Bukankah meminta maaf pada mantan kekasih lebih melegakan sebelum menikah?
—Regis Mondru______________________________________________Memasukkan kartu nama itu kembali ke saku celana, sekali lagi kedua manik hijau zambrutnya berpendar ke seluruh rooftop kapal. Acara ulang tahun pernikahan ini sudah dimulai. Namun, batang hidung Scarllet tidak muncul di mana pun.
Pada saat keputusasaan menderap pelan dibahunya, tiba-tiba William mendapat ide untuk menanyakan wanita itu pada kakak iparnya di lain kesempatan—mengingat dari gaun yang dikenakan Scarlett merupakan kode pakaian tamu undangan.
William mengambil sloki yang berisi gin and tonic dan menempelkan punggung pada pagar pembatas kapal. Meski selalu mendapatkan wanita seusai acara, sebenarnya ia sangat malas menghadiri acara semacam ini. Oleh sebab itu William tidak mnegikuti acara pesta perayaan ulang tahun pernikahan kakaknya tahun kemarin. Anggap saja kali ia sedang sial karena tidak bisa menghindar dari kakaknya yang memaksanya ikut.
Lihat? Betapa membosankannya acara ini. Mungkin seharusnya ia mengadakan pesta dan bersenang-senang di penthouse-nya tadi.
Dengan malas, William kembali menenggak sekali telan dari slokinya. Pelayan yang membawa senampan minuman kembali berjalan di sekitarnya. Pria itu lantas meletakkan sloki dan menukarnya dengan Chapellet Signature Carberet Souvignon kembali. Kemudian berusaha memperhatikan Dominic berserta istri dan anak mereka.
Dari tempatnya berdiri, para undangan terlihat sudah berkumpul melingkari tuan rumah. Samping sepasang suami istri itu terdapat meja tempat kue tart setinggi satu meter berwarna ungu muda dengan banyak hiasan bunga Lilac, lilin angka dua dan beberapa mutiara hasil karya Scarlett. Musik klasik yang tadinya mengalun keras sekarang sudah dipelankan agar para undangan fokus sepenuhnya pada keluarga kecil itu.
"Good evening everybody." Pria bercambang dengan balutan tuksedo hitam memulai pidatonya menggunakan mikrofon. "Terima kasih sudah menyempatkan diri datang ke acara kecil-kecilan anniversary kami yang kedua. Aku juga berterima kasih pada istriku, yang selama dua tahun ini sudah mau mendampingiku, juga putraku Aldrich Oswald Molchior." Dominic mengahadap Mia dan Aldrich. "Dan aku ingin mengatakan sekali lagi bahwa aku mencintaimu dan Aldrich. Juga calon bayi kita nanti."
Riuh ricuh membahana mendengar ucapan sang tuan rumah kepada istri dan anaknya. Sementara William yang berdiri tidak jauh dari tempat itu hanya mengacungkan gelas gitar Spanyol-nya pada mereka sambil nyengir kuda. Sok romantis, batinnya.
"Jadi, kupikir, kehamilan Mia sudah menjadi berita bahagia sekaligus kado terindah bagi anniversary kami," tambah pria itu lagi dan sorakan kembali memenuhi rooftop kapal.
Berikutnya acara peniupan lilin dan pemotongan kue, pembukaan tutup botol anggur merah, dan juga kembang api yang menyala-nyala di langit malam kota New York. Kemudian orangtua, mertua, dan para undangan saling memberi ucapan selamat termasuk William.
Kecuali Scarlett.
Alih-alih melihat semaraknya acara itu, ia lebih memilih menenggelamkan diri dalam kegiatan dapur yang sepi. Ia sudah mengucapkan selamat pada sahabatnya lebih dahulu. Sedangkan dengan alibi bisa mengerjakan kekurangan kue sendirian, Scarlett memerintah Jenna bersama Hillary dan semua pegawai untuk melihat kembang api.
Rasa dingin yang menyerang sepanjang tulang belakang Scarlett menyelinap ke dalam hatinya dan membentuk perasaan nyeri di sana ketika semua kata-kata suami Mia terdengar olehnya. Entah sudah berapa kali ia membuat kue pada acara ulang tahun pernikahan seperti ini, Scarlett masih belum juga terbiasa. Bohong bila ia seorang ibu yang kuat di depan teman-temanya. Padahal wanita itu sangat rapuh bila sendirian.
Meski ia sedikit pelupa, untuk beberapa alasan dalam hal tertentu, memori lama tentang Regis Mondru dalam benak Scarlett selalu muncul ke permukaan tanpa bisa ia cegah. Jika boleh memilih, ia juga ingin menikah dengan seorang pria yang mencitainya. Tidak hanya pria itu, tetapi juga keluarganya dan keluarga pria tersebut. Lalu memiliki anak yang diinginkan seperti sahabatnya yang sangat beruntung itu.
Punggung tangan Scarlett yang terbalut sarung tangan plastik dan sedang mengiris persik untuk tartlet tertimpa air matanya yang jatuh dengan sendirinya. Wanita itu mendongak, mengerjab beberapa saat untuk mencoba mengembalikan butiran bening tersebut. Namun, yang ada air matanya malah keluar semakin deras.
Scarlett menunduk dan melepaskan pegangannya pada pisau lalu meletakkan benda tajam itu di meja dan tergugu. Ia terperenyak, memegangi kaki meja dapur yang terbuat dari stenlis lalu menumpahkan semua air matanya. Menangis keras di antara bisingnya kembang api. Hingga sekujur tubuhnya tidak terkendali.
Bukan bermaksud tidak menginginkan Jenna dalam hidupnya. Scarlett hanya berpikir, seandainya Regis Mondru tidak seperti itu dan mengubahnya menjadi monster beberapa waktu lalu, pasti ia tidak akan berakhir seperti ini.
Bunyi kembang api berhenti. Suara tepuk tangan dan orang bercakap-cakap serta alunan musik klasik menghentikan tangisan Scarlett. Dengan segera, wanita itu melepas sarung tangan plastik dan mencuci wajahnya di sink dapur kemudian kembali mengerjakan kue yang sempat terhenti.
Terkutuklah Regis Mondru!
***
William menemani kakaknya untuk mengecek beberapa dokumen hasil pertambangan batu bara perusahaan mereka. Sebab di musim semi cuacanya cukup stabil, jadi ini merupakan momen yang pas untuk meningkatkan produksi.
Beberapa hari berikutnya Dominic pergi ke Utah yang tidak membutuhkan keterlibatan William. Jadi itulah momen yang tepat bagi pria berlesung pipi itu untuk menemui Mia yang kebetulan sedang diungsikan Dominic di estat orangtua mereka.
"Moomm anakmu yang tampan sedang berkunjuuung," pekik William ketika melewati taman mawar ibunya, dan seperti biasa melihat wanita paruh baya yang masih anggun itu sedang berkebun.
Ibu William menegakkan tubuh serta mendongakkan topi kuning lebar yang biasa dikenakan saat berkebun untuk mencari-cari sosok William. Apabila Dominic tipe pria yang dingin dan jarang mengunjungi estat, William kebalikannya. Ceria, mudah bergaul, ramah dan sering kali berkunjung untuk sekadar melepas rindu atau menemani ayahnya bermain golf.
Oh, jangan lupakan sifat jahil yang satu itu. Seperti sekarang contohnya. Anak bungsu dari keluarga Molchior itu malah sengaja bersembunyi di belakang salah satu maid yang selalu menemani ibunya berkebun. Kemudian tanpa sepengetahuan ibunya, William memeluk wanita paruh baya itu dari belakang.
"Astaga, Will!" seru ibunya sembari memukul lengan William yang melingkarinya.
"Aku merindukanmu. Apa kau tahu kau sangat cantik?" puja William sambil mengayun-ayunkan tubuh ibunya pelan.
"Dasar! Jangan merayuku seperti merayu wanita-wanita yang kau temui!"
Sarung tangan kuning, gunting tanaman dan topi lebar ibu William sudah berpindah ke tangan maid tadi yang tersenyum ramah. Setelah mencuci tangan di wastafel yang terletak di taman mawar itu, ibu dan anak tersebut berjalan melewati air mancur, foyer, dan resmi masuk estat.
"Aku ke sini untuk menemui Mia selagi Dom pergi. Mom tahu sendiri 'kan, kalau Dom tidak akan mengizinkanku bicara padanya kalau dia ada?"
"Apa yang ingin kau bicarakan dengannya?"
"Haruskah aku membicarakan urusan anak muda dengan Mom?" tanya William, memegangi bahu ibunya.
"Dasar! Mia sedang membuat cookies di dapur. Katanya cucuku sedang ingin makan itu"
"Aldrich?" tanya pria bermata hijau zambrut, sama seperti iris ibunya. Sementara kakaknya bermata biru terang sama seperti ayahnya.
"Bukan, maksud Mom, calon cucu keduaku," jawab ibunya, kemudian mengajak William berbelok dan kurang beberapa ruangan lagi sudah tiba di dapur.
"Ada-ada saja. Itu hanya alibi wanita hamil, Mom."
Ibu William mengibas tangan. "Tunggu saja sampai kau membuat istrimu hamil."
Membicarakan istri kontan membuat perut William mual. Demi Neptunus! Itu bukan gayanya. Jadi, ia memutuskan untuk diam. Hingga langkah membawa tubuh mereka ke dapur dan melihat Mia sedang menelepon sambil menunggu cookies-nya matang di oven.
Wanita itu tidak sendirian, ada beberapa maid yang membantunya menyiapkan segala keperluan dapur yang dibutuhkan.
Melihat kedatangan mertuanya dan William, Mia segera pun berkata jujur. "Iya, ada Mom dan Will. Apa kau mau bicara pada mereka? Oh ... baiklah." Wanita hamil muda yang masih belum terlihat buncit itu segera mengulurkan ponsel ke mertuanya. Lalu sedikit mengambil jarak untuk menerima telepon dari Dominic.
Kesempatan itu pun William gunakan sebaik mungkin. "Hai, bagaimana kabarmu?" tanya William, seklias memeluk kakak iparnya.
"Seperti yang kau lihat."
"Kata Mom, kau sedang membuat cookies, apa sudah matang?" Seperti biasa, basa-basi sangatlah penting bagi William agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Ya. Sayangnya belum. Kalau sudah matang, kau boleh mencicipinya nanti," ucap Mia sambil menggerakkan tangan di udara. Karena sering datang ke estat, ia juga tidak lagi bertanya tentang tujuan William datang. Biasanya adik suaminya itu kadang hanya iseng.
"Wah, terima kasih. Kau baik sekali. Ngomong-ngomong soal kue, semua kue yang ada di anniversary kalian rasanya enak. Terutama cheese cake Jepang." Pria itu pun mulai memancing, dan Mia pun mengalirkan ceritanya sendiri. Sungguh cerdas, pikir William pada dirinya sendiri sambil tersenyum penuh semangat mendengar penuturan Mia.
"Tentu saja itu buatan sahabatku, Scarlett. Kau ingat toko roti di New York yang waktu itu? Kau ada di sana juga. Dan jangan lupakan saat pesta pernikahanku. Semua kuenya dari Bake Me Up dan Scarllet yang membuatnya. Ngomong-ngomong dia pemilik toko roti itu."
***
Mencapai gundukan tanah yang tinggi, Regis Mondru mencoba mengurangi kecepatan untuk membawa monster truck-nya melompat. Setelah berhasil dengan mulus, pria berambut brunette itu membelokkan stir dan mengulanginya beberapa kali. Hingga pada menit ketiga puluh, ia memutuskan untuk istirahat.
"Aku mencatat waktunya. Dan kau mengalami peningkatan," kata salah seorang kru The Crusher Hell pada Regis yang baru saja melepas headset dan menggantungkannya di leher lalu melompat turun dari mobil besar tersebut yang baru saja ia parkir di bengkel. Sedangkan helmnya ia letakkan di kursi kemudi.
"Baguslah," katanya ringkas. Membuat heran kru tadi.
"Ada apa? Kau kelihatan tidak senang?"
Sembari melepas sarung tangan dan menurunkan zipper seragam kuning neon kombinasi hitam, mereka berjalan ke deretan kursi berlengan di dalam bengkel. Dari balik kantong lapisan kemeja kotak-kotak hitamnya, Regis mengeluarkan sebungkus rokok lalu mengambil satu batang dan menyelipakannya di antara bibir. Kemudian mengoper kotak itu pada kru yang masih membawa papan catatan waktu berkalung heatset sebelum lanjut mencari pematik.
Setelah semua rokok tersulut, mereka resmi duduk. Regis membuka kulkas sebelah tempat mereka duduk dan mengeluarkan dua kaleng bir. Bersamaan dengan temannya yang meletakkan papan catatan waktu dan pematik di meja rendah depan mereka.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," todong kru tadi setelah membuka penutup kaleng dan menyesap isinya. Begitu juga dengan Regis.
Sambil mengamati para kru lain yang sibuk memeriksa kondisi monster truck-nya, Regis menjawab, "Tadi malam aku bermimpi tentangnya."
Jawaban itu menaikan kedua alis kru sekaligus sahabat Regis yang sedang membubuhkan ampas rokok pada asbak. "Tetangnya?" ulang pria negro dengan rambut gimbal tersebut, "siapa di sini yang kau maksud?"
"Scarlett," jawab Regis lagi-lagi ringkas, usai meneguk bir kaleng.
Senyum jemawa terpatri di bibir pria negro itu. "Wanita yang akan membunuhmu?"
Rasa nyeri segera menyerang hati Regis. Mau tak mau otaknya memutar kejadian pahit tersebut lalu memosisikan duduk menghadap sahabatnya. "Kadang aku berpikir, dia jadi seperti itu karena salahku."
"I've told you, that wasn't yours," tanggap temannya tanpa jeda. Sesekali menyedot rokok dan membuang asapnya.
"Tidak, memang benar itu salahku," kata Regis sedikit keras sebab suara mesin las lebih mendominasi.
Sebelum kembali meneguk bir, pria negro itu menggeleng. "Kau hanya ingin memutus hubunganmu karena ingin bersama Shelby. Cemburu Scarlett sangat berlebihan sampai menyusun strategi manipulasi untuk membunuhmu, Reg. Aku pikir itu kejahatan yang tidak bisa ditoleransi," terang Jared King sambil menurunkan kaleng minumannya dari mulut. "Jika aku jadi kau," tambahnya sedikit bersuara lebih pelan sambil menyandarkan punggung.
Jared ingat jelas kejadian beberapa tahun lalu di bengkel tim monster truck milik ayah Scarllet. Sejak saat itu pula ia menemani Regis memutus kontrak tanpa membayar uang denda karena menganggap itu sebagai kompensasi bagi ayah Scarlett dan pindah ke tim The Crusher Hell sampai sekarang.
"Sebenarnya, aku menghamili Scarlett dan menyuruhnya menggugurkan kandungan ... karena tidak ingin ada masalah dengan Shelby."
Hampir saja Jared menyemburkan bir ke wajah Regis bila tidak bisa menahan rasa kaget akibat mendengar pengakuan pria itu. Mungkin karena keadaan bengkel yang bising, sehingga bisa saja pendengarannya mengelabuhi otaknya dalam menangkap maksud Regis. "Holly shit! What the hell have you done to her?!"
"Aku menghamili Scarlett dan menyuruhnya menggugurkan kandungan karena tidak ingin ada masalah dengan Shelby," ulang Regis dengan nada sangat menyesal. Membuat Jared cepat-sepat mematikan rokok untuk menghadap pria bermata abu terang yang jernih itu sepenuhnya.
"Dengarkan aku, Dude. Kau bodoh!"
"Ayolah Jared, waktu itu kita masih muda," bela Regis pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu aku mengubah presepsiku terhadap Scarlett. Wajar kalau dia ingin membunuhmu setelah apa yang kaulakukan padanya!" maki pria negro itu. Diam-diam juga bersalah karena menganggap masalah temannya hanya dari dari satu sisi. "Dan Mr. Harold Delillah tidak tahu Scarlett hamil, 'kan? Buktinya pria tua itu mengusir putrinya."
"Mengusir? Apa maksudmu mengusir?" tanya Regis serius.
"Kupikir kau sudah tahu setelah polisi menyelidi kasus dan membebaskannya dari tuduhan, Scarlett diusir Mr. Harold."
Satu hantaman menyerbu hati Regis. Memang semenjak kejadian itu, ia lebih memilih untuk menghindar dari segala berita yang terkait dengan Scarlett. Bukan berarti benci, tetapi karena menyesali hal yang telah dilakukannya. Karena masih muda, ia lantas tidak berpikir masak-masak sebelum memutuskan sesuatu dan takut disalahkan. Namun semakin lama dipendam, rasa bersalah itu semakin mencuat kepermukaan dan menghantui dirinya.
Bohong bila Regis tidak memikirkan berbagai spekulasi setelah kejadian itu. Terutama menyangkut diri Scarlett dan bayi mereka. Apakah Scarlett benar-benar menggugurkannya? Atau malah sebaliknya?
"Dude, apa kau tahu di mana dia sekarang?" tanya Regis setelah sekian lama berpikir sambil merokok.
"Maafkan aku Dude, aku juga tidak tahu. Kenapa kau bertanya?"
"Kupikir, aku harus minta maaf padanya."
"Tapi bagaimana dengan tunanganmu?"
Regis meletakkan kaleng birnya yang sudah kosong kemudian memejamkan mata. Asap dari rokok yang masih berada di antara jari-jemari Regis yang lain memenuhi keduanya.
"Bukankah meminta maaf pada mantan kekasih lebih melegakan sebelum menikah?"
Wanita yang sudah didapat itu semakin menarik—William Molchior_________________________________________________Seperti biasa, toko roti Bake Me Up lumayan sibuk di akhir pekan. Ditambah Scarlett sudah berhasil menyebar kartu nama dan mendapat respons positif dari para tamu undangan anniversarry sahabatnya, saat ini ia menjadi kebanjiran pesanan.Wanita Asia dan temannya juga datang. Belum lagi akhir pekan kelompok bermain Jenna libur, mau tak mau Scarlett harus membawa putri semata wayangnya ke toko. Biasanya ia meminta bantuan para pegawai yang tidak sibuk untuk menjaga Jenna. Sebenarnya, di ruangan Scarlett ada sebuah pagar bayi yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup untuk arena bermain Jenna. Namun, karena saat ini tidak ada satu pun pegawai yang senggang untuk mengawaso, ia terpaksa menggendong Jenna ke
Aku harus menepikan egoku, meski rasa sakit itu selalu berusaha menelan tubuhku hidup-hidup—Scarlett Delillah______________________________________________Usai mengakhiri goresan tinta yang ia bubuhkan pada beberapa proposal, William memutar kursi kerjanya menghadap dinding kaca ruangannya yang berada di lantai empat. Kedua lengan pria itu ditekuk ke belakang untuk menopang kepalanya dengan posisi punggung menempel di sandaran kursi. Sepasang iris hijau William mengamati lanskap kota Phoenix pada musim semi serta orang-orang yang memadati promenade bertabur sinar mentari.Otak William berusaha keras mencerna perkataan Mia tempo hari tentang Scarlett. Mencoba mereka-reka segala kemungkinan yang terjadi. Padahal seharusnya ia tidak memedulikan perkara tidak penting ini dan langsung beralih ke wanita lain yang jauh lebih
Jelas ada saja batu-batu atau lintasan terjal yang harus dilalui—Regis Mondru_____________________________________Regis Mondru melilitkan kostum tim The Crusher Hell di pinggangnya. Satu tangannya menyelipkan rokok yang sudah tersulut di antara bibir dan tangan yang lain meraih ransel lalu menentengnya di bahu kanan. Sambil menyapa beberapa kru yang berkemas, ia berjalan keluar garasi.Ketika kedua kaki yang membawa langkah serta tubuh Regis baru menginjak tanah berdebu, Jared King menyapa, “Hei, Dude. Apa kau sudah mau berangkat ke pesta Bellen?”“Iya, aku harus segera ke sana. Bellen mau mengenalkanku pada kakaknya,” jawab pria bertindik satu di telinganya itu tanpa menoleh Jared sebab sedang membuka pintu mobil samping kemudi, melempar ransel di kursi sebelah dan menjatuhkan tubuhnya di kursi berkendara Bugatti la Voiture Noire doff edisi terbatasnya.Dari depan garasi, Jared berjalan m
People should be able to say how they feelHow they really feelNot some words that some strangers put in their mouths—500 Days of Summer______________________________________________“Ms. Delillah, apa yang terjadi?” William panik dan bertanya sembari mengikuti Scarlett yang terburu-buru keluar elevator.Wanita itu menunduk sambil berusaha mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan kiri. Sungguh, ia tidak berharap bertemu siapa pun sekarang, termasuk William sekalipun. Ia hanya berencana kembali ke mobil dan menenangkan diri selama beberapa saat sebelum menjemput Jenna. Bukan untuk meladeni William. Jadi, Scarlett mempercepat langkahnya tetapi penuh kehati-hatian menuju mobilnya.“Ms. Delillah. Tunggu sebentar,” sergah pria itu yang kini sudah menghadang jalan Scarlett.Wanita dengan balutan pakaian serbamerah muda tersebut berusaha melangkah ke kanan dan kiri, tetapi W
Apakah mereka tidak tahu bahwa kenyataan yang disembunyikan setengah-setengah selalu mampu memicu ketertarikan manusia untuk menguliknya hingga tuntas?—William Molchior______________________________________________“Dom, boleh aku bicara dengan Mia?”Sepeninggalan Scarlett, William yang dilingkupi suasana tak nyaman pada hati serta pikirannya dan masih bertahan di mobil pun akhirnya memutuskan menelepon kakak laki-lakinya untuk bertanya tentang Scarlett pada Mia. Beruntung, Dominic cepat mengangkat telepon.“Apa yang ingin kau bahas dengan istriku malam-malam seperti ini, Will?” Dominic balik bertanya dengan nada rendah. Menimbulkan decak sebal dari indra pengecap William. Rupanya, ini bukan hanya sekadar keberuntungan. Melainkan permulaan pertarungan sebelum memenangkan dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Yakni, informasi akurat perihal Scarlett.“Ayolah, Dom.
Semuanya demi Scarlett—Regis Mondru______________________________________________“Bae ....”“Jangan sentuh aku, Reg!”Regis menarik tangannya kembali ketika hendak menyentuh bahu Scarlett dan gadis itu menepisnya. Kemudian kembali meringkuk dalam buntalan selimut tebal tanpa memedulikan hawa gerah musim panas yang menerangkap kamar apartemen Regis. Scarlett hanya ingin melindungi tubuh polosnya yang dipenuh warna merah keunguan maha karya laki-laki itu. Nyeri di antara kedua kakinya masih terasa menyiksa dan Scarlett masih menangis karenanya.Regis pun beralih meraih boxer hitam yang tadi teronggok di lantai lalu mengenakan itu dengan gerakan cepat sebelum mengambil duduk kembali di tepi ranjang. Lengan-lengan laki-laki itu bertumpu pada lutut dengan pikiran kalut. Sedangkan kepalanya menoleh pada punggung Scarelett yang bergerak naik turun.Bagaimana ini? Scar
Setiap orang pasti akan merasa tertekan dengan trauma masa lalu dan suatu hari ingin bebas menceritakan trauma itu tanpa beban apa pun—Scarlett Delillah_____________________________________________Sudah tiga jam lalu semenjak jam makan siang berakhir, tetapi keramaian masih belum meninggalan restoran Clinton St Baking Company. Orang-orang yang datang memenuhi setiap sudut di kala senja mulai menyapa terlihat makan makanan penutup dan duduk bersantai bersama kawan sambil memesan minuman untuk melepas kepenatan seusai bergumul dengan pekerjaan kantor. Tampak pula kaula muda bersama teman atau kekasih yang tengah mengobrol.Menggendong Jenna, Scarlett bersama Hillary dan George memasuki kawasan restoran itu. Beberapa waktu lalu, sang pemilik mengundangnya untuk mengajar kelas membuat kue. Begitu langkah mereka mencapai pintu ganda, pramusaji yang bertugas di sana membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk. Scarlett m
Sungguh takdir yang manis—William Molchior______________________________________________Pukul setengah sepuluh malam, para pegawai Bake Me Up masih sibuk sebelum tutup. Sibuk mengerjakan pembukuan, menghitung jumlah bahan yang masih atau kurang, membersihkan dapur, menyapu, mengepel lantai, menata meja serta kursi, membuang sampah, dan mengelap kaca.Sambil menggendong Jenna yang tidur, Scarlett berjalan keluar dari ruangannya. Secara hati-hati memilih lantai yang belum dipel menuju bagian depan untuk menemui Hillary yang sedang mengelap dinding kaca.“Kurasa, aku akan mengambil libur akhir pekan. Jadi, tolong gantikan aku besok, Hill,” cetus Scarlett. Menggunakan nada agak pelan sambil membelai rambut keriting gantung Jenna.Gerakan Hillary pun berhenti untuk menghadap bosnya. “Oke, Boss. Ngomong-ngomong apa yang akan kaurencanakan di akhir pekan?”
Selamat datang di chapter 24Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai jika ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like it❤️❤️❤️____________________________________________________It’s too cheesyBut it would be also not if you’re falling in loveYou wouldn’t care of everything around the both of you—Second Virgin____________________________________________________“Wah ... wah ... wah ..., apa ini, Boss?” celetuk Hillary Fin ketika melihat Scarlett masuk Bake Me Up dari pintu depan dan menerobos gerombolan pembeli yang mengantre whoopie pie marshmallow.“Apa, Hill?” Scarlett berbalik tanya lantaran bingung.“Kau tampak berbeda. Lebih shining, simmering, splendid,” goda Hillary yang semula berkacak pinggang, kini dengan wajah berseri-seri mengitari Scarlett sembari meneliti bosnya dari atas hingga bawah dan menemukan sesuatu yang berbeda.Selain riasan yang memudar, bosnya memang masih mengenakan pakaian yang sama, tetapi auranya jelas berbeda. Tadi pagi, aura Scarl
Selamat datang di chapter 23Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai jika ada typoThanksBut before you read this chapter, I wanna tell you something. Chapter ini dibuat semata-mata untuk hiburan belaka. Tidak ada sangkut-pautnya dalam kehidupan nyata.Dan kenapa harus ada warning 21+?Karena selain adegan, latar belakang cerita ini juga di New York. Yang kita ketahui di sana sangatlah bebas. Maksud saya, bebas berpikir, mengutarakan pendapat, maupun menjalin hubungan. Tidak tabu dengan hal berbau hubungan badan sebelum pernikahan. Itu hal yang sangat wajar di sana. Malah orang-orang berselogan “Kau harus mencoba sebelum membeli” terhadap seks. Terhadap tinggal bersama. Mereka juga memiliki pendapat “Bagaimana kalau masih pacaran saja tinggal bersama sifatnya sudah begini? Apakah nanti bisa cocok untuk pernikahan? Makanya harus dicoba dulu kan? Siapa tau nyaman, atau siapa tau nggak nyaman.”Yah, intinya, selamat membaca teman-temanSemoga suka dan terhibur yaNggak usah dipiki
Selamat datang di di chapter 22Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai juga kalau ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Waktu penyembuhan trauma tiap orang berbeda-beda—William Molchior____________________________________________________Dari balik kursi kemudi Chevrolet yang masih terparkir di tempat semula, Scarlett Delillah memperhatikan Regis Mondru masuk Buggati hitam edisi terbatas pria itu yang tak lama kemudian meninggalkan Bake Me Up. Barulah ia bisa leluasa mengosongkan paru-parunya sembari mengendorkan punggung ke jok. Tanpa tedeng aling-aling, air mata Scarlett merebak, mengancam tumpah. Sekujur tubuhnya pun masih gemetar diselubungi dingin dengan jantung bertalu-talu serta pikiran kalut.Scarlett menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan serta membiarkan pertahanan dirinya bobol. Selagi menumpu kepalanya di atas stir, ia berpikir apakah tindakannya terla
Selamat datang di chapter 21Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai juga kalau ada typoThanksHappy reading everybodyHope you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Tidakkah kau berpikir itu menyiksaku?—Scarlett Delillah____________________________________________________Interkom penthouse William berdering nyaring, mengguncang-guncang tidurnya supaya bangun. Mengabaikan gangguan itu dan kembali tidur memang terasa menggoda. Namun, kala menyadari benda tersebut tidak akan berhenti meraung-raung hanya dengan dibiarkan begitu saja—kecuali tamunya tahu diri untuk tidak mengganggu waktu liburnya yang sempit, William tahu ia harus bangun mengurusinya.Ia memaksa kesadarannya bangkit. Kepalanya yang didera rasa pusing dan perutnya yang pengar membuatnya mengeram. William tidak ingat bagaimana bisa sampai rumah. Memori otaknya hangat ingat semalam minum banyak ditemani Loven sampai teler. Asumsi kuat yang jelas berkaitan deng
Selamat datang di chapter 20Tinggalkan jejak dengan vote dan komenTandai apabila ada typoThanksHappy reading everybodyHopefully you like and enjoy this story as well❤️❤️❤️____________________________________________________Kau tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu dengan orang-orang yang selalu kau inginkan memaklumi atau kauminta mengerti atas traumamu—William Molchior____________________________________________________“Boss, tenanglah. Percayakan saja ini pada William,” mohon Hillary kepada Scarlett yang melihat bossnya menunduk dan masih sibuk menyeka ingus.Topik tentang Jenna menjadikan Scarlett jauh lebih sentimental daripada pertengkarannya dengan Regis. Jenna selalu menjadi nomor satu bagi Scarlett. Ia mengingat setiap perjuangannya setelah diusir dari rumah dalam keadaan hamil. Lebih tepatnya, hamil dan sendirian. Ia pernah berniat bunuh diri dengan berencana meminum sebotol obat tidur yang telah dibelinya di apotek. Namun, ketika semua pil itu sudah dalam ge
There’s a girl who stole my heartAnd she—must—call me father—Regis Mondru___________________________________________________Tubuh Scarlett bergetar hebat dan terasa begitu dingin dalam dekapan William. Kondisi yang kontras dengan suhu di sekitar. Apalagi di antara oven-oven raksasa yang keberadaannya memenuhi setiap sudut dapur pada cuaca musim panas, yang semestinya menebar gerah.Scarlett yang menggigiti kuku sambil bercucuran air mata tanpa berkedip dan menatap pada satu poros dengan tatapan menerawang pun merasakan sapuan tangan besar William pada punggungnya. Bekas usapan tersebut meninggalkan jejak kehangatan. Secara bersamaan, ia mendengar pria itu menyuntikkan kata-kata semujarab mantra
Ia merasa jantungnya ditarik ke perut, lalu dibanting hingga hancur menjadi serbuk-serbuk kecil seukuran debuDan tak ada yang memungut kemudian menyatukannya kembali—Second Virgin_________________________________________________Pagi-pagi sekali, selagi menunggu Jenna bangun, Scarlett sudah mengeluarkan setumpuk pakaian dari lemari lalu mencobanya satu per satu. Lagi-lagi keningnya harus terlipat-lipat samar karena tidak mengerti kenapa rasa-rasanya belum ada satu pun baju yang cocok untuk dikenakan ke Bake Me Up hari ini.Padahal biasanya Scarlett tidak perlu memikirkan secara detail tentang apa yang akan dipakainya. Asal sopan dan cocok untuk bekerja, tidak masalah. Dan yang paling penting, efisien bin antiribet untuk bercengkrama dengan loyang-loyang, cup-cup, tepung-tepung, cokelat-cokelat, buah-buah segar, dan seluruh ekosistem penghuni lain di dapur. Plus, bertemu calon pembeli yang ingin memesan kue khusus.Scarlett menempelk
Forget the pastThere’s a reason it’s not coming back—Ex______________________________________________“Kelemahanmu ada di sini, Regis. Perhatikan lagi kecepatan dan keseimbangan penggali kuburan[1] yang kaukendalikan saat akan menanjak. Kita semua tahu, dua menit free style sangatlah berarti bagi kita. Buatlah para juri terkesima dengan kemampuanmu,” tujuk coach Mattew pada layar TV yang menampilkan video Regis Mondru mengemudikan momster truck beberapa musim lalu sebelum vakum.Wajah pria paruh baya itu tegas, tak kenal ampun dan sangat disiplin sehingga sukses menjadi pelatih tim The Crusher Hell. Kadang-kadang, ia diminta menjadi dosen terbang di universitas Monster Jam—tempat para pengemudi monster truck menimba ilmu dan mendapat sertifikat pasca menjalankan serangkaian tes berjam-jam dalam beberapa hari. Sama seperti Regis, sebelum melanjutkan ke universitas yang sama dengan Scarlett, Mia dan Siena.
Bagaimana bisa hal sederhana dalam balutan kata-kata formal seperti ini bisa berdampak sangat dasyat pada diri seseorang?—William Molchior_____________________________________________Pukul delapan pagi, Scarlett sudah duduk di meja kerjanya di Bake Me Up sambil bertopang dagu menghadap jendela yang terbuka lebar. Sinar mentari yang mengangkat keremangan ruangan menerpa wajahnya. Kehangatannya menjalar, menembus dadanya yang dipenuhi kembang api meledak-ledak.Scarlett menyadari pipinya naik sedari tadi. Pun, jantungnya yang berdebar kencang manakala benaknnya terus menampikan kepingan adegan apa yang telah ia lakukan dengan William di ruang tamunya.“Sepertinya aku sudah gila karena melakukannya,” gumam Scarlett sambil menggeleng dan menepuk-nepuk kepalanya pelan.Ia menggigit bibir bawahnya dengan jari mengetuk-ngetuk meja. Menghitung sebanyak kurang lebih sepuluh kali sebelum memutuskan mengeruk tas jinjingnya untuk me