Wanita yang sudah didapat itu semakin menarik
—William Molchior_________________________________________________Wanita Asia dan temannya juga datang. Belum lagi akhir pekan kelompok bermain Jenna libur, mau tak mau Scarlett harus membawa putri semata wayangnya ke toko. Biasanya ia meminta bantuan para pegawai yang tidak sibuk untuk menjaga Jenna. Sebenarnya, di ruangan Scarlett ada sebuah pagar bayi yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup untuk arena bermain Jenna. Namun, karena saat ini tidak ada satu pun pegawai yang senggang untuk mengawaso, ia terpaksa menggendong Jenna ke mana-mana.
"Ini pesanan untuk acara ulang tahun." Salah satu pegawai laki-laki berperawakan cenderung kurus yang baru saja meletakkan sekotak tart karakter Cinderella di mobil boks, melapor pada Scarlett. Sedangkan George sendiri sudah duduk di kursi kemudi. Siap mengantar pesanan itu.
Namun semua rencana tidaklah selalu berjalan mulus. Saat Goerge mencoba menyalakan mesin, mobil boks tersebut menunjukkan gejala seperti orang terbatuk-batuk.
"Kenapa tidak mau menyala?" gumamnya sambil mencari-cari penyebab sumber masalah. Sembari mencoba menyalakan mesin beberapa kali, akan tetapi kendaraan itu masih tidak memberikan apa yang ia harapkan.
Suara berisik dari mesin starter yang mencoba dinyalakan terus-menerus dan memekakan telinga tersebut memberhentikan langkah Scarlett dan pegawai tadi. Mereka lantas berbalik lagi dan bertanya kompak pada George. "Apa yang terjadi?"
"Mesinnya tidak mau menyala," jawab pria besar itu setelah melepas tangan gemuknya dari kunci.
Ingatan Scarlett tentang accu mobil segera menghampiri otaknya. "Astaga, aku lupa membawanya ke bengkel untuk ganti accu." Melengkapinya dengan menepuk dahi pelan. Suatu sikap kebiasaan saat merutuki kebodohannya.
Scarlett mulai ditelan rasa takut. Ini tidak akan menjadi masalah besar apabila mobil boks yang satunya bersama dua motor toko dan Chevrolet hitamnya tidak sedang digunakan pegawai lain untuk pergi mengantar pesanan juga.
"Ada yang punya accu portabel?" tanya Scarlett pada para pegawainya, masih sambil mengamati bagian kap mobil yang sudah dibuka oleh pegawai kurus tadi atas perintah Scarlett. Pria besar itu sendiri juga sudah turun untuk ikut mengecek kerusakam pada bagian depan mobil dan benar mendapati masalah accu yang habis.
"Tidak ada yang punya Boss." Jawaban dari George membuat Scarlett panik. Ia berjalan ke sana-kemari sambil menggendong Jenna yang menggamit boneka beruang sembari minum susu dari botol.
"Jam berapa acaranya akan dimulai? Apa bisa menelepon bengkel terdekat dulu?" tanyanya benar-benar bingung. Ia tidak ingin terlambat karena khawatir pelanggan akan menurunkan nilai kepercayaan pada toko rotinya.
"Tidak mungkin, Boss. Acaranya akan dimulai setengah jam lagi. Belum lagi kalau macet." Jawaban dari pegawai kurus itu sama sekali tidak membantu jiwa Scarlett untuk tenang. Pada saat yang bersamaan, Hillary datang membawa sebuah kabar.
"Boss, ada yang ingin menemuimu."
"Jangan sekarang Hillary, aku sedang sibuk. Sebaiknya kau tangani dulu."
"Apa yang terjadi?" tanya wanita berambut pirang tersebut sambil mengamati George dan pegawai satunya.
"Accu-nya habis." Mendapat jawaban dari George, wajah Hillary ikut panik.
"Tidak perlu ikut panik Hillary, sebaiknya kau kembali ke dalam."
Wanita berambut pirang itu pun masuk toko sesuai perintah dari atasannya. Namun, belum ada dua menit sudah kembali lagi. "Tapi katanya dia tidak ingin dilayani siapa pun kecuali Anda, Boss."
Argh! Terkutuklah semua ini! Ingin sekali Scarlett mengumpat. Akan tetapi Jenna yang berada di gendongannya menenggelamkan kata-katanya. Ia tentu tidak ingin putrinya menirunya berkata kotor.
Sebelum melipir masuk, Scarlett memerintah, "Mintalah jumper setrum pada mobil lain. Usahakan cepat! Aku akan ke dalam sebentar."
"Aku bisa membantu mengantar kue itu ke pelanggan. Naikkan saja kuenya ke mobilku sekarang." Sebuah suara bariton yang rendah dan dalam akan tetapi bernada ceria membuat semua orang yang mengerubungi mobil boks mogok itu menoleh padanya.
William Molchior tersenyum cemerlang ke arah Scarlett. Kala retinanya menangkap gambar wanita tersebut sedang menggendong balita yang ditemuinya di kapal, sedikit-banyak senyumnya menjadi terusik.
Kenapa boss toko roti sangat baik hati dan repot-repot menggendong putri pegawainya, sementara pegawai itu sendiri hanya bekerja pada bagian depan toko, khusus mengarahkan pelanggan?
William mereka-reka.
Apakah Scarlett pecinta balita?
"K-kau?!" Mengejutkan. Scarlett bisa mengingat pria itu. Pasti karena sikap kurang ajarnya beberapa waktu lalu. "Bagaimana bisa kau ke sini?"
"Lewat pintu itu," jawab William polos sambil menuding pintu penghubung menggunakan jempolnya.
"Bukan itu maksudku!"
"Paman bunga lilac," kata Jenna, menginterupsi mereka.
"Ha?" tanya Scarlett tidak paham.
"Oh iya benar, dia yang membantu Jenna mengambil bunga lilac di kapal kemarin, Boss." Begitu menyadari sesuatu, Hillary membekap mulutnya sendiri agar tidak keceplosan lebih banyak lagi. Gawat kalau sampai bossnya tahu Jenna lepas dari pandangannya selama beberapa saat. "Em, sebaiknya kita menuruti saran Mr. Molchior untuk pergi pengantar kuenya," tambahnya, cepat-cepat menggangi topik pembicaraan agar selamat.
Apa kata Hillary tadi? Mr. Mohior? Jangan-jangan saudara suami Mia? Apa dia juga ikut ke sini waktu menjemputnya dulu? Scarlett menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan kembali fokus pada pembicaraan mereka.
"Apa kau sudah gila?!" tanya Scarlett pada Hillary, "tidak! Aku akan ke menelepon bengkel sebentar."
"Kurasa aku setuju dengan Hillary, Boss." George membuka suara. Senada dan seirama dengan pegawai kurus di samping pria besar itu.
"Tapi-"
"Kalau tidak cepat nanti akan terlambat." Hillary memperingatkan dan mendapat anggukan dari kawan-kawannya beserta William sendiri.
Scarlett memejamkan mata kemudian mengalah. "Baiklah. Andy, tolong pindahkan tart-nya ke mobil Mr. Mohior-"
"Molchior, atau kau bisa memanggilku William," potong William.
"Ya, terserah apa pun itu," kata Scarlett acuh tak acuh. Membiarkan Andy melakukan tugasnya kemudian menghadap satu per satu para pegawainya yang lain untuk memberi perintah. "George tolong telepon bengkel untuk mengganti accu-nya. Setelah itu kembalilah ke dapur. Dan kau Hillary, tolong ambilkan car seat Jenna lalu kembali ke toko."
"Yes, Mam!"

"Kau atasan yang sangat tegas. I think you're gorgeous," kata pria itu dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
Scarlett tidak bereaksi seperti yang diinginkan William. Bahkan semenjak masuk mobil, wanita itu tidak berbicara atau melihatnya sama sekali. Hanya melakukan apa yang harus dilakukan untuk mengecek keselamatan balita itu.
William sempat ingin protes karena Scarlett membawa balita itu. Tujuannya ke Bake Me Up adalah untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Namun, ia mengalah. Teringat salah satu jurus play boy adalah menuruti mangsanya sebelum menjebaknya.
Setelah melalui perjalanan dari Phoenix ke New York dan ternyata menemukan ingatannya kembali tentang toko roti Bake Me Up serta wanita itu lengkap dengan beberapa pegawainya-persis seperti yang dikatakan Mia beberapa hari lalu-kenapa acara penakhlukan ini menjadi sulit?
"Atasan memang harus tegas."
Ha! Akhirnya wanita itu menjawabnya. Yah, meski tidak melihat ke arahnya langsung, akan tetapi William yakin tadi Scarlett sempat meliriknya.
"That's good, right?"
"Belok kanan," kata Scarlett akhirnya memberi perintah tanpa ingin menanggapi William.
"Yes Mam!" kata William meniru para pegawai toko roti tadi kemudian membelokkan stir ke arah yang diminta Scarlett.
"Kau seperti Hillary, George dan Andy," kata gadis cilik itu.
"Benarkah?" tanya William. Bertanya sambil melihat gadis itu dari spion tengah.
"Iya. Mereka juga sering berkata seperti itu," jawab Jenna dengan nada dan wajah polos, "kadang-kadang aku juga meniru mereka."
"Selama tidak buruk, kau boleh menirunya, Pamkin," kata Scarlett yang sudah menoleh ke belakang. Jaraknya sangat dekat dengan William sehingga aroma buah persik menyusupi indra pembau pria itu. Sungguh unik, pikirnya.
"Yes Mam!" jawab Jenna. Mengundang tawa bagi Scarlett kemudian mencubit pipi putrinya karena gemas.
William merasa nilai wanita itu bertambah di matanya karena berbicara lembut dan keibuan serta ramah terhadap anak kecil. Sebenarnya, tipe yang ideal untuk dijadikan istri. Namun, jangan sampai ia memikirkannya. William yakin akan mual lalu muntah di mobil apabila memikirkan tentang istri dalam sebuah ikatan pernikahan.
Ketika Scarlett sudah kembali pada posisi duduknya, angin yang berembus kecil dan membawa aroma persik tanpa sadar ia hidu dalam-dalam. Kemudian memutuskan berkata, "Well, aku tidak tahu kau akan membawa gadis gembul itu juga."
Sekali lagi Scarltt melirik William sekilas. "Memang kenapa?"
"Tidak, aku hanya berpikir kau baik sekali." William kembali tersenyum dan berkata dalam hati. Ayo! Makan pujianku Scarlett!
"Jangan terlalu positif menilai orang asing. Bisa saja kau keliru," jawab Scarlett demokratis lalu memerintah, "rumahnya di depan sana. Tolong hati-hati atau kau bisa merusak kuenya."
Sial sekali! Kenapa pula otaknya harus memerintah untuk menakhlukan wanita ini?! Setiap William maju selangkah, Scarlett mundur dua langkah dengan perisai baja.
Justru itu sensasinya, Will. Wanita yang sulit dikejar itu semakin menarik. Apa kau tidak bosan dengan wanita yang hanya kau sapa sudah bisa menghangatkan ranjangmu? Lihatlah pantat Scarlett Delillah! Padat menggoda Bung! Hatinya pun mengingatkan.
Benar. Wanita yang sudah didapat itu semakin menarik. Ini akan menjadi sesuatu yang sangat menarik. Setelah berhasil menggiringnya ke ranjang, William akan meninggalkan Scarlett. Selayaknya wanita-wanita yang ia cicipi sebelumnya. Dengan begitu egonya pun terselamatkan. Salah sendiri wanita itu mengabaikan dan mengatainya gila.

Saat melihat Scarlett kualahan membawa semuanya, ia bertanya, "Kenapa kau membawa car seat juga?"
"Terima kasih, berkat kau kueku datang tepat waktu. Kau sudah boleh pulang sekarang, aku akan pulang naik taksi. Jadi kita berpisah di sini. Selamat tingggal." Scarlett memutar tubuh. Sambil membawa kue di tangqn kiri, ia menggandeng Jenna sekaligus menenteng car seat. Sungguh merepotkan memang. Namun, Scarlett sama sekali tidak ingin berurusan lagi dengan William.
"A-apa?" William tercengang. Bisa-bisanya wanita itu berkata demikian padanya!
"Tapi aku tidak mau naik taksi. Aku mau naik mobil itu." Jenna sedikit cemberut. Tidak mau mengikuti langkah Scarlett karena melihat ke arah William dan MBW yang terparkir tidak jauh dari pria tercengang tersebut.
"Tidak bisa Pamkin, mobil itu akan pergi sekarang. Ayo," bujuk Scarlett sambil menarik tangan Jenna. Gadis itu malah memberungut dan menghentak-hentakkan kaki.
"Tidak! Aku mau pulang naik mobil bagus itu!"
Bangun dari keterkejutan, William mencoba mengambil kesempatan itu untuk menggaet Scarlett, seperti rencananya semula. "Woah ... woah ... sebaiknya kau tidak menelantarkan anak kecil dan membuatnya menangis, atau kau akan dimarahi ibunya."
"Apa maksudmu? Aku ibunya. Jadi tidak mungkin aku menelantarkan anakku sendiri."
Mata William membelalak. Lidahnya mendadak sudah diajak bicara sehingga tersendat-sendat. "K-kau si-siapanya?"
***
Tidak sengaja menjumpai salah satu maid yang melitas di lorong penghubung antar ruangan yang lain, William memutuskan untuk bertanya dengan tidak sabaran. "Di mana Mia?"
"Sedang di kamar, Tuan."
Usai mengucapkan terima kasih, kaki-kaki William melangkah cepat. Membawa tubuh tegapnya ke tempat yang dimaksud maid tadi kemudian mengetuk pintu mirip orang kesurupan.
Tok tok tok
"Mia! Buka pintunya!"
Tok tok tok
"Mia!"
Lebih dari dua menit, pintu yang digedor William akhirnya terbuka. Sayang sekali Dominic yang membukanya. Seharusnya William sudah menduga kalau akan jadi seperti ini.
"Kenapa kau mencari Mia?" tanya kakaknya sambil menutup pintu kamarnya kembali.
William sedang tidak ingin bercanda sekarang. "Bisa aku bicara empat mata dengan Mia sebentar?"
"Tidak," jawab Dominic cepat sambil bersedekap tangan.
"Ck!" William mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa sepulangnya dari New York ia tidak ingin menunda penggalian informasi ini. Ada sesuatu di dalam hati dan otaknya yang memerintah untuk langsung memastikan hal penting ini. Di satu sisi, bila memang benar-dan besar kemungkinan-kalau Scarlett menikah, William pasti merasa bersalah karena telah menggoda istri orang. Otaknya mulai berfantasi, membayangkan tubuh suami Scarlett sebesar Dwayne Johnson alias The Rock yang bisa menendang atau menghajarnya sampai babak belur dengan sekali banting. Negeri, William menggeleng samar. Sebaiknya ia harus segera meminta maaf. "Ayolah Dom. Aku tidak akan menggodanya, lagi pula Mia juga tidak akan tergoda padaku. Tenang saja."
"Aku percaya pada Mia. Tapi aku tidak bisa menjaminmu. Jadi katakan saja apa yang ingin kau bicarakan dengan Mia. Di sini. Dan aku akan menyampaikan itu padanya." Dominic menekan dua kalimat terakhir.
Hasih! Dasar posesif ulung! Kenapa pula ini menjadi sangat susah?!
William menggeleng dengan tangan masih menempel di dahi. "Sulit dipercaya," ungkapnya resah. Kemudian pasrah. "Aku hanya ingin menanyakan soal Scarlett Delillah. Memangnya kau mau menjawabnya?"
Sekarang gantian Dominic yang melepas napas pasrah. Ia memang mengenal Scarlett, tetapi bukan berarti tahu segala seluk beluk sahabat istrinya. "Baiklah."
Pintu terbuka lebih lebar, tampaklah Mia sedang menidurkan Aldrich di baby bouncher dengan musik für elise yang terdengar ramah di telinga. William segera menyesali tindakannya yang tergesa-gesa dan menggedor-gedor pintu tadi. Aoakah ia tidak mengganggu bayi?
"Sorry, kupikir Aldrich bersama mom dan dad di ruang bermain." Melengkalinya dengan mengusap tengkuk, William segera mengabaikan kakaknya dan menghampiri Mia.
"Hai Will, apa yang kau lakukan?" sapa Mia. Suaranya pelan.
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
Dominic yang berada di sebelah mereka pun kembali memerintah, "Kalian mengobrol di sini. Aku tidak akan menguping."
"Oh really Dom? Are you fucking seriously? Jarakmu hanya tiga langkah dariku," protes William sembari berbisik dan merentangkan tangan.
"Beri kesempatan Will duduk di sofa kamar ini kalau kau khawatir dia akan macam-macam padaku," kata Mia yang mencoba menenangkan Dominic.
Berkali-kali William berdecak melihat kakaknya. Astaga, kenapa ini sangat sulit?
Setelah beberapa waktu bernegosiasi, akhirnya William duduk di sofa kamar kakaknya bersama Mia.
"Kenapa kau tidak bilang padaku kalau dia sudah menikah dan punya anak?" tanya William tanpa basa-basi.
Sebelum memutuskan beralih ke Aldrich, Dominic menyahut, "Ck ck ck. Aku tidak percaya, pria juga bergosip."
Mengabaikan itu, Mia pun mengutarakan ketidakmemgertiannya. "Maksudmu, dia siapa?"
"Scarlett. Kau tidak pernah cerita dia sudah menikah."
"Kenapa kau bertanya soal itu?" tanya Mia penuh selidik. "Jangan katakan kau menggodanya," tuduh Mia. Tepat sasaran.
William menjambak rambutnya frustasi. Sekali lagi membayangkan suami Scarlett akan membantingnya hidup-hidup. "Kalau dia punya suami, tentu aku tidak akan menggodanya."
"Kalau pun tidak, bukan berarti kau bisa menggodanya Will. Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan sahabatku. Kau boleh menggoda wanita lain. Tapi jangan Scarlett."
"Maksudmu? Dia tidak sedang menikah dengan seseorang sekarang?" tanya William penuh kehati-hatian. Memastikan kalimat Mia yang membuatnya ragu.
Mia menggeleng. "Aku tidak akan menceritakannya padamu."
"Ck, ayolah Mia. Aku hanya ingin minta maaf karena sudah menggodanya," paksa William dengan raut wajah memelas.
Mia malah tertawa tetapi dengan suara pelan. Meski demikian wanita itu menutupimulutnya menggunakan tangan. "Maaf Will, aku tidak percaya padamu."
Aku harus menepikan egoku, meski rasa sakit itu selalu berusaha menelan tubuhku hidup-hidup—Scarlett Delillah______________________________________________Usai mengakhiri goresan tinta yang ia bubuhkan pada beberapa proposal, William memutar kursi kerjanya menghadap dinding kaca ruangannya yang berada di lantai empat. Kedua lengan pria itu ditekuk ke belakang untuk menopang kepalanya dengan posisi punggung menempel di sandaran kursi. Sepasang iris hijau William mengamati lanskap kota Phoenix pada musim semi serta orang-orang yang memadati promenade bertabur sinar mentari.Otak William berusaha keras mencerna perkataan Mia tempo hari tentang Scarlett. Mencoba mereka-reka segala kemungkinan yang terjadi. Padahal seharusnya ia tidak memedulikan perkara tidak penting ini dan langsung beralih ke wanita lain yang jauh lebih
Jelas ada saja batu-batu atau lintasan terjal yang harus dilalui—Regis Mondru_____________________________________Regis Mondru melilitkan kostum tim The Crusher Hell di pinggangnya. Satu tangannya menyelipkan rokok yang sudah tersulut di antara bibir dan tangan yang lain meraih ransel lalu menentengnya di bahu kanan. Sambil menyapa beberapa kru yang berkemas, ia berjalan keluar garasi.Ketika kedua kaki yang membawa langkah serta tubuh Regis baru menginjak tanah berdebu, Jared King menyapa, “Hei, Dude. Apa kau sudah mau berangkat ke pesta Bellen?”“Iya, aku harus segera ke sana. Bellen mau mengenalkanku pada kakaknya,” jawab pria bertindik satu di telinganya itu tanpa menoleh Jared sebab sedang membuka pintu mobil samping kemudi, melempar ransel di kursi sebelah dan menjatuhkan tubuhnya di kursi berkendara Bugatti la Voiture Noire doff edisi terbatasnya.Dari depan garasi, Jared berjalan m
People should be able to say how they feelHow they really feelNot some words that some strangers put in their mouths—500 Days of Summer______________________________________________“Ms. Delillah, apa yang terjadi?” William panik dan bertanya sembari mengikuti Scarlett yang terburu-buru keluar elevator.Wanita itu menunduk sambil berusaha mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan kiri. Sungguh, ia tidak berharap bertemu siapa pun sekarang, termasuk William sekalipun. Ia hanya berencana kembali ke mobil dan menenangkan diri selama beberapa saat sebelum menjemput Jenna. Bukan untuk meladeni William. Jadi, Scarlett mempercepat langkahnya tetapi penuh kehati-hatian menuju mobilnya.“Ms. Delillah. Tunggu sebentar,” sergah pria itu yang kini sudah menghadang jalan Scarlett.Wanita dengan balutan pakaian serbamerah muda tersebut berusaha melangkah ke kanan dan kiri, tetapi W
Apakah mereka tidak tahu bahwa kenyataan yang disembunyikan setengah-setengah selalu mampu memicu ketertarikan manusia untuk menguliknya hingga tuntas?—William Molchior______________________________________________“Dom, boleh aku bicara dengan Mia?”Sepeninggalan Scarlett, William yang dilingkupi suasana tak nyaman pada hati serta pikirannya dan masih bertahan di mobil pun akhirnya memutuskan menelepon kakak laki-lakinya untuk bertanya tentang Scarlett pada Mia. Beruntung, Dominic cepat mengangkat telepon.“Apa yang ingin kau bahas dengan istriku malam-malam seperti ini, Will?” Dominic balik bertanya dengan nada rendah. Menimbulkan decak sebal dari indra pengecap William. Rupanya, ini bukan hanya sekadar keberuntungan. Melainkan permulaan pertarungan sebelum memenangkan dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Yakni, informasi akurat perihal Scarlett.“Ayolah, Dom.
Semuanya demi Scarlett—Regis Mondru______________________________________________“Bae ....”“Jangan sentuh aku, Reg!”Regis menarik tangannya kembali ketika hendak menyentuh bahu Scarlett dan gadis itu menepisnya. Kemudian kembali meringkuk dalam buntalan selimut tebal tanpa memedulikan hawa gerah musim panas yang menerangkap kamar apartemen Regis. Scarlett hanya ingin melindungi tubuh polosnya yang dipenuh warna merah keunguan maha karya laki-laki itu. Nyeri di antara kedua kakinya masih terasa menyiksa dan Scarlett masih menangis karenanya.Regis pun beralih meraih boxer hitam yang tadi teronggok di lantai lalu mengenakan itu dengan gerakan cepat sebelum mengambil duduk kembali di tepi ranjang. Lengan-lengan laki-laki itu bertumpu pada lutut dengan pikiran kalut. Sedangkan kepalanya menoleh pada punggung Scarelett yang bergerak naik turun.Bagaimana ini? Scar
Setiap orang pasti akan merasa tertekan dengan trauma masa lalu dan suatu hari ingin bebas menceritakan trauma itu tanpa beban apa pun—Scarlett Delillah_____________________________________________Sudah tiga jam lalu semenjak jam makan siang berakhir, tetapi keramaian masih belum meninggalan restoran Clinton St Baking Company. Orang-orang yang datang memenuhi setiap sudut di kala senja mulai menyapa terlihat makan makanan penutup dan duduk bersantai bersama kawan sambil memesan minuman untuk melepas kepenatan seusai bergumul dengan pekerjaan kantor. Tampak pula kaula muda bersama teman atau kekasih yang tengah mengobrol.Menggendong Jenna, Scarlett bersama Hillary dan George memasuki kawasan restoran itu. Beberapa waktu lalu, sang pemilik mengundangnya untuk mengajar kelas membuat kue. Begitu langkah mereka mencapai pintu ganda, pramusaji yang bertugas di sana membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk. Scarlett m
Sungguh takdir yang manis—William Molchior______________________________________________Pukul setengah sepuluh malam, para pegawai Bake Me Up masih sibuk sebelum tutup. Sibuk mengerjakan pembukuan, menghitung jumlah bahan yang masih atau kurang, membersihkan dapur, menyapu, mengepel lantai, menata meja serta kursi, membuang sampah, dan mengelap kaca.Sambil menggendong Jenna yang tidur, Scarlett berjalan keluar dari ruangannya. Secara hati-hati memilih lantai yang belum dipel menuju bagian depan untuk menemui Hillary yang sedang mengelap dinding kaca.“Kurasa, aku akan mengambil libur akhir pekan. Jadi, tolong gantikan aku besok, Hill,” cetus Scarlett. Menggunakan nada agak pelan sambil membelai rambut keriting gantung Jenna.Gerakan Hillary pun berhenti untuk menghadap bosnya. “Oke, Boss. Ngomong-ngomong apa yang akan kaurencanakan di akhir pekan?”
Seandainya bisa hidup dalam romansa novel—Scarlett Delillah______________________________________________“Hm ... this is so tasty ....” Di sela-sela senyuman dan mata setengah terpejam, William bergumam sambil mengangguk-angguk samar. Tak jemu-jemu memuji roti lapis Prancis buatan Scarlett. Oh, tentu ia tidak boleh melewatkan kesempatan langka ini.Setelah menelan utuh harga dirinya untuk meminta makanan akibat lapar, akhirnya pria itu berhasil mendapatkannya. Dan tentunya cara ini tepat untuk mendekati Scarlett. Suasananya pun mendukung ; siraman cahaya mahari pagi yang memenuhi Central Park, suara kicauan burung, sulur-sulur ranting daun-daun maple cokelat menari karena angin semilir yang sejuk, dan ramainya orang bercakap-cakap tetapi dalam volume yang tidak mengganggu.Jenna yang makan bersama William dan mengamati pria itu ikut tersenyun riang.
Selamat datang di chapter 24Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai jika ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like it❤️❤️❤️____________________________________________________It’s too cheesyBut it would be also not if you’re falling in loveYou wouldn’t care of everything around the both of you—Second Virgin____________________________________________________“Wah ... wah ... wah ..., apa ini, Boss?” celetuk Hillary Fin ketika melihat Scarlett masuk Bake Me Up dari pintu depan dan menerobos gerombolan pembeli yang mengantre whoopie pie marshmallow.“Apa, Hill?” Scarlett berbalik tanya lantaran bingung.“Kau tampak berbeda. Lebih shining, simmering, splendid,” goda Hillary yang semula berkacak pinggang, kini dengan wajah berseri-seri mengitari Scarlett sembari meneliti bosnya dari atas hingga bawah dan menemukan sesuatu yang berbeda.Selain riasan yang memudar, bosnya memang masih mengenakan pakaian yang sama, tetapi auranya jelas berbeda. Tadi pagi, aura Scarl
Selamat datang di chapter 23Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai jika ada typoThanksBut before you read this chapter, I wanna tell you something. Chapter ini dibuat semata-mata untuk hiburan belaka. Tidak ada sangkut-pautnya dalam kehidupan nyata.Dan kenapa harus ada warning 21+?Karena selain adegan, latar belakang cerita ini juga di New York. Yang kita ketahui di sana sangatlah bebas. Maksud saya, bebas berpikir, mengutarakan pendapat, maupun menjalin hubungan. Tidak tabu dengan hal berbau hubungan badan sebelum pernikahan. Itu hal yang sangat wajar di sana. Malah orang-orang berselogan “Kau harus mencoba sebelum membeli” terhadap seks. Terhadap tinggal bersama. Mereka juga memiliki pendapat “Bagaimana kalau masih pacaran saja tinggal bersama sifatnya sudah begini? Apakah nanti bisa cocok untuk pernikahan? Makanya harus dicoba dulu kan? Siapa tau nyaman, atau siapa tau nggak nyaman.”Yah, intinya, selamat membaca teman-temanSemoga suka dan terhibur yaNggak usah dipiki
Selamat datang di di chapter 22Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai juga kalau ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Waktu penyembuhan trauma tiap orang berbeda-beda—William Molchior____________________________________________________Dari balik kursi kemudi Chevrolet yang masih terparkir di tempat semula, Scarlett Delillah memperhatikan Regis Mondru masuk Buggati hitam edisi terbatas pria itu yang tak lama kemudian meninggalkan Bake Me Up. Barulah ia bisa leluasa mengosongkan paru-parunya sembari mengendorkan punggung ke jok. Tanpa tedeng aling-aling, air mata Scarlett merebak, mengancam tumpah. Sekujur tubuhnya pun masih gemetar diselubungi dingin dengan jantung bertalu-talu serta pikiran kalut.Scarlett menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan serta membiarkan pertahanan dirinya bobol. Selagi menumpu kepalanya di atas stir, ia berpikir apakah tindakannya terla
Selamat datang di chapter 21Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai juga kalau ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Tidakkah kau berpikir itu menyiksaku?—Scarlett Delillah____________________________________________________Interkom penthouse William berdering nyaring, mengguncang-guncang tidurnya supaya bangun. Mengabaikan gangguan itu dan kembali tidur memang terasa menggoda. Namun, kala menyadari benda tersebut tidak akan berhenti meraung-raung hanya dengan dibiarkan begitu saja—kecuali tamunya tahu diri untuk tidak mengganggu waktu liburnya yang sempit, William tahu ia harus bangun mengurusinya.Ia memaksa kesadarannya bangkit. Kepalanya yang didera rasa pusing dan perutnya yang pengar membuatnya mengeram. William tidak ingat bagaimana bisa sampai rumah. Memori otaknya hangat ingat semalam minum banyak ditemani Loven sampai teler. Asumsi kuat yang jelas berkaitan deng
Selamat datang di chapter 20Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai apabila ada typoThanksHappy reading everybodyHopefully you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Kau tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu dengan orang-orang yang selalu kau inginkan memaklumi atau kauminta mengerti atas traumamu—William Molchior____________________________________________________“Boss, tenanglah. Percayakan saja ini pada William,” mohon Hillary kepada Scarlett yang melihat bossnya menunduk dan masih sibuk menyeka ingus.Topik tentang Jenna menjadikan Scarlett jauh lebih sentimental daripada pertengkarannya dengan Regis. Jenna selalu menjadi nomor satu bagi Scarlett. Ia mengingat setiap perjuangannya setelah diusir dari rumah dalam keadaan hamil. Lebih tepatnya, hamil dan sendirian. Ia pernah berniat bunuh diri dengan berencana meminum sebotol obat tidur yang telah dibelinya di apotek. Namun, ketika semua pil itu sudah dalam ge
There’s a girl who stole my heartAnd she—must—call me father—Regis Mondru___________________________________________________Tubuh Scarlett bergetar hebat dan terasa begitu dingin dalam dekapan William. Kondisi yang kontras dengan suhu di sekitar. Apalagi di antara oven-oven raksasa yang keberadaannya memenuhi setiap sudut dapur pada cuaca musim panas, yang semestinya menebar gerah.Scarlett yang menggigiti kuku sambil bercucuran air mata tanpa berkedip dan menatap pada satu poros dengan tatapan menerawang pun merasakan sapuan tangan besar William pada punggungnya. Bekas usapan tersebut meninggalkan jejak kehangatan. Secara bersamaan, ia mendengar pria itu menyuntikkan kata-kata semujarab mantra
Ia merasa jantungnya ditarik ke perut, lalu dibanting hingga hancur menjadi serbuk-serbuk kecil seukuran debuDan tak ada yang memungut kemudian menyatukannya kembali—Second Virgin_________________________________________________Pagi-pagi sekali, selagi menunggu Jenna bangun, Scarlett sudah mengeluarkan setumpuk pakaian dari lemari lalu mencobanya satu per satu. Lagi-lagi keningnya harus terlipat-lipat samar karena tidak mengerti kenapa rasa-rasanya belum ada satu pun baju yang cocok untuk dikenakan ke Bake Me Up hari ini.Padahal biasanya Scarlett tidak perlu memikirkan secara detail tentang apa yang akan dipakainya. Asal sopan dan cocok untuk bekerja, tidak masalah. Dan yang paling penting, efisien bin antiribet untuk bercengkrama dengan loyang-loyang, cup-cup, tepung-tepung, cokelat-cokelat, buah-buah segar, dan seluruh ekosistem penghuni lain di dapur. Plus, bertemu calon pembeli yang ingin memesan kue khusus.Scarlett menempelk
Forget the pastThere’s a reason it’s not coming back—Ex______________________________________________“Kelemahanmu ada di sini, Regis. Perhatikan lagi kecepatan dan keseimbangan penggali kuburan[1] yang kaukendalikan saat akan menanjak. Kita semua tahu, dua menit free style sangatlah berarti bagi kita. Buatlah para juri terkesima dengan kemampuanmu,” tujuk coach Mattew pada layar TV yang menampilkan video Regis Mondru mengemudikan momster truck beberapa musim lalu sebelum vakum.Wajah pria paruh baya itu tegas, tak kenal ampun dan sangat disiplin sehingga sukses menjadi pelatih tim The Crusher Hell. Kadang-kadang, ia diminta menjadi dosen terbang di universitas Monster Jam—tempat para pengemudi monster truck menimba ilmu dan mendapat sertifikat pasca menjalankan serangkaian tes berjam-jam dalam beberapa hari. Sama seperti Regis, sebelum melanjutkan ke universitas yang sama dengan Scarlett, Mia dan Siena.
Bagaimana bisa hal sederhana dalam balutan kata-kata formal seperti ini bisa berdampak sangat dasyat pada diri seseorang?—William Molchior_____________________________________________Pukul delapan pagi, Scarlett sudah duduk di meja kerjanya di Bake Me Up sambil bertopang dagu menghadap jendela yang terbuka lebar. Sinar mentari yang mengangkat keremangan ruangan menerpa wajahnya. Kehangatannya menjalar, menembus dadanya yang dipenuhi kembang api meledak-ledak.Scarlett menyadari pipinya naik sedari tadi. Pun, jantungnya yang berdebar kencang manakala benaknnya terus menampikan kepingan adegan apa yang telah ia lakukan dengan William di ruang tamunya.“Sepertinya aku sudah gila karena melakukannya,” gumam Scarlett sambil menggeleng dan menepuk-nepuk kepalanya pelan.Ia menggigit bibir bawahnya dengan jari mengetuk-ngetuk meja. Menghitung sebanyak kurang lebih sepuluh kali sebelum memutuskan mengeruk tas jinjingnya untuk me