi Septa masih ragu untuk menurutinya.“Masuk aja, kamu udah jadi karyawan sini. Masih ingat aku, kan?”Septa sibuk mengingat siapa wanita di hadapannya kini dan ia mulai mengenalinya. Wanita berblazer biru tua ini ikut hadir dalam acara interview yang ia lakukan kemarin. Akhirnya gadis bersweater merah ini mulai membuka pintu dan melangkah masuk. Tepat di depannya seorang pria muda berselimut merah maron sedang asik menggeliat di atas sofa dan terlihat berbagai berkas berserakan bercampur-baur dengan berbagai bungkus snack, kotak rokok, minuman kaleng dan asbak yang penuh putung rokok.Septa hanya terdiam tak tahu harus berbuat apa dan masih memandangi sekeliling ruangan dengan takjud. Sebuah ruangan didesain secara modern bernuansa mirip alam bebas, keseluruhan dinding bercat warna biru langit. Di salah satu sudut terdapat air terjun cukup besar terdapat dalam kaca mirip aquarium ukuran super dilengkapi kolam besar di bawahnya yang setiap detik terdengar bunyi gemercik saat air terjun menghunjam ke dalam kolam.Di sudut lain terdapat miniatur berbagai jenis burung menempel pada dinding berlukis sebuah pohon berdaun lebat, sesekali terdengar suara kicauan burung bergantian. Sungguh terlihat asri dan menenangkan pikiran dan tak merasa sedang berada dalam suatu ruangan tertutup.“Selamat pagi, tolong bantu saya membersihkan berkas-berkas ini.”Terdengar suara sang bos yang segera menyadarkan Septa dari lamunan. Septa tergagap dan segera mendekat ke arah meja dekat sofa yang dibuat tidur pria muda tersebut. Sang pria muda sudah berdiri dengan baju kerja kusut, sepertinya bos baru tak sempat ganti baju dan langsung tertidur karena kecapekan.“Sini, maaf, ya! Pasti kaget liat keadaan ruangan amburadul kayak gini. Ini merupakan rahasia kecil kita. Jaga itu!”Pria ini bergegas masuk toilet dan tak lama kemudian terdengar bunyi guyuran air dari shower. Septa memberanikan diri mendekat dan mulai membereskan meja dan sofa di hadapannya. Septa mulai menata barang dan berkas secara rapi lalu beranjak ke meja kerja bos membersihkan asbak penuh putung rokok dan berkas-berkas di atasnya.Semua sudah tertata rapi dan Septa berdiri menunggu sang bos keluar dari toilet. Tak lama kemudian pria muda itu pun keluar toilet dengan tampilan lebih fresh. Septa sempat tergagap karena sang pria bertelanjang dada hanya berbalut handuk sampai lutut.“Oh my God!” Septa segera menutup mata dengan kedua tangannya.“Oh, maaf! Lupa kalau ada orang.” Pria muda ini segera mengambil baju pengganti dan segera masuk toilet kembali.“Ya ampun, bikin deg-degan aja,” gumam Septa lirih sambil memegangi dadanya yang turun naik. Tak habis pikir dia, punya bos seceroboh itu.Dalam toilet, hal yang sama dialami oleh pria muda barusan. Ia benar-benar lupa kalau hari ini ada sekretaris baru yang akan membantunya lembur untuk menyelesaikan konsep proyek dan ia semalam begadang hingga bangun kesiangan. Isi dalam dadanya serasa mau copot hingga salah tingkah dibuatnya. Namun, ia harus menjaga wibawa karena harus selalu tampil sempurna dengan mengatur napas sampai stabil, akhirnya bisa keluar toilet.“Selamat pagi, Pak! Semua barang sudah saya rapikan,” ucap Septa masih dengan posisi berdiri di depan meja bosnya dengan pandangan menunduk. Dalam otaknya masih terbayang bentuk dada bidang sang bos yang berbulu lebat. Sang pria muda dengan tenang duduk di kursi dan melihat barang-barang yang sudah rapi lalu tersenyum puas.“Selamat pagi juga. Bagus, sudah rapi semua. Silakan duduk! Kita bahas kerja untuk kamu.”Septa segera duduk persis di hadapan pria muda tersebut. Beberapa kali Septa melihat pria muda berkulit eksotis ini tertegun beberapa lama melihat dirinya lalu tersadar kembali setelahnya. Keadaan yang membuat Septa kikuk. Beruntung tak berlangsung lama, pria muda di hadapan telah mencatat tugas-tugas untuk Septa dan menjelaskan seperlunya. Akhirnya Septa ditunjukkan ruangan kerjanya dan wanita berkepang satu ini kemudian mulai melakukan tugas. Beberapa saat datang seorang tamu yang ingin menemui sang bos. Septa segera memberitahu bosnya dengan telepon paralel. Setelah sang bos menyetujui untuk bertemu tamunya, Septa mengantar tamu tersebut ke ruangan atasannya. Saat sekretaris baru ini hendak balik ke ruangannya, sang bos meminta untuk tetap tinggal lalu mengajaknya berbicara empat mata di balkon.“Coba kamu ceritakan ciri-ciri tamu barusan. Namanya siapa? Aku minta setiap ada tamu ingin bertemu aku, itu yang harus kamu lakukan, sebelum tamu masuk kemari.” Sang bos dengan rambut gondrong ini mewanti-wanti Septa. Begitu mendapat penjelasan tersebut, Septa terlihat bingung. “Oh, ya. Perkenalkan, namaku Arga Pramana Nugraha. Data lengkap entar aku kirim via email.”“Okay, Pak! Ini catatan tentang ciri-ciri tamu tersebut,” ucap Septa sembari menyodorkan selembar kertas.Arga—bos muda ini tersenyum senang dan mereka kembali menemui tamunya. Otak Septa sempat berpikir hal ganjil mengenai permintaan sang bos barusan. Ia melihat Arga punya mata bagus, terlihat normal dan berbicara dengannya pun tak ada masalah. Kenapa menyuruhnya memberi catatan soal ciri-ciri tamu? Ada yang aneh dengan bos barunya ini."Septa, tolong kamu amati pria di bawah sana. Tolong catat motif baju, celana dan warnanya. Oh, ya! Jangan lupa model rambut dan apa saja yang melekat padanya," ucap Arga sambil menunjuk sesosok pria yang baru turun dari mobil dari kaca jendela. Setelah pria muda ini mengakhiri panggilan masuk.Hal yang sama terjadi juga pada saat seorang wanita mengetuk pintu, beberapa jam sebelumnya."Septa, itu suara tante aku. Tolong kamu temui di luar dulu. Catat warna dan motif baju, dia pake apa aja. Tanyakan keperluannya! Bawa dulu catatan itu masuk, baru dia kamu ajak ke dalam."Hari ini pengalaman bekerja di tempat baru dengan bos yang ganjil di mata Septa. Ada tiga orang tamu yang harus ia tulis secara detail di atas sebuah kertas sebelum menemui bos muda ini. Entahlah, ada motif apa pria tampan berambut gondrong ini memberi perintah di luar tugas utamanya sebagai seorang sekretaris. Sampai saat jam kerja usai, sekretaris baru ini tak mendapatkan hal yang aneh yang mendukung sikap bos muda
Perjalanan ke rumah Septa memakan waktu satu jam. Akhirnya sampai juga di depan rumah disambut dengan hujan yang mulai mereda, tinggal gerimis saja. Dion segera menyambut kedatangan mobil Arga dengan membuka pintu gerbang.“Bos, mampir dulu. Kita ngeteh dulu. Biar gak kedinginan sekalian tunggu hujan benar-benar reda,” ucap Dion mempersilakan Arga. Akhirnya Arga membelokkan mobil demi rasa penasaran dengan Septa dan juga hubungan baik dengan Dion yang terjalin sudah lama. Mobil diparkir tepat di depan teras, Septa turun bebarengan dengan sang bos. Bertiga melangkah ke teras.“Duduk sini saja, ya. Saya suka lihat taman.” Arga langsung duduk di kursi yang menghadap taman.“Silakan duduk, Pak. Saya permisi masuk dulu,” ucap Septa. “Oh ya, silakan. Saya akan ngobrol dengan Dion, benar, kan?” Sambil berucap kepala Arga menoleh ke pria muda di sampingnya. Dion tersenyum walau diselimuti tanda tanya besar di kepalanya.Perasaan dari tadi nanya nama mulu, ya? Pikir Dion keheranan. Beberapa
Septa bergegas menuju depan dan segera membuka pintu.“Selamat pagi,” ucap si tamu yang tak lain Arga, sang bos.“Selamat pagi juga, Pak,” jawab Septa sembari mempersilakan Arga untuk duduk.Pria berpakaian rapi segera duduk diikuti oleh Septa. Mereka kemudian membahas percakapan lewat layanan aplikasi semalam. Sesuai rencana, Septa akan diajak menemui klien di luar kota. Oleh karena harus meminta izin secara langsung pada mama Septa dan Dion, maka dari itu Arga menjemput Septa lebih awal. Baru kali ini Arga mau keluar kota bareng sekretaris apalagi pegawai baru. Secara ia tak gampang mempercayai orang karena gangguan yang dialaminya.“Septa, boleh saya tanya?” tanya Arga sembari menatap bening mata gadis di depannya ini.“Oh iya, Pak. Silakan,” jawab Septa gugup mendapati tatapan mata sang bos tak berkedip sedikit pun membuatnya jadi kikuk.“Kamu udah punya pacar? Maaf agak lancang.” Tatapan mata Arga masih tak mau berpindah dari sekujur tubuh sekretarisnya.“Maaf, Pak. Ada yang sala
"Septa, terima kasih untuk hari ini. Tetaplah bersamaku! Tugas utamamu di kantor, di luar itu ada uang khusus. Semua rincian udah aku email ke kamu. Pelajari! Kalo ada yang kurang jelas, bisa hubungi nomor teleponku,” ucap Arga lalu dibukanya sebuah aplikasi di ponsel.Tak lama kemudian terdengar suara pemberitahuan pesan di ponsel Septa. Wanita berkepang ini pun kaget saat melihat jumlah nominal yang tertera di layar ponsel.“Ya ampun, Pak! Banyak banget? Saya masih dua hari bekerja, kok udah dapat gaji?” tanya Septa keheranan dan Arga hanya membalas dengan senyuman. “Pak?” “Itu untukmu, Sayang!”Tiba-tiba Arga mendaratkan kecupan di kening Septa dan seketika memanas seluruh permukaan kulit wajah sang sekretaris baru ini.Bos panggil Sayang? Gak salah?Saat otak Septa sibuk memikirkan hal barusan, tangan pria di sampingnya telah meraih jemari dan mengecupnya.“Temani aku, Sekretarisku!” Septa seketika menoleh kaget tanpa sadar mata keduanya beradu dan membuat Septa seketika berpal
"Pak Arga mengidap phobia, perlu pemeriksaan oleh seorang psikiater. Bu Septa adalah orang yang dipercaya Pak Arga saat ini.""Saya harus bagaimana, Dokter?""Dampingi beliau selalu, Bu."Setelah memberi penjelasan tersebut, dokter dan kedua suster berpamitan. Seharian bersama sang bos membuat Septa sedikit banyak semakin mengenal kepribadiannya. Si bos yang ganteng dan kaya rupanya punya rasa minder dengan penyakitnya yang aneh. Selama ini telah beberapa kali sang bos salah mengenali orang hingga ada rencana proyek gagal terlaksana.Kini di hadapan sekretaris barunya, Arga yang anti sosial memelas meminta agar Septa menemaninya setiap saat dibutuhkan. Pria tampan dengan pandangan kosong ini mengulang permintaannya saat di luar kota kemarin. Septa yang merasa sebagai pegawai baru, dianggapnya hal tersebut sebagai tantangan baru dalam bekerja. “Sekarang tolong ketik perjanjian kita dan di situ juga, sebutkan apa syarat-syarat apa saja yang harus aku penuhi untuk konsekuensi permintaan
"Enak, nih! Makanan pesan antar,” celutuk Dion melihat bungkus makanan gerai siap saji yang sedang dinikmati Septa.Septa sedang menikmati makanan yang telah dipesan khusus oleh Arga, saat Doni datang bersama mamanya. Septa segera mencium tangan keduanya lalu sementara waktu menyimpan sisa makanannya untuk dilanjutkan nanti.“Pantaslah, sampai lupa gak telepon, padahal Mama tunggu kabar, ” sahut Bu Rita juga.“Iih, apaan sih? Baru makan pagi doang sampe hampir sore ini. Bos sempat ngedrop, gak berani ninggalin cari makan,” sahut Septa dengan muka memelas. Sang mama seketika mengelus kepala anak perempuannya. Ia tahu Septa adalah anak yang jujur dan baik hati.“Maaf ya, Tante, Dion. Septa sampe kelaparan merawat saya. Terima kasih atas kebaikan kalian, ya,” sahut Arga menengahi mereka agar tak menyalahkan Septa. Hatinya jadi nggak tega melihat muka sedih sekretarisnya.Mama dan Dion tertawa mendengar jawaban Arga lalu segera menghampiri lalu menyalami bos muda.“Kami cuma bercanda aja,
"Ini rumah Bapak?" tanya Septa sambil berdecak kagum, saat mereka telah sampai teras rumah Arga.Arga hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sekretaris lucunya."Ayo kita masuk!" ajak Arga seraya mendongak ke arah Septa yang masih terkagum-kagum dengan hunian mewah sang bos.Septa mendorong masuk kursi roda Arga. Mereka memasuki sebuah ruangan luas mirip aula, terdapat tiga set meja kursi tamu dengan gaya klasik menambah kesan mewah dan elegan yang mendukung desain ruangan. Septa terkagum-kagum dengan ruangan dan segala furniture di dalamnya. Ia melihat semuanya seakan memasuki sebuah ruangan istana dalam buku dongeng. Mulut Septa tersenyum simpul dan hal ini tak luput dari pandangan Arga. Dari arah dalam muncul seorang wanita setengah baya menghampiri mereka.“Selamat sore, Pak! Saya sudah memasak menu kesukaan Bapak.”“Selamat sore, Bik! Siapkan paviliun untuk Nona ini dulu, baru siapkan masakan untuk kami. Septa kamu ikuti si Bibik, setelah itu balik ke sini, kita makan.”Arga
“Septa? Saya tadi mandi, kan?” “Bapak tadi pingsan di kamar mandi. Maaf saya gantiin baju Bapak," ucap Septa tertunduk malu karena baru kali ini ia melihat tubuh pria tanpa baju di depan mata.“Tapi ini kok basah?” tanya Arga sembari mengusap celana bagian belakang dan depan di area sensitifnya.“Maaf, Pak. Saya gak berani menggantinya.”Kepala Septa semakin tertunduk saat mengatakannya dan membuat Arga tersenyum. Pria jangkung ini tahu hal tersebut wajar dirasakan oleh gadis seperti Septa. Arga perlahan mulai bangun lalu melangkah ke arah lemari pakaian dan mulai mengambil sebuah celana dalam dan celana pendek, tapi tiba-tiba tubuhnya limbung.Arga berusaha berpegangan pada tepian lemari. Septa yang mengetahui hal itu segera membimbing pria tersebut untuk duduk di ranjang kembali. Septa kemudian mengambil kursi roda dan membantu sang bos untuk duduk di atasnya. Gadis bersweater merah ini mendorong kursi roda tersebut masuk ke toilet lalu menutup pintunya kembali. Septa menunggu sam
Ting! Terdengar notif pesan diterima.[Oke. Aku siapkan semua. Kamu siap-siap di depan. Hitungan menit saja, kita bisa pergi dari sana.][Terima kasih, Bang.]Pesan terkirim dan Septa buru-buru menghapus semua percakapan. Clear. Sebuah senyum manis menghias bibir Septa. Hatinya bisa sedikit tentram sekarang. Dia tidak tahu rencana apa yang telah disusun oleh Ardan.Namun, dia butuh segera keluar dari kantor polisi ini. Perilaku bar-bar wartawan membuatnya semakin tertekan. Yang dia butuhkan sekarang adalah segera bisa keluar dari sini. Otak dan hatinya ingin segera disegarkan dan hanya dia yang tahu caranya.Satu jam kemudian Ardan mengajak Septa untuk keluar menuju lobby kantor. Tentu saja, wanita ini menolaknya mentah-mentah karena belum ada kabar dari Ronald. Ardan yang melihat Septa dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya memegang kedua bahu wanita tercinta."Kamu akan lihat gimana caranya agar para wartawan bisa pergi dari sini,"ucap Ardan dengan menatap Septa."Maksudnya apa?"tanya S
Ardan berusaha untuk menahan diri. Bagaimanapun, dirinya harus bersikap bijak dalam menghadapi wartawan. Dia paham taktik para pencari berita dengan cara menyulut emosi narasumber. Pada saat narasinya semakin emosi dalam meladeni pertanyaan wartawan dan biasanya dia tanpa sadar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu dipublikasikan. Di saat itulah para pencari berita mereka semua ucapan yang terlontar dari mulut narasumber. Ucapan dalam keadaan marah tersebut akhirnya tertuang pada ketikan mereka. Begitu berita jadi viral dibicarakan dalam masyarakat, otomatis kelanjutan beritanya akan terus dicari-cari. Hal ini mendongkrak penjualan bagi lapak atau platform penyedia layanan informasi online maupun offline. Para wartawan dapat keuntungan bonus dan juga promosi jabatan. Narasumber yang baru sadar akan kekhilafannya akan segera memberikan ultimatum terhadap para wartawan bahkan sibuk membuat siaran pers untuk klarifikasi. Tindakan itu bahkan menjadikan berita semakin dicari dan
Septa lalu melirik pada sebuah nakas di sebelah ranjang. Hmm, siapa yang taruh meja minimalis ini?Kamar Septa dan isinya selalu berwarna putih dan tidak pernah ada warna-warna monokrom seperti ini. Apalagi keberadaan sebuah meja kecil berbahan rotan. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah ke pinggang.Ada beban berat yang membebani area tersebut sejak dirinya bangun. Itu ternyata berasal dari lengan cokelat yang membelitnya. Kepala wanita berparas ayu ini langsung menoleh ke sebelahnya. Ada seorang lelaki sedang tidur lelap.Whaatt? Apa-apaan ini?!Lengan kuat eksotis. Lelaki asing dengan bagian atas tanpa penutup. Tarikan napas teratur. Septa seketika tercekat. Dia pun jadi berpikir yang tidak-tidak. Wanita ini sibuk memutar memori otak. Akhirnya satu kesimpulan diambil ....Septa tundukkan kepala lalu mengintip tubuhnya di balik selimut. Dia langsung syok antara kenyataan atau halusinasi.Kepalaku pengar. Apa yang aku minum tadi? Jadi setengah mimpi begini, keluhnya dalam hati.
"Syukurlah. Kasian Manda gak tau apa-apa soal mafia, jadi korban.""Tyson sampai hari ini belum bisa dipantau," ungkap Ardan. "Dia ini terkenal kejam dan licik dibandingkan Tuan Edzard dan William. Diduga dia ada di balik pengambilan organ dalam para pasien rumah sakit.""Padahal kurang sebulan lagi, Manda dan Tyson menikah. Kenyataannya kini, mereka jadi terlibat urusan mafia tiada berujung," ucap Septa penuh sesal. "Aku punya ide biar bisa tangkap Tyson.""Apa itu?"tanya Ardan penasaran."Kita suruh orang lain untuk jaga Manda. Tyson itu sebenarnya cinta banget sama Manda. Dia lakuin ini pasti karena sakit hati, Manda akan dinikahi Tuan Edzard."Ardan menaikkan kedua alis. Pria ini sedang berpikir sejenak lalu bertanya,"Maksudnya gimana?""Amanda dijaga orang lain, biar Tyson merasa aman untuk mendekatinya. Kita pantau mereka dari kejauhan dan tentu saja ada dokter serta perawat yang bisa kita ajak bekerja sama.""Bagus ide kamu, Sayang. Kita realisasikan," balas Ardan dan langsung
"Ah, akhirnya, semua aman. Saatnya kita pulang," ucap Ardan sambil meluruskan badan. Septa memijat pelan punggung kekasihnya. "Nanti di rumah aku pijatin sekujur badan.""Septa, perutku sakit sekali. Ada yang kosong di bagian perut kiri. Di situ timbul rasa sakit,"keluh Amanda dengan mendesis kesakitan."Jangan-jangan, ...." Ucapan Ardan tidak dilanjutkan karena keburu ada panggilan telepon."Halo, ada apa?"tanya Ardan kepada seseorang di ujung telepon."Pak, ada info, dokter yang menangani Nona Amanda adalah bagian dari komplotan pasar gelap.""Kamu kata siapa?""Ada seorang pria tua bikin laporan. Anaknya setelah operasi besar. Ginjalnya hilang satu.""Oke, terima kasih. Terjunkan tim untuk pantau target.""Baik, Pak."Hubungan telepon berakhir dan tentu saja dalam tatapan tajam kedua mata Septa. Ardan paham bahwa wanita tersebut ingin penjelasan. Pria ini segera merangkul bahu Septa. "Kita harus ke rumah sakit terpercaya untuk memeriksa organ dalam Nona Amanda.""Hei, apa yang ter
Tuan Edzard berusaha mengusir sengatan aneh yang hendak menggerakkan tangannya. Namun gagal, tangannya bahkan dengan lancang meraba puncak dada Amanda sembari bibir kasarnya mengecup ceruk leher si wanita lembut.Pria ini memainkan lidahnya sejenak dan kian intens meremas buah dada yang terasa penuh pada tangan besarnya. Detik berikutnya, pria ini melumat bagian itu lalu mengisap puncak kecoklatannya dan memberikan beberapa gigitan manja di sana."Tuan, jangan!"Permainan pelan itu kian memabukkan begitu pun Amanda tanpa sadar mendesah pelan saat Tuan Edzard menyibak baju Amanda pelan dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi.Door!Pyaarr!Tuan Edzard langsung merangkul Amanda lalu mengajak bersembunyi di balik sofa. Pria usia senja ini berbisik kepada Amanda. "Kamu masuk kamar dengan hati-hati. Saya akan lindungi kamu.""Baik, Tuan,"balas Amanda yang langsung mengikuti saran Tuan Edzard. Wanita ini masuk kamar yang berada di balik rumah tamu. Saat masuk kamar, telinga Amanda mas
"Selamat pagi juga, Tuan. Ya, kami memang dengar suara tembakan dari sebuah drone. Namun, tiba-tiba barang itu jatuh dan seketika terbakar,"jelas seorang sekuriti. Penjelasan sekuriti ini membuat Tuan Edzard terkejut, hingga semakin membuatnya penasaran. "Bolehkah saya melihat luar gerbang sebentar?"tanya Tuan Edzard merasa tidak enak hati karena sebelum menuju mansion, dia telah dipesan oleh Septa untuk tidak keluar lagi."Lebih baik Tuan pantau area luar gerbang dari tangkapan layar CCTV saja. Mohon maaf karena ini telah diinstruksikan oleh Nona Septa." "Baik. Saya mau lihat tangkapan rekaman CCTV."Sekuriti mendampingi Tuan Edzard untuk mengamati situasi di luar gerbang. Mereka melihat kedatangan sebuah drone yang diduga milik mafia, pesaing bisnis keluarga Edzard. Pada saat alat canggih tersebut hampir melewati atas gerbang secara mengejutkan ada sinar laser merah.Sinar tersebut menembaknya jatuh. Mata Tuan Edzard dan sekuriti dibuat terbelalak, saat melihat kejadian luar bias
Sejak hidupnya sering diteror mafia saingan bisnis William, Septa lebih nyaman tinggal di mansion bersama Mama dan abangnya. Ardan membuka kaca mobil lalu menghentikan mobil depan pos jaga. Kedua sekuriti tersenyum. Ardan segera menyapa mereka."Selamat pagi. Nanti ada tamu khusus, tolong dibantu kelancarannya.""Selamat pagi, Tuan Ardan. Baik, akan kami bantu."Ardan tersenyum lalu mengulurkan dua lembar uang merah kepada sekuriti. "Buat beli kopi.""Terima kasih, Tuan.""Sama-sama."Seorang sekuriti membuka pintu gerbang lalu mobil pun beranjak masuk halaman. Gerbang pun ditutup kembali. Ardan menoleh ke arah Septa lalu berucap,"Serius ini, aku benar-benar nginap di sini.""Iya, Sayang! Udah aku bilang tadi," balas Septa lalu tertawa manja sambil bersandar ke bahu pria sebelahnya.Mobil baru saja berhenti di carport, tiba-tiba ponsel Septa berdering. Wanita ini menegakkan tubuh lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Dia sedikit memicingkan mata karena pandangannya nanar efek dari alko
Ponsel Septa berdering. Ardan segera bangkit lalu mengambilkan untuk Septa. Tertera nama Tuan Edzard. Septa gegas menjawab panggilan."Selamat malam, Tuan.""Selamat malam. Maaf, mengganggu, Nona Septa," ucap pria tersebut dengan suara dalam.Ada apa, Tuan?"tanya Septa dengan rasa penasaran."Saya ingin titip Amanda di rumah Nona Septa demi keselamatannya. Silakan ajukan pembayaran per jam atau harian. Saya akan transfer sekarang. Sekitar seminggu agar kondisi tubuhnya cepat pulih. Boleh?"Septa yang mendapatkan tawaran dari Tuan Edzard langsung tersenyum lega. Ini namanya pria bertanggung jawab, kata hatinya."Boleh, dong, Tuan. Gak usah pake bayar. Amanda itu teman saya. Dengan keputusan bijak yang Tuan Edzard ambil, saya banyak terima kasih. Kalian sama-sama korban. Ronald sudah cerita banyak soal kejadian malam itu. Saya akan jaga Amanda. Sekarang dia di mana, Tuan?""Wah, sungguh luar biasa! Saya gak tahu kalo kalian berteman. Amanda sekarang ada di mansion, habis keluar dari rum