Pak Ridwan adalah orang yang baik, setidaknya itu adalah kenangan-kenangan yang terpatri di dalam pikiran semua orang yang tinggal di Desa Muara Ujung, seseorang yang rela membuang segala kemewahannya, disaat para dokter lain ingin sekali bekerja di Rumah Sakit besar di Ibu Kota.Namun, berbeda dengan Pak Ridwan, dia lebih memilih untuk datang ke Desa Muara Ujung, desa transmigrasi yang jauh dan terpencil, jauh dari keramaian kota, jauh dari segala fasilitas yang menunjang.Bahkan, mungkin saja, dia secara sukarela menjadi Dokter disana tanpa dibayar sepeserpun, dia hanya menjadi warga biasa yang mengabdi di tempat transmigrasi dan membantu Pak Dani yang menjadi Kepala Desa disana untuk menolong warga dan merawat mereka agar mereka bisa terus bekerja di lahan yang sudah disediakan.Sehingga, sebuah rasa kehilangan yang mendalam atas meninggalnya Pak Ridwan begitu membekas kepada semua warga, apalagi Pak Ridwan meninggal dalam keadaan tubuhnya yang mengenaskan.Tubuh yang dipenuhi luka
Beberapa hari setelah Satria dimakamkan, kini muncul di sebelahnya sebuah makam baru, makam dari sahabatnya yang mengajak dirinya tinggal di Desa Muara Ujung ini.Mereka berdua adalah sahabat dekat, sehingga ketika meninggal pun mereka saling berdampingan satu sama lain.Hampir semua warga mengantarkan Pak Ridwan ke tempat peristirahatannya yang terakhir, iring-iringan para pengantar jenazah yang disertai isak tangis dari para warga yang tahu akan kebaikannya mengiringi kepergiannya sekarang.Seorang Dokter, juga sahabat dan teman mereka dikala mereka sedang suntuk atau butuh teman mengobrol, seseorang yang berwawasan luas, yang sering sharing tentang kehidupan diluaran sana kepada para warga yang kebanyakan dari kampung-kampung terpencil dan tidak tahu apa-apa tentang dunia luar.Hari ini, Desa Muara Ujung berduka kembali, bahkan langit pun merasakan hal yang sama. Mendung tanpa ada sedikitpun warna biru yang bisa menghangatkan para warga desa, tumbuhan yang berada di kebun-kebun war
“Hey, Yo! Kira-kira kamu tahu gak Pak Ridwan meninggalnya kenapa?” kata Ali yang merasa heran atas kematian Pak Ridwan. “Wah kalau kata warga mah dibunuh oleh seseorang sih, karena mana mungkin dia bisa bersimbah darah gitu.” “Cuman yang jadi pertanyaan, siapa yang bunuh dia, apakah seseorang yang ada di desa ini ada yang punya dendam kepada Pak Ridwan?” “Karena ya, kita tahu sendiri Pak Ridwan itu baik ke semua orang.” “Aku aja yang awalnya dari kampung, setelah sering ngobrol sama Pak Ridwan aku jadi tahu kehidupan kota kaya gimana dari cerita-cerita dia semenjak datang ke desa ini.” “Bahkan dia juga sering bantuin kita kalau ada kesusahan.” “Kalau ketemu tuh pelakunya, aku pasti bakal pukulin dia ampe dia sujud-sujud minta maaf.” Ali dan Iyo yang awalnya ditugaskan untuk mengurus pemakaman Pak Ridwan terlihat sibuk mengobrol tentang Pak Ridwan, masih banyak misteri yang belum dia ketahui tentang kematiannya. Mereka berdua berjalan ke arah rumah Pak Dani untuk melaporkan bahw
Ucok tidak tahu bahwa kertas-kertas itu adalah kertas yang penting. Bahkan mungkin, setelah aku menceritakan semuanya, mereka bertiga jadi tahu bahwa kertas-kertas yang Ucok bakarlah penyebab Pak Ridwan meninggal.Bu Cucu yang mendengar hal itu langsung mengangkat tangannya dan langsung memegang kepalanya, dia tiba-tiba mendadak pusing atas tindakan Ucok.“Pak, kita harus melakukan sesuatu Pak, kalau perlu selain Bapak mengirimkan surat untuk melaporkan kejadian ini.”“Kita juga harus menulis surat untuk memanggil Bapak yang tinggal di kampung Pak, karena mungkin Bapak bisa membantu menyelesaikan hal ini.”“Meskipun dirinya sudah tua, namun kalau aku yang meminta pasti dia akan datang.”“Karena aku yakin, Bapak bisa memecahkan hal ini.”“Karena aku takut, ada korban lagi yang seperti Pak Ridwan kalau ceritanya seperti itu, bahkan kita bertiga juga kemungkinan adalah korban selanjutnya,” kata Bu Cucu yang kini terlihat duduk dengan tubuhnya yang berkeringat dingin sekarang.“Emang Ibu
Awan hitam tampaknya kembali memunculkan dirinya di atas langit, menutupi semua cahaya matahari yang awalnya bersinar di pagi hari dengan sinarnya yang terang dan menghangatkan hati.Tak lama, awan hitam itu memuntahkan air-air hujan yang disertai dengan kabut tipis yang menutupi hutan hujan yang mengelilingi desa, bersamaan dengan dua orang yang tampak sedang berjalan beriringan menyusuri jalanan setapak yang masih berupa tanah merah yang berlumpur.“Je, ada gubuk kecil tuh disana, kita istirahat dulu ya! Capek ini dah dua jam berjalan,” kata Iyo kepada teman barunya yang kini ikut dengannya sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang sudah rapuh di ujung sana, namun bangunannya masih bisa menahan air hujan yang mengguyur di siang itu.Teman baru Iyo yang dia ajak untuk menemaninya ke kampung sebelah adalah Jeje, Jeje adalah anak dari Ibu Bo'ah yang pindah dari Ibu Kota ke tempat ini, setelah mereka ditinggal oleh sang kepala keluarganya yang hilang entah kemana karena menjadi seorang pr
Ditengah hujan yang kembali membasahi Desa Muara Ujung, terlihat seseorang dengan payung yang berwarna hitam berjalan di antara tanah yang becek dan bercampur lumpur.Tanah yang menjadi jalanan utama yang panjang dan lurus hingga ke ujung desa, dimana ujung desa itu adalah rumah-rumah kosong yang tidak berpenghuni, karena dari seluruh rumah yang ada di Desa Muara Ujung ini, hanya setengah dari total rumah yang ada yang dihuni oleh para transmigran yang tinggal di dalamnya.Seseorang dengan baju kebaya yang berwarna cerah dengan kain jarik yang di angkat ke atas betis agar cipratan air hujan yang turun dan bercampur lumpur tidak membasahi kain yang menutupi kakinya, membuat dirinya berjalan dengan sangat pelan di tengah hujan.Tujuannya hanya satu, dia berjalan ke rumahku untuk melihat kondisi Ayu, setelah dia mengetahui bahwa ada sesuatu yang gelap yang menutupi rumahku pada saat itu, dia akhirnya datang ke rumah ketika aku sudah menceritakan semuanya.“Ah, Bu Cucu! Padahal jangan rep
Gubuk-gubuk tengah hutan.Memang sedikit aneh, gubuk-gubuk tua yang Iyo dan Jeje tempati itu memang ada di beberapa tempat di hutan ini, gubuk yang sudah lama ada, bahkan mungkin, gubuk-gubuk itu sudah ada ketika Desa Muara Ujung masih hutan belantara.Entah siapa yang membuat gubuk-gubuk kecil itu, gubuk-gubuk tua yang ada di beberapa tempat di hutan hujan itu dipergunakan sebagai tempat bagi para manusia untuk beristirahat setelah dirinya masuk ke dalam hutan untuk mencari sesuatu seperti buah-buahan atau hewan buruan.Di tahun tersebut, memang masih banyak sekali manusia yang memanfaatkan hutan untuk sumber kehidupan mereka, mengambil air gula aren dari sana, mengambil buah-buahan yang bisa mereka jual, bahkan berburu kijang atau rusa untuk mereka makan.Biasanya, ada warga yang tinggal di desa-desa selain Desa Muara Ujung yang melakukan hal itu, mereka berusaha untuk bertahan hidup di tengah-tengah keterbatasan di desa tempat mereka tinggal. Karena, mereka merasa bahwa dengan berk
[ 12 May 1996Desa yang awalnya menjadi tempat pelarian untuk menyambut kehidupan yang baru kiri terasa berbeda,Langit yang seharusnya memberikan rasa hangat di hati ketika kita menata lagi hidup kini berubah menjadi awan-awan mendung yang membuat suram, disertai dengan air hujan yang terus-menerus menetes dan memberikan rasa sedih yang mungkin saja aku rasakan.Satria, apa yang terjadi padamu kini sudah merenggut sebuah nyawa yang tidak bersalah.Nyawa dari sahabatmu.Nyawa dari seseorang yang telah mengajakmu ke tempat ini.Juga nyawa dari seseorang yang seringkali membantumu ketika susah, menyambutmu ketika kamu pulang dari pelarianmu diluaran sana dan berakhir di tempat ini.Dia tidak tahu apa-apa Satria, dia tidak tahu apa-apa.Semua misteri yang kamu berikan tentang kematianmu, tentang sebuah keinginan mu akan anakmu yang harus mati bersamamu, dia coba pecahkan agar anak dari sahabatnya itu bisa dia selamatkan, karena dia tidak tega melihat istri dan anaknya terluka seperti yan