Setelah Hendy keluar, ponselnya berdering. Elvira memperhatikan nama yang tertera di layar. Untuk apa dokter gatal itu menelepon malam-malam. "Angkat nggak, ya?"Sejenak berpikir, akhirnya Elvira menerima panggilan. Namun tidak langsung bicara. Di dengar dulu apa yang hendak diomongkan dokter obgyn itu. Tidak lupa ia merekam percakapan mereka."Hen, kamu di mana?""Halo ... kamu di rumah, kan? Bisa ke rumah sakit sebentar nggak?"Elvira masih diam."Tanteku drop malam ini.""Maaf, Dokter Herlina. Mas Hendy-nya lagi ada bersama saya di Jakarta.""Oh."Telepon dimatikan, Elvira juga berhenti merekam. Lalu mengirimkan hasil rekaman itu ke ponselnya untuk disimpan. Berhadapan dengan perempuan seperti Herlina harus hati-hati dan penuh perhitungan. Belajar dari pengalaman yang kemarin. Ia heran, kenapa Herlina sibuk menghubungi Hendy untuk mengabarkan kondisi tantenya. Memang mereka berteman, tapi tidak juga sampai seperti itu. Apalagi menghubungi malam hari. Bukankah dia tahu kalau Hendy
SEBELUM BERPISAH - Sebuah Rahasia Elvira turut menyalami lelaki itu. Dia tidak mengenalinya, tapi Elvira ingat siapa dia. Sering Elvira melihatnya di toko furniture milik sang ayah. Tampaknya mereka berdua cukup akrab.Kenapa dia memeluk Bu Karlina begitu mesra. Duduk juga saling berdekatan, seperti suami istri. Padahal setahu Elvira, istri lelaki itu berjilbab dan sering diajak ke kantor ayahnya. Elvira terakhir melihat, menjelang hari pernikahannya. Ada hubungan apa dengan Bu Karlina? Apa ... ah, Elvira menepis praduganya. Herlina juga tampak akrab. Dia mencium tangan dan lelaki itu mengelus kepalanya sejenak. "Sabar, ya. Sudah takdirnya Tante harus meninggalkan kita sekarang," ujarnya."Makasih, Pa," jawab Herlina yang membuat Elvira kaget. Oh, benar. Lelaki itu papa tirinya Herlina. Kemudian mereka saling berbincang. Elvira diam mendengarkan. Hingga terdengar azan maghrib berkumandang. Hendy izin numpang untuk maghriban. "Mari, Dok. Bareng saya." Lelaki tua itu mengiringi Hen
Mereka masuk rumah dan langsung pamitan. Herlina masih sempat menawari makan malam, tapi Hendy menolak dengan halus. Ia menggandeng sang istri hingga ke mobil yang terparkir di luar pagar."Sebelum pulang kita makan dulu," kata Hendy saat mereka sudah duduk di mobil."Iya."Mobil meninggalkan depan rumah Herlina. Setelah tantenya tiada, otomatis Herlina yang akan menempati rumah itu bersama seorang asisten rumah tangga."Laki-laki tadi siapa namanya, Mas?""Pak Danu.""Ayah tirinya dokter Herlina?""Ya.""Aku pernah melihat laki-laki itu. Tapi bukan Bu Karlina yang bersamanya. Seorang wanita anggun berhijab.""Di mana kamu melihatnya?""Di kantor ayah. Apa Bu Karlina istri kedua?"Hendy mengangguk samar. Dan Elvira tidak melanjutkan pembahasan. Kelihatannya sang suami tidak ingin menceritakan kisah keluarga teman baiknya. Oke. Bukan masalah buat Elvira. Malas kalau ujungnya berdebat dengan suami gara-gara perempuan yang sama.Dia bisa tahu cerita tentang Pak Danu dengan menanyakannya
Apa benda itu dari Rizal? Bukankah Ranty bilang kalau lelaki itu menunjukkan perhatiannya dengan memberikan beberapa benda. Kadang buket bunga, makanan kesukaan Elvira, atau hanya sekedar kalimat puitis."Rizal bukan orang kaya, Dok. Tapi dia pekerja keras. Kalau gajian, ia sempatkan membeli sesuatu untuk El. Meski itu bukan barang mahal. Sebagai bentuk perhatian, bahwa El itu sangat berarti dalam hidup dia."Hendy memperhatikan kotak kaca dengan teliti saat menyadari ada tulisan di sana. "Happy B'day, El." Hanya itu saja. Kemudian ada tanggal di bawahnya. 3 September. Segera Hendy bangkit dari duduknya. "Mas tunggu di kamar, ya.""Iya," jawab Elvira seraya menoleh sekilas.Masuk kamar, Hendy langsung membuka laci lemari paling bawah. Di mana ia menyimpan surat-surat penting di sana. Diambilnya kartu keluarga. Ternyata benar, Elvira lahir di tanggal 3 September. Berarti gelang itu hadiah untuk ulang tahunnya. Dan ia semakin yakin kalau benda itu yang memberikan adalah Rizal. Hati ya
SEBELUM BERPISAH - Jangan Kasih TahuElvira memperhatikan sekeliling. Daripada menelepon dan menunggu di sana, sementara gerimis mulai deras, lebih baik ia menaiki motornya mencari tempat berteduh.Mana suasana mulai gelap. Ia takut kalau ada orang yang berniat jahat. Dalam keadaan ban bocor, Elvira menaiki motornya pergi dari tempat itu. Agak kesusahan, tapi dia harus pergi juga dari sana.Motor yang ia kendarai oleng. Suara ban berdecit pelan terdengar samar di antara suara hujan. Jalanan itu sepi, hanya beberapa kendaraan yang sesekali lewat dengan kecepatan tinggi, mengabaikan keberadaannya.Telepon suaminya belum tentu dijawab. Dia pasti sibuk. Telepon Arman, kakaknya tidak ada di kantor. Telepon Ranty jelas tidak mungkin. Rizal? Sudahlah, jangan menambah masalah lagi.Di tengah kekalutan itu, sekelompok pemuda dengan tiga motor melintas dan memperlambat laju kendaraan mereka ketika melihat Elvira. Salah satu dari mereka menoleh dan tersenyum lebar. Merapatkan motornya pada El
Hendy yang baru keluar dari ruang operasi, dihampiri oleh Herlina yang muncul dari ujung lorong. "Sudah kelar?""Ya," jawab Hendy singkat seraya melepas penutup kepalanya."Bisa ngobrol sebentar saja.""Bentar," jawab Hendy kemudian mengambil ponsel di saku celana. Ia terkejut membaca pesan dari Elvira. Hendy berlari meninggalkan Herlina dan masuk ke ruangannya. Tanpa melepaskan seragam warna biru yang dipakai, diambilnya kunci mobil yang ia simpan di laci. Kemudian menemui dokter Fadli, dokter ortopedi yang baru saja bekerja bersamanya di ruang operasi.Sambil nyetir, ia memasang bluetooth earphone di telinga. Menghubungi sang istri. Tapi panggilan tidak dijawab. Hendy khawatir dan berusaha konsentrasi di tengah padatnya lalu lintas dan hujan.Dia terus melaju ke arah tempat yang disebutkan sang istri. Pesan itu dikirim Elvira hampir setengah jam yang lalu. Hendy akhirnya sampai di lokasi yang dipenuhi tumbuhan semak dan ilalang. Dia menyisir tempat itu seraya memperhatikan tepian j
Ranty menggeleng. Dia tidak akan menceritakan yang sebenarnya. Khawatir nanti malah memperkeruh hubungan Elvira dan Hendy kalau sampai Rizal merasa tidak terima, iba, dan ingin merebut Elvira. Toh Hendy sudah ada kepedulian dengan menyusul Elvira ke Jakarta.Namun demikian, meski Ranty menutupi. Rizal sudah tahu semuanya. Dia memilih untuk tidak membahasnya. "Ran, aku harus pergi. Jangan bilang ke El kalau aku yang membawanya ke sini. Kamu hubungi suaminya. Ceritakan seperti tadi aku menemukannya. Tapi jangan sebut namaku. Kamu saja yang mengaku menolongnya."Dahi Ranty mengernyit, tapi ia mengerti maksud Rizal. Ranty sampai terharu. Segitunya Rizal berusaha menjaga diri dari tenggelam dalam kisah lamanya. Meski Ranty yakin, cinta Rizal masih besar."Aku nggak punya nomer telepon dokter Hendy, Zal."Rizal meraih tas Elvira di bangku sebelahnya. "Ini tasnya El. Ponselnya pasti ada di dalam."Ranty mengangguk sambil menerima tas yang sudah kotor itu."Aku akan mengantarkan dua bapak it
SEBELUM BERPISAH- Rasa Itu Tetap Ada"Motorku gimana, Mas?" tanya Elvira."Sudah diurus sama sopirnya papa. Tidak usah memikirkan tentang motor. Yang penting kamu selamat."Elvira mengangguk pelan. Air matanya mengalir di sudut netra. Hendy mengelap dengan telapak tangannya yang besar. Membingkai wajah pucat itu dan menatapnya lekat. Tanpa peduli ada Ranty, Hendy mencium kening istrinya.Ranty menunduk memperhatikan layar ponsel."Kalau mas datang lebih cepat. Kamu pasti tidak akan mengalami hal ini. Maafkan mas."Senyum tipis terbit di bibir Elvira. Senyum melawan rasa pedih. Dia bukan hanya sedih memikirkan perihnya luka-luka di tubuhnya. Tapi bau obat dan aroma khas rumah sakit membuatnya tidak nyaman. Ingin muntah saja rasanya.Apalagi bau obat di seragam yang dipakai Hendy, begitu tercium kuat. Tapi tidak mungkin menyuruh suaminya menjauh."Kalau aku ketangkap sama dua laki-laki itu. Entah apa yang terjadi denganku," gumamnya lirih."Aku ingat waktu berlari di lahan ilalang dan
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san