SEBELUM BERPISAH - Merasa Bersalah Hendy masuk kamar. Elvira berbaring membelakanginya. Masih memakai gaun yang tadi. Dress press body tanpa lengan, sebatas lutut warna soft pink. Menampilkan lekuk tubuhnya yang indah. Bahu yang ramping dan berkulit bersih. Rambutnya diikat sedikit bagian atas, sisanya dibiarkan tergerai.Mereka hanya berdua saja di rumah. Makanya Elvira berdandan seksi. Ingin membuat makan malam itu berbeda dari biasanya.Ia merasa sangat bersalah. Sudah berapa kali memperlakukan istrinya seperti ini. Malam ini yang benar-benar parah. Disaat hubungan mereka sudah ada perkembangan dan Elvira sengaja memasak dan menunggunya pulang untuk makan malam. Bahkan Hendy sendiri yang merencanakan dinner untuk mereka. Namun ia tidak bisa pulang tepat waktu.Kalau biasanya, mungkin tidak sesakit ini. Mereka tidak sedang janjian, Elvira menyiapkan makan malam seperti biasa, dan istrinya tidak menunggunya. Hanya saja keesokan harinya makanan basi dan terbuang kalau ia pulang laru
Hendy menarik napas panjang. Menyandarkan kepala di kursi putarnya lantas memejam. Ingat tadi malam, siapapun perempuannya pasti akan kecewa. Bisa jadi akan marah-marah dan mengamuk, tapi Elvira memilih diam dan meninggalkannya masuk kamar.Seharusnya untuk malam tadi, ia bisa memprioritaskan untuk mengirim pesan. Hendy teledor. Dikira masih sama seperti malam-malam sebelumnya, di mana Elvira tidak peduli dan tidak mempermasalahkan kapan pun ia pulang telat. Tapi mengingat mereka sepakat untuk memulai hubungan yang lebih baik lagi, harusnya dirinya pun berubah. "Sorry, El." Dia ingin Elvira memahami betapa sibuknya di rumah sakit, tapi ia lupa kalau harus melakukan hal yang sama pada sang istri. Dipikir Elvira bisa maklum seperti biasa. Ternyata ini kesalahan yang amat menyakitinya. Di kala mereka sedang berusaha membangun sebuah hubungan pernikahan yang sebenarnya. Sudah masak, dandan secantik itu, lantas sia-sia. Sudah pasti Elvira kembali membuat jarak dengannya. Disaat sedang m
Keduanya terdiam untuk menenangkan hati masing-masing. Hingga pesanan datang dan mereka makan."Ibu doakan, kamu lekas dapat momongan," ucap Bu Salima setelah tenang."Aamiin. Terima kasih, Bu."Sambil makan, Bu Salima mengajak bicara tapi dengan pembahasan lain. Bertanya tentang pekerjaan Elvira."Saya kemarin bilang sama Rizal kalau mau bikinin Ibu gamis. Tapi saya belum sempat. Nanti kalau sudah jadi, akan saya antarkan ke rumah.""Dipaketin atau kirim lewat ojek saja, Nduk. Kamu istri orang, El. Jaga diri ya. Jangan sampai timbul fitnah."Elvira terkesiap dengan kata-kata Bu Salima. Sungguh bijak wanita di sebelahnya ini. Bu Salima terkadang sangat kangen dan ingin bertemu Elvira, tapi itu hanya sekedar angan-angan saja. Dia tidak ingin timbul permasalahan meski niatnya hanya ingin bertemu, bersilaturahmi. Mengingat Rizal juga belum bisa melupakan, Bu Salima khawatir kalau Rizal akan bertindak di luar batas."Maaf, Nduk. Bukan Ibu nggak ingin kamu datangi. Tapi ibu khawatir jika
SEBELUM BERPISAH - Begitulah Rasanya "Kamu tadi makan apa?" tanya Hendy saat Elvira mengambil air minum di ruang makan. "Nasi bungkus," jawab Elvira tanpa menoleh. Kemudian melangkah kembali ke kamar.Hendy yang tengah makan menarik napas dalam-dalam. Baru sekali ia diperlakukan Elvira seperti ini. Rasanya seperti tidak dianggap. Sedangkan sudah berulang kali ia mengabaikan makan malam yang disediakan istrinya. Baru malam itu Elvira tidak masak untuk makan malam. Sebelumnya setiap hari masak dan berulang kali hanya dimakan Elvira sendiri karena Hendy pulang larut malam. "Mulai malam nanti, aku nggak nyiapin makan malam, Mas. Aku nggak akan masak. Sayang saja sudah berapa kali aku membuang makanan. Sedangkan di luar sana, masih banyak orang yang susah untuk makan," ucap Elvira tadi pagi. Apa mungkin esok dan seterusnya tidak akan ada masakan untuk makan malam di rumah mereka?Elvira tidak sedang balas dendam. Mungkin dia memang sudah lelah karena berulang kali dikecewakan dan masa
Jam sembilan malam tiba-tiba listrik padam. Hendy menyalakan senter di ponselnya. Dia memandang kamar Elvira. Tidak ada jeritan minta tolong dari dalam. Apa istrinya sudah tidur? Hendy bangkit dari duduknya dan membuka pintu kamar. "El, kamu tidak apa-apa?"Ternyata Elvira sudah menyalakan senter di ponselnya. Dan dia menelungkup di meja. Hendy mendekat. "El.""Aku nggak apa-apa." Suara Elvira bergetar. Sebenarnya dia sedang panik. Tapi tidak akan berteriak minta tolong seperti biasanya. Dia harus melawan ketakutan, agar tidak bergantung pada siapapun. Termasuk pada suaminya."Besok jensetnya kubawa ke tukang servis. Sekalian membeli beberapa lampu emergency." Hendy duduk di tepi pembaringan di samping Elvira. Karena sibuk dia lupa mengurusi jenset dan lampu emergency. Hal yang dilupakan padahal sangat penting.Sedangkan sang istri bergeming tetap pada posisinya. "Sudah jam sembilan. Kita ke kamar sebelah. Bisa jadi listrik akan padam lama.""Biar aku di sini. Tinggalin saja, Mas. Ak
"Besok aku ada acara simposium selama dua hari. Semoga akhir pekan depan kita bisa keluar. Staycation untuk membahas serius permasalahan kita, El.""Elvira mengangguk pelan. Memang mereka harus bicara.Hendy mencondongkan tubuhnya dan meraih pinggang Elvira. Berbagi hangatnya embusan napas karena wajah mereka begitu dekat. Kemudian Elvira mengambil jarak. "Aku mau tidur."Hendy mengalah dan melepaskan rengkuhannya. Membiarkan Elvira berbaring, dan 'keinginannya' kandas.Setelah memastikan sang istri terlelap, Hendy keluar untuk menyalakan listrik. Kembali masuk kamar dan mengunci pintu. Menaruh kunci di dalam saku, agar Elvira tidak keluar.***L***"Mas, aku mau keluar. Kuncinya mana?" Elvira membangunkan Hendy yang masih terlelap."Di dalam saku," jawab sang suami masih dalam keadaan memejam.Elvira mencari di saku baju yang tergantung di tembok belakang pintu."Nggak ada, Mas.""Ambil di saku celana yang kupakai."Elvira berdecak jengkel. Aneh-aneh saja. Kenapa pula kunci mesti diam
SEBELUM BERPISAH- Duri"Melamun, El?" teguran Angel mengangetkan Elvira. Wanita anggun yang tengah hamil enam bulan itu lantas duduk di kursi depannya. Elvira tersenyum."Kamu lagi ada masalah?" Tatapan Angel penuh selidik. Dia tahu cerita tentang Elvira yang menikah karena dijodohkan. Tahu Elvira yang terpaksa putus dengan kekasihnya. Namun ia tidak tahu kalau Elvira pernah kabur dari rumah."Berbagilah kalau kamu ingin cerita. Mbak bisa menjadi pendengar yang baik. Kalau pun mbak nggak bisa bantu, tapi sesaknya dadamu bisa lega kalau masalahmu diceritakan. Kita bukan orang lain. Kamu jangan khawatir kalau cerita ini bocor.""Mbak Angel, periksa kandungan ke dokter Herlina, kan?""Ya. Apa kamu sudah hamil? Mau ikut periksa ke sana?" Angel memandang Elvira dengan wajah semringah, mengira Elvira sedang mengandung."Belum, Mbak. Cuman tanya saja ke Mbak Angel.""Oalah, kirain kamu sudah hamil.""Belum.""Mbak periksa ke dokter Herlina karena dokter kandungan langganan Mbak yang dulu s
"Oh ya, Mbak udah dapat arsitek untuk renovasi gedung dan pembangunan kantor cabang. Minggu depan dia ke sini. Untuk masalah renovasi ini, kamu yang ngehendel, El. Biar Ranty yang pegang untuk promosi desain baru kita. Oke, kalian istirahat dulu. Mbak mau makan." Angel meninggalkan mereka.Mendapatkan masukan panjang lebar dari Angel, membuat Elvira tenang. Mungkin memang benar, dia harus bersabar untuk sekarang ini. Toh pernikahannya baru masuk bulan ketiga. Masih butuh penyesuaian diri. Tapi soal Herlina, dipantau saja dulu. Jika memang sudah tidak bisa bertahan, menyerah bukan pilihan yang salah."El, Mama mertuamu wanita yang sangat bijaksana. Beliau nggak mungkin segampang itu merendahkan orang. Kalau sampai menolak Herlina yang cantik, cerdas, anak orang kaya, dokter pula itu, pasti ada sesuatu yang nggak bisa dianggap sepele." Ranty bicara setelah beberapa saat mereka diam."Dan kesannya, Mas Hendy melindungi rahasia Herlina supaya kehidupannya nggak kuketahui. Menyedihkan, Ran
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san